31. The Last Togetherness

Saya dedikasikan kepada partner saya yang baru pulang berlibur ChristianJCB, oleh-olehnya saya tunggu lho.

Yuhuuuu satu bab lagi tamat. Nggak nyangkaaaaa......

Selamat menikmati

Salam kami

Malagoar & 





Anthoni sudah bersiap dengan kaus Keroppinya yang berwarna biru terang. Oreo juga udah siap di samping Anthoni. Memakai topi rajut kecil yang dibelikan Deden sebagai ungkapan permintamaafan karena udah pernah mengurung Oreo di dalam tas carrier. Hari ini katanya Theo mau mengajak Anthoni pergi ke tempat spesial. Anthoni berdebar jadinya. Sejak subuh pukul setengah lima tadi, Anthoni ama Oreo udah bersiap-siap. Mandi bareng. Saling gosok punggung. Sampai sikat gigi bareng. Arial tetap setia menemani Anthoni di ambang pintu. Sekarang pukul delapan pagi, sebentar lagi Theo datang menjemput.

"Ial, kok perasaanku nggak enak, ya?" Anthoni mengayun-ayunkan kedua kakinya. Ia juga memakai topi rajut kembaran sama Oreo.

"Nggak enak kenapa?" Arial mengernyitkan kening. Menatap Anthoni. Ia menyandarkan tubuh pada pintu.

"Kok aku memiliki firasat kalau ini adalah pertemuan terakhirku dengan Theo, ya?" Anthoni berpaling kepada Arial. Mimik mukanya terlihat sedih. "Aku nggak mau berpisah dengan Theo, Ial. Aku nggak bisa."

Raut wajah Arial berubah pias seketika. Manik matanya berotasi nggak tenang. Ia terlihat menyembunyikan sesuatu. Tapi sebisa mungkin untuk nggak memperlihatkannya di depan Anthoni.

"Itu ... mungkin Cuma firasat lo aja, An," Arial mencoba menenangkan, walaupun suaranya terdengar gamang. "Lo tenang aja, Theo nggak mungkin ninggalin lo, kok," jelas itu bukanlah sebuah kejujuran yang sering dilontarkan mulut Arial.

Arial selalu jujur kepada Anthoni, jadi Anthoni tahu mana masa-masa Arial berbohong kepadanya. Mana kala-kala Arial jujur kepadanya. Anthoni melihat gelagat nggak jujur itu dari ucapan Arial barusan. Mata hitamnya menyelidik. Berpijar menelisik.

"Kamu bohong ya, Ial."

Dan pemuda atletis tersebut langsung berjengit. Terkejut. Manik matanya semakin kebingungan bermanuver di dinding-dinding sklera.

"Gue ... gu ... gue....."

Belum sempat Arial menjawab, suara motor bebek Theo terdengar berhenti di depan kosan Anthoni. Theo membunyikan klakson. Anthoni langsung berdiri. Mengangkut Oreo yang terlihat menguap. Dan meninggalkan Arial yang langsung merasa terbebas dari jeratan pertanyaan Anthoni.

"Theo, apa aku terlihat ganteng hari ini?" menanyakan dirinya ganteng apa enggak kepada Arial adalah kesia-siaan. Makanya, sedari tadi, Anthoni nggak meminta pendapat Arial tentang penampilannya. Anthoni nggak mau mendengar jawaban kata manis, lucu, imut itu kembali keluar dari bibir Arial.

Oreo yang ada di gendongan Anthoni menggeleng-geleng tegas di depan Theo. Berharap Bapaknya itu menjawab 'nggak' untuk pertanyaan nggak masuk akal yang dilontarkan Anthoni. Tetapi rupanya hal tersebut nggak terjadi. Theo mengusap kepala Anthoni. Tersenyum tampan setelahnya. Kemudian menjawab;

"Kamu selalu terlihat tampan di mataku, An," ah, teruna bertubuh kerdil itu merona seketika dibuatnya.

Anthoni mesem. Duduk di jok penumpang setelah ia mendudukkan Oreo di dalam keranjang singgasananya.

"Hari ini kita mau kemana, Theo?" Anthoni berteriak di balik punggung Theo ketika Theo udah mulai mengendarai sepeda motornya.

Theo meneriakkan kata rahasia dan nggak menggubris perkataan Anthoni lebih jauh lagi. Kemudian ia baru berhenti di depan toko DVD tempat Anthoni dulu bekerja kepada Mas Charli. Theo menggendong Oreo. Membantu Anthoni melepaskan helmnya. Dan menggandeng Anthoni untuk masuk ke sana.

