27. Madu dan Racun

Saya dedikasikan kepada Om ChristianJCB yang udah mengirimkan kerangka karangan paling manis yang pernah saya baca. Saya jadi semangat ngetiknya, tauk! Makasi ya yank, oh la la...

Vote, komen, dan semuanya kami tunggu :)

Selamat membaca

Salam kami

Malagoar & ChristianJCB

.

.

.

.

.

.

.


"Jadi selama ini orangtua Anthoni sedang dalam masa kesulitan?" Arial yang duduk di bangku penumpang tampak terkejut. Ia menoleh ke belakang, ke arah Elang yang juga tak kalah terkejut. Ke arah Anthoni yang masih memangku dan mengelus punggung Oreo dengan tatapan kosong. Sekarang mereka sedang berada di dalam mobil Om Patrick menuju lapas tempat Theo ditahan. Sementara Firman ama Deden naik mobil terpisah.

"Orangtua Anthoni menitipkan Anthoni kepada Om, karena Ibu Anthoni sedang menjalankan kemoterapi untuk penyakit kanker payudaranya."

Ya Tuhan, kenyataan macam apalagi ini? Kenapa begitu banyak racun yang tersembunyi di balik senyum manis Anthoni? Kenapa begitu banyak remah-remah empedu di porsi manisannya Anthoni? Lelaki itu? Lelaki yang selalu cerita itu?

"Kanker payudara, Om?" Arial nggak habis fikir. Lagi, ia menoleh ke arah Anthoni.

Cowo mungil itu masih menunduk. Gumaman nama Theo terus merambat dan bersusulan di bibir pucatnya. Sementara Oreo yang sepertinya mengerti emosi Maknya, menggulung diri di pangkuan Anthoni. Kepalanya jatuh di pangkuan Anthoni. Mata cokelatnya mengerjap penuh kesedihan. Sushi yang dibelikan Firman atas jasa kerja samanya pun nggak diacuhkan ama Oreo. Agak-agaknya, kesedihan Maknya itu lebih menyita perhatian dari beberapa potong sushi favoritnya.

"Belum parah amat," Om Patrick mengangguk. Memutar stir mobilnya ketika lampu lalu lintas di depan mereka menyala hijau. "Cuma, butuh dikemo supaya kankernya nggak menyebar ke mana-mana."

"Terus sekarang kondisinya gimana, Om?" tanya Elang khawatir. Lirikannya bergantian ke arah Arial ama Anthoni. "Ibunya masih di rumah sakit?"

"Kemarin mereka pulang. Hari ini rencananya mereka akan langsung menjenguk Anthoni," ada nada kecemasan di kalimat Om Patrick barusan. "Saya bersiap Mas Guntoro akan menghakimi saya saat mereka melihat keadaan Anthoni seperti ini."

"Ini semua kecelakaan, Om," Arial mencoba membesarkan hati duda keren tersebut.

"Tapi Anthoni menjadi tanggung jawab saya sepenuhnya semenjak saya mengangkat ia menjadi guru privat anak saya," Om Patrick menggeleng prihatin. "Saya benar-benar teledor," nggak bisa dipungkiri lagi jika orangtua single itu menyimpan rasa kesedihan. "Gara-gara saya, Anthoni jadi seperti ini. Mengalami pelecehan seksual dan fisik sedemikian hebat."

"Bukan Om yang salah!" Dari balik bangku kemudi Om Patrick, Elang menyalak tegas. "Sudah jelas jika ini kesalahan manusia biadab itu, Om! Kesalahan Haikal bajingan itu! Om nggak memiliki campur tangan di sini. Om bahkan tak ada di sana saat kejadian!"

"Bukan seperti itu maksud saya, Elang," Om Patrick terlihat sangat frustasi.

"Lalu seperti apa maksud, Om?" nada Elang menuntut. Akal sehatnya nggak mengerti hubungan antara kesalahan Om Patrick dengan kedepresian Anthoni.

"Anthoni berada di bawah perlindungan saya sepenuhnya ketika kejadian naas itu terjadi. Seharusnya hal buruk itu tidak pernah ada jika saya menjaga Anthoni dua puluh empat jam. Saya benar-benar menyesal."

