TD | TAKE MY CUE
(Disarankan membaca bab JAGUAR lebih dulu untuk mengingat beberapa bagian penting sebelum membaca bab ini)
"Ini memang dibuat khusus hanya untuk lima ratus buah." Aydan memperhatikan pin jaguar yang diperlihatkan padanya. Sedikit terpana pada bentuk yang menarik mata. "Hanya bisa dibeli langsung di tokonya karena begitu eksklusif. Apa benda ini yang membuatmu jauh-jauh ke Paris?"
Ten tidak melihatnya, tapi Aydan tahu pria itu sedang memastikan sesuatu dari benda kecil di tangannya ini. Ia menunggu sampai Ten memutar tubuh dan duduk di sebelahnya. Bertanya kemudian, "Kau tahu darimana asalmu?"
"Tentu saja Toulouse," jawab Aydan sedikit bingung.
"Kita semua berasal dari Toulouse." Ten mengangguk. "Tapi pin ini diproduksi tahun 2017. Sementara aku ada di Toulouse pada tahun berikutnya. Dan seingatku, aku tak pernah ke Paris untuk urusan membeli barang ekslusif begini."
"Kau tahu lokasi toko ini?"
Ten mengangguk. "Sudah kucari tahu sendiri. Dan untuk ke sana, aku membutuhkan stempel khusus darimu."
Aydan membuang napas sebentar. Toko yang membuat pin jaguar ini ada di wilayah sentral khusus dimana seluruhnya diisi oleh manusia. Pemerintah Paris memang menginginkan beberapa titik wilayah steril milik manusia sendiri di ibu kota sehingga untuk memasuki sentral-sentral tersebut merekaㅡyang bukan manusiaㅡharus memiliki stempel khusus dari perwakilan tiap spesies sebagai tanda kunjungan resmi atau hal-hal biasa semacam berwisata.
Ten memintanya memberikan stempel biasa. Berwarna merah tua.
"Siapa yang memberikanmu pin ini?" tanya Aydan.
"Seseorang yang menghadiahkan aku benda ini, dengan seseorang yang memberikan aku benda ini adalah dua orang yang berbeda."
"Kalau begitu, seseorang yang memberikanmu ini."
"Kau tak perlu tahu."
Aydan mengangguk seolah tahu jawaban pria itu padanya. "Maka kau juga tak perlu mendapatkan stempel pada surat perijinanmu."
Ten menatapnya. "Benda ini penting bagiku, Aydan. Seseorang yang memberikan jaguar ini padaku sedang menyelidiki hal besar di belakang Eden. Tentang darimana kita berasal, tentang bagaimana kita diciptakan. Apabila aku memberitahumu orang ini, aku tahu kau akan membunuhnya dengan tanganmu langsung."
Aydan menegakkan punggungnya di antara sofa. Pin jaguar di letakkan kembali di atas meja. Mata merahnya mengkilat kuning, tahu ada pengkhianat di dalam kelompok mereka.
"Siapa?"
"Kau patahkan saja tanganku sekarang."
"Kubilang, siapa?"
"Tidak."
"Tenㅡ"
"Jangan memaksaku."
Aydan mendesah. Bukan berarti ia mengalah, tetapi ia tahu risiko apa yang akan terjadi apabila ia melukai salah satu aset penting Eden sekarang. Jadi, ia mencari jalan tengah. "Setidaknya beritahu aku apa yang kau cari dengan pin ini. Apabila tidak ada sangkut pautnya dengan kaum kita dan Eden bukan targetmu, maka aku akan membiarkanmu ... kalau perlu melupakan pembicaraan ini."
Ten menyilangkan satu kaki kemudian memangku wajah pada satu tangan. Berpikir dalam kesunyian sampai mata abunya beralih pada temannya.
Cerita dimulai dari seseorang yang memberikan pin jaguar beserta sepucuk surat berisi rahasia Eden. Ten berkata ia tak punya niat untuk mencari tahu ambisi Eden dibalik itu semua. Ia hanya ingin tahu darimana ia berasal, siapa yang menciptakannya, dan ada apa antara dirinya bersama Morel. Mata Aydan penuh minat ketika nama wanita itu dibawa dalam akhir ceritaㅡsecara tak langsung tahu kalau wanita itulah sang Pemberi Hadiah.
"Kau memastikan kalau Morel yang menghadiahkan pin ini padamu?" Daripada mengulik siapa nama sang Pemberi Pin, Aydan memilih untuk memastikan dugaannya benar. Ia tersenyum geli ketika Ten mengangguk. "Sombong sekali. Meski rupanya mirip jaguar, bagaimana kalau bukan dia orangnya?"
Lawan bicaranya menggeleng. Ditunjuknya pin di tengah meja dengan dagu. "Di baliknya ada namaku dan namanya. Kalau bukan dia, maka aku yang membeli pin itu."