"Kok kita malah ke toko DVDnya Mas Charli, sih, Theo?" Anthoni bingung. Wajar. Karena semenjak kejadian ia dipecat Mas Charli, Anthoni sama sekali nggak pernah menginjakkan kaki ke sana. Dan sekarang, setelah sekian lama, rasanya canggung aja ketika ia tetiba harus bertegur sapa dengan Mas Charli.

"Kamu lupa, ya, An, kalau kita pertama kali bertemu di sini?"

Lupa? Jelaslah Anthoni nggak akan pernah melupakan hal itu selamanya. Kan, hari itu adalah hari titik balik kehidupan statisnya selama ini. Hari untuk pertama kali bertemu dengan orang paling menyebalkan sekaligus orang paling berarti dan berharga buat Anthoni.

"Aku nggak akan pernah melupakan hari itu lah, Theo?" begitu si kecil bersuara. Tersenyum tipis di sudut bibirnya. Anthoni mengedarkan pandangannya. Iris hitamnya memindai kepingan-kepingan DVD yang tersusun rapi di rak-raknya. Sama sekali nggak ada yang berubah dari sejak terakhir kali Anthoni meninggalkannya.

Anthoni menghampiri mesin kasir. Menyentuh benda besi tersebut yang terasa dingin di permukaan kulitnya. Lalu, semuanya berjalan begitu aja di depan Anthoni. Kenangan-kenangan masa lalunya. Hari pertama diterima kerja ama Mas Charli. Hari pertama menerima gaji dari Mas Charli. Kesibukan-kesibukannya. Bertegur sapa dengan para pelanggan. Dan puncaknya ... adalah hari pertama kali bertemu dengan seorang cowo.

Cowo SMA tengil yang main memberantakkan kepingan-kepingan DVD-nya. Yang lari dari tanggung jawab membenarkan DVD-DVD yang telah ia berantakkan. Cowo yang telah mendorongnya. Cowo yang sangat menyebalkan. Tapi ... cowo yang memberikan pengaruh luar biasa hebat pada hidup Anthoni.

Cowo tersebut ....

Theo ....

Dan ia sekarang berjalan menelusuri lorong rak DVD yang dulu ia rusak tatanan kepingan-kepingannya. Oreo udah ia lepaskan. Dan sekarang sedang berlari-lari di dalam toko DVD tersebut.

"Theo...," Anthoni tersadar akan satu hal. "Kok, toko DVDnya sepi bang―"

BRAAAK!

Belum sempat Anthoni menyelesaikan kalimatnya, tetiba aja Theo menghancurkan tatanan kepingan-kepingan DVD yang udah tersusun rapi di salah satu rak. Anthoni terkejut. Buru-buru mendekati Theo. Mencekal lengannya.

"Theo, kok kamu main berantakin susunan DVD-DVD-nya, sih?" Anthoni ketakutan. Melirik kiri-kanan. Cemas jika Mas Charli datang dan memarahi mereka.

"Kamu tenang aja, An," Theo berujar santai. Bertolak pinggang. Gayanya songong seperti pertama kali menapakkan kaki di toko ini dan berjumpa dengan Anthoni.

"Tenang bagaimana, sih, Theo. Nanti kalau ketahuan Mas Charli, kita bisa dimarah-marahin. Ayo buruan kita bereskan!" Anthoni semakin was-was. Cepat-cepat berjongkok untuk membereskan kepingan DVD tersebut ketika tangan Theo udah terlebih dulu mencegah kedua pundaknya.

"Aku udah menyewa toko DVD ini seharian, An. Jadi satu hari ini toko DVD milik Mas Charli khusus dimasuki ama kita. Nggak akan ada pembeli lain. Nggak akan ada Mas Charli. Aku udah membayar mahal untuk ini."

Anthoni mengernyit. "Kenapa emangnya?" tanyanya bingung.

"Karena aku ingin mengenang semuanya, An. Aku ingin hari ini kita memeragakan pertemuan pertama kita. Aku ingin kamu memarahiku sebagaimana kamu memarahiku dulu karena telah memberantakkan kepingan-kepingan DVD ini. Aku ingin, hari pertama kita bertemu dulu, kita ulangi lagi sekarang."

"Emang kenapa?" Anthoni masih bingung dengan keinginan Theo yang nggak masuk akal menurutnya. "Kenapa harus mengenang?"

"Aku nggak ingin masa-masa itu hilang, An?"