Kalimat yang udah tertuang di ujung lidah Elang untuk membalas kalimat Om Patrick tergulung begitu aja. Haribaannya sangat nggak menyangka jika orangtua tersebut memiliki pemikiran kolot sedemikian rupa. Menjaga Anthoni dua puluh empat jam? Ia pikir Anthoni bayi?

"Apakah dengan menjaga Anthoni dua puluh empat jam nonstop, Om yakin Anthoni akan merasa aman? Merasa dilindungi? Merasa hidupnya nggak terkekang? Nggak seperti itu, Om. Om nggak bisa mengekang gerak Anthoni."

Dan Om Patrick kehabisan materi untuk membalas skak-an Elang. Ia hanya menggumam aneh. Arial yang sedari tadi mendengar peredebatan sepihak dari Elang kembali menengok ke belakang.

Anthoni masih menyedihkan. Tatapannya kosong. Datar. Kayak nggak ada kehidupan di sana. Ia mengelus punggung Oreo yang juga tak bersemangat hidup. Susu soya di botol miliknya tak ia sentuh ujung dotnya seinchi pun. Agak-agaknya, ikatan batin antara Mak dan si guk-guk itu terlihat begitu terasa.

Algojo itu kembali menghantam sempurna pendirian Om Patrick.

Begitu mobil yang ia kendarai sampai di lapas tempat Theo ditahan, lalu Om Patrick mengajak para pemuda itu turun dan memasuki ruangan, Bapak dan Ibu Anthoni udah berdiri di sana. Di ruang informasi. Mengerikan. Penuh kekecewaan. Dan rasa penyesalan hebat.

Ibu Anthoni langsung menyongsong anaknya. Memeluknya erat. Mendekapnya penuh sayang.

"Sayang, kenapa kamu kembali seperti ini? Kenapa kamu tega ama Ibu, Nak. Ayo bangun, Nak. Jangan sakiti Ibu dengan melihat kondisimu yang seperti ini," air mata wanita paruh baya itu luruh menjatuhi puncak kepala Anthoni. Mata Ibu terpejam. Dan rasa sakit dari beberapa tahuh silam seperti dihadirkan lebih nyata di hadapannya sekarang. Ibu mana yang tega melihat anaknya tersakiti? Seberdosa apa pun anaknya, sebajingan apa pun anaknya, senyeleneh apa pun anaknya, sebagai seorang Ibu yang telah berjuang melahirkannya, pasti akan memiliki perasaan sakit hati luar biasa jika anak kebanggaannya menderita seperti ini.

Mata Anthoni terpejam. Masih mengelus punggung Oreo, ia mencoba meresapi hangat tubuh yang terkonduksi secara sempurna dari tubuh Ibunya. Nggak menggunakan perantara sama sekali, hangat tubuh itu berhasil menyetuh perasaannya. Kembali air mata itu gugur. Sangat menyedihkan. Anthoni menggumam nelangsa. Penuh tekanan dan kerinduan teramat dalam.

"Theo ... Theo ... Theo...."

Sebuah nama yang selama beberapa hari terakhir ini menjadi tasbih dalam gumamannya. Nama yang membuat dadanya sesak. Nama yang berpusing memenuhi rongga kepalanya. Meracuni rongga dadanya. Melemaskan rongga sendi-sendinya. Ah, pemuda kecil itu hanya belajar bagaimana caranya terluka, tapi ia belum pernah belajar bagaimana cara menyembuhkannya.

"Sayang, ini Ibu, Nak. Ini Ibu."

Kilasan kebersamaannya dengan Theo berkelebat hebat di mata Anthoni. Saat ia bersusah payah memanjat pagar untuk menemukan Theo dalam keadaan babak belur di halaman sekolahnya. Saat punggung gendongable itu menopang sempurna tubuhnya yang kecil. Saat Theo menyuapinya nasi goreng. Saat Theo menyelamatkannya dari serangan anjing. Saat Theo mengangkat Oreo menjadi anaknya.

Ya Tuhan, betapa pemuda kecil itu sangat rindu akan sosok Theo. Rindu dengan semua kelakuan Theo. Pada kata-kata kasarnya. Keposesifannya. Keegoisannya. Ke—semuanya. Anthoni rindu. Rindu. Ia menghela napas berat. Mengembuskannya perlahan.

