18. Togetherness part 1
Semangat Pagiii, saya dan Om ChristianJCB datang lagi.
Vote, komennya selalu ditunggu
Selamat menikmati
Salam kami
Malagoar & ChristianJCB
.
.
.
.
.
.
Sejak jam empat subuh Anthoni berkutat di dapur induk semangnya dengan mengenakan celemek berwarna pink. Memasak aneka makanan yang sekiranya dia butuhkan hari ini. Mulai dari perkedel, telur ceplok, tumis kangkung, mie goreng, bothok udang, rempeyek laron untuk sajian yang akan dia bawa hari ini.
Sekarang adalah hari ulang tahun Theo, jadi dia ingin memberikan yang terbaik. Apalagi hari ini Om Patrick rencananya juga bakal mengikuti perayaan ulang tahun anak semata wayangnya. Karena Anthoni nggak bisa masak makanan western, alhasil masakan yang sering Ibu masak lah yang ia sajikan. Kalau orang kaya itu nggak mau memakan masakannya, lumayan buat makan Anthoni seharian. Kebetulan kemarin siang Om Patrick memberinya uang beberapa juta sebagai DP.
Pukul tujuh pagi Theo tak kunjung bangun. Sebenarnya tadi malam Theo meminta Anthoni untuk membangunkan pagi-pagi, ada jadwal tawuran dengan sekolah beda kampung katanya. Anthoni kan nggak mau, Papa Oreo satu-satunya itu kenapa-kenapa lagi. Makanya, daripada bolos sekolah hanya untuk tawuran nggak jelas, mending bolos sekolah jalan-jalan merayakan ulang tahun.
Anthoni juga berjanji, setelah perayaan ulang tahun Theo ini, dia akan mati-matian membelajari anak SMA yang udah tua itu.
Pemuda ramping itu menghampiri meja belajar saat ponselnya berdering pendek. Sebuah pesan baru masuk.
Arial
An, gw pulang ntar sore. Hri ini masi ada latihan. Baek-baek ya, An. Kangen banget ama lo :*
Pipi putih Anthoni merona. Tersipu. Dia mengetikkan sebaris jawaban untuk membalas pesan Arial, kemudian teringat untuk buru-buru membangunkan Theo karena jam sudah menunjukkan pukul 07:15.
"Theo... Theo... banguuun...," Anthoni menjawil pundak Theo. Anak bongsor itu hanya menggeliat. Tidurnya yang tengkurap tak terusik suara bisikan Anthoni. "Theooo banguuun...," Anthoni kembali memanggil, namun lagi-lagi raksasa tak tahu diri itu meneruskan dengkurannya.
Gemas, Anthoni menaiki ranjang. Beringsut mengendap-endap mendekati tubuh Theo. Saat dirinya berada di samping Theo, Anthoni mencoba membalikkan tubuh Theo. Berat sih. Pakai banget. Namun ajaibnya, tubuh setipis triplek itu mampu membuat badan kingkong Theo terbalik. Tangan panjang Theo terentang menggeliat lagi. Saat kedua tangan itu jatuh ke sisi tubuhnya, badan Anthoni yang kecil imut dan nggak tahu kenapa masih belum menjauh dari Theo terseret pergerakan tangan Theo. Lalu jatuh menindih dada bidang Theo.
Asik. Oops... Anthoni menggeleng. Berusaha melepaskan diri dari cengkeraman Theo. Namun yang ada, kedua tangan Theo semakin mempererat rengkuhannya di tubuh Anthoni. Kedua kaki Theo juga terkait di pinggang dan pantat terepes Anthoni
Dada Anthoni berdegub kencang. Dipeluk sedemikian erat layaknya guling oleh cowo super menggiurkan seperti Theo, adalah anugerah dan merupakan salah satu keajaiban yang patut dilestarikan. Tubuh berotot Theo begitu kuat menopang badan ramping Anthoni. Lekukan-lekukan absnya menggelitik perut Anthoni. Saat Anthoni bergerak mencari posisi nyaman―si kecil itu nggak mau kehilangan moment menggiurkan tersebut―dan Theo beringsut memperdalam pelukan, jendulan yang selama ini menari-nari di pikiran Anthoni menyentuh Ciripa.
