Part 13


Tears like Today

###

Part 13

###

"Rupanya kau masih bertahan juga di rumah ini." dengan lancangnya Kinan sengaja mengambil cup cake coklat yang sudah di tata rapi di atas piring oleh Nina. Membuat wajah Nina mengeras mengenal suara itu. Dan ia segera memasang ekspresi lemah lembutnya begitu wajahnya terangkat. Samar-samar terdengar nyanyian lagu selamat ulang tahun dari arah ruang tamu. Ia tahu pesta sudah di mulai dengan kedatangan Diaz. Begitu juga kedatangan wanita iblis ini.

Kinan memakan kue itu satu suap sebelum kembali meletakkannya di atas meja. Kue membuat berat badannya naik. Lagipula ia mengambil kue itu hanya untuk mengusik Nina. "Kenapa kau tidak menyerah saja?"

"Maaf kalau aku mengecewakanmu." Jawab Nina masih dengan senyum yang bertengger di wajahnya sekalipun hatinya muak ingin melemparkan piring kue itu ke wajah Kinan. Sejak pertama bertemu dengan Kinan, keduanya sama sekali tak menutupi permusuhan yang terbentang di antara mereka. Kecuali hanya di saat-saat mereka berdua bersama dengan orang lain. "Tapi aku memang tak semudah itu di kalahkan."

"Tak ada yang menang atau pun kalah di antara kita, Nina." Kinan mengibaskan tangan kanan di depan wajahnya. "Kau saja yang tak tahu malu bersikeras tinggal di sini sekalipun Diaz sudah menolakmu. Kenapa kau tidak juga berkemas dan pergi dari rumah ini bahkan setelah waktu yang lama kau masih juga tak bisa menaklukkan hati Diaz."

"Pernikahan di antara kalian tak mengartikan bahwa posisimu lebih tinggi dariku, Kinan."

"Aku tahu. Lagipula aku juga tidak tertarik untuk mendapatkan Diaz. Selamanya hati pria itu hanya milik seorang Senja seorang saja. Dan kau sama sekali tak punya tempat lagi di sana." Kinan menikmati emosi yang mulai memengaruhi wajah Nina. Berbagai cara yang di lakukan Nina untuk mendapatkan Diaz dan berakhir dengan kegagalan semata, membuatnya merasa di atas awan untuk segera mendepak Nina dari rumah ini. Atau dirinya yang akan di depak dari rumah ini oleh Nina. "Tapi setidaknya aku masih punya tempat di rumah ini."

Kedua tangan Nina terkepal di samping piring kue. Saking kerasnya hingga buku-buku jari wanita itu memutih. Sepertinya dia harus segera menyingkirkan Kinan jika Diaz masih bersikeras tak mau menceraikan istrinya. Dia tak akan lagi segan-segan menggunakan cara kotor jika dengan cara baik sekalipun tujuannya tak ada perkembangan sedikit pun setelah sekian lama. "Kita akan lihat seberapa lama lagi mulut ularmu itu masih bisa bersuara, Kinan."

Kinan membelalakkan matanya. Tertawa mencemooh akan ancaman Nina, "Waawww, apakah si malaikat Nina akan mengeluarkan iblisnya mulai sekarang? Apakah aku harus takut?"

'Jika memang harus. Ia tak akan ragu-ragu untuk melakukannya. Ia tak mau semua usahanya sia-sia.' Nina menjawab dalam hati.

"Adamku memang begitu polos dan baik hati. Kenapa dia tak pernah mempercayai kata-kataku? Padahal aku mengatakan kebenarannya." Kinan menggeleng-gelengkan kepalanya dengan wajah muram yang terlihat begitu membosankan. Sekaligus memuakkan untuk Nina.

"Karena dia lebih mempercayai diriku daripada dirimu. Bahkan semua orang di rumah ini lebih menyayangiku daripada dirimu." kata Nina penuh senyum kebanggaannya sambil membuka kedua tangannya tinggi-tinggi.

"Kaulah yang memanfaatkan kebaikan mereka dengan memanipulasi mereka, Nina. Setidaknya aku tidak pernah memaksa semua orang untuk menyayangiku."

"Itukah yang dikatakan oleh wanita yang berusaha mengemis cinta kakak iparnya?"

Dan kali ini kalimat Nina cukup mengena. Senyum Kinan langsung lenyap di wajahnya yang mulai mengeras.

"Selamanya hati Adam juga akan tetap milik Senja seorang. Kau sama sekali tak punya tempat di sana." Nina melanjutkan dengan membalik kata-kata Kinan penuh kemenangan.

