21. Big Disaster
Didedikasikan kepada Om ChristianJCB yang secara legowo menerima keabsurdan dan kenyelenehan saya. Author hebat yang dengan sabar menerima kritikan-kritikan saya. Protes-protesan saya. Orang hebat yang bersedia menampung saya yang memiliki ide nggak masuk akal sebagai partnernya.
Vote, komen, kritikan, masukan, serapahan yang membangun, selalu saya dan Om ChristianJCB tunggu.
Selamat menikmati
Salam kami
Malagoar & ChristianJCB
.
.
.
.
.
Theo nggak ada. Anthoni bingung. Sejak membuka mata pagi tadi, Theo udah nggak ada. Nggak biasanya Theo pergi tanpa pemberitahuan terlebih dulu. Anthoni udah mencarinya di kamar mandi. Di kosannya Deden. Kos teman-teman yang lain. Namun keberadaan Theo tak kunjung ditemukan.
Kardus tempat tidur Oreo udah terisi makanan, itu berarti, Theo pergi setelah memberi makan Oreo. Tapi kemana? Sekolah? Nggak mungkin! Sekarang tanggal merah. Tawuran? Lebih nggak mungkin. Sejak beberapa bulan yang lalu Theo diangkat menjadi muridnya Anthoni, Theo udah hiatus dari dunia pertawuran. Lantas, kemana minggatnya bapaknya Oreo tersebut?
Anthoni khawatir? Sangat! Theo nggak pernah seperti ini. Berkali-kali ia mencoba menghubungi anak didiknya itu. Namun hasilnya, tetap nggak ada. Anthoni resah. Murid slengean itu nggak mungkin diculik, kan? Nggak, kan? Pastinya sih nggak! Kan Theo gahar! Nyeremin! Buktinya, anjing-anjing liar yang membully Oreo sampai ketakutan mendengar suara geramannya. Iya, kan? Kan?
Nyatanya, pemikiran penenang hati yang dicoba Anthoni untuk meredakan resahnya, tak mampu mengusir kekhawatiran Anthoni terhadap Theo.
Theo hilang. Anthoni seperti mau mati aja. Ia nggak siap jika harus menjadi orangtua tunggal buat Oreo. Anthoni masih muda, demi Tuhan. Ia belum mau menjadi janda. Jangan salahkan pemikian absurd Anthoni. Ketidakberadaan Theo membuat si kecil itu seperti diserang penyakit absurd hiperbolis akut sampai ia menelantarkan Oreo yang menggonggong minta mik susu.
Ponsel itu masih di tangan Anthoni untuk menghubungi Theo ketika terdengar suara dering panggil Line dari sana. Anthoni mengernyit mendapati nama Raphael berkedip minta diangkat.
Dia menggeser tombol hijau. Lalu menempelkan benda slim itu di telinga.
"Ya Raphael...."
"Kak Thoni apa kabar?"
"Kabar baik, Raph, tumben telepon aku. Ada apa?"
"Kak Thoni hari ini Ryan ngajak aku ke Ancol. Tapi dia minta aku mengajak kakak turut serta. Soalnya Ryan masih belum percaya jika aku ini cewe, sejak Kak Thoni bilang kalau aku ini cowo adik kelas Kakak."
Anthoni merasa nggak enak. Anthoni kan orangnya begitu. Nggak enakan. Nggak tega-an.
"Maaf atas kejadian kemarin, ya, Raph," Anthoni menggaruk tengkuk.
"Makanya, Kak, sebagai penguat bahwa aku ini cewe,Ryan nyuruh aku ngajak Kakak ke Ancol hari ini. Kak Thoni bisa, kan? Sekarang kan tanggal merah?"
Kali ini selangkangan Anthoni yang minta digaruk. "Gimana ya, Raph, aku sedang mencari temen aku, nih."
"Ayolah, Kak, aku mohon. Sehari aja kok. Nggak lama. Nanti sore kita pulang. Aku takut kalau nggak bisa wujudin keinginan Ryan, dia bakal semakin curiga ke aku. Dan aku bisa kehilangan pekerjaanku. Ayolah, Kak, please, sehariii aja."
Oh, Anthoni akan sangat bersalah jika sampai Raphael dipecat gegara ia nggak berhasil mengajak Anthoni pergi. Ke Ancol aja, kan? Cuma sehari, kan?
