23. Demon
Didedikasikan kepada partner saya Om ChristianJCB yang sabar banget menghadapi saya yang nyablak dan menang sendiri. Yang tadi malam ngirimin foto cowo-cowo cakep dan bikin saya meninggal. Masi cakepan kamu ko Om. Huahahahah
Vote, komen, serapahan membangun selalu kami nantikan
Selamat menikmati
Salam kami
Malagoar & ChristianJCB
.
.
.
.
Ya ampun kemarin kaget ya dengan masa lalu Anthoni, itu salah saya karena nggak memberi peringatan dulu, makanya kalian banyak yang kaget. Maafkan saya. Jadi untuk menebus salah saya, kali ini saya kasih WARNING buat kalian yang mau baca bab ini. Siapkan hati dan perasaan, yah. Oh la la..
.
.
.
"Pak Haikal...," Anthoni terbata. Dadanya mencelos dingin. Ia mundur, dan monster tersebut menyeringai maju.
"Sudah lama, ya, kita nggak ketemu, Anthoni," lelaki menyeramkan itu tertawa sinis. Wajahnya sudah terlihat menua dari terakhir Anthoni bertemu.
"Jangaaan, Pak," Anthoni menggeleng. Memepet dinding. Kilasan masa lalu berkelebat hebat di mata Anthoni. Kasarnya Pak Haikal, kotoran-kotorannya, air kencingnya, kekejamannya, sifat binatangnya, dan semuanya yang udah Anthoni kubur dalam-dalam selama bertahun-tahun kini seperti dibangkitkan lagi.
Anthoni takut. Sangat. Orang itu. Monster itu... adalah biang masalah dari semua karut marut hidup antoni. Sejak kejadian naas sore kala itu di gudang penyimpanan barang-barang olahraga, hidup Anthoni berubah 180 derajat. Beasiswa UI terlepas karena Anthoni mengalami gangguan kejiwaan.
Ya ... gangguan kejiwaan. Tiga tahun mendekam di balik bangsal rumah sakit jiwa. Histeris tiap waktu. Mengalami serangan tiap saat. Membuat Anthoni seperti mati dalam kondisi mengenaskan. Tubuhnya kurus. Daya tahan tubuh menurun drastis. Dan yang bisa Anthoni lakukan setiap harinya selain histeris adalah menangis.
Bapak-Ibu depresi. Anak semata wayang mereka, lelaki tercerdas mereka mengalami gangguan jiwa sedemikian rupa. Namun, welas dan kasih sayang Bapak-Ibu. Ketelatenan mereka. Kesabaran mereka. Cinta mereka dalam mendampingi Anthoni, membuat si mungil itu kembali dalam dekapan.
Tertatih-tatih memang. Bertahun-tahun memang. Namun, semuanya terbayar dengan keceriaan Anthoni. Dengan semangat tumbuh kembang Anthoni. Tiga tahun mendekam di bangsal rumah sakit, dan tiga tahun berikutnya kembali menapaki kehidupan normal.
Dan sekarang, setelah perjuangan berat itu dialami keluarga kecil Anthoni, iblis tersebut datang lagi, binatang yang telah berhasil Bapak penjarakan kembali lagi. Mengancam Anthoni. Menyeringai iblis ke arah Anthoni.
Mata liarnya masih sama dengan mata pencabut nyawa enam tahun lalu. Senyumnya masih sama dengan senyum pemerkosa tanpa perasaan enam tahun lalu. Seorang guru yang menjelma menjadi pemangsa. Seorang pengayom yang menjelma menjadi perusak. Seorang penuntun yang menjelma menjadi bajingan taik yang mencelakakan Anthoni.
Anthoni sadar. Sangat waras. Lagi, kali ini ia dalam keadaan bahaya. Dalam keadaan mendekati marabahaya. Anthoni ketakutan. Seluruh mimpi buruknya sekarang menjadi kenyataan. Dan dalam keadaan sedemikian menyudutkan, Anthoni bersuara lirih. Menyebut satu nama yang seharian ini menjadi satu-satunya nama yang menempati lokus ingatannya: Theo... tolong aku.
"Pak... bukannya...."