Aydan mengerutkan dahi ketika telah memastikan kata-kata pria itu benar. Sambil mengusap bentuk jaguar di tangan, telinganya terus mendengarkan. "Aku hanya perlu memastikan siapa di antara kami berdua yang membeli pin ini. Kalau bukan aku, pasti Morel. Dia pasti mengenalku sebelum aku diciptakan. Artinya, pernah terjadi sejarah antara aku dan dia."
Aydan diam sebentar, sebelum membawa Ten ke ruangannya, ia sempat bersalaman dengan Morel. Aydan ingat pancaran raut wajah wanita itu membuatnya yakin tak ada tanda-tanda sejarah yang pernah terjadi di antara keduanya. "Melihat gerak geriknya, sepertinya itu hanya terkaanmu saja. Sudah mencari berapa banyak nama keluarga dengan inisial Orlov atau Lee?"
"Untuk apa aku repot-repot mencari hal itu sementara aku bisa memastikan siapa yang menghadiahkan benda ini dengan cara pergi ke tokonya?" Ten menaikkan satu alisnya. "Kau bilang ini ekslusif. Berarti, setiap nama-nama pembeli pasti tercatat di arsip mereka."
"Benar." Aydan mengangguk kagum. Bukan bagaimana pria itu membalasnya, tetapi keteguhan dirinya yang yakin kalau Morel lah seseorang dibalik pin ini. "Aku ingin mengutip kalimatmu tadiㅡsebelum aku diciptakanㅡadalah kata yang seolah-olah kau pernah hidup dan mati, lalu dihidupkan kembali sebagai imp. Jujur saja, daripada mencari tahu ada sejarah apa kau dan wanita itu, aku bisa membaca niat lainmu. Kau ingin memastikan Morel adalah manusia yang tahu identitas dirimu sebelum diciptakan. Aku benar?"
"Begitulah."
"Apa yang kau harapkan dari pencarian identitas diri ini?"
"Tidak tahu." Ten termenung sebentar. "Kau sendiri pernah berpikir darimana kita berasal, bukan? Tapi buku-buku lama tak pernah menjelaskan kita dibuat dari darah, dari setetes mutiara, atau lidah api. Hanya dari mulut Eden kita tahu bahwa kita ada karena bentuk dendam dan kasih sayang yang lahir dalam hati manusia. Hal yang hanya berasal dari mulut dan tidak berlandaskan itu membuatku tak sepenuhnya percaya. Selama ini, aku mencoba untuk tidak terlalu memikirkannya." Ten mengetuk ganggang kursi dengan kukunya yang berwarna hitam. "Manusia, Aydan. Tidakkah kau bertanya-tanya tentang mereka? Dari sekian banyak jenis mahkluk di Toulouse, kita menjadi yang paling dekat kemiripannya dengan manusia. Cara berpikir kita juga sama dengan mereka. Jadi aku sekarang mulai menerka, bagaimana ... bagaimana kalau selama ini semua kaum kita awalnya adalah manusia?"
Sadar perbincangan ini terlalu berbahaya, Aydan menggerakkan satu jari untuk membuat seluruh ruangan di kamarnya kedap suara dan memastikan sihirnya menutupi dinding-dinding kamar. Di lantai dasar Eden sedang berbincang dengan Morel, tapi siapa yang tahu pria itu memasang telinga pada tiap tembok di rumah ini?
"Kuharap, aku tidak melihatmu mengancam Eden nantinya. Bagaimanapun, cara bicaramu mirip pengkhianat."
"Karena tahu kau akan menerkaku demikian, aku kemari untuk menjelaskan segalanya. Aku tidak akan mengancam siapapun atau membawa keributan. Aku tidak peduli dengan apa yang Eden lakukan. Penting bagiku adalah, siapa aku sebelum diciptakan, siapa yang menciptakanku, dan sejarah apa antara aku bersama Morel. Kau boleh ambil kepalaku apabila aku menyerang Eden, aku tidak akan melawan."
Tapi Ten mengerutkan dahi ketika Aydan mendengus geli.
"Masalahnya, tidak hanya kau yang pernah berpikir demikian. Tidak hanya kau yang pernah berani menawarkan diri cuma-cuma." Aydan menembak sihirnya di udara dan layar proyeksi magis menunjukkan hutan kabut. Tempat dimana berakhirnya masa hidup para imp berkhianat. Muara berisi makhluk-makhluk yang ingin melenyapkan Eden. "Banyak yang berpikir kalau mereka dulunya adalah manusia hanya karena memiliki darah berwarna merah yang sama atau pola pikir yang mirip. Alasan kosong seperti itu rupanya membuat kaum kita goyah. Tak sedikit upaya pembunuhan kepada Eden sejak gagasan dangkal tersebut muncul. Kau tidak tahu, 'kan? Karena Eden sendiri yang memintaku untuk mengurus semuanya dengan tenang." Aydan tahu Ten tak akan gentar dengan ini, tapi ia ingin memastikan temannya sadar betapa rapuhnya pemikiran kaum mereka kalau isi pikiran pria itu tersampaikan kepada khalayak. "Bayangkan, betapa repotnya aku membunuh kaum sendiri ketika gagasanmu mengguncang mereka."