Anthoni terbakar. Panas dingin nggak karuan. Ciripanya... berkenalan dengan sang pohon kelapa. Ya Tuhaaan... jika Anthoni sanggup, ia ingin mengkristalkan waktu berharga ini supaya keajaiban dunia yang menyapa Ciripanya tertegun beberapa waktu. Walaupun nggak secara langsung, tetapi jendulan indah itu mampu membuat kepala Ciripa tersipu malu. Membengkak tak tahu diri.
Anthoni bergoyang sedikit, untuk merasakan teksture pohon kelapa lebih leluasa. Ya ampun, itu apaaa... dalam keadaan tertidur pun 'ia' terbujur dengan besarnya. Gimana kalau dalam keadaan...? Nggak! Nggak! Anthoni nggak boleh bertingkah aneh. Walaupun hangat tubuh Theo yang mengalir ke badan Anthoni begitu memabukkan dan menenangkan, tapi Anthoni nggak ingin perayaan ulang tahun Theo gagal hanya gegara dia lupa membangunkan Theo dan malah tertidur, dan membiarkan Om Patrick menunggu di tempat yang udah ditentukan.
"THEOOO!" Anthoni memekik. Si beruang masih terpejam. "THEOOO BANGUUUN!" Nggak ada tanda-tanda keturunan Hagrid tersebut mau membuka mata. "THEO IH...," bibir Theo terbuka. Ya Tuhaaan... itu serangan. Serangan. Bibir merah penuh itu. Yang tebal bagian bawah itu... terlihat bergitu merekah pagi ini. Seperti kuntuman mawar yang bersentuhan dengan tetes-tetes embun. Dan Anthoni... yang nggak pernah mencicipi kelopak yang ranum di pagi hari, jadi ingin merasakannya sekarang juga.
Itu adalah buah pemikiran paling nekad dan nggak masuk akal yang pernah Anthoni pikirkan. Dalam dekapan kehangatan itu, Anthoni beringsut mendekati sang mawar. Ya Tuhan, lekukan bibir Theo terlihat tegas. Keras. Dan seperti memiliki pagar. Anthoni ingin merasakannya. Sangat ingin. Ciripa pun menggonggong tak tahu malu.
Deru napas cokelat karamel Theo menerpa kulit wajah Anthoni ketika jarak wajahnya dengan Theo terpangkas. Anthoni menaikkan dada, bersiap untuk mengecup kelopak mawar indah itu. Matanya terpejam. Dan jantungnya berdebam gila-gilaan. Jarak antara moncong Anthoni dengan Theo semakin dekat, dan semakin hebatlah desiran darah Anthoni.
Katakanlah Anthoni gila―dia memang jarang waras akhir-akhir ini. Saat belahan lembar bibirnya dengan belahan lembar bibir Theo semakin terkikis, dan ujung bibir Anthoni secara berani bersentuhan dengan ujung terluar bibir Theo, Anthoni nggak siap untuk hal yang terjadi berikutnya. Ia pikir, Theo masih tertidur. Memang tuh bocah dalam keadaan tidur, kan? Buktinya, dibangungkan dari tadi Theo nggak melek-melek. Jadi wajar dong, jika Anthoni yang nyaris saja memiliki momentum berciuman dengan Theo, lalu tiba-tiba Theo berteriak, "MAU NGAPAIN LO?" pria cebol itu terkejut?
"Eh...," si mungil bingung memutuskan untuk berbicara apa. Dia masih berada dalam dekapan Theo. "Kamu udah bangun?" adalah pertanyaan paling basi yang pernah makhluk kurus itu lontarkan kepada sesama umatnya. "Bisa lepasin pelukannya? Panas nih? Oh iya, bangun gih. Udah keburu siang."
Tangan Theo masih tersimpan rapi di balik punggung Anthoni. Kedua kakinya pun belum bergeser dari pantat terepes Anthoni. Mata cokelat pinusnya mendelik tajam. Membungkus si imut itu secara intens. Kedua rahangnya menguat. Dan kedua alis lebatnya saling bersapa.
"Theo udah siang, nih. Ayo buruan mandi. Nanti kita terlambat lo...."
Theo masih bungkam. Nggak suka. Mulutnya terbuka. Bersuara, "Lo mau memperkosa gue, ya?"
