20. Jealousy

Saya dan om ChristianJCB datang lagi

vote komennya

Selamat membaca

Salam dari kami :)

Malagoar & ChristianJCB

.

.

.

.

.

"Ayolaaah, Ariaal...," Anthoni merajuk, menarik ujung baju Arial. Sementara yang dirajuki bungkam. Bersedekap. Matanya menelisik seorang cowo yang tengah memangku anjing tertidur di sudut ruang kos. "Izinin anjing itu gabung menjadi anggota kos baru kita," Anthoni melanjutkan persuasinya.

Arial masih nggak mau menjawab. Pemandangan Theo mendekap tubuh Anthoni lalu mau mencium kening Anthoni nggak bisa enyah begitu aja di ingatan Arial. Oke dia memang udah tahu kalau Anthoni itu gay. Tapi... ayolaaah, masa secepat ini sih dia make out di depan Arial? Dua orang cowo saling berciuman? Oke yang tadi itu dikategorikan hampir berciuman. Kan, nyaris aja. Mana tuh tubuh saling tempel-tempel gitu lagi. Kan... kan... nggak seharusnya begitu?

Apa Theo juga homo? Adalah pertanyaan yang sedari tadi berkubang di kepala Arial. Ya Tuhan, mengetahui jika Anthoni gay aja udah cukup membuat Arial terkejut luar biasa. Dan sekarang, ditambah dengan kenyataan ada dua orang gay berada di dalam kamarnya. Di bawah atap yang sama? Berbagi ranjang yang sama? Arial mau meledak aja.

Tapi... kalau Theo juga gay, pertanyaan besarnya adalah, kenapa dia main ngata-ngatain Anthoni di awal pertemuan mereka? Arial nggak tahu. Kepalanya pusing. Berdenyut hebat. Padahal dia Cuma meninggalkan Anthoni beberapa hari aja ke basecamp basket provinsi. Tapi perubahan yang terjadi di balik pintu kamar kosnya luar biasa besar.

"Ariaaal...," dan lagi, kapan sih si marmut itu dipisah dengan kata unyu? Kenapa setiap permintaan Anthoni nggak ada satu pun yang mampu ia tolak?

Arial memijat pelipis. Ekor matanya menangkap bayang tubuh Theo yang masih mengelus punggung anjing yang tertidur dalam pelukannya.

"Izinin Oreo anak aku ama Theo menjadi bagian dari kamar kos ini, yaaa. Aku janji deh, nggak akan ngasi tahu ibu kos."

Dia bilang apa?

"Siapa?" kening Arial mengernyit tajam. Dipalingkan perhatiannya ke arah Theo yang malah menguap lebar.

"Anak aku ama Theo?"

"Anak? Anak yang mana?"

"Oreo?"

"Oreo? Oreo yang mana lagi?"

"Anjing yang kami selamatkan. Namanya Oreo. Aku dan Theo udah sepakat mengadopsinya sebagai anak."

Apa-apaan ini? Arial nggak terima. Sangat! Anthoni itu miliknya. Dulu. Sekarang dan besok-besok, Anthoni miliknya. Dan akan tetap menjadi miliknya. Terserah deh Anthoni homo atau lurus, Arial nggak peduli. Ulat bulu itu milik gue! Milik gue! Tapi sekarang ulat bulu gue punya anak dengan cowo lain. Sigh. Kok kedengerannya gue menderita banget, ya?

"Dari jalur pembuatan anak yang mana sperma Theo bisa membuahi sel telur dari perut lo, An?" Arial nggak habis fikir. "Bahkan gue masih nggak habis fikir lo yang punya titit bisa hamil dan melahirkan anak anjing tak kurang dari seminggu." Arial geleng-geleng.

Anthoni memutar bola mata malas. Arial nggak mutu banget guyonannya. Tapi, emang dari dulu Arial sosok yang paling nggak pandai becanda, ya?

"Ayolah Arial, please. Izinin anak kami untuk tinggal satu kos dengan kita?"

Nggak tahu kenapa, ya, setiap Anthoni berbicara 'anak kami' dada Arial terasa berat. Kayak nggak terima gitu dengan pengeklaiman secara sepihak. Iya, sepihak menurut Arial. Karena dia nggak suka aja Anthoni yang selama bertahun-tahun tidur satu kamar kos dengannya tapi punyanya anak dengan cowo lain. Eh? Arial menggeleng kuat. Nggak! Dia nggak mungkin cemburu. Nggak mungkin cemburu.