"Aku punya dua tiket, Kak. Kakak bisa ajak teman Kakak atau pacar Kakak. Semua biaya Ryan yang tanggung."
Nah, itu gongnya. Kata gratis itu ibarat oase di padang gersang bagi Anthoni. Iya, memang lebai. Namun, pemuda bertumbuh mini mirip umbi-umbian itu, akan bersemangat melangkah jika di tempat tujuannya ada sesuatu yang berlabel gratis. Apalagi ditambah cerita pilu tentang pemecatan, ah Anthoni semakin terlena.
Anthoni mengangguk, sesaat kemudian ia sadar jika Raphael nggak melihat gerak angguknya. "Baiklah, Raph. Aku akan bersiap-siap. Kamu tunggu aku di Ancol."
Bersamaan dengan ditutupnya telepon Raphael, pintu kamar kos terbuka. Arial masuk sambil tersenyum lebar.
"Hari ini gue beliin makanan anjing rasa tuna, An. Kayaknya Oreo kebanyakan makan Sushi deh. Kita kasih tuna supaya nutrisi proteinnya tercukupi," Arial menghampiri Oreo yang langsung menggonggong bersemangat mendapati kehadirannya. "Oreo lihat, nih, Pak Dhe bawakan kamu makanan enak. Rasa tuna. Kamu pasti suka."
Anthoni tersenyim geli di tempatnya. Arial manis banget sih kalau sedang berinteraksi dengan Oreo? Mengingat sesuatu, Anthoni bersuara.
"Ial...."
Yang dipanggil menoleh ke belakang. "Ya, An?"
"Kamu tahu Theo nggak? Sepagian ini aku mencari keberadaannya tapi nggak ada. Aku khawatir, Ial. Theo nggak biasanya seperti ini. Dia kemana, ya?"
Arial bangkit. Menghampiri Anthoni. Tersenyum. Mengelus rambut Anthoni. "Mungkin dia lagi ada urusan, An." Begitu Arial mencoba menenangkan.
Namun kalimat penenang tersebut sudah Anthoni rapalkan berkali-kali untuk menentramkan gulananya. Sampai sekarang bahkan. Dan hasilnya, yang ada Anthoni malah semakin kepikiran. Banget. Ia menggigit bibir bawah. Kedua jempol kakinya bergerak-gerak resah. Mata hitamnya berair.
Arial yang tahu jika pemuda cengeng itu akan menangis, langsung mendekap Anthoni ke dalam pelukannya. Mengelus punggungnya berkali-kali. Please jangan hukum Anthoni yang mudah banget mewek. Kok masalah menghilangnya Theo yang secara absurd ia panggil Papa-nya Oreo, melihat kucing ibu kos diare aja, Anthoni bisa langsung menangis. Melihat ayam-ayam bapak kos yang dipaksa minum jamu kuat dan diberi balsem pun, Anthoni bisa langsung mengurung diri di kamar. Hati Anthoni memang rapuh. Ya seperti selaput perawan aja gimana.
"Lo nggak usah mendramatisir deh, An," Arial ketus. Ia memang nggak mempermasalahkan kecengengan Anthoni. Yang ia permasalahkan adalah penyebab Anthoni menangis: Theo. Dia lagi. Dia lagi. Arial kan nggak suka. Anthoni sahabatnya. Kenapa malah menangis karena orang lain, sih? Ah, Arial nggak demen lah. "Anak SMA itu usianya sama kayak lo. Dua puluh tiga tahun. Dia nggak akan mungkin hilang, lah. Apalagi dia jagonya tawuran, siapa juga yang mau mencelakakan dia. Lo tenang aja, lah. Mungkin dia lagi ngapeli cewenya."
Masalahnya, kalimat penuh dopamin seperti itu, udah Anthoni rudalkan untuk dirinya sendiri sedari tadi. Dan sampai sekarang, hatinya tetap gundah. Demi Tuhan, Anthoni sangat khawatir. Eh... tunggu sebentar. Apa kata Arial tadi? Ngapeli cewenya? Theo udah punya cewe? Ini serius? Serius? Anthoni semakin santer menyuarakan isak tangisnya.
Arial kebingungan. Menepuk-nepuk pelan pundak Anthoni. Menciumi puncak kepala Anthoni berkali-kali. Apa gue salah bicara?