Anthoni gelagapan. Menggeleng berkali-kali. "Nggak! Ngapain?"
Sebelah alis Theo tertarik ke atas. "Atau jangan-jangan selama gue tidur lo mencuri cium dari gue."
Itu kelewatan, Bung! Anthoni memang rapuh. Jarang disentuh. Tapi mencuri ciuman orang lain saat tertidur? Nggak pernah. Eh, sekali sih. Ya barusan tadi. Itu pun ketahuan pula. Nggak masuk hitungan, kan?
Anthoni masih menggeleng. Mempertahankan pendiriannya. "Nggak kok! Enak aja!" Bibirnya mengerucut sebal. Dua belah pipinya merona merah. Ya ampun, kedapatan mau mencium orang itu benar-benar memalukan.
"Gue emang ganteng, sih? Tubuh gue juga menggiurkan. Cuma homo nggak punya titit aja yang nggak akan terangsang ama tubuh gue."
Keterlaluan kau anak besar!
"Nggak semua orang homo akan terangsang hanya gara-gara melihat tubuhmu!" Anthoni mempertahankan harga dirinya. "Buktinya: aku!" Berani sekali si kecil itu berargumen. "Jangankan melihat tubuhmu tertidur, melihatmu telanjang pun aku nggak akan terangsang!" Itu adalah kebohongan terbesar yang pernah anak curut itu lontarkan. Nggak terangsang melihat tubuh Theo telanjang? Melihat penampakan pohon kelapanya Theo pun Anthoni bisa langsung mimisan.
Theo menyeringai. Sudut bibirnya berkedut. Dia melepas tubuh Anthoni dari cengkeramannya. Kemudian mengajak Anthoni bangun. Anthoni waspada. Matanya mendelik ketakutan. Seringai di wajah Theo semakin lebar. Ia menghimpit tubuh Anthoni di tembok.
"Nggak terangsang melihat gue telanjang?" desis Theo. Ketika badan kecil Anthoni menempel tembok sempurna, Theo melepas kaus kutang yang ia pakai.
"Mau ngapain kamu?" Anthoni melotot. "Jangan ma-main-main sama aku, ya!"
Theo berdecih. Menurunkan kolornya, hingga kini dia nyaris bugil dengan gantungan sempak hitam di selangkangan itu. Anthoni meneguk ludah susah payah.
"Theo... kamu jangan main... jangan!! TUTUP! TUTUP! OUHH!!" Anthoni menceracau nggak jelas waktu Theo dengan sangat berani menanggalkan satu-satunya sempak yang ada di sana. Dia kemudian menghimpit tubuh Anthoni. Jendulan pohon kelapanya sengaja ia sentuhkan di punggung tangan Anthoni. Dan si kecil itu mendesah.
Ini serangan demi Tuhan. Akhirnya, akhirnya... setelah berpuluh-puluh jam Anthoni memimpikan pohon kelapa, sang idola pun menghampirinya sendiri. Lembut sekali. Lunak. Berurat. Juga ... berbulu halus. Theo semakin menempelkan pohon kelapanya di punggung Anthoni, dan tuyul itu merinding sekujur-kujur. Ingin nangis aja. Malu. Harga dirinya kocar-kacir. Dia menolak, tapi sekarang punggung tangannya terbalik, gantian telapak tangannya menggenggam sang pohoh kelapa.
Pohon kelapa itu...
Kejantanan itu...
Besar sekali...
Anthoni menangis lagi...
Dan Ciripa berguling-guling penuh kedamaian...
"See, nggak ada homo yang menolak tubuh telanjang gue," suara Theo memberat, dengan deru napas yang kasar. Pohon kelapanya yang tergenggam rapuh di tangan Anthoni sedikit menggeliat, membengkak. Ah ... sial sekali Anthoni. Tangan dia kenapa bisa selembut ini, sih? Bisa mer—ah nggak! Nggak! Theo nggak terangsang. "Tubuh menggiurkan gue emang nggak ada yang menolak. Apalagi sekadar homo jablai seperti lo."
Theo kemudian menjauh, menuju kamar mandi. Meninggalkan Anthoni yang langsung terjatuh bersimpuh. "Serah lu lah," desah Anthoni, "Ya Allah, itu tadi pentungan hansip? Besar banget?"
