19. Togetherness part 2
Semangat Pagiiii saya dan Om ChristianJCB datang lagi
Vote, komen, dan segala hal yang membangun selalu ditunggu-tunggu
Selamat menikmati
Salam kami
Malagoar & ChristianJCB
.
.
.
.
Selepas acara pelukan Teletubbies tersebut, Anthoni, dan kedua orang berbadan kekar yang baru akur itu bermain taman hiburan.
"Mau mencoba wahana apa?"
Om Patrick menanyai keduanya.
"Roller coaster, Pah," Theo berseru dengan semangat. "Dah lama nggak naik roller coaster."
"Oke!" seketika Om Patrick mengajak Theo membeli tiket roller coaster. Teringat sesuatu, dia berbalik ke arah Anthoni yang semakin ditambahi beban dengan menenteng jas mahal Om Patrick. "Dek Thoni naik roller coaster nggak apa-apa kan? Nggak pusing, kan?"
Anthoni tersenyum. Duduk di bangku semen yang ada di sana. Sambil mendudukkan tas carriernya. "Saya nunggu di sini aja, Om. Biar kalian aja yang naik."
Om Patrick mengangguk. Berantusias mengajak Theo yang semangat empat lima menakhlukkan roller coaster. Sekitar beberapa menit kemudian, ketika perputaran roller coaster yang ditumpangi Om Patrick dan Theo selesai, Theo turun dengan kepala berkunang-kunang. Lalu setelahnya, Theo muntah-muntah di dekat Anthoni.
"Gila...," Theo meracau, "lama nggak naik roller coaster bisa mabok jug―hueeek...," buru-buru Anthoni memijit tengkuk Theo. Mengambil aromatherapy roll on yang ia gantung di tas carriernya, lalu mengoles-oleskannya di tengkuk, leher, dan pelipis Theo.
"Duh... badan dibesarin. Naik gituan aja udah mabok." Anthoni mendumel. Memijit tengkuk Theo selama tuh bocah mengeluarkan seluruh isi perutnya. "Kalau Oreo tahu bisa ketawa sampe mati dia."
Theo langsung menyambar lengan Anthoni. Mendelik sebisa mungkin dengan wajah pucatnya. "Jangan sampai...," bibirnya bergetar waktu mengucapkan kalimat itu, "Oreo tahu. Nggak punya muka gue kalau tuh anak tahu, Papanya mab―hueeekk..."
Anthoni menggeleng-geleng. Sementara Om Patrick kebingungan di tempatnya sambil mendial beberapa nomor di ponselnya dengan terburu-buru. "Papa panggilkan ambulance, Theo. Kamu bertahan sebentar, ya," bilang Om Patrick panik.
Anthoni memutar mata. Berdecak. Dasar orang kaya! Baru kali ini tahu mabuk roller coaster pakai dipanggilin ambulance. "Theo nggak apa-apa, Om. Dia belum sarapan, makanya mabuk. Mending kita sarapan dulu, deh."
Anthoni menggelar tikar yang ia bawa. Kemudian membuka tas carriernya. Mengeluarkan berbagai macam makanan tradisional yang ada di sana: perkedel, telur ceplok, tumis kangkung, mie goreng, bothok udang, rempeyek laron.
Mata Theo membulat begitu melihat hidangan ajaib yang Anthoni bawa. "Lo bilang mereka makanan?"
Om Patrick juga kelihatan bergidik. Tapi dia diam aja waktu Anthoni mengambilkan sepiring nasi yang juga ia bawa di dalam termos, kepadanya. Tak lupa memberi tumis kangkung, telur ceplok, perkedel dan rempeyek laron di sana.
"Emang ini bisa dimakan?" Om Patrick ragu. Namun ketika ia melihat Anthoni yang melotot imut, Om Patrick langsung memakan sarapan ala Anthoni. Kemudian mendesah nikmat begitu lidahnya bersentuhan dengan racikan bumbu yang Anthoni buat untuk masakannya. "Ini enak banget," Om Patrick tanpa basa-basi langsung mengeduk nasi lagi ke piringnya. Dan tak tanggung-tanggung membuka sebuah bungkusan bothok udang buatan Anthoni. "Ah... Om nggak pernah merasakan masakan enak ini di restaurant-restaurant mewah mana pun."