Jadi Theo udah punya cewe? Yassalaaam... nggak tahu kenapa, ya, kalimat yang terlontar barusan dari mulut Arial sangat menyengat perasaan Anthoni. Cowo sebangsa kunyit-kunyitan itu meledakkan bom air mata dari liangnya. Ini sungguh... sungguh....
"An, kok lo malah semakin nangis, sih? Gue salah ngomong, ya?"
"Iaaal... Theo udah punya cewe?"
Kernyitan di dahi Arial tercipta. Lokus memorinya mengobrak-abrik apa yang barusan ia lakukan sampai sahabatnya itu bertanya sedemikian nggak jelas. Oh. Arial sadar setelah ada jeda beberapa detik di sela tangis sahabatnya.
"Ya... siapa tahu aja? Theo kan walaupun kelakuannya kayak setan tapi tampangnya yaaa... lumayan lah. Kalau ganteng sih, jelas gantengan gue kemana-mana. Tinggi pun, tinggian gue. Badan pun, masih bagus badan gue. Intinya, Arial sahabat lo ini jauh ganteng dibanding Theo. In―"
"Iaaal―" Anthoni gemas. Memeperkan ingusnya di kaus yang dipakai Arial. "Theo udah punya cewe?" tanyanya nggak terima. Ya jelas dong. Anthoni homo. Botty pula. Diperhatikan sedemikian intens dengan cowo berporselain ganteng seperti Theo, siapa yang nggak luluh coba. Ya... seperti kebanyakan sifat para bottom aja gimana. Yang mudah baper. Dan menganggap setiap cowo yang flirting kepadanya, pasti memiliki persaan yang sama dengannya.
Problemnya, Theo udah lebih dari sekadar flirting kepadanya, lho. Hampir tiga bulan berbagi ranjang dengan Theo. Peluk sana, peluk sini. Cium sana, cium sini. Berkenalan dengan pohon kelapa. Bahkan sepakat mengangkat si dekil Oreo menjadi anak mereka. Ini lebih dari sekadar flirting. Hasil akhirnya Cuma sekadar hubungan guru-murid? Begini doank? Aku bukan sapi perah, dasar obat ketek! Yang dielus-elus. Dirangsang-rangsang. Tapi nggak pernah di-ewe. Dasar Theo jelek!
"Gue juga nggak tahu Theo di mana. Lo tenang aja."
"Aku nggak bisa, Ial. Aku nggak bisa."
"Dia pasti pulang, An. Percaya deh."
"Jadi beneran kalau Theo udah punya cewe?"
"Gue Cuma menerka. Gue juga nggak tahu. Jangan dimasukkan ke hati lah. Udah dong nangisnya, ya. Mau gue beliin roti Boi?"
"Jadi benar kalau Theo udah punya cewe?" ya ampun pokoknya Anthoni hopeless banget sekarang.
"Tadi yang telepon siapa?" Arial frustasi. Pelukannya nggak mampu mengusir kegaduhan yang ada di hati Anthoni. Semoga pertanyaan ini mampu melencengkan Anthoni dari pikiran Theo.
"Oh iyaaa...," kata gratisan yang dilayangkan Raphael tadi seperti seampul dopamin yang diinjeksikan ke vena Anthoni. Kerabatnya kentang-kentangan itu melepas pelukan. Tersenyum lebar. Mata hitamnya mengerjap berkali-kali. "Ial, temenin aku ke Ancol, yuk."
Meskipun demikian, Anthoni tetap nggak bisa mengusir pikirannya terhadap Theo. Lebih parahnya, pikiran Anthoni ditambahi beban sekarang. Dua masalah mengganyang tanpa ampun otak Anthoni: pertama, masih diisi dengan menghilangnya Theo. Kedua, tentang cewenya Theo. Siapa? Siapa?
Di dalam mobil yang dipinjamkan Firman, Anthoni masih tetap mencoba menghubungi Theo. Ratusan SMS. Puluhan Ping BBM. Video call. Telepon. Tak ada satu pun yang dibalas Theo. Anthoni semakin khawatir. Perasaanya sungguh kalut.
Bagaimana kalau Theo kenapa-kenapa. Bagaimana kalau Theo ada yang menjahati? Bagaimana kalau Theo diserang? Dan masih banyak pertanyaan bagaimana mendesing liar di kepala Anthoni. Botty rapuh itu tak mampu mengenyahkan barang sejenak kecemasannya.
