Sembilan

"Oh..."

Urata menaikkan sebelah alis, "Jadi kau percaya pada rumor itu dan merasa kasihan? Makanya kau akhirnya mau belajar padaku?"

Sakata menggeleng cepat, "Ah, bukan begitu!!"

"Lalu?"

Sakata menggaruk pipi bingung. Ah, ternyata menceritakan kejadian tempo lalu pada Urata benar-benar ide yang buruk!

Ketika sibuk memikirkan alasan, Urata sudah berbalik memunggungi.

"Aku memang mengajarimu karena amanah dari Pak T.  Tetapi aku ikhlas dan rela melakukannya, sedangkan kau? Entahlah... Setelah itu kau tiba-tiba berubah pikiran ketika mendengar rumor tentangku. Siapapun akan berpikir kalau kau akhirnya menurut karena kasihan padaku kan?"

"Aku..."

"Jangan pernah menaruh kasihan padaku," kata Urata dingin sebelum melangkahkan kakinya pergi.

Sakata membeku.

Memang benar yang dikatakan Urata. Ia menurut karena kasihan padanya. Sakata memang tak bisa tega terhadap orang-orang dengan latar keluarga buruk.

Karena Sakata sangat menyayangi apa yang disebutnya sebagai keluarga.

Dan ia sangat paham bagaimana sedih dan sesaknya jika keluarga sedang dalam masalah.

Sakata melangkah, mencoba mendekat, "Urata-san, aku-"

Tiba-tiba Senra mendekat, menghalangi jarak Sakata yang mencoba mengejar Urata.

Manik madu milik Senra berkilat tajam. Tatapannya itu benar-benar terasa mematikan. Bila tatapan itu adalah pisau, Sakata pasti sudah mati.

"Ura-chan itu orang yang rapuh," kata Senra dengan suara dingin.

"Jangan mendekatinya lagi."

***

YOU LOSE!!!

Kalimat yang terpampang di monitor video game membuat Sakata menghembuskan nafas kencang. Diletakkannya joy stick dengan kasar sebelum merebahkan diri ke kasur.

"Ura-chan itu rapuh."

Masa sih?

Perasaan orangnya galak deh. Kalau lagi ngomel apalagi. Omongannya tajam setajam silet.

Sakata mengusap wajahnya dengan kasar.

Oh, kenapa Sakata merasa bersalah sekarang?

Karma akibat membohongi Pak T tadi pas pulang sekolah?

"Sepertinya aku harus minta maaf padanya besok..." gumam Sakata pada dirinya sendiri. Tiba-tiba pintu kamarnya diketuk.

"Siapa?"

"Tuan Muda Akira, Tuan Besar memanggil untuk makan malam," panggil seorang pelayan di depan pintu kamar Sakata.

Sakata menggaruk kepalanya yang tidak gatal kemudian beranjak keluar ke ruang makan.

Sesampainya di sana, didapatinya sosok pria kepala empat dengan rambut merah. Wajahnya nampak ramah bersahabat.

"Akira, ayo kita makan malam! Ayah membuat kare!" ucap pria itu dengan nada bangga. Ya, pria itu adalah ayah Sakata. Beliau sepertinya baru pulang dari rapat besar dengan... entahlah...

Tak seperti konglomerat atau pengusaha kebanyakan, ayah Sakata memang ramah dan bersahabat pada siapapun. Ia juga seorang yang bebas, tak banyak menuntut.

Tetapi...

"Kare apa?" timpal Sakata bersemangat. Sedikit melupakan beban pikirannya tadi.

"Kare ubi manis!!"

"Rasanya nggak aneh kan?" Sakata mendadak ragu ketika melihat kare yang dibuat ayahnya berwarna ungu gelap.

Ayah menggeleng-geleng, "Itu resep dari temen ayah. Enak kok! Warnanya memang ungu karena terbuat dari ubi ungu."

Sakata mengambil sendok dan mencicipi kare ungu itu langsung dari panci. Rasanya lumayan enak dan sedikit manis.

"Enak!"

"Hahaha! Bener kan? Ayo kita makan!" Ayah beranjak menuju lemari dan mengambil piring. Beliau pun menata piring-piring tersebut di atas meja.

"Ini piring Akira, ini piring ayah~" Ayah menata piring-piring tersebut sembari bersenandung.

"Dan ini piring buat ibu," ayah meletakkan piring ketiga dengan hati-hati.

Sakata terdiam membisu melihat ayahnya dengan riang menyiapkan piring untuk ibu.

"Anu, ayah..."

"Ya?"

Ibu sudah tidak ada...

Sakata ingin mengucapkan kalimat itu. Meneriakkannya di depan kuping ayahnya kalau bisa. Tetapi...

"Kenapa, Sakata? Oh... Ibu belum pulang dari Okinawa. Kelihatannya dia sedang sibuk sekali. Kenapa? Kau rindu padanya, ya? Percayalah, Ibu juga pasti rindu berat padamu!" Ayah mengacak-acak surai merah putranya.

Sakata menggigit bibir, berusaha menahan emosi. Emosinya serasa ingin meledak jika melihat ayahnya seperti ini.

"Nah, ayo duduk!" ajak Ayah.

"Baik," Sakata memaksakan diri tersenyum. Pemuda itu pun duduk manis menunggu sang ayah menghidangkan makanan.

"Ayah, soal ibu..."

"Ibu pasti rindu juga padamu. Tak usah khawatir!"

Sakata mengepalkan tangan, "Tetapi ayah harus sadar! Ibu sudah-"

"AKIRA!"teriakan Ayah membuat Sakata tersentak kaget, "Habiskan makananmu. Tidak usah membahas soal Ibu lagi. Ayah yakin, dia pasti akan pulang sebentar lagi."

Sakata hanya bisa terdiam sebelum akhirnya mengangguk patuh.

Ayah sudah seperti ini sejak dua tahun yang lalu. Sejak kabar kecelakaan maut menimpa pesawat yang ditumpangi ibu.

Ibu tak kan pernah pulang lagi, Ayah...
lirih Sakata dalam hati.

***

Drt... Drt...

Urata melirik hapenya yang bergetar. Pemuda mungil itu hendak meraih hapenya, tetapi kemudian ia menggeleng keras.

"Besok try out... Jangan ambil hape
.. nanti khilaf..."

Urata kembali memfokuskan diri pada buku latihan soal-soal miliknya.

Drt... Drt...

"Ah, siapa sih?!"

Urata pun membuka hapenya dan mendapati pesan dari telk*msel.

"Mau dapat paket internet murah?"

Kampret... :)

Urata menutup kembali hapenya sembari mendengus kesal. Kirain siapa...

PRANG!!

Urata sedikit terkejut ketika mendengar suara barang pecah dari lantai bawah.

"KENAPA JAM SEKARANG BARU PULANG?!"

"KAU TAHU APA?!"

Urata meraih headset, lalu memutar volume musik keras-keras agar suara pertikaian orangtuanya di lantai bawah tak lagi terdengar.










Kembali menjadi anak baik yang pura-pura tidak tahu segalanya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top