Hal pertama yang dilakukan Theo ketika dia menyadari Anthoni membangunkannya bukan untuk jadwal tawuran adalah: ngamuk, murka, mencaci maki, mengabsen nama penghuni kebun binatang sesuka hati, menyalak kayak anjing sesuka jidat. Namun, dari kesemua rasa kesal Theo terhadap Anthoni itu, semuanya bungkam ketika Anthoni mengajaknya ke sebuah taman hiburan.
"Ngapain lo ngajak gue ke sini?" Theo menoleh ke arah Anthoni yang ribet sendiri membawa tas carrier 60lt yang terlihat menenggelamkan tubuhnya―tas itu pinjam dari Deden yang kebetulan penggila hiking, dan diisi berbagai macam makanan yang udah dimasak Anthoni tadi―serta sebuah tikar lebar bergambar Keroppi.
Anthoni yang membawa topi kebesaran nggak memerhatikan jalan di depannya, sehingga ketika Theo tiba-tiba berhenti, tubuh Anthoni menabraknya gitu aja. Theo berdecak sebal, sembari menahan tubuh kecil Anthoni yang hampir limbung ke aspal.
"Kalau jalan tuh, topi lo jangan nutupi mata!" Theo menyembur. Melepas topi Anthoni. "Kok lo ngajak gue ke sini?" Theo mengulangi pertanyaannya.
"Ada seseorang yang ingin ketemu sama kamu," Anthoni nyengir. Memamerkan jajaran gigi-gigi rapinya.
"Siapa? Gue lagi nggak mood bertemu ama seseorang nih!" Theo mendumel, namun tetap mengikuti langkah kaki Anthoni yang memasuki taman hiburan itu. "Sial banget sih gue hari ini?" Theo menggerutu. "Udah mau diperkosa sama tutor gue sendiri. Sekarang pun gue gagal tawuran gegara ngikutin tuyul satu ke taman hiburan. Harga diri gue sebagai preman benar-benar dipertaruhkan di sini."
"Aku nggak memerkosa kamu, ya, Theo!" Anthoni memutar mata. Membeli tiket masuk untuk berdua.
"Lalu apa namanya mau mencium orang tidur kalau nggak mau memerkosa?"
Anthoni bungkam. Malu sekali. Lagi, harga dirinya diinjak-injak ama obat ketek itu! Anthoni jengkel! Sangat! Tapi dia nggak mau mendebat. Udah bisa membawa Theo ke taman hiburan aja anugerah banget. Jangan sampai mood Theo yang (agak) membaik ini kembali amburadul.
Anthoni celingak-celinguk. Mencari yang ditunggu-tunggu, sementara Theo, Masha Allah ngocek kayak perawan.
"Gue benar-benar kesambet jin kali, ya. Kemarin gue mau-maunya mempertaruhkan nyawa gue demi Oreo. Sekarang gue mau-maunya diajak ke sini dan meninggalkan tawuran gue," mengingat sesuatu, Theo buru-buru meraih pundak kecil Anthoni. Matanya melotot. "OREO!!" pekiknya nyalang dengan wajah pucat. "ANAK KITA!!" Kalimat itu diserukan dengan intonasi yang bisa membuat orang-orang dalam radius sepuluh meter mampu mendengar. Dan kerumunan orang yang sedang berlibur ke taman hiburan itu, memandang mereka ingin tahu. "DIMANA ANAK KITA SEKARANG, ANTHONI? LO NGGAK BERNIAT MENELANTARKAN ANAK KITA, KAN?" Theo kebakaran jenggot.
"Anak kalian?" suara seseorang di belakang mereka, membuat Anthoni dan Theo berjengit. Om Patrick mengenakan setelan jas kantor seperti biasa memandang Anthoni dan Theo bergantian. "Papa mengusirmu ke kosan tutormu untuk belajar! Bukan untuk membuat anak!" Om Patrick terdengar tak suka. "DAN BERSAMA ANTHONI?" intonasi suara Om Patrick terdengar menakutkan.
Ini nggak bisa dibiarkan. Bapak-anak itu akan berakhir berantem di sini, nih. Anthoni buru-buru menengahi. Dia berada di tengah-tengah Om Patrick dan Theo.