Sampai di Ancol, Raphael bersama cowo yang lagi-lagi memakai hoodie dan tudung menyambut kedatangan Anthoni dan Arial. Kening Anthoni mengernyit. Mau ke pantai kok pakai hoodie. Begitu kira-kira batinnya bergumam. Saat cowo tersebut melepas tudung dan menanggalkan hoodienya, Anthoni mau pingsan. Tapi nggak jadi. Detik berikutnya, Anthoni heboh sendiri. melompat-lompat gila bikin keki.
"RYAAAN BATEMAAAN!" Anthoni langsung mendusel ketiak cowo ganteng tersebut nggak tahu malu. Bikin orang-orang yang ada di sekitar mereka menoleh ingin tahu. "YA AMPUN, YA AMPUN, YA AMPUN... AKU NGGAK NYANGKA BAKAL KETEMU KAMU DI SINI. AKU FANS BERAT KAMU, RYAAAN. AKU FANS BERAT KAMUUU!"
Sebelum Anthoni melanjutkan kelebaiannya bertemu dengan sang artis idola, Arial udah lebih dulu memiting kepala Anthoni. Berdehem. Keder sedikit. Ryan Bateman kan artis papan atas. Pemain musik keceh badai. Bisa ketemu secara langsung, kian senang lah Arial.
"Maafkan kelakuan sohib gue," ucap Arial begitu, sambil sesekali melepar pandangannya ke arah Raphael yang terbalut dengan tampang wanita cantik dan mengubah nama menjadi Rachel. Tuh bodi semok banget, sih? Itunya juga siset nggak, ya? Dengung pikiran Arial nggak waras. Kecantikan cowo yang menyamar menjadi cewe tersebut memang nggak bisa diganggu gugat.
"Ehemmm...," Ryan berdehem nggak suka. Mata woi, mata! Cewe itu milik gue! Lo embat, gue sikat lo! Kira-kira seperti itulah makna dari pancaran nggak suka yang mata Ryan hunuskan ke Arial.
"Kak Thoni makasih ya, mau aku ajak ke Ancol," Raphael yang hari ini lagi-lagi mengenakan setelan dan riasan cewe tersenyum lebar. Cantik. Ia berkenalan dengan Arial yang terhipnotis ama kecantikannya.
"Nggak usah makasih, Raph, eh Rachel," Anthoni nyengir, semoga tuh artis songong nggak sampai mendengar ucapannya barusan. "Aku yang seharusnya berterima kasih karena udah kamu ajak ke sini sama."
"Ya udah kalau gitu kita ganti baju dulu. Nanti kita ketemuan di pantai, ya?" Rachel cerah ceria. Anthoni mengangguk. Mengajak Arial ke tempat ganti baju.
Ganti baju sekamar dengan Anthoni mungkin bukanlah sebuah keputusan yang tepat. Begitu melihat tubuh Anthoni yang mulus, putih, kayak perawan, dan hanya ditutupi sempak kedodoran bergambar Keroppi, adalah musibah. Arial memang pernah memandikan Anthoni. Tapi itu kan dulu sebelum ia tahu kalau Anthoni itu gay.
Dan sekarang, ketika Arial tahu Anthoni gay, semuanya jadi agak berubah. Arial takut khilaf. Anthoni cowo, tapi bodinya cewe, lho. Nggak ganteng. Manis imut gitu, lho. Kan, semua orang bisa khilaf. Termasuk Arial. Jadi, demi menjaga kemaslahatan bersama saat melihat tubuh perawan yang bersinar itu, Arial membuang muka. Bersiul. Saat di detik berikutnya, ia mendengar suara isakan Anthoni.
"Lo kenapa, An, kok nangis?"
Anthoni berbalik. Sumpah demi apa-apanya demi apa, itu sempak Anthoni kok ya bisa kedodoran, ya? Si imut Ciripa yang menggelantung lemas jadi terlihat sedikit, lho. Dan pantatnya Anthoni yang aduhai halus, sedikit terpapar, lho.
"Iaaal...."
"Iya, kenapa, An?"
"Aku nggak bawa boxer Keroppi aku?" bibir tipis itu mencebik.