"Dipenjara?" Pak Haikal tergelak. Dari balik jaket kulitnya, Pak Haikal mengeluarkan pisau. Berjalan semakin mendekati Anthoni yang kian tersudutkan. "Bapak lo adalah orang biadap yang udah memenjarakan gue!" Berapa sih usia dia? Kenapa dia sama sekali nggak punya tata krama? "Berani-beraninya dia memenjarakan gue!"
Anthoni menggigit bibir bawah. Theo tolong aku. Kemudian air matanya keluar tanpa diminta. Dadanya bergetar. Jantungnya berdebam-debam. Ujung mata Anthoni melirik Pak Haikal dan mata pisau tajam itu secara bergantian. Theo, please.
"Dia nggak tahu sedang berurusan dengan siapa," Pak Haikal berdesis. Mengancam. Menawarkan bahaya. "Dia udah bikin gue mendekam enam tahun di penjara, maka dia harus mendapatkan balasan yang setimpal." Maju lagi selangkah, Pak Haikal mengusap-usap belatinya. Kemudian menjilat bagian yang tajam.
Anthoni semakin menjauh. Namun Pak Haikal semakin mendekat.
"Enam tahun gue di penjara. Makan makanan anjing. Nggak bisa kemana-mana. Hidup gue menderita. Hidup gue terkungkung. Dan itu semua dikarenakan bokap lo yang bangsat itu," ada nada dendam di kalimat tersebut. Ada kebencian teramat dalam di sana.
Rambut Pak Haikal berantakan. Panjang sebahu. Kulitnya legam. Tubuhnya jauh lebih berotot dari yang terakhir Anthoni lihat. Semuanya terlihat berbeda. Guru santun berpakaian safari yang licin dulu, sirna darinya sekarang. Pak Haikal yang sekarang adalah Pak Haikal yang baru. Namun, mata dan seringai itu masih tetap sama. Masih tetap mengancam dan menawarkan kematian.
"Ap-apa yang Bapak minta?" Anthoni yakin kalau sekarang adalah saatnya. Masanya. Kematian itu, yang menjadi doa terakhirnya di masa-masa kebahagiaanya dulu, akan segera terlaksanakan. Bukan oleh Izrail. Malaikat tersebut digantikan tugasnya oleh sosok setan biadab yang sekarang semakin melangkah mendekat dengan pisau yang ia arahkan ke Anthoni.
"Apa yang gue minta?" kemudian tertawa lebar. Mengerikan. Pak Haikal benar-benar iblis. "Apa yang gue minta?" dia berdesis, nyaris berbisik.
Gang sempit tersebut sangat sepi. Sama sekali tak ada seliweran orang di sana. Padahal Anthoni berada di Jakarta, kota yang kata orang nggak pernah tidur. Namun sekarang, kemana orang-orang itu? Kenapa mereka seolah lenyap disaat Anthoni membutuhkan pertolongan? Anthoni melirik kiri-kanan. Nggak ada orang sama sekali. Senyap. Seolah malam tengah mengheningkan cipta. Mengantarkan kematian Anthoni yang mungkin aja terjadi sebentar lagi.
"Apa yang gue minta?" gelak tawa Pak Haikal kian santer. Tubuhnya berguncang-guncang. "Yang gue minta?"
Kematian bagi Anthoni tampak nyata ketika Pak Haikal tinggal beberapa langkah di depan Anthoni. Tersenyum sinis. Raut wajahnya tenang. Seolah semua ini udah ia rencanakan dari jauh hari.
Kemudian dalam satu detik penuh ketegangan, Pak Haikal menjambak rambut Anthoni, memainkan ujung belatinya di leher Anthoni. "Yang gue minta balas dendam," dia menyaduk perut Anthoni. Dan pemuda mungil tersebut tersungkur. Terjatuh di tanah. Pak Haikal menginjak dada Anthoni. Cowo imut itu terbatuk hebat. Merasa sesak.
"SETELAH APA YANG LO LAKUKAN KE GUE! SETELAH YANG BOKAP LO LAKUKAN KE GUE! YANG GUE MINTA ADALAH BALAS DENDAM!" Pak Haikal berteriak. Memecah malam. Suaranya lantang. "GARA-GARA HOMO BIADAB SEPERTI LO, HIDUP GUE MENDERITA! ANJING LO! BABI LO!"
Anthoni mengerang kesakitan. Injakan Pak Haikal di dada Anthoni kian kuat.
"Jangaaan, Pak, ampuni sayaaa, Pak. Sayaaa mohooon, Paaak...."
