5. Surprised



Anthoni memang langsung mendatangi rumah teman bokapnya Firman. Dan demi apa? Rumah teman bokapnya Firman gedhe banget. Guedhe lah kalau Anthoni mau berlebai ria. Bangunan tiga tingkat, dengan pilar-pilar menjulang tinggi. Halaman yang luas. Taman depan rumah yang wow banget. Berbagai macam tumbuhan ada di sana. Bahkan, sakura yang asli Jepang pun ada.

Saat Anthoni memasuki terasnya, Anthoni bagaikan orang udik yang mau minta sumbangan. Pintu berpelitur cantik yang tinggi menjulang itu seakan-akan hendak menelan Anthoni bulat-bulat. Anthoni yang kecil, jadi terlihat semakin mungil aja.

Anthoni mengetuk. Tiga ketukan. Saat pintu dibuka, Anthoni meneguk ludanya susah payah. Gaydarnya langsung menyala bling-bling. Dia terpukau. Terpesona. Terharu. Ter ... pokoknya ter yang intinya Anthoni hatinya tertawan untuk kali pertamanya.

Di sana, yang membukakan pintu buat Anthoni, sosok laki-laki tinggi berdiri menjulang. Dia mengenakan pakaian kantor, dengan tiga kancing bagian atas terbuka. Dan menampakkan dada berbulunya yang langsung menggiurkan Anthoni.

Laki-laki tersebut berwajah tegas. Memiliki rambut kelimis. Rahang kokoh. Dan jambang menggoda birahi. Anthoni yes lah ama dia. Benar-benar menggiurkan. Dadanya bidang. Lengannya yang terbalut kemeja slimfit terlihat berotot. Ya Tuhan, buatlah dia gay. Ah baru juga mau melamar kerja Anthoni udah melantur aja.

Laki-laki tadi mempersilakan Anthoni masuk. Dan Anthoni dibuat takjub dengan interior rumah ini. Segala macam perabotan lux bertebaran di sana-sini. Lampu kristal elegan yang tergantung angkuh di langit-langit. Guci sebesar tiga kali tubuh Anthoni berdiri tegap di sudut-sudut ruang. Bunga-bunga terbuat dari kaca. Televisi LCD puluhan inchi. Dan masih banyak lagi, yang membuat Anthoni seolah terkubur di antara perabotan mewah tersebut. Pokoknya, Anthoni terlihat semakin udik aja, di dalam rumah ini.

"Jadi Adek yang bernama Anthoni?" suara maskulin lelaki itu menyentuh titik sensitif Anthoni.

Setelah dipersilakan duduk, Anthoni tersenyum. Mengangguk malu-malu. Merepet pada punggung sofa. Kedua tangannya saling meremas. Dua jempol kakinya bergoyang tidak bisa diam.

"Memang SMP kelas berapa? Yang bakal Adek ajarin nanti kakak-kakak yang udah kelas tiga SMA, lho. Om bukannya mau menjatuhkan mental adek. Om Cuma mau memperingatkan aja."

Kedua cuping telinga Anthoni berdiri tegak. Apa katanya tadi? Kayak ada yang menyebut-nyebut SMP? Sebelah alis Anthoni terangkat.

"Maaf mas, eh Om. Tadi bilang apa?"

"Yang mana?"

"Yang barusan."

"Om Cuma mau memperingatkan aja?" si Om cakep balik bertanya. Uh, lucunya. Anthoni gemes nih ama tipe-tipe cowo kayak dia.

"Yang sebelum itu mas eh Om," ya ampun lidah Anthoni, gak bisa deh bersatu dengan yang ingin dia ucapkan. Tapi ... lelaki itu memang tak pantas sih dipanggil Om. Masih muda. Masih menawan. Masih menggiurkan. Masih―

"Adek masih SMP kelas berapa?"