Anthoni hanya memutar mata malas. Dasar orang kaya. Lalu Anthoni menyiapkan sarapan bua Theo.
"Kalau lo berniat mau nyuruh gue makan makanan yang bahkan gue nggak tahu apa nama mereka itu, lo salah besar. Gue nggak hmmpp―" racauan Theo bungkam ketika Anthoni menyuapinya sesendok nasi beserta rempeyek laron.
"Nggak usah kebanyakan bicara," Anthoni menukas. Membersihkan butir nasi yang tertinggal di sudut bibir Theo. "Makan atau kamu bakal teler seharian." Mata Anthoni berkilat keji. Menyuapi Theo lagi, sambil berkali-kali mengusap punggung Theo, "Makanya, jangan sok jago naik roller coaster."
Theo hanya mendumel jengkel. Menerima suapan dari Anthoni.
"Minum dulu, Om," Anthoni menuangkan jus jeruk ke gelas plastik yang sengaja ia bawa. Memberikannya kepada Om Patrick. "Mau nambah? Saya masih bawa banyak buat makan siang kita nanti." Anthoni tersenyum, hidangan buatannya nggak ada yang terlantar.
"Nggak usah, terima kasih," Om Patrick yang udah menyelesaikan sarapannya bersendawa keras. "Masakanmu enak sekali, Dek Thoni. Rasanya udah lama Om nggak merasakan masakan buatan tangan yang enak seperti ini."
Anthoni tersipu. Masih sambil menyuapi Theo yang entah kenapa hari ini merasa lengkap. Ada dua orang yang memerhatikannya. Dua orang yang sayang kepadanya. Eh? Nggak! Kecuali si kerdil itu. Nggak mungkin kan si cebol itu menaruh sayang kepadanya?
"Gue juga mau minum," Theo berujar ketus. Anthoni terkesiap beberapa detik. Kemudian mengeluarkan botol susu Ultramilk cokelat dari tas lagi. "Kok lo ngasih gue susu, sih? Gue udah gedhe. Gue nggak doyan susu. Gue mau jus seperti bokap gue!"
Mata Anthoni berkilat mengerikan. "Minum susu ini, atau kita pastikan nanti sore Oreo berpindah kepemilikan tangan."
Ya ampun, siapa yang udah merasuki Anthoni menjadi makhluk suka mengancam dengan sadis? Dasar Oreo si jelek! Kok gue bisa sayang ama tuh anjing, sih? Dan kemana si kerdil ini nyembunyiin anak gue? Eh anak gue ama dia! Dasar emak durhaka!
Gemas, dan dengan rasa keterpaksaan luar biasa, Theo menyambar botol susu Ultramilk rasa cokelat dari tangan Anthoni. Mencubleskan sedotan di lubangnya, kemudian menyeruputnya ganas, hingga tandas dan mengeluarkan suara serutan.
Menginjak siang, mereka mencoba berbagai macam wahana. Mulai dari komidi putar, bianglala, hysteria, dan masih banyak lagi sampai lemas lutut mereka. Saat Om Patrick pamit ke kamar mandi, Anthoni berhenti di sebuah tempat bermain yang memasang boneka panda seukuran tubuhnya sebagai hadiah utama. Orang yang berhasil menjatuhkan semua gambar bebek yang berjalan bakalan mendapatkan hadiah utamanya. Anthoni hanya tersenyum. Memandangi boneka panda itu dalam waktu yang cukup lama.
"Theo...," Anthoni menarik-narik ujung baju Theo. Theo menoleh ke arahnya.
"Apa?" sembur Theo nggak sopan.
"Aku mau es krim," Anthoni mengerjap imut. "Biar nggak mabuk ntar pas pulang ke naik bus ke kosan."