"Gue mau menampung bayi jelek itu di kamar ini asal gue juga menjadi bagian dari keluarga kalian," bahkan Arial nggak sadar dia mengelurkan statement barusan atas dasar apa. Oh, mungkin Arial butuh refreshing kali, ya.

"Oke!" Itu barusan suara dari Theo yang beranjak dari duduknya. Menidurkan Oreo di kardus yang selama seharian ini digunakan Anthoni sebagai tempat menyembunyikan Oreo di kamar kos. Lalu menggeliat sebentar. Melepas kaus yang ia kenakan. Celana jeans-nya juga. Menyambar boxer dari almari. Kemudian merebahkan tubuh di atas kasur. "Mulai sekarang lo gue angkat sebagai Pak Dhe-nya Oreo. gue mau tidur. Capek! Jangan berisik!"

Anthoni nggak pernah mengira perkara mengadopsi anak anjing bakal menjadi sepanjang ini. Hari-hari setelah Theo secara aklamasi mengangkat derajat Arial menjadi Pak Dhe buat si anjing, kelakuan dua cowo itu makin hari makin menyerupai setan aja.

Keduanya ribut dulu-duluan memandikan Oreo. Ribut dulu-duluan menyuapi Oreo. Ribut dulu-duluan mengajak Oreo. Bahkan, saking sangkleknya, mereka juga ribut dulu-duluan membubuhi minyak telon di perut Oreo. Takut kalau Oreo masuk angin katanya. Takut kalau Oreo kembung katanya.

Anthoni pasrah. Nggak bisa melerai keduanya. Baik Arial maupun Theo memiliki ego yang sama tinggi. Yang kalau dilarang malah akan semakin menjadi.

Anthoni nggak pernah mengajar sebelumnya. Murid pertama Anthoni selama dia mengenal dunia tulis menulis, ya Theo. Tapi Anthoni nggak pernah berfikir jika menjadi guru les akan sedemikian ngeselin seperti ini. Maksudnya, memiliki anak murid yang ngeselinnya minta ampun. Theo akan memiliki banyak alasan untuk mengulur waktu belajar. Banyak cara untuk mengalihkan perhatiannya Anthoni.

Anthoni emang kalem. Namun, soal urusan belajar, dia akan menjadi orang yang tegas dan galak. Galak seperti sekarang ini dimana Theo lagi-lagi mengeluarkan jurus ampuhnya untuk mengalihkan perhatian Anthoni.

"Kayaknya anak kita butuh jalan-jalan deh, Mak," Theo membujuk. Tatapan mata cokelat pinusnya penuh haru ke arah Oreo yang lagi jilat-jilatin selangkangan dia. "Kasian anak kita. Nggak ada hiburan di kosan sempit ini," jangan pernah terbujuk dengan kalimat penuh gula yang dilontarkan Theo barusan. Rayuan maut itu udah Anthoni hapal sejak dulu. Sejak Theo mulai giat belajar juga giat memperhatikan si buah hati.

"Perlu aku ingatkan ya, Theo, anak cebol kita udah jalan-jalan ama Pak Dhenya tadi subuh keliling kompleks. Kamu nggak usah lebai gitu ah. Kerjakan soal nomor lima belas. Masa bab integral yang cemen gitu kamu nggak bisa-bisa, sih?"

"BLOODY HELL!!" Theo memekik histeris dengan mata yang dibuka simetris. "Kok lo nggak izin dulu ke gue, sih?" Theo nggak suka. "Gue papanya di sini. Apa pun keputusan dalam rumah tangga kita itu atas izin gue. Main ngajak anak kita jalan-jalan tanpa sepengetahuan gue?" pemuda itu mulai mendramatisir. "Subuh-subuh lagi? Mak, lo tau kan penjahat itu ada di mana aja. Kalau Arial dibegal lalu anak kita diculik gimana? Lo nggak punya hati banget, sih, ngebiarin Oreo diajak jalan-jalan Pak Dhenya subuh-subuh. Anak kita belum baligh, Mak. Belum sunat. Kalau dia udah dewasa dan udah sunat boleh lah jalan-jalan ama siapa aja. Tapi inget, HARUS IZIN GUE!!"

Anthoni menggebrak meja belajar. Membuat Theo dan anak mereka yang lagi mengangkang jilat-jilatin anu, berjengit kaget. Oreo meringik ketakutan.

"An, lo nakutin anak kita!" Theo menggeram. Anthoni tak kalah sangar.

Dengan gigi bergemelatukan, Anthoni berbicara, "Tentukan integral x jika diketahui g 1(x)'=2x6+3!" suaranya tegas mengultimatum.