Nah itu ... itu dia. Sangat menyengat dan melukai harga diri Anthoni. Es-Em-Pe? Separah itu kah? Kemarin dikatai anak SD bahkan―dada Anthoni bergemuruh mengingatnya―masih playgroup. Benar-benar keterlaluan.

Saya sudah kuliah Om-Om bertampang Mas-mas. Di KTP, usia saya dua puluh tiga tahun. Dan dikau dengan seenak udelnya mengatai saya masih SMP? Kedua alis Anthoni bertemu. Mendelik menggemaskan. Kemudian berseru gusar dalam hati, penghinaan!

"Maaf," Anthoni nyengir tak suka. Memutar mata. Mencebikkan bibir. Membuat Om eh Mas, maksudnya Om itu tergelak melihat ekspresi Anthoni. "Saya sudah kuliah, Om."

Giliran si Om sexy terkejut. Membulatkan mata tak percaya. Berdehem untuk mengurai kesalahannya beberapa detik lalu yang sangat menyengat hati Anthoni. Anthoni kan udah dewasa. Udah terbiasa onani. Udah sering melamunkan anu-nya Arial semenjak insiden lepas handuk kemarin. Enak aja dikatai MASIH SMP.

"Maaf, Om kira kamu masih―"

"Nggak apa-apa kok, Om," Anthoni menukas, sebelum kata menyakitkan itu kembali dia dengar. Anthoni menegakkan punggung. "Saya sudah terbiasa," gigi kelincinya terpampang ketika dia tertawa kecil. "Jadi adik Om yang akan Anthoni ajari?"

"Adik?" si Om terbengong. "Saya anak tunggal, Dek."

"Eoh ... lantas siapa yang mau Anthoni ajarin, Om?"

Om malah tertawa. Gelaknya membangkitkan birahi Anthoni. "Sebelumnya perkenalakan dulu, nama saya Patrcik. Kamu cukup panggil saya Om Patrick. Anak yang akan kamu ajari nanti adalah anak Om."

Anak? Motherfucker? Dia usia berapa sih udah main punya anak aja? Too muda gitu? Masih sangat ranum gitu? Kalau mangga namanya matang suluhan. Matang di pohonnya. Rasanya lebih manis. Lebih menggigit. Ya ampun, manusia adonis itu beneran udah punya anak? Anthoni nggak percaya.

"Kenapa? Om belum pantes ya punya anak?"

Belum pantes? Sangat nggak pantas Om. Anthoni menggulung ludahnya. Tertawa garing. Menggaruk tengkuk. Kemudian memilin ujung kemejanya gugup.

"Pantas kok, Om." Anthoni salah tingkah. "Pantas banget."

Om Patrick ketawa lagi. Lebih besar. Lebih membikin merinding dan anu Anthoni perlahan bangun dari hibernasi. Ah tutup tawamu, Om. Saya bisa klimaks di sini.

"Anak Om kelas tiga SMA."

Oh―Anthoni manggut-manggut mengerti.

"Tapi dia sudah berusia dua puluh dua tahun."

Anthoni terkejut. Sangat. Rahangnya terjatuh lebar. Apa dia bilang? Dua puluh dua tahun dan masih SMA? Wow....

"Sejak kelas tiga, dia nggak pernah serius belajar. Kerjanya main terus. Keluyuran terus. Tawuran terus. Om pusing mikirin dia. Dia nggak mau lulus sekolah. Terlalu bodoh dan dungu mungkin. Berkali-kali Om mendatangkan guru les privat, tapi mereka semua nggak tahan dengan sikap anak Om. Dia sangat berandalan."

Tegukan ludah Anthoni menanggapi dalam bisunya. Dia mengelap keringat yang tiba-tiba berluncuran di pelipis. Anthoni takut. Mau mundur aja. Jika banyak guru privat nggak tahan dengan sikapnya, apalagi dia yang masih tercatat sebagai mahasiswa? Ah, seharusnya tadi malam dia menuruti perkataan Firman untuk nggak mengambil pekerjaan ini. Sekarang dia menyesal. Mau mengundurkan diri aja.