Theo berdecak sebal. "Ogah! Gue udah kenyang! Dan gue nggak ada niatan buat ngebeliin lo es krim. Lo beli sendiri sana!" Lalu Theo ngeloyor pergi.
Anthoni sebal. Nggak suka. Merengut. Akhirnya Anthoni pergi sendiri ke stand penjualan es krim. Saat berada di sana, antrian yang ada terlihat panjang. Anthoni berdiri paling belakang. Di belakang sepasang cowo-cewe yang terlihat adu mulut. Ketika ular antrian maju, cowo-cewe yang bertengkar tersebut tak kunjung maju. Malah masih asik berantem. Oh Anthoni sebal sekali. Ia ingin es krim, dan kehadiran dua makhluk itu cukup mengganggu niatannya.
"Maaf, ya, Mbak, Mas, kalau kalian nggak ada keperluan di sini, lebih baik kalian pergi aja! Saya sedang pengin es krim. Dan saya cukup terganggu dengan perkelahian kalian."
Si cowo mengenakan hodie dan kupluk itu terlihat menutupi mukanya. Sementara si cewe tersentak. Menoleh ingin tahu ke arah anthoni. Kening Anthoni sedikit mengernyit ketika melihat si cewe.
"Mbak kayaknya kita pernah bertemu deh?" Anthoni meracau nggak tahu malu. "Raphael kan, adek kelas SMA saya?" terka Anthoni begitu aja.
Cewe tersebut tergagap dan kelihatan panik. Melirik cowonya yang terlihat bingung.
"Siapa itu Raphael? Adikmu?" bilang si cowo bingung.
"I-iya. Dia adik gue...," balas pasangannya.
Kernyitan di dahi Anthoni semakin tajam. "Nggak! Kamu kan Raphael. Ngaku aja deh. Daya ingat jangka panjang aku luar biasa. Aku tahu kamu Raphael." Anthoni bersikukuh.
Si cowo berhodie mendekati Anthoni yang lebih pendek darinya. Lalu ia menantang. "Lo siapa, sih?" sementara cewe cantik bikin tanda dengan heboh di belakang cowo untuk Anthoni supaya ia diam.
"Nama saya Anthoni," anthoni nggak mengindahkan tanda yang dimaksud mbak-mbak itu. "Saya sangat yakin kalau cewe Anda ini adalah cowo adek kelas saya yang bernama Raphael. Saya bisa membuktikannya."
"Ryan! Ada fans ngelihatin lu! Cepetan lari!" Mbak-mbak heboh itu teriak, membikin pasangannya tersentak kaget lalu celingukan. Hal ini digunakan si Mbak-mbak untuk menarik Anthoni ke tempat yang agak sepi.
"Kak Thoni bisa diem nggak sih?" ucap si cewe panik.
Anthoni mendekati Mbak tersebut. Demi menguatkan daya ingatnyaa tentang sebenarnya cewe itu, anthoni memepet si Mbak. Lalu, tanpa tendeng aling-aling, anthoni mengangkat rok cewe tersebut. Si mbak praktis memekik. Kemudian berteriak lantang menggunakan suara cowo. Setelahnya, satu hantaman kuat ia layangkan ke wajah anthoni, membuat si marmut seketika tersungkur ke tanah.
"Kak Thoni! Kakak! Maaf! Maaf! Kakak nggak apa?"
Anthoni memegang sudut bibirnya yang sakit akibat tinju tersebut. Mbak-mbak itu menarik Anthoni. Mengajaknya duduk. Bilang minta maaf berkali-kali. "Jadi kamu benar Raphael kan?" Anthoni mempertahankan argumennya.
"Iya, iya, tapi jangan bilang itu kenceng-kenceng donk kak... aku lagi menyamar."
Anthoni melirik tajam. Matanya jatuh ke dada si Mbak. Lalu, dalam sekerjap mata, Anthoni meremas dada si cewe. Lagi, si cewe memekik lantang menggunakan suara cowo. Hantaman keras mendamprat di pipi Anthoni.