Seperti dulu, rintihan Anthoni sama sekali tak mendapat respons. Pak Haikal menyaduk perut Anthoni. Menendang selangkangan Anthoni. Kemudian ia kalap. Gelap mata. Pak Haikal melucuti pakaian Anthoni sampai bugil.
Anthoni meronta. Menjerit minta tolong. Tapi Pak Haikal kembali menendang mulut Anthoni.
"UDAH BERHARI-HARI GUE NGINCER LO. DAN SEKARANG ADALAH SAATNYA GUE BALAS DENDAM KE HOMO BAJINGAN SEPERTI LO! GARA-GARA LO, HIDUP GUE BERANTAKAN. BOKAP LO JUGA HARUS MENDERITA KARENA UDAH BERANI MEMENJARAKAN GUE!"
BUG ... BUG ... BUG ....
Anthoni ditendang depan-belakang. Pak Haikal membabi buta. Anthoni terus meronta. Menyerukan tolong berkali-kali. Mengeluarkan tangis paling menyedihkan sepanjang malam. Mimpi buruknya. Kenangan busuknya ... demi Tuhan, iblis ini bukanlah manusia.
"Ampuuun, Paaak, kasiani saya, Paaak. Ampuuun, Pak, ampuuun...," seperti itu. Terus berulang. Sambil memejamkan mata erat-erat, Anthoni berharap ada sedikit nelangsa di hati binatang mantan gurunya. Orang bajingan. Manusia biadab. Lelaki anjing. Cucu Adam taik babi yang udah merusak Anthoni sedemikian hebat. Menyentuh Anthoni secara blangsak.
"LO HARUS MATI DI TANGAN GUE! HOMO BANGKE SEPERTI LO HARUS MATI DI TANGAN GUE! HOMO BUSUK SEPERTI LO HARUS GUE MUSNAHKAN!"
"Sayaaa mohooon, Paaak, sayaaa mohooon."
Kembali tak mendapat respons, Pak Haikal menampar Anthoni. Menjambaknya lagi, kemudian membenturkan kepala Anthoni di dinding gang berkali-kali. Masih belum puas melihat mantan anak didiknya ia hancurkan sedemikian rupa, anjing satu itu menyayat kulit mulus Anthoni. Kulit kebanggaan Anthoni. Dengan brutal dan seperti kesetanan, Pak Haikal hunuskan ujung belatinya di sekujur tubuh Anthoni. Dadanya, perutnya, kelaminnya.
Teriakan Anthoni kian lirih. Kepalanya berdenyut hebat. Tubuhnya terasa terbakar. Ia tak mampu melihat dengan jelas. Theo, tolong aku. Theo, tolong aku.
Masih juga belum puas. Pak Haikal membalik tubuh Anthoni. Mengangkat pantatnya, lalu Pak Haikal mengeluarkan kelaminnya yang dalam keadaan berdiri tegak. Siap dirudalkan ke anus Anthoni.
Demi Tuhan ... Anthoni sedang dalam keadaan sekarat sekarang. Ia nggak tahu salahnya apa, tapi Anthoni menanggung kesakitan luar biasa. Trauma hebatnya kembali dihidangkan di depan mata. Ketakutan terbesar dalam hidupnya kini bergulir lagi. Lebih menyakitkan. Lebih menakutkan. Pemuda mungil itu. Cowo bertubuh mini itu. Lelaki yang selalu ceplas-ceplos itu, kembali mengalami pelecahan dahsyat dalam hidupnya.
Sakit. Teramat sakit. Tubuhnya koyak. Harga dirinya dihempas secara nggak manusiawi. Dengan orang yang sama. Dengan rasa sakit yang sama. Namun, memberikan dampak lebih besar. Lebih traumatik. Malam itu, menjelang subuh, tiga seperempat malam, ketika para malaikat mengamini doa orang yang mendirikan dua rakaat, Anthoni sekarat meregang nyawa di ujung gang.
"Jangaaan, Paaak, jangaaan, Paaak, sayaaa mohooon."
Pak Haikal mengarahkan kepala penisnya di mulut anus Anthoni, dalam satu hunjaman keras, penis tersebut akan bersarang sempurna di sana apabila sebuah pukulan keras tak Pak Haikal dapatkan dari belakang tubuhnya.