Sebelah kening Arial tertarik ke atas. Nggak bawa boxer? Artinya Anthoni intal-intil ke pantai dengan sempak kedodoran itu? Yang kalau kena air sedikit bisa langsung copot itu? Horor! Ngeri men! Petaka, gan! Anthoni bisa diembat para lelaki liar. Kita hilangkan sejenak, sedikit ornamen imut yang tertempel nggak tahu malu di selangkangan Anthoni. Kalau kecambah imut itu bisa didelete sebentar, semua pasti akan setuju kalau Anthoni cewe. Badannya itu loh... ya ampun, pokoknya Arial nggak suka lah sahabatnya diekspose.
"Lantas?" pikiran karut marut itu masih loading di pikiran Arial. "Lo mau ke pantai Cuma pakai sempak kegedean itu?" tanya Arial nggak terima. "Gue bahkan nggak habis fikir, kok sempak lo bisa sampai ngelewer gitu, sih?"
Dan marmut berkecambah itu kian mewek. "Ial, jahat!"
Lah!
"Ini sempak kesukaan aku, Ial. Dibeliin Ibu pas aku ulang tahun ke tujuh belas!"
Sekarang Arial mahfum, dapat gen absurd, ra masuk-akal-itas dari mana seorang Anthoni. Silsilah keluarganya menjawab semua kehiperbolisan Anthoni.
"Lalu? Lo tetep mau ke pantai pakai sempak itu? Nggak gue izinin!"
"Ih, Ial, jahat."
Jahat apalagi coba?
"Aku bawanya boxer Spongebob. Bukan Keroppi. Aku nggak suka Spongebob. Aku sukanya Keroppi."
Errr... thats too weird. Arial mencoba dewasa. Entahlah, menghadapi Anthoni yang nyeleneh dengan kedewasaan bisa nyambung apa nggak.
"Ya udah, pakai aja yang ada. Masa lo nggak mau senang-senang ke pantai, sih? Tapi yang jelas, gue ngelarang lo ke pantai pakai sempak doank!"
"Aku nggak suka Spongebob, Ial," masih mewek rupanya si curut itu.
Mendesah napas panjang, Arial bertanya, "Kalau lo nggak suka Spongebob, kenapa lo beli boxer Spongebob?"
"Ini hadian dari Bapak. Katanya aku nggak boleh rasis kepada Spongebob, makanya bapak beliin aku sempak Spongebob. Bapak juga nggak ingin aku Keroppi maniak."
Jawaban itu mengantarkan kengetrilan kening Arial meningkat berkuadrat-kuadrat.
"Kenapa lo sampai nggak suka Spongebob, coba? Kan, spons kuning itu lucu, An?" Arial udah terseret arus ra genah yang disebarkan Anthoni.
"Habis Spogebob nggak pernah berhasil ujian mendapatkan SIM. Aku nggak suka, Ial. Dia kalau naik mobil pasti rusuh. Dalam benak aku, Spongebob bisa mengendarai Mercedes, nah ini, nyalakan mobil aja bisa mencelakakan banyak orang. Makanya aku nggak suka Spongebob."
Innalillaaah... Arial berkabung atas kegagalan Spongebob. Kemudian, setelah bermenit-menit ia membujuk Anthoni supaya berdamai sebentar dengan kenyataan pahit akan sinema penuh haru dunia bawah laut tersebut, Anthoni mau juga pakai boxer Spongebob. Lantas, drama kesempakan yang terjadi di kamar ganti itu selesai. Anthoni dan Arial keluar.
Dan drama kesempakan bentuk lain baru dimulai. Arial tetiba menginggalkan Anthoni di bawah pohon kelapa, tatkala matanya memindai tubuh Rachel yang terlihat sempurna. Sempurna.
Cewe itu memakai bikini yang ditutupi kemeja putih setengah basah, diikat di bawah dada, dan menunjukkan lubang pusar. Serta perut mulusnya yang rata. Untuk melengkapi kesempurnaan itu, Rachel mengenakan sarung bali sebagai bawahan. Dengan belahan panjang yang menunjukkan kemulusan pahanya. Siapa aja nggak akan tahu, bahwa cewe berbadan aduhai tersebut sebenarnya cowo.
Anthoni kalah pamor.
Arial mendekati Rachel. Mau tepe-tepe. Belum sempat keinginan itu terlaksana, Ryan yang tak kalah terpukau dengan penampilan Rachel, udah terlebih dulu mendekati sang pesona. Matanya tak terlepas sedetik pun dari wajah Rachel. Ia menggenggam tangan Rachel. Lalu bilang;
"Rachel lo cantik banget. Gue nggak pernah lihat cewe secantik lo."