Saat Theo mau melawan, suara ponsel Anthoni menginterupsi. Sebuah pesan masuk. Dari Arial.

Arial

Hari ini ponakan gue mw makan apa? Gw kebetulan lgi ada di pet shop skalian mw beliin cemilan buat Oreo.

Anthoni tersipu membacanya. Semenjak insiden malam itu, Arial jadi berbalik penuh perhatian kepadanya, terlebih kepada Oreo. Setiap waktu, setiap saat, jika Arial nggak ada di dekatnya, pasti Arial akan menghubunginya. Mengiriminya pesan. Menelepon sekadar ingin mendengar suara gonggongan Oreo.

Dan sekarang pesan itu masuk lagi.

Arial

Kok gw kangen ama ponakan gw, ya? Gw tlpon, ya, gw mau dngerin Oreo panggil nama gue.

Pipi Anthoni merona merah lagi. Sedetik kemudian, setelah pesan itu mampu membakar pipi Anthoni, nama Arial udah menari-nari di ponselnya. Anthoni buru-buru berdiri. Lalu, seperti anak perawan yang baru mendapat surat cinta pertamanya, Anthoni menghampiri Oreo yang menggeleng menolak kehadirannya.

Anthoni menggendong Oreo. "Jangan bilang ke Pak Dhemu kalau Mama habis marahin papa dan bikin kamu kaget, ya. Nanti dia ngomel-ngomel nggak jelas. Lalu, memutuskan untuk pulang. Hari ini dia ada latihan basket. Ngerti?" ancam Anthoni menakutkan.

Oreo masih menggeleng ketakutan. Meringik-ringik. Anthoni benar-benar nakutin kalau jadi mama-mama. Baru setelah Anthoni mengancam Oreo, Anthoni menekan tanda jawab. Menempelkan heandphonenya di telinga Oreo.

"Ponakan Pak Dhe lagi apa?" Anthoni sengaja me-loudspeaker suara Arial.

Suara dengkingan penuh penderitaan Oreo karena habis mendengar suara ibu angkatnya yang menggelegar terdengar. Anthoni melotot, menyuruh anaknya untuk menggonggong bahagai. Tapi Oreo nggak mau. Dia ingin menyuarakan isi hatinya.

"Astaga sayang, kenapa suara kamu seperti itu? Kamu kenapa, Nak? Bilang sama Pak Dhe siapa yang udah jahatin kamu?"

Anthoni melotot keji. Berbisik di telinga Oreo, "Kalau kamu bilang macam-macam, nggak ada makan malam dan susu strawberry sebelum bobok."

Oreo melotot. Menggeleng ngeri. Itu ancaman paling biadap. Dia menatap emaknya nggak suka. Lalu menggonggong liar di ponsel Anthoni.

Mendengar itu Anthoni tertawa menyeringai. Menepuk-nepuk kepala Oreo, "Anak pintar." Gitu gumamnya.

"Oh, Pak Dhe kira kamu sedang ditekan, Nak!"

Aku emang ditekan ama emaaak! Begitu kira-kira isi hati Oreo. Ia mendengking menyedihkan. Menggeleng penuh haru. Kemudian menunduk sambil menyembunyikan air matanya.

"Sayang, hari ini kamu mau Pak Dhe bawakan makanan apa?"

Mendengar kata makanan, Oreo bersemangat lagi. Menggonggong-gonggong lagi. Melompat-lompat lagi. Melihat hal itu, Theo nggak suka. Hatinya panas, meradang. Dia bangkit dari kursi. Menghampiri Oreo dan mama Oreo. Mengangkat tubuh Oreo dalam gendongan, lalu menyambar ponsel Anthoni.

"Anak gue mau makan malam bareng gue ama Mamanya. Lo nggak usah sok-sokan ngebeliin dia makanan ringan. Dia bisa obesitas!" Dengan kasar, Theo mematikan hubungan telepon. Dia melayangkan pandangan kepada Anthoni dan Oreo. "Kalian berdua, apa harus gue ingatin lagi kalau gue kepala keluarga di sini. Gue bokap dari anjing ini! Segala keputusan harus berdasar izin gue! Gue nggak suka hal ini kejadian lagi. Mengerti?"

Anthoni dan Oreo menunduk. Mengangguk lesu.

"Oke, sepertinya belajarnya udahan aja. Gue mau makan masakan Jepang kali ini."

Dan kalimat itu sukses bikin Oreo gembira bukan main. Masakan Jepang itu kesukaan Oreo. Apalagi sushi. Oh, Oreo senang sekali. Ini akan menjadi makan malam paling membahagiakan seumur hidup Oreo.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top