"Kalau Adik berhasil membawa semangat belajar anak Om. Dan membuat dia lulus sekolah. Om gaji kamu satu milyar."

What? Berapa tadi? Sa-satu apa? sa-satu apa? Rahang Anthoni terbuka lebar.

"Berapa, Om?"

"Satu milyar. Kurang?"

Kurang? Satu milyar dianggap kurang? Anthoni mengelap keringat. Ada apa dengan orang-orang kaya ini? Menghamburkan uang satu milyar hanya demi kelulusan anaknya? Dunia sudah kiamat. Suara hati Anthoni bermonolog sendiri.

Om Patrick masih menatapnya lembut. Mata cokelatnya menyiratkan sebuah pengharapan. Dia tersenyum. Sebuah senyum persuasi untuk membujuk pemuda kecil kampungan tersebut supaya mau menerima pekerjaan ini.

"Jadi bagaimana? Apakah masih kurang?" Om Patrick menuntut. Menyilangkan kaki. Sebelah tangannya bertumpu di atas lutut. Sebelah lagi mengusap dagu berjambang.

Tegukan ludah kedua sebagai jawaban kebisuan Anthoni. Dia nyengir. Kurang? Satu milyar terlalu berlebihan, Om!

"Cukup kok, Om. Cukup. Kapan saya bisa memulai pekerjaan saya?"

Si Om menawan masih tersenyum. Menjabat tangan Anthoni. Mengedipkan sebelah mata. Kemudian dia mulai menjabarkan masalah kontrak kerja dan segala tetek bengeknya kepada Anthoni. Lalu, setelah melakukan tanda tangan kontrak beserta butir-butir yang harus dilaksanakan Anthoni dan yang dilarang buat Anthoni, dia berkata, "Sekarang!"

Dan di sinilah Anthoni berada. Berdiri di depan kamar di lantai tiga. Kamar tersebut entah kenapa membawa hawa buruk buat Anthoni. Perjanjian udah disepakati. Tanda tangan kontrak pun udah dijalani. Akan sangat kepalang tanggung buat mundur sekarang.

Anthoni mengusap muka frustasi. Mengangkat tangan gemetar. Mengetuk pintu ketakutan. Satu ketukan ... dua ketukan ... tiga ketukan ... Anthoni semakin berkeringat dingin. Tak ada tanda-tanda penghuni kamar mau membukakan pintu buat Anthoni.

Lima menit tak ada tanggapan. Anthoni mengetuk lagi. Enam kali ketukan. Namun, pintu tetap bergeming. Ketika Anthoni mengetuk untuk yang kesekian puluh ketukan dan pintu tak kunjung dibuka, Anthoni berinisiatif untuk membukanya sendiri. Perlahan-lahan dia pegang kenopnya. Gemetar dia memutarnya. Terdengar bunyi klik pelan dari sana. Anthoni mendorong halus ke dalam. dan—

Astaghfirullahaladzim...

Innalillah....

Pemandangan mengejutkan membelai bulu mata lentik Anthoni. Dua orang cucu Adam ada di sana. Bugil semua. Kuda-kudaan. Eh bukan ... posisinya bikin perut Anthoni mual. Si cowo telentang. Dan si cewe yang miknya menggelendot gedhe itu sedang mengenyot anu-nya si cowo.

Berita yang jauh lebih mengerikan lagi, laki-laki yang sedang dioral itu ....

Astaghfirullah ....

Subhanallah ....

Dia kan anak SMA yang kemarin sore memberantakkan seluruh kepingan DVD Anthoni dan membuatnya dipecat Mas Charli? Ngapain dia di sini? Dia ... ngapain di sini?

Lalu Anthoni meninggal.

.

.

.

.

.

.

Hallo saya dan ChristianJCB balik lagi.

Vote, comment, kritik, saran, kami terima selalu. Terima kasih.... :)

Salam kami

Malagoar & ChristianJCB

c u 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top