Rachel tersipu. Tersenyum malu-malu, "Makasih, Ryan."
Ryan tersenyum. Mengecup punggung tangan Rachel. Kemudian bangkit. Detik berikutnya, dua bibir Ryan melumat mulut Rachel. Mengisapnya lembut. Menggigitnya bergantian.
Arial meradang. Ia melihat Anthoni yang melongo. Lalu, tanpa babibu, entah kesambet setan apa, Arial main cium bibir Anthoni secara ganas. Anthoni tersentak. Bayang wajah Theo kembali berputar. Nggak lama. Karena detik selanjutnya, Arial main pergi gitu aja. Tadi dia benar-benar kesal. Cewe cantik itu udah diklaim ama cowo lain. Ia nggak suka. Tapi yang jadi korban malah Anthoni yang baper. Bukan baper perkara dicium Arial. Tapi lagi-lagi baper mengingat keminggatan Theo. Theo dimana sih?
Dan mereka memulai menikmati libur yang cerah di pantai yang ramai. Bermain pasir. Rachel mengubur Ryan di pasir. Anthoni ikut-ikutan ngubur Arial di pasir. Ia nggak mau kalah dengan Rachel pokoknya. Adegan diciumnya Rachel sama Ryan tadi benar-benar membuat Anthoni baper tingkat dewa. Baper banget lah.
Anthoni menoleh ke arah Rachel, terkejut sendiri saat Rachel main bikin bentuk penis dari pasir di selangkangan pasangannya. Oh, Anthoni nggak mau kalah. Ia pun menyamai membuat bentuk penis di selangkangan Arial. Saat penis buatan Rachel semakin besar dan panjang, Anthoni pun gelap mata. Ia keduk pasir sebanyak-banyaknya, lalu menumplekkannya di selangkangan Arial.
Selepas adu bermain pasir, Arial yang masih gondok karena calon kecengannya main diembat gitu aja ama Ryan, mengajak artis ibu kota itu lomba lari. Arial menggendong Anthoni di punggungnya. Dan Ryan Bateman menggendong Rachel di punggung. Dalam hitungan ketiga, dua cowo macho itu saling lomba beradu kecepatan. Kedua tangan Anthoni kuat merengkuh leher Arial. Kedua tangan Raphael tak sedikit pun beranjak dari kalungannya di leher Ryan. Mereka tertawa-tawa. Apalagi ketika Arial yang memenangkan perlombaan ini, Ryan terlihat nggak terima. Cemberut. Merengut. Meminta agar perlombaan ini diulang kembali.
Begitu terus. Berkejaran. Membiarkan tubuh mereka tenggelam dalam keharmonisan yang ditawarkan Ancol. Menjelang sore, keempatnya memutuskan untuk membakar ikan di pinggir pantai. Dengan beberapa buah kelapa muda sebagai minumnya.
"Waaah hari ini gue seneng banget bisa main-main di pantai," Rachel merentangkan tangan. Menghirup udara. Dia biarkan Ryan bersibaku kesulitan mengupas buah kelapa. Lalu ia tersenyum geli melihatnya. "Masa ngupas gitu aja nggak bisa sih lo. Kalah lagi ama Arial. Cemen lo. Huuu...."
Itu namanya menyinggung. Dan sang artis besar, paling nggak suka disinggung. Ia melirik Rachel tajam. Setelahnya, melempar lirikan ke arah Arial ama Anthoni yang ketawa cekikikan menikmati segarnya air kelapa sambil mengipasi ikan. Gengsi Ryan naik ugal-ugalan. Membabi buta, ia mencoba berkali-kali mengupas buah kelapanya. Sampai Rachel tergelak kencang dibuatnya.
"Cieee... bisa juga lo ngupas kelapa?" Rachel menggoda ketika pada akhirnya Ryan mengangsurkan kelapa kepadanya.
"DIEM LO!" gusar Ryan.
Rachel cekikikan lagi.
Acara panggang ikan nggak pernah seromantis ini. Ryan yang ketus itu sengaja mengajak Arial berduel dalam memanggang ikan. Dan Arial, yang sedari kecil udah ditempa pendidikan sportifitas, menerima tantangan itu dengan senang hati.