Tapi dari semua yang diingat Anthoni tentang Theo, satu kalimat yang bikin dada Anthoni bergetar. Satu kalimat yang ia percayai ketulusannya. Satu kalimat yang ia agungkan sedemikian rupa. Kalimat ketika Theo meninggalkannya di ruko untuk membelikannya obat.

Gue pasti kembali. Gue pasti kembali. Gue pasti kembali.

Theo pasti kembali. Theo pasti kembali.

Tapi kapan? Kenapa rasanya sangat lama? Kenapa rasanya sangat menyakitkan seperti ini?

"Theo ... Theo ... Theo ...."

"Kamu keterlaluan, Patrick!" Bapak Anthoni menyembur Om Patrick di ruang informasi. "Anthoni aku titipkan kepadamu bukan untuk kamu rusak kembali fisiknya seperti itu!"

"Ini semua salah saya, Mas."

"Ini memang semua salah kamu! Kalau anakku tidak mengajar anakmu, kejadian naas seperti ini tak akan terjadi! Aku kecewa sama kamu, Patrick. Kecewa sekali."

Suasana kantor polisi yang ramai membuat kegaduhan dua orangtua itu nggak terendus pihak berwajib. Bapak ama Ibu Anthoni yang nggak tahu kenapa tiba-tiba ada di sini, sepakat untuk melimpahkan kondisi Anthoni yang mengenaskan ini kepada Om Patrick seorang diri.

"Apa yang bisa saya lakukan untuk memperbaiki kesalahan saya, Mas?"

"Pecat anakku!"

Kepala Om Patrick mendongak seketika. Merasa ada yang salah dengan yang alat pendengarannya tangkap.

"Apa, Mas?"

"Pecat anakku menjadi tutor anakmu!" Bapak bergumam sadis. Amarahnya tak mampu tertahan lagi. Ia murka. Sangat. Anthoni adalah anak semata wayangnya. Nggak peduli Anthoni homo atau hetero, baginya sekarang, kebahagiaan Anthoni adalah yang utama. Tujuannya hidup. Tujuannya mencari nafkah. Semua itu untuk Anthoni. Untuk putra tercinta. "Aku nggak sudi anakku kamu perbudak dengan mengajari anakmu!"

"Saya tidak pernah memperbudak Anthoni, Mas."

"Tapi gara-gara mencari keberadaan anakmu, anakku kembali mengalami serangan, Patrick! Kondisi Anthoni kembali seperti dulu! Aku membutuhkan tiga tahun untuk menyembuhkan Anthoni dari gangguan depresinya! Harus berapa tahun lagi yang aku gunakan untuk menyembuhkannya? Aku bahkan tidak tahu, berapa tahun yang tersisa di usiaku yang udah menua ini!"

Itu semua benar. Argumen yang dibeberkan Bapak nggak ada yang salah. Pernyataan-pernyataan itu bagaikan busur yang menghunus tepat dada Om Patrick. Om Patrick nggak memiliki satu kalimat pun untuk menyangkal. Karena pada dasarnya, apa yang diucapkan Bapak itu adalah kenyataan.

Pahit memang. Penuh racun memang. Tapi yang namanya hidup, racun dan madu adalah sepasang kekasih yang bertemu di pelaminan. Nggak bisa dipisahkan. Nggak bisa diceraikan. Yang menjadi teman seperjalanan. Yang menjadi belahan hati di kamar pengantin.

Dan pelaminan itu ... bernama takdir.

"Maafkan saya, Mas!"

"Aku mungkin saja bisa memafkanmu seperti yang kamu inginkan, Patrick. Tapi rasa kecewa dan sakit hati yang kamu akibatkan ini, nggak akan pernah terhapus di dadaku. Membekas di sana! sangat dalam."

"Mungkin saya bisa memaafkan anak Om. Tapi saya akan sangat sulit melupakannya. Rasa sakit yang telah anak om berikan kepada saya itu, seperti menancapkan paku kepada tembok. Lalu om datang untuk mencabutnya. Om memohon kepada saya agar memaafkan ulah paku yang udah melubangi tembok saya. Tapi Om lupa satu hal, ketika ujung paku yang udah tertancap pada tembok itu om cabut, paku itu udah membuat tembok berlubang. Dan Om pasti tahu jika lubang pada tembok nggak akan tertutupi begitu aja."