Kemarahan Kinan hanya sesaat. Ia tahu Nina hanya berusaha memancing emosinya. Dan sayangnya ia tak akan terpancing. "Aku sudah tahu. Aku tak punya tempat di hati Adam. Tapi..." ia berhenti sesaat mengamati wajah penuh kemenangan Nina yang perlahan menguap dan melanjutkan kalimatnya, "... Aku punya tempat yang tidak akan pernah kau miliki."

Nina mendengus, "Sebagai istri Diaz?"

Kinan mengangguk bangga. Walaupun wajahnya keras dan memastikan bahwa posisi itu tak akan jatuh pada siapa pun sampai Adam berada di sisinya. "Itu juga."

"Kau berada di sisi Diaz hanya sebagai cangkang kosong. Pernikahan kalian..."

"Hanya kekosongan belaka. Ya, ya, ya." Kinan melanjutkan kalimat Nina dengan nada jengahnya. Kepalanya mengangguk bosan dan tangannya mengibas di depan wajah. "Aku tahu."

Sejenak keduanya hanya saling bertatapan dalam samar-samar keramaian dari arah ruang tamu. Mungkin kue ulang tahun sudah di potong dan orang-orang sibuk menyantap hidangannya. Acara ulang tahun itu lebih ke acara kumpul keluarga. Aidan masih terlalu kecil untuk merayakan ulang tahun dengan teman-teman seumurnya di sekolah karena balita itu belum sekolah.

"Tapi kau tidak bisa menyentuh, memegang tangannya atau bermesraan dengan Diaz di hadapan orang-orang. Memeluknya saat kami sedang berdua di dalam kamar." dusta Kinan. Ia tak pernah sekalipun bermesraan dengan Diaz kecuali hanya di hadapan keluarganya saja. Tapi tak masalah ia berbohong hanya untuk menikmati kecemburuan yang menyebar ke seluruh wajah Nina. Dan mungkin dengan sedikit lebih banyak bumbu akan semakin sedap rasanya, "Juga aktifitas kami di aras ranjang. Dan kami berdua cukup menikmatinya."

"Kau berbohong!" desis Nina. Wajahnya memerah menahan gemuruh api cemburu yang membara di dadanya. "Diaz tidak pernah menyentuhmu sekalipun kau telanjang bulat di depannya. Aku tahu itu. Karena dia begitu mencintai Senja. Aku masih bisa melihat itu di matanya. Hingga detik ini."

"Benarkah?" nada mencemooh Kinan hanya untuk menutupi kebenaran kata-kata Nina. Ya, Diaz memang tak pernah menyentuhnya. Bahkan jika ia mencoba menggoda pria itu dan telanjang bulat di depan Diaz, mungkin pria itu juga tak akan menyentuhnya. Dan kemungkinan itu juga yang membuatnya enggan mencoba. Ia tak mau harga dirinya sebagai seorang wanita di pertaruhkan jika Diaz benar-benar menolaknya.

Selama ini ia dan Diaz benar-benar hanya tinggal dalam satu kamar. Ia tidur di sofa dan Diaz di atas kasur. Privasi hanya ada di kamar mandi yang terkunci. Diaz tak pernah mengganggu privasinya. Dan ia juga tak ada niat mengganggu privasi pria itu.

"Apa kau punya buktinya?" Kinan mengangkat salah satu sudut bibirnya, "Aku belum pernah mendengar istilah kucing menolak jika di tawari. Lagipula, apa yang terjadi di atas ranjang antara aku dan Diaz, itu rahasia kami berdua."

"Aku tahu kau berbohong." Nina menekan suaranya guna mengenyahkan keraguan yang mulai merayap ke dalam hatinya. Diaz sudah berubah tak seperti yang dikenalnya. Bagaimana jika pria itu benar-benar sudah menganggap Kinan sebagai istrinya yang sebenarnya. "Selama tiga tahun pernikahan kalian, kau bahkan tak menunjukkan tanda-tanda kehamilan."

"Aahhh... Itu..." Kinan mengetuk-ngetuk kepala sebelah kanannya dengan telunjuk seakan baru teringat sesuatu. Semakin banyak bumbu ternyata semakin memuaskan hatinya. Kemudian ia sedikit membungkukkan punggungnya dan berbisik pelan,  "Kami sepakat untuk menundanya. Tapi kau jangan beritahu mama ya. Atau Diaz akan membunuhku."

Dan benar saja. Semua kebohongan itu berhasil memancing Nina hingga batas kesabaran yang dimilikinya. Wanita itu hampir saja melemparkan segelas jus jeruk yang tertata rapi di atas nampan yang siap di hidangkan jika saja ia tak mendengar langkah kaki yang berjalan mendekat ke arah mereka.