"Kenapa bisa sampai hilang jika hari itu bukannya hari yang paling berarti buat kita?"

"Aku ingin menjadikan hari ini sebagai hari pertama kali kita bertemu, An. Aku ingin mengenang semuanya. Sekecil apa pun detil itu."

"Theo," Anthoni menyebut tegas. "Kenapa kamu mesti mengenang semuanya jika setiap hari kita bisa bertemu!"

Theo bungkam dengan pertanyaan Anthoni barusan. Ia nggak tahu harus menjawab apa. Besok ia harus berangkat ke Amerika. Namun, sampai detik ini, Theo belum siap mengutarakan maksud hatinya. Theo bingung. Sementara manik mata Anthoni terus menelisik kejujuran di balik iris cokelat pinus tersebut. Hari ini Theo emang memiliki niat untuk jujur, tapi nggak sekarang.

Theo menggigit bibir bawah. Melirik Anthoni dan rak DVD di belakangnya. Lalu, karena Theo bingung dengan pertanyaan Anthoni barusan, sekali lagi, Theo menjatuhkan kepingan-kepingan DVD di belakang tubuh Anthoni.

Cowo kerdil tersebut terkejut. Membeliak. Menggeram sebal. Ia memukul lengan Theo. Memerintahkannya untuk merapikan segera DVD-DVD tersebut. Tetapi Theo bergeming. Menggeleng. Sebagai gantinya, Theo malah berjalan ke arah pemutar DVD. Menyetel lagu Kesempurnaan Cinta miliki Risky Febrian. Persis sama dengan saat pertama kali mereka bertemu.

"Theo beresin semua DVD ini?" Anthoni mendelik. Sekali lagi, Theo menggeleng. Tegas. Nggak terbantah.

"Nggak akan! Aku nggak mau diperintah ama anak TK!"

Jadi intinya Theo tetap mau dengan keinginan anehnya mengulang kejadian masa silam? Anthoni manggut-manggut. Theo berpura-pura keluar tergesa dari toko DVD, dan Anthoni segera mengejarnya. Menggamit lengan Theo. Menariknya paksa.

"Dasar anak SMA udah tua, beresin apa yang udah kamu mulai." Anthoni menggeram. Kesusahan menarik tubuh Theo. Sementara si pemilik tubuh Cuma mengedikkan kedua alisnya. Menatap Anthoni remeh. Menjatuhkan mental pemuda bertubuh bogel itu dalam sekali tatap.

"Lo ...," Theo benar-benar serius dengan skenarionya. "Anak SD nggak usah banyak bicara!"

Ekspresi yang ditunjukkan Anthoni pun mirip beberapa bulan yang lalu. Pura-pura terluka. Pura-pura nggak terima dikatai anak SD. Ia manyalak dengan kekuatan medusa.

"AKU BUKAN ANAK SD!" Anthoni patut diberi piala Oscar untuk aktingnya barusan. Teriakannya benar-benar mencerminkan sebagai orang yang terluka karena udah dikatai dengan sesuatu yang menyakiti hati.

Theo keluar toko, namun sebelum mencapai pintu, Anthoni udah terlebih dulu mencekal lengannya kembali. Menariknya lebih kuat, alhasil, Theo yang tak menyangka akan ditarik kuat ama Anthoni, kehilangan keseimbangan tubuhnya. Ia terguling ke depan. Menimpa tubuh Anthoni. Lalu keduanya jatuh berdebam ke lantai.

"Awww...!" Anthoni meringis di bawah tindihan tubuh Theo. Namun seketika ia bungkam ketika Theo malah menatapnya intens. "Theo...," Anthoni terbata. Mata hitamnya menatap lurus iris pinus di hadapannya.

Tak lebih dari lima sentimeter jaraknya dengan Anthoni, Theo bisa merasakan napas Anthoni menerpa kulit wajahnya. Ia lihat terus wajah manis di bawahnya itu dengan segenap gemuruh perasaan yang mengganyang hatinya. Perasaan ingin memiliki, perasaan ingin melindungi, ingin mendekap, ingin terus ada di sampingnya, bergelora luar biasa. Mencengkeram ulu hati. Mengaduk segala gundah dari kenyataan yang pahit ... bahwa besok ... besok ... ya Tuhan, kenapa mengucapkan kata perpisahan rasanya sungguh menyakitkan seperti ini.

"An...," Theo menopang tubuhnya dengan kedua tangannya, supaya ia nggak menghimpit tubuh Anthoni.