"Kak, hentiin donk! Walaupun ini tempelan tapi masih kerasa di dadaku."
"Lha habis kamu cantik banget nyamar jadi cewe. Emang kenapa sih pakai nyamar-nyamar segala." Anthoni meringis kesakitan. Baru kali ini ia ditonjok. Dan rasanya luar biasa nggak enak. "Kamu beneran Raphael, kan?"
"Iya. Aku Raphael, Kak. Aku sedang berada dalam keadaan yang sangat terpaksa untuk melakukan ini," Raphael menunjuk tubuhnya.
"Terpaksa kenapa?"
"Kenal Ryan Bateman kan, Kak?"
"Emmm... Ryan Bateman?" Anthoni tampak berfikir. Sedetik kemudian heboh sendiri. "Aku tahu! Pemain band itu kan? Dia idola aku!"
"Yep, cowo tadi itu dia dan pamannya memintaku untuk melakukan ini," Raphael menghela napas panjang. "Singkatnya, pamannya ingin Ryan berubah menjadi orang yag lebih baik, makanya pamannya memintaku untuk menjadi pacarnya dan membimbingnya. Dan sebagai gantinya, nyokap sama David adik aku, diurus keuangannya ama Om Gunther. Kamu tahu sendiri, kan, aku kekuarangan uang dan Mama sakit berat di RS."
Oh, Anthoni sedih sekali. Ia sangat ingat jika Raphael adik kelasnya itu anak yang baik. Pintar. Dan pandai berakting. Anthoni kaget aja mendapati Raphael yang dulunya cowo sekarang dandan cewe, dan ajaibnya ia cantik banget.
"Kak Thoni, please. Just keep quite for a while and play along. Kalau mungkin, bantu aku untuk meyakini Ryan untuk percaya padaku."
Anthoni mengangguk. "Baiklah, aku nggak akan bocorin rahasia kamu. Semoga ibumu cepat sembuh, ya, Raphael. Dan adek kamu menjadi siswa yang cerdas seperti abangnya."
"Terima kasih, Kak!" Raphael memeluk Anthoni dan membenamkan wajah anthoni di dadanya. Oh, empuk, Anthoni menikmatinya tanpa sadar.
Setelahnya, Raphael pergi setelah berpamitan. Dan Anthoni memutuskan untuk mencari Theo.
Cowo itu berdiri di sana dengan kening mengernyit. Berjalan dengan langkah gusar mendekati Anthoni. Matanya menyipit. Menarik tubuh Anthoni. Tangan besarnya mengelus punggung Anthoni, sementara tangan yang lain menyentuh luka lebam di sudut bibir Anthoni.
"Habis ditonjok siapa?" dia menggeram. Mata pinusnya tak sedikit pun terlepas dari sudut bibir Anthoni yang membiru.
"Eng...," Anthoni menggigit bibir. Ini posisinya sangat mengundang Ciripa untuk menggonggong lebih liar lagi. Theo berasa memeluknya lho. Tangan kiri Theo berada di punggungnya lho. Sementara jemarinya yang lain bermain-main di sudut bibirnya lho. Ya ampun, Anthoni kan nggak tahu harus menjawab apaan. Antara mau menyembunyikan fakta jika ia baru aja ditonjok adik kelasnya. Dan perasaan horny karena kembali didekap Theo. Dalam sehari ini Anthoni secara nggak sadar dipeluk Theo dua kali. Oh Anthoni senang sekali.
"Habis ditonjok siapa?" Theo mengulangi pertanyaannya.
"Ini... ini tadi kejedot pintu," jawab Anthoni ngawur.
"Habis ditonjok siapa?"
"Kejedot pintu Theo...."
"Gue udah malang melintang di dunia pertawuran selama bertahun-tahun. Gue tahu mana luka kejedot mana luka ditonjok. Jadi lo nggak usah sok-sokan mengelak. Lo habis ditonjok siapa? Siapa yang udah berani-beraninya nonjok lo? Bilang ama gue!"
Anthoni bingung mau jawab apa. Ia menggigit bibir bawah resah. "Aku...."