Kinan menegakkan punggungnya dengan kepuasan yang begitu sempurna memenuhi hati dan wajahnya.

"Kinan!"

Kinan menoleh ke arah pintu dapur dan mendapati Diaz berdiri di sana. Membuatnya semakin bahagia karena pria itu datang tepat pada waktunya. "Iya, sayang." ia melebih-lebihkan nada sayang yang di ucapkannya.

Diaz sedikit mengernyit dengan kata sayang yang ditambahkan Kinan. Tapi ia memilih mengabaikannya saja. "Mama mencarimu."

***

"Sayang?" Diaz menirukan kata sayang yang digunakan Kinan dengan bibir berdecak mencemooh setelah memastikan tidak ada siapa pun di ruangan itu yang mendengar mereka berdua.

Kinan hanya mengabaikan cemoohan Diaz karena dia terlalu sibuk akan kemenangannya atas Nina. Senyum lebar masih menghiasi wajah wanita itu, membuat Diaz menoleh dengan heran.

"Apa yang kau bicarakan dengan Nina sampai wajahnya semerah itu?"

Kinan menggelengkan kepalanya dan mengibaskan tangan kanannya sebagai isyarat bahwa itu tidak penting, "Bukan apa-apa!" jawabnya dengan cekikikan lirih yang di tutup telapak tangannya.

"Dan sayangnya aku tidak pernah mempercayai kata-kata apa pun yang keluar dari mulutmu, sayang."

Kinan menghentikan langkahnya dan membalik tubuhnya menghadap Diaz. Menghela nafasnya bosan. Diaz selalu saja ikut campur urusannya. "Tidak bisakah kau melihatku bersenang-senang sedikit saja?"

"Seingatku kau selalu bersenang-senang kapan pun dan di mana pun kau mau." Diaz ikut menghentikan langkahnya. Dunia Kinan adalah dunia yang penuh gemerlap lampu-lampu diskotik. Jadi tak ada alasan apa pun bagi wanita macam Kinan untuk terlihat murung. Wanita itu hanya cukup melampiaskan kesedihannya dengan alkohol. Meracau tak jelas meluapkan ketidak senangannya karena pengaruh alkohol. Dan setelah tersadar dari minuman keras, Kinan akan bangun

"Lagipula kau tak pernah peduli pada mantan sahabatmu itu. Jadi apa yang membuatmu tiba-tiba begitu peduli apa yang kulakukan pada wanita itu?"

"Aku bertanya bukan berarti aku peduli padanya? Aku hanya tak mau kau membuat kekacauan. Aku tak mau di acara ulang tahun keponakanku kau membuat keributan yang konyol."

"Tenang saja. Aku hanya berusaha agar wanita itu cepat-cepat mengemas pakaiannya dan pergi dari rumah ini sebelum dia mendepakku duluan. Apa aku salah?"

Diaz tak menjawab. Ia bukannya tak punya hati agar Nina segera pergi dari rumah ini. Tapi ia juga tak mau wanita itu tetap tinggal di rumah ini dengan harapan yang masih membara di mata mantan sahabatnya itu.

Tanpa kata lagi, Diaz melanjutkan langkahnya menuju ruang tamu. Membiarkan Kinan melakukan apa pun pada Nina. Tapi ia juga masih harus selalu waspada. Istrinya itu bisa sewaktu-waktu membuat kekacauan jika sedikit saja ia lengah mengawasi.

Dan benar saja, tak lama setelah Kinan berkumpul dengan semua anggota keluarganya. Wanita itu sudah membuat ulah dengan berpura-pura jatuh ke dalam pelukan Adam dan menumpahkan jus jeruk ke pakaian Adam yang di jahit khusus agar seragam dengan Senja dan Aidan. Membuat Adam terpaksa harus ke kamar atas dan berganti pakaian.

***

Wajah Senja berubah dingin mendapati senyum penuh godaan yang di lemparkan Kinan saat tanpa sengaja wanita itu terpeleset gaunnya yang panjang dan jatuh dalam pelukan Adam. Dan Adam dengan gerakan refleknya menolong wanita itu. Ia bisa saja tidak terbakar cemburu jika yang jatuh terpeleset itu bukan Kinan. Dan karena wanita itu adalah Kinan, sekaligus wanita yang masih saja suka menggoda suaminya sekali pun sudah punya suami sendiri.