Kalimat itu diucapkan oleh dua orang berbeda, dua generasi yang berbeda, tapi memiliki makna yang sama. Rasa sakit hati yang sama. Ya Tuhan, apa yang telah Om Patrick lakukan kepada keluarga kecil itu?

"Setelah ini, nggak akan aku izinkan Anthoni bertemu Theo!"

Om Patrick menggeleng nggak percaya.

"Akan aku jauhkan Anthoni dari Theo!"

Jangan. Saya mohon!

"Akan aku bawa pulang Anthoni ke kampung halaman! Akan aku hindarkan Anthoni dengan lelaki yang menjadi sumber marabahayanya."

"Mas nggak bisa melakukan seperti itu kepada Anthoni! Anthoni masih kuliah. Anthoni masih membutuhkan pendidikannya."

"Anthoni anakku! Aku dan istriku berjibaku menyembuhkannya dari tekanan mental selama bertahun-tahun. Dan sekarang, saat depresinya kambuh, kamu melarangku menyembuhkan Anthoni lagi? Apa maumu, Patrick?"

Perseteruan yang nggak tahu kapan akan berujung itu membuat Arial sedikit jengkel. Demi Tuhan, yang mereka debatkan itu Anthoni, dan lelaki mungil itu dalam keadaan butuh dukungan. Bukan percekcokan seperti ini.

Arial melirik Elang. Menyampaikan maksud melalui tatapan mata. Arial kemudian mengajak Ibu ngobrol. Dan membiarkan Elang menggeret Anthoni keluar dari dekapan sang Ibu. Mengendap-endap, sambil celingak-celinguk, Elang yang pernah beberapa kali mengunjungi tahanan untuk proses belajar hukumnya, mencoba mengajak Anthoni ke sel tempat Theo ditahan.

Belum tahu lokasinya memang. Cuma, Elang mencoba mengikuti intuisinya aja. Yang ia inginkan hanya satu: Anthoni ketemu Theo. Jika pada akhirnya Theo tetap dipenjara karena Anthoni masih nggak mampu memberikan kesaksian dikarenakan depresinya yang menghebat, itu urusan lain. Bagi Elang, kesehatan dan pulihnya semangat Anthoni sekarang yang menjadi prioritas.

Mata hitam itu tetap murung. Kejora yang biasanya menghiasi tiap kerjapnya kini seolah-olah mati. Berserakan di dasarnya. Dan berserpih di sana. Oreo masih dalam gendongan Anthoni. Meringik-ringik. Mendusel-dusel. Juga menjilat-jilat. Ia ingin sentuhannya menguatkan Anthoni. Anjing itu ingin Maknya kembali ceria seperti dulu. Ah, bahkan Oreo pun kangen menjadi bahan rebutan di kos.

Lalu Anthoni berhenti begitu aja. Dengan tasbihan air mata yang kian mengalir. Elang yang menyadari Anthoni tak lagi mengikuti gerak kakinya, menoleh. Menghampiri Anthoni.

"Ayo, An, jangan berhenti. Nanti keburu ketahuan polisi kalau kita menyelundup. Buruan, An."

Namun sendi-sendi engsel Anthoni terpaku bumi. Tubuhnya lemas. Meskipun gendongannya kepada Oreo menguat. Lalu, tanpa memedulikan kebingungan Elang, Anthoni berjalan menuju sebuah sel. Ada tiga tahanan berbadan kekar di sana. Melihat kedatangan Anthoni, ketiga napi tersebut meraung. Misuh-misuh untuk alasan yang nggak jelas. Menyalak di balik sel-sel besi yang menahan mereka dari kebebasan dunia luar.

Anthoni masih terus berjalan. Air mata pun masih terus berjatuhan. Namun sedikit, dan hanya berupa beberapa titik-titik kecil, sudut bibir Anthoni berkedut. Sebuah senyum kecil tercipta di sana. Samar. Hati Anthoni menghangat. Dadanya bergetar hebat.

"Anjing ngapain lo ke sini!" Satu dari napi berbadan sangar tersebut menghardik. Menggoyang-goyang sel tahanannya. "Pergi lo anak emak!"

Anthoni nggak menggubrisnya. Kaki kecilnya terus terayun. Senyum samar masih tergengang ditimpaan jatuhnya air mata.