Anthoni meneguk ludah susah payah. Ia mengangguk sebagai tanda mendengarkan.

"Kamu tahu nggak sih, kehadiranmu dalam hidupku itu, berakibat luar biasa banget?"

Suara Theo yang besar merambat di kulit wajah Anthoni. Aroma napas cokelat caramelnya menelusuri pipi-pipi Anthoni. Menyentuh titik saraf sensitif teruna kecil tersebut.

"Aku yang dulu masa bodoh dengan orang, sekarang memiliki kamu yang aku pikirkan dua puluh empat jam."

Kedua tangan Anthoni mencekal kemeja Theo. Jantungnya berdegup luar biasa. Keringat dingin merembes dari pori-porinya.

"Aku yang dulu nggak akan peka dengan orang, sekarang memiliki kamu yang ingin aku bahagiakan."

Tegukan saliva Anthoni yang kesekian, mencoba menggulung gugupnya. Jantungnya berdebar. Di perutnya, terasa ratusan kupu-kupu saling berterbangan. Campur jadi satu dengan Domar dan Albi.

"Aku yang dulu nggak peduli dengan keselamatan orang, sekarang memiliki kamu yang ingin aku jaga siang dan malam."

Anthoni menggigit bibir bawah. Kalimat-kalimat Theo sungguh sangat menyentuh. Theo sangat berarti buatnya. Begitu pula sebaliknya. Dirinya sangat berarti buat Theo. Betapa Anthoni ingin memeluk tubuh di atasnya itu. Ingin meneriakkan kepada dunia jika ia sangat bahagia memiliki Theo. Persetan dengan keinginan Bapak dan Ibu yang ingin mengajaknya pulang kampung, bersama Theo, Anthoni serasa bisa melewati masa-masa sulit itu.

"Aku yang dulu sangat dingin, sekarang memiliki kamu yang ingin aku dekap sepanjang hari."

Anthoni berkedip, dan air mata itu tetiba hempas dari sana. Anthoni sangat bahagia. Anthoni sangat bahagia.

"An, aku nggak tahu deh apa itu cinta," jeda tiga detik, Theo menggunakannya untuk menyancang kelereng hitam di bawahnya lebih dalam. "Tapi jika cinta itu berdebar-debar jika lihat orang yang ada di depannya seperti ini. Jika cinta itu, memberikan yang terbaik buat orang yang ada di depan aku seperti saat ini. Jika cinta itu, nggak mengharapkan imbalan seperti yang sedang aku rasakan seperti saat ini. Itu artinya aku sedang jatuh cinta, An. Aku jatuh cinta."

Berkedip lagi. Lelehan-lelehan air mata Anthoni kian banyak.

"Aku jatuh cinta, An."

....

"Aku benar-benar jatuh cinta, sampai aku nggak tahu harus kuapakan perasaan ini."

....

"Aku sangat bahagia, An."

....

"Aku jatuh cinta sama kamu, An. Sama kamu. Kamu mau jadi pacar aku?"

Dan semuanya berlangsung begitu aja. Ketika Theo menunduk, menyentuh ujung hidung Anthoni dengan ujung hidungnya. Sebuah romansa dari kisah percintaan dua pemuda dua puluh tiga tahun tersebut terjalin dengan sendirinya. Memancarkan keikhlasan sebuah hubungan dua anak Adam. Kesederhanaan dari sebuah jalinan dua orang manusia.

Theo meraba bibir Anthoni dengan bibirnya. Berbisik cinta di sana. Menyentuh sepasang daging rapuh itu dengan keteguhan yang ia miliki. Ia kulum bibir Anthoni. Penuh dengan kehati-hatian. Perasaan. Sangat lembut seolah takut, jika ia bertindak kasar di sana, pemilik bibir itu akan mengaduh. Akan merintih.

Suara kecipak dari talinan saliva Anthoni dan Theo membentur dinding-dinding toko. Lidah Theo berdzikir di liang mulut Anthoni. Bertemu bijak di dalam sana. Yang dilakukan Anthoni hanya bisa pasrah. Menerima tanpa beban. Bertekuk lutut dengan lidah Theo. Tangannya merangkum anak-anak rambut belakang kepala Theo. Menariknya mendekat. memperdalam jalinan kisah keduanya.

Anthoni bahagia.

Dalam cium tersebut ia menangis.

Apa yang ia miliki sudah cukup.

Ada dirinya ... ada Theo ... dan ada ....

Cinta mereka ....