"An, gue haus!" Arial memonyongkan bibirnya supaya Anthoni bisa mengangsurkan sedotan di kelapanya buat Arial.
"Chel, gue juga haus!" Ryan ingin lebih romantis lagi.
Rachel gelagapan sejenak. Kemudian mengangguk nggak menyangka. Ia angurkan sedotan di buah kelapanya buat Ryan.
Anthoni mengelap keringat yang bercucuran di pelipis Arial dan Ryan pun menginginkan hal serupa kepada Rachel.
"Gue mau kalian berdua nginep di penginapan di sini. Supaya besok kita bisa bermain lagi di pantai!" Perinta Ryan ketika ikan bakar mereka udah matang, dan mereka mulai menyantapnya.
"Gue sih oke-oke aja. Entah deh dengan Anthoni! Lo mau nggak, An!"
Anthoni gelagepan. Nggak! Anthoni nggak mau. Ia mau mencari Theo. Seharian ini, gegara main di pantai melulu, antoni jadi melupakan Theo. Nggak punya waktu untuk menghubungi Theo lagi. Theo udah pulang belum, ya?
"Maaf, tapi aku nggak bisa," Anthoni menggeleng menyesal. Menatap ketiga temannya secara bergantian.
"Kenapa?" tanya Ryan. "Lo ada acara?"
"Nggak ada sih, cuma―"
"Nggak ada, kan?" Ryan menekan. "Itu artinya lo punya waktu. Cuma semalam aja, nggak lebih. Besok sore lo bisa pulang."
"Maaf aku tetap nggak bisa."
"Ada apa sih, An? Katanya nggak ada acara, kok nggak bisa ikutan menginap? Liburan, An, supaya lo bisa refreshing sejenak." Arial merapikan anak rambut Anthoni yang jatuh ke dahi.
"Aku mau cari Theo, Ial. Aku khawatir banget sama dia."
"Theo lagi?" Arial tampak emosi. "An, Theo itu udah dewasa. Dua puluh tiga tahun. Apa perlu gue ingatkan terus usia dia, supaya lo nggak terlalu kebawa pikiran? Percaya ama gue, Theo nggak kenapa-kenapa. Dia pasti balik. Mungkin dia pulang ke rumah bokapnya. Nggak ada yang tahu, kan?"
"Tapi, Ial, aku―"
"Percaya ama gue, An," Arial meyakinkan. Menggenggam tangan Anthoni. "Please. Cuma semalam aja kok. Besok sore kita pulang. Dan gue janji, kalau besok sore Theo tetap nggak pulang, gue bantuin lo mencari Theo."
Anthoni mengembuskan napas panjang. Mengangguk kemudian. Malamnya, ia tidur seranjang seperti biasanya ama Arial. Namun kali ini mereka berada di penginapan dekat Ancol. Dan dengan suasana berbeda. Arial memeluknya dari belakang. Kedua tangan kekar Arial melingkar sempurna di perut Anthoni. Biar hangat kata Arial. Biar nggak digigit nyamuk kata Arial.
Napas Arial menggelitik leher Anthoni. Hidung Arial menggesek kulit pipi Anthoni. Panas. Padahal AC ruang udah disetel paling rendah suhunya. Anthoni mencoba untuk tidur. Menggenggam tangan Arial yang mendekapnya posesif. Dan membiarkan hangat tubuhnya bersenyawa dengan hangat tubuh Arial.
Mungkin sekitar jam dua pagi Anthoni terbangun. Ia melenguh pendek. Menggeliat. Mencoba lepas dari pelukan Arial, Anthoni berjalan mengendap-endap menuju nakas menghampiri ponselnya. Nggak ada satu pun balasan dari Theo. Ya ampun kemana sih, Theo? Anthoni cemas bukan main.
Anthoni mencoba menelepon Theo. Sialnya, suara cantik mbak-mbak operator yang menjawab sebelum sambungan terhubung, mengabarkan kalau pulsa Anthoni habis. Ah Anthoni kesal. Ia melirik Arial yang masih mendengkur pelan di atas tempat tidur. Menggigit bibir bawah, Anthoni berfikir. Memutuskan membeli pulsa atau menundanya hingga besok.