"An, mending kita pergi deh. Nggak aman kalau kita mengganggu mereka. Nanti polisi akan mengetahui keberadaan kita," Elang mencengkeram lengan Anthoni, mengajaknya menjauh dari sarang penyamun tersebut.

"HEH ANAK KECIL! PERGI LO! ATAU MAU GUE TUSUK?"

"An, ayo kita pergi! Ayo kita cari Theo, keburu polisi datang!"

"LIHAT BOS, DIA NGGAK MAU PERGI! MALAH MEWEK! CENGENG BANGET, SIH. DIA BENCONG APA BOS?"

"MANA GUE TAHU, BEGO! HUSH HUSH HUSH ... PERGI PERGI!"

"An, gue bilang pergi, ya, ayo pergi! Nanti kita ketahuan. Ayo, An!"

"EH BOS, ANAK KECIL ITU MALAH KETAWA-KETAWA. DIA GILA KALI BOS!"

"MENANG UNDIAN BERHADIAH KALI, LOT!"

"An, please, ayo kit―"

"Theo...."

Semua bungkam. Elang terkejut. Para napi sangar yang sedari tadi berteriak-teriak kayak orang gila juga bungkam. Saling tatap. Kemudian kembali menjatuhkan netranya kepada tubuh Anthoni.

"Theo...."

Elang mengikuti arah pandang Anthoni. Lalu tersentak.

Di sana, di pojok ruang tahanan sana, sedang duduk meringkuk seorang diri, menelungkupkan kepala di lipatan lututnya, sosok yang nggak akan pernah Elang lupakan gitu aja fisiknya.

"Theo...."

Dan sosok tersebut mendongak. Melayangkan pandangannya. Iris cokelat pinusnya meraba remangnya sel tahanan. Ketika kelereng itu berhenti tepat di tubuh kurus Anthoni, sosok tersebut membeliak, kemudian berdiri. Berjalan serampangan. Menyenggol teman napinya yang terbelalak mendengar suara Anthoni.

"Theo...."

Di antara spasi jeruji sel, kedua tangan Theo terulur terbuka di hadapan Anthoni. Lagi, Anthoni kembali menangis. Rasa sakit hebat yang ia derita dari pelecehan kemarin. Sayatan-sayatan dari ujung pisau di atas seluruh badannya. Hinaan-hinaan melukai perasaannya, seolah hempas saat itu juga. Detik itu juga. Ia berjalan mendekati Theo. Menghambur ke pelukan Theo. Merasakan kembali bagaimana hangat tubuh yang sangat ia kenal itu menyapa tiap lekuk tubuhnya.

Rasanya seperti menemukan kembali apa yang selama ini hilang. Memasangkan kembali potongan-potongan puzzle yang beberapa hari ini sirna.

Anthoni kangen tubuh ini. Anthoni kangen aroma ini. Anthoni kangen pelukan ini. Anthoni kangen segala sesuatu yang berhubungan dengan Theo.

"Theo ... Theo ... Theo ...."

Hanya nama itu yang mampu tersebut di antara ingar bingar perasaan bungah Anthoni. Ia terpejam, dan membiarkan Theo mengabsen tiap jengkal tubuhnya dengan belaiannya.

"Gue kangen banget ama lo, Mak. Kangen banget ama lo."

Berulang kali kecupan-kecupan itu mendarat di wajah Anthoni. Tak memedulikan sedang di mana mereka. Tak memedulikan sedang dilihat berpasang-pasang mata, perasaan itu berjalan mengalir begitu aja. Di antara jeruji-jeruji besi yang memisahkan Anthoni dengan Theo, perasaan tak memiliki nama yang memberi keduanya kehangatan tersebut, bercerita sendiri tentang alur pertemuan mereka. Alur keromantisan mereka. Alur pertemuan canggung keduannya.

Begitu aja. Tanpa beban.

Cukup membiarkan hatimu menuntun kakimu, maka ujung yang akan kamu temui adalah keikhlasan, kesederhanaan, dan perasaan tak bernama tapi terlalu indah untuk diasingkan.

Anthoni merindukan Theo. Dan anak SMA itu pun tak pernah sesakit ini memeluk seseorang.

R!:K

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top