Beranjak malam, Theo mengajak Anthoni pulang. Oreo udah tertidur di keranjang. Ketika Anthoni mengangkat tubuh Oreo dalam pelukan, dan bersiap untuk masuk kos, Theo memegang lengannya. Membuatnya kembali berbalik menghadapi Theo.

Ini saatnya ....

Ini saatnya ....

"An, ada yang ingin aku bicarakan...."

"Ya, Theo," suara itu sangat antusias. Penuh cinta. Penuh harapan. Penuh semangat.

Theo menahan napas. Mendadak dadanya bergemuruh. Lidahnya kelu. Kalimat perpisahan itu tercekat di tenggorokan. Takut untuk dikeluarkan.

"Apa, Theo?" apalagi ditambah dengan senyum Anthoni yang sangat ranum. Tega Theo meninggalkannya? Tega ia melepaskannya? Namun Theo bisa apa?

"Aku ...."

Nyatanya, Theo nggak sanggup. Namun ia bisa apa?

"Ya, Theo ada apa?"

Apa yang akan ia bicarakan? Menggunakan bahasa apa supaya pemuda yang sangat ia cintai tersebut nggak terluka dengan pernyataannya?

"Aku ...."

"Kamu kenapa, Theo?" kamu lihat Theo, kelereng hitam itu berkejora malam ini. Penuh cinta di dalam sana. Sanggupkah kau menyakitinya? Sanggupkah kau tawan kebahagiaan itu dengan racunmu?

"Aku ...."

"Ya ...."

Tapi kalau nggak sekarang kapan lagi? Sekarang adalah waktunya. Sekarang adalah saatnya.

"Aku ...."

"Kamu kenapa, Theo? Bicara aja yang jelas, siapa tahu ak―"

"Aku besok pergi, An."

Anthoni bungkam seketika. "Maksudnya?"

"Aku besok pergi untuk melanjutkan sekolahku, An."

"Bagus dong. Kan, kamu udah berjanji mau membawakan juara utama buatku. Aku janji deh bakal kasih kamu les privat lagi. kali ini gratis. Aku nggak akan menarik tarif."

"Tapi aku besok pergi, An."

"Iya aku tahu, kamu kan harus sekolah. Semangat, ya, Theo, semoga kam―"

"Aku besok pergi ke Amerika, An. Amerika. Papa menyuruhku melanjutkan sekolah di sana!"

Anthoni kehabisan kata-kata sekarang. Pemuda mini tersebut terkejut luar biasa. Tubuhnya menegang di tempat. "Apah...," ia bersuara lirih. Berharap apa yang ia dengar hanyalah kesalahan.

"Aku besok berangkat ke Amerika, An."

"Amerika...," siapa pun pasti tahu, lirih suara itu menahan gemuruh luar biasa dahsyat yang Anthoni coba tangguhkan. "Tapi...."

"Papa memaksaku untuk sekolah di sana, An. Aku sebenarnya nggak mau, tapi aku nggak bisa berbuat apa-apa selain menuruti keingan Papa."

Anthoni membungkam mulutnya. Menggeleng tak percaya. Air matanya kembali terjatuh. Lebih deras. Membasahi pipinya. "Tapi kamu janji nggak akan ninggalin aku, Theo."

"Aku pasti kembali, An. Sekadar menuntaskan pendidikan aja. Nggak lebih dari satu musim. Aku pasti kembali."

"Kamu udah janji nggak akan ninggalin aku, Theo," Anthoni menarik ujung kemeja Theo. Meminta janji yang udah diikrarkan Theo.

"Papa ingin aku fokus dengan pendidikanku, An."

"Theo, bagaimana dengan aku ... aku baru aja bahagia. Aku baru aja mendengar cinta paling aku tunggu dalam hidupku. Aku nggak mau, Theo. Aku nggak mau ditinggal. Aku nggak bisa ditinggalin Theo. Aku nggak bisa."

"Aku Cuma sebentar, An. Cuma satu musim."

"Aku nggak bisa tanpa Theo. Aku nggak bisa kalau nggak ada Theo. Jangan tinggalin aku, Theo. Aku mohon. Jangan tinggalin aku. Aku mohon, Theo."

"Ini untuk kebaikan kita bersama, An. Aku pasti pulang."

"Theo udah janji nggak akan ninggalin aku. Theo udah janji. Jangan tinggalin aku. Aku nggak bisa tanpa Theo. Aku nggak bisa. Aku nggak bisa."

"Maafin aku, An. Maafin aku."

"Aku mohon Theo, hiks ... jangan tinggalin aku ... hiks ...."    

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top