Sekarang udah tengah malam. Dan Jakarta, kabar yang Anthoni dengar, semakin malam semakin kejam. Anthoni takut lah. Banget malah. Apalagi membayangkan tindak kejahatan seperti yang selalu ia lihat di Patroli. Semakin nggak punya nyali lah Anthoni. Namun nama Theo, paras wajah Theo, senyum, dan semuanya yang berhubungan dengan Theo, menari-nari di pelupuk Anthoni. Menguras perhatiannya. Mengikis ketakutannya.
Anthoni berjalan mendekati gantungan baju. Menyambar jacket yang dulu pernah dipinjamkan Theo ketika ia kedinginan. Lalu, tanpa izin dulu kepada Arial, Anthoni ngeloyor pergi ke minimarket terdekat.
Berjalan-jalan tengah malam di daerah yang nggak dikenal Anthoni adalah kenekatan terbesar yang pernah dilakukan Anthoni. Tapi dia nggak peduli. Semua tentang Theo begitu mengusik pemuda mini tersebut. Seharian ini Theo sama sekali tak terlihat. Tak terdengar. Dan itu merupakan kesakitan buat Anthoni. Theo itu muridnya. Tapi Theo mampu menempati seluruh ruang yang ada di hati Anthoni. Ah, Anthoni nggak pernah sekhawatir ini sebelumnya.
Pulang dari minimarket, Anthoni buru-buru balik ke penginapan sambil terus mencoba menghubungi nomor telepon Theo. Dia melewati gang sepi. Berjalan tergesa-gesa. Ponsel di telinganya. Tuuut... pelan terdengar berkali-kali. Anthoni sabar. Menunggu dengan sabar panggilannya diangkat Theo. Saat ia mencapai mulut gang, dan mendongakkan kepala, langkah kaki Anthoni terhenti begitu aja. Tubuhnya mendadak kaku. Ponselnya terjatuh.
Keringat dingin meluncur tanpa bisa dicegah. Ketakutan terbesar dalam hidup Anthoni beberapa tahun lalu, yang merupakan awal dari semua musibah dan trauma hebat yang menderanya, seperti dimunculkan di depan mata.
"Dasar homo biadab... homo jalang... homo bajingan... layani gue. Emut kontol gue. Anjing lo. Emut kontol gue,Bego!"
Anthoni mundur. Dan bahaya dalam hidupnya menyeringai maju.
Orang itu....
Lelaki menyeramkan itu....
Iblis yang udah menghancurkan hidup Anthoni itu....
Entah bagaimana caranya....
Berdiri menakutkan di mulut gang....
Menyeringai setan....
Membawa petaka buat Anthoni....
Dan....
Kematian yang nyata....
"Hai, Anthoni... nggak nyangka, ya, kita ketemu lagi."
"Dasar homo biadab... homo jalang... homo bajingan... layani gue. Emut kontol gue. Anjing lo. Emut kontol gue,Bego!"
.
.
.
.
Menanggapi berbagai komentar di part sebelumnya yang banyak menanyakan kehiperbolisan saya, yang memanusiakan anjing, mengajak anjing bicara, dan segala macam kelebaian-kelebaian lainnya, saya ingin sedikit bercerita: saya kalau makan semangka, saya campur sambal pecel. Kalau makan nasi goreng, saya siram pakai capjai. Nenek saya, kalau telur-telur ayamnya gagal menetas, pasti akan memarahi para induknya. Kakek saya, jika ayamnya lagi sakit, pasti diolesi balsem dan dijamuni.
Aneh? Memang. Hiperpolis? Sudah pasti. Tapi realistis.
Saya hidup di keluarga yang nyeleneh nyentrik. Jadi jangan kaget dengan keabsurdan dan kelebaian racikan saya dalam tulisan saya. Jangankan mengajak Oreo ngobrol, saya pastikan saya akan menjadikan Oreo mengalami masa-masa puber dan ngambek nggak mau makan karena naksir ayam Ibu Kos Anthoni.
Jadi kalau kalian menjumpai tulisan saya yang luebai, jangan kaget, wong penulisnya saja edan kok.
Menurut junjungan saya dalam bidang seni, Sujiwo Tejo: Jika dengan jancuk pun tak sanggup aku menjumpaimu, dengan air mata mana lagi dapat kuketuk pintu hatimu.
Jika dengan bahasa edan pun tak sanggup aku menjumpaimu, dengan bahasa sastra mana lagi dapat kuketuk pintu hatimu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top