Pak Haikal nyaris tersungkur. Pegangan tangannya di tubuh Anthoni lepas, hingga si kecil itu terjerembab di atas tanah.
Pak Haikal murka. Berbalik. Mengarahkan moncong pisaunya ke hadapan seorang cowo berambut agak panjang yang terlihat berang di belakangnya.
Theo...
Dia maju. Melihat Anthoni dilecehkan seperti itu, dada Theo terbakar. Emosinya meledak. Lalu, dalam satu hantaman kuat, Theo menghantam wajah Pak Haikal.
"BANGKE LO! APA YANG LO LAKUKAN KE ANTHONI! ANJING BIADAB LO!" Theo kalap, melayangkan tinjunya. "LO UDAH MERUSAK ANTHONI! BERANI-BERANINYA LO MENYENTUH DIA! BERANI-BERANINYA LO MELECEHKAN DIA! MATI LO DI TANGAN GUE! MATI LO DI TANGAN GUE!"
Pak Haikal yang nggak siap mendapat serangan membabi buta, tersungkur mendapat bogeman dari tangan Theo. Tubuhnya terjerembab. Theo menindih perutnya. Melayangkan tinju-tinju di wajah Pak Haikal. Ia gelap mata. Theo kesetanan.
"LO NGGAK BOLEH MENYENTUH ANTHONI! LO NGGAK BOLEH MENYENTUH MILIK GUE! LO NGGAK BOLEH MERUSAK MILIK GUE!"
Pak Haikal mencekal tangan Theo yang akan meninju mukanya lagi. Memelintirnya, hingga Theo terguling dari atas perutnya.
"Oh, jadi kalian pasangan homo! BIADAB KALIAN SEMUA! GUE MUSNAHKAN KALIAN SEMUA!"
Pak Haikal menyerang. Theo menangkis. Theo melayangkan tinjunya. Pak Haikal menghunuskan pisaunya. Tepat. Mengenai sasaran. Pas di perut Theo. Pisau tajam itu terhunus tepat di perut Theo.
Theo terpejam. Pak Haikal tertawa.
"Cuma seperti itu," Pak Haikal mencabut pisau di perut Theo. Kemudian melemparkannya. Berjalan menuju Anthoni yang menangis histeris melihat bagaimana Theo ditusuk. "KALIAN SEMUA, NGGAK AKAN BISA MELAWAN GUE! BAHKAN PAHLAWAN LO UDAH GUE MUSNAHKAN DALAM SATU KALI TUSUK!"
Pak Haikal menendang tubuh Anthoni lagi, berkali-kali. Lalu siap menyodominya lagi. Theo yang sudah malang melintang di dunia pergelutan, ditusuk atau menusuk, ditikam atau menikam, mencoba mendekati Pak Haikal. Lukanya tusukannya memang terasa membakar, tapi, Theo pernah mengalami hal seperti ini sebelumnya. Ia pungut pisau yang dilempar Pak Haikal.
"HOMO BANGSAT! KALIAN HARUS MATI! HARUS MATI!"
Pak Haikal merudalkan penisnya di anus Anthoni, bertepatan dengan sebuah gorokan ia dapat di lehernya. Pak Haikal menegang. Melotot. Kemudian roboh. Theo menyingkirkan tubuh Pak Haikal yang berada di atas tubuh Anthoni. Lalu melihat cowo mungil itu meringkuk ketakukan.
Theo bersimpuh. Memeluk Anthoni yang meledakkan tangis.
"Aku kotor, Theo... aku kotor."
"Maaf...," rasa sakit di perut Theo menyebar. Matanya berkunang-kunang.
"Jangan dekati aku, Theo. Aku kotor. Aku hina."
"Gue berjanji, nggak akan ada lagi orang yang berani menyentuh lo," kelebat hitam berlari-larian. Theo mulai berkeringat dingin. Masih terus mendekap Anthoni. "Itu janji gue! Gue yang akan melindungi lo! Itu janji gue...."
Hitam... putih... perut Theo terasa terbelah. Kepalanya terasa meledak. Keringat dingin kian santer berseluncur.
"Theo...."
Dan murid SMA itu roboh. Terkulai tak berdaya di atas tubuh Anthoni.
.
.
.
.
Untuk sementara hiatus dulu, ya. Om ChristianJCB lagi sibuk soalnya. Kalau udah nggak sibuk lagi, kami usahakan langsung update. love you...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top