"Om, ingatkan tujuan kita di sini mau ngapain?" Anthoni mengingatkan. Orang tua itu sedikit nggak senang dengan pengeklaiman 'anak kita' oleh Theo dan Anthoni. Anak yang mana? Kenapa bisa secepat itu memiliki anak? Sialan!
"Oh, jadi kalian udah ngerencanain ngejebak gue di sini?" kini giliran Theo yang nggak suka. "GUE NGGAK SUKA TEMPAT DI MANA ADA ORANG ITU!" Telunjuk Theo teracung sempurna ke arah Om Patrick.
"DAN SAYA NGGAK SUKA MELADENI ANAK SETAN ITU!"
Masalahnya, Om, anak setan itu anak, Om! Anthoni nggak habis fikir. Dia menggeleng. Menahan dada Om Patrick dan Theo supaya dua orang itu nggak saling baku hantam. Anthoni harus mengambil keputusan jika rencananya nggak gagal dan semua yang telah dia persiapkan bubar begitu aja gegara keegoisan dua orang itu.
Anthoni mendekati Theo. Berjinjit. Lalu berbisik, "Theo, kalau kamu nggak mau ngikutin perintah aku hari ini, aku pastikan akan terjadi sesuatu dengan anak kita! Oreo di ujung tanduk deh sekarang kalau kamu membangkang!"
Kurang ajar kau kerdil! Itu adalah ancaman paling mengerikan yang pernah Theo dengar. Oreo adalah anjing cokelat jelek, dekil, kusam, menjijikkan, yang sialnya Theo udah jatuh sayang kepadanya. Ah, si kecil itu emang menjengkelkan! Theo mengangguk kaku. Menurut apa kemauan Anthoni.
Lalu Anthoni mendekati Om Patrick, berjinjit lagi, berbisik lagi, "Om, masih ingat kan tujuan Om ke sini. Om udah tahu kan, semua isi hati anak Om yang sebenarnya? Om nggak ingin semuanya kacau, kan?"
Om Patrick mengangguk kaku. Melihat kepatuhan Theo kepada Anthoni ini nggak tahu kenapa membuat Om Patrick sedikit terkejut. Om Patrick melepas dasi abu-abunya. Melepas dua kancing kemeja teratas. Lalu menanggalkan jas formal yang ia kenakan. Om Patrick mendekati Theo setelah mengambil beberapa helaan napas panjang.
"Maafin Papa, Theo."
Kening Theo mengernyit mendengar pernyataan Om Patrick. Nggak menyangka bakal mendapat serangan permintamaafan di sini. Suasana jadi agak canggung.
"Maaf...," Theo bersuara lirih. "Buat apa?"
"For everything."
Kernyitan di kening Theo semakin tajam.
"Gue kayaknya salah dengar deh," Theo tertawa masam. Meninju udara bebas. "Lo minta maaf? Sucks banget! Patrick Theodore meminta maaf? Lo pasti sudah kesambet? Kemana aja lo selama ini? Inget gue? Inget kalau gue anak lo? Inge―"
"Selamat ulang tahun, Theo."
Seluruh serapahan kebun binatang yang sebentar lagi akan dicampakkan Theo dari lidahnya tertarik begitu aja. Theo bungkam. Membeku. Membeliak.
"What?"
"Selamat ulang tahun, Theo," menjatuhkan jas ke paving begitu aja, Om Patrick berjalan mendekati Theo, menarik tubuh bongsor Theo. Kemudian memeluknya.
Theo merasa sesuatu yang selama ini berlubang dalam hatinya terisi begitu aja. Dadanya menghangat. Hal yang beku di sana lebur dan memeluk dinding-dinding karang es yang selama ini membuat tubuhnya menjadi dingin. Dekapan Om Patrick seperti sebuah selimut yang dibutuhkan Theo selama ini. Ini adalah momen yang sangat berharga. Sangat berarti. Sangat... Theo terpejam. Balik mendekap Papanya. Membiarkan Om Patrick mengelus rambutnya. Mengusap punggungnya.
Anthoni tersenyum haru di tempatnya. Matanya menitikkan air mata. Di lubang hidungnya menitikkan ingus bening. "Dasar lelaki. Sukanya menang sendiri."
.
.
.
:)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top