Tanpa sadar genggaman jemari tangannya mengepal. Adegan itu begitu menarik perhatian seluruh keluarga. Dan dalam keheningan itu, untung saja Adam segera memutus kontak fisik dan mata begitu menyadari bahwa wanita yang di tolongnya adalah Kinan. Mengabaikan Kinan saat wanita itu meminta maaf dan menawarkan sapu tangan untuk membersihkan noda di kemeja suaminya.

Entah sampai kapan obsesi Kinan pada Adam akan berhenti. Terkadang ada kekhawatiran yang mengganggu yang selalu coba ia singkirkan di sudut hatinya.

Kinan dan Diaz hidup dalam satu atap. Dan ia dan Adam tak mungkin untuk tidak bertemu setiap harinya dengan mereka. Ada begitu banyak hari yang harus ia lewati dan ia tak mungkin selalu bisa menjaga suaminya dari jangkauan Kinan setiap waktunya. Hanya kepercayaannya akan cinta Adam padanyalah selama ini ia bergantung atas kesetiaan pria itu. Dan pada kesetiaan Adamlah ia berusaha mempertahankan rumah tangga mereka.

"Sayang, bisakah kau membantuku?" suara Adam menarik Senja dari lamunan. Baru tersadar kalau suaminya kini sudah berdiri di sampingnya dan menunjuk noda jeruk yang cukup besar di bagian dada dan perut.

"Ee... Ya." Senja mengangguk. Lalu menoleh mencari putranya. Aidan sedang dalam gendongan Diaz dan sepertinya tak ada tanda-tanda akan mencari dirinya dalam waktu dekat. Jadi ia membiarkan Adam mengambil pergelangan tangannya dan mengikuti langkah suaminya menaiki anak tangga menuju kamar mereka.

Pikiran Senja masih berkecamuk ketika dalam keterdiaman keduanya menaiki satu persatu anak tangga. Sampai mereka di lantai dua, wajahnya terdongak ketika jemari Adam memegang dagunya. Membawa perhatiannya sepenuhnya pada pria itu.

"Ada apa, Adam?" Senja bertanya tak mengerti. Melirik kanan kiri dan dahinya mengerut karena mereka belum sampai di kamar dan Adam menghentikan langkahnya.

Adam tak menjawab. Kedua tangannya terulur dan menangkup wajah mungil Senja dalam telapak tangannya. Lalu menarik wajah itu ke wajahnya hingga bibir mereka bersentuhan. "Aku mencintaimu." bisiknya dengan bibirnya yang masih menempel di bibir Senja sebelum melumatnya lebih lama lagi.

Senja ingin membalas pernyataan cinta itu, tapi Adam tak memberinya kesempatan sedetik pun untuk mengungkapkannya karen pria itu langsung kembali menyambar bibirnya. Melumatnya dengan sangat lembut dan penuh pemujaan. Ada cinta dan ketulusan di sana. Membuatnya menyesal ada keraguan yang pernah singgah di hatinya beberapa saat yang lalu. Ia bahkan tak peduli jika mereka tidak sedang berada di dalam kamar dan malah berdiri di ujung tangga. Yang bahkan setiap waktunya ada kemungkinan salah satu anggota keluarga memergoki mereka.

Ya, ia butuh cinta Adam untuk menenangkan hati dan pikirannya. Sudah sejauh ini mereka melangkah, seharusnya tidak ada hal apa pun yang ia takutkan.

Ia punya Adam dan Aidan. Tidak ada lagi hal yang patut di mintanya dengan semua luapan kebahagiaan yang sudah diterimanya.

Adam menarik wajahnya menjauh menyadari bahwa Senja hampir kehabisan nafasnya. Menempelkan dahinya di dahi Senja karena tak ingin berjauhan sedikit pun dari wanita itu. Wajahnya berubah cerah setelah berhasil melenyapkan wajah murung Senja dan menggantinya dengan senyuman yang begitu mengalihkannya, "Aku lebih suka melihatmu tersenyum."

Lengkungan senyum di bibir Senja semakin melebar karena ibu jari Adam menyentuh di sana. Paru-parunya masih berusaha mencari udara untuk bernafas. Tapi bahkan udaranya ada di hadapannya. Menyentuhnya. "Dan aku selalu punya alasan untuk tersenyum selama kau dan Aidan ada di sisiku."

"Kami akan selalu ada di sisimu. Kita akan berbahagia. Selamanya. Aku berjanji."

***

Adam dan Senja masih berbahagia ya?  Biasanya kalau saya baca cerita yang isinya hanya kebahagiaan, setelah baca saya pasti mikir habis ini masalah datang dech.

Tapi, di tunggu aja dulu ya. Biar saja mereka berempat bahagia dulu.

Thursday, 1 March 2018

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top