"Mak."
Ya ampun, itu romantis banget sih Theo memanggilnya Mak. Ah Anthoni terlena. "Ini tadi kecelakaan," Anthoni bergumam.
"Siapa orang itu?"
"Theo, please...."
"Siapa orang itu?" suara Theo semakin tegas.
"Ini tadi Cuma kec―"
"SIAPA.ORANG.ITU!" Suara Theo semakin menakutkan. Mata pinusnya terlihat penuh emosi. "Siapa yang udah ngelukain lo? Gue nggak terima kalau lo kenapa-kenapa. Gue nggak suka kalau ada orang yang ngelukain lo. Bilang ama gue, siapa orang yang udah berani-beraninya menonjok Mamanya Oreo."
Anthoni semakin bingung mau menjawab apa. Saat ia semakin tersudut, suara deheman Om Patrick terdengar dari belakang mereka. Anthoni mundur dari dekapan Theo. Nyengir kuda. Om Patrick mengajak mereka jalan-jalan lagi. Mencoba berbagai wahana lagi.
Keharmonisan Om Patrick dan Theo semakin waktu semakin kuat. Om Patrick mengabulkan semua permintaan kecil dari Theo yang hari ini terlihat super manja. Dari pagi, walaupun Anthoni berada di tengah-tengah mereka, namun Anthoni hanya sebatas menemani dua orang itu aja. Tak lebih. Memerhatikan bagaimana dua orang yang sebelumnya berseteru itu sekarang berbagi tawa dan canda yang masgul.
Menjelang malam, Om Patrick berpamitan balik ke kantor karena ada urusan meeting. Anthoni dan Theo kembali ke kos-kosan. Sampai di depan kamar kos Anthoni yang keribetan mencari kunci kamar, ditinggal sejenak ama Theo yang bilang mau pergi sebentar.
Anthoni buru-buru memasukkan kunci ke lubangnya, berniat membuka pintu ketika Theo memanggilnya. Anthoni menoleh. Lalu tersenyum lebar.
Boneka panda super besar yang ia lihat di taman hiburan tadi kini tengah berdiri di sampingnya. Lalu kepala Theo tersembul dari balik kepala panda. "Suka?"
"Makasih...," Anthoni menerima boneka panda dari tangan Theo, namun terkejut sendiri ketika Theo menyisihkan boneka dari tangannya dan bergantian memeluk tubuh kecil Anthoni. Mendekapnya dalam rengkuhan hangat.
"Terima kasih, Mak, lo udah bikin ulang tahun gue berwarna hari ini," Theo mendesah. Mengelus surai lembut Anthoni.
Tubuh si kerdil menegang. Nggak menyangka akan mendapat pelukan ketiga dari Theo. Dia kalungkan kedua tangannya di pinggang Theo. Mencium aroma tubuh cokelat karamel kesukaannya. Rasanya hangat. Darahnya berdesir hebat. Jantungya jumpalitan.
Theo memeluknya?
Anak nakal itu memeluknya?
Theo si preman memeluknya secara SADAR?
Anthoni nggak percaya. Namun hangat tubuh Theo, empuk dada Theo, lekukan abs Theo... menjawab semua ketidakpercayaan Anthoni. Anthoni menenggelamkan wajahnya di dada bidang Theo.
"Terima kasih...,"Theo menangkup rahang Anthoni. Memajukan kepalanya. Anthoni yang nggak memilliki persiapan akan dilakukan sedemikian romantis, memilih untuk menutup mata. Berharap. Entah berharap apa. Napas panas Theo menerpa kulit putih Anthoni. Menggelitik sel saraf sensitif Anthoni. Rasanya menenangkan. Theo semakin mendekat. Menundukkan kepala. Kemudian, ketika bibir Theo mau mengecup kening Anthoni, pintu kamar kos terbuka dari dalam.
"Apa-apaan ini?" suara Arial terdengar menginterupsi aktifitas (rada) panas mereka.
.
.
.
.
:):)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top