Mata abu mengkilat kuning.
"Sudah kubilang, aku tidak akan mengancam siapapun di sini."
"Apa jaminannya? Aku tidak butuh kepalamu, tidak ada gunanya." Lalu pandangan Aydan tersapu ke atas. Pada rantai magis yang mengambang ringan. Sebuah pengikat antara pria itu dan Morel. Sebuah kontrak sakral yang menggugah air liur Aydan.
"Dia lumayan jika dijadikan menu utama."
"Aydanㅡ"
"Pria sepertimu tidak bisa dibunuh begitu saja." Aydan menyela. "Harus ada yang membuatmu menderita dan menyesal lebih dulu, kebetulan kau sudah mengkonfirmasi betapa pentingnya Morel bagimu, jadi aku tak perlu repot-repot mencari kelemahanmu sekarang."
"Sudahkah aku menyebutmu sebagai pria berengsek?"
Aydan terkekeh. "Aku tahu caraku terdengar pengecut. Tapi, terlepas apapun fakta yang terkuak mengenai kalian berdua nantinya, hanya dia jaminan yang sepadan denganmu. Aku tidak bisa membiarkan Eden dalam bahaya, sudah sering dia mengalami percobaan pembunuhan oleh kaumnya sendiri maupun dari luar, jadi aku ingin kau tahu risiko besar yang akan kau hadapi nantinya."
"..."
"Pikirkanlah lebih luas lagi. Akan banyak yang dirugikan jika langkahmu salah." Aydan berdiri dari duduknya setelah proyeksi sihir itu menguap. Pada saat itu ia sadar, sesuatu semacam sulir-sulir tipis telah mengelilingi lehernya dan ikatannya semakin erat ketika ia bergerak lebih jauh. Sialan, Aydan menahan geram, kemampuan sihir yang tak bisa terdeteksi ini jelas hanya dimiliki oleh Eden danㅡ
"Jangan pergi seenaknya begitu." Ten mendengus. Satu jarinya ia tekuk dan sulir putih itu menyembulkan duri yang memiliki gigi-gigi kecil. "Berikan aku stempelnya."
"Kalau aku keberatan?"
Aydan merasakan gigi-gigi itu menancap pada lehernya. Ia hampir tersenyum karena sengatan semacam ini sama sekali tak berarti apa-apa pada tubuhnya yang selalu ia suntikkan antibodi untuk antisipasi tiap jenis racun yang menyerang, setidaknya sampai ia menyadari ada sesuatu yang salahㅡTen merupakan peramu sama sepertinya. Dan bersamaan dengan kesadaran itu, lubang pada kedua telinganya mengeluarkan darah.
"Kau tidak punya pilihan keberatan sekarang."
Mata Aydan memerah menahan erangan kesakitan pada kepala yang terasa panas, tapi Aydan masih mencoba mengendalikan diri dengan sihir yang ia miliki. Namun, simpul sihir yang ia ciptakan pecah, Aydan gagal, dan itu semakin membuatnya tersiksa.
Ia tersungkur di lantai marmer, kedua tangan dan kakinya bergetar hebat. Di antara napasnya yang terengah-engah, Aydan berusaha melihat Ten yang memandangnya angkuh di atas sana dengan lehernya semakin membiru.
"Sialan ...."
"Cap stempelnya, bukan umpatanmu yang ingin kudengar."
Sihir kedap suara yang mengelilingi ruangan seketika pecah, dan sebelum Aydan berteriak karena satu gigi itu mengoyak; berusaha masuk ke dalam luka di lehernya seperti virus, Ten melepas sihir sulir-sulirnya pada Aydan dan segera menyumpal mulut pria itu dengan sapu tangan. "Tarik napas dari mulutmu, ada penawar yang kububuhkan di sapu tangannya."
Aydan tak bisa berbicara karena merasakan pita suaranya tak lagi berfungsi. Tapi ia merasa tubuh dan kepalanya jauh lebih baik dari sebelumnya setelah menghirup cairan yang dibubuhkan dalam sapu tangan tersebut.
"Kau bisa cap di sini." Ten membantunya untuk duduk kembali di sofa dan menggeserkan stempel basah beserta surat perijinannya untuk Aydan. Ekspresinya tersenyum geli memandang wajah temannya geram penuh amarah dalam bisu. "Suaramu akan kembali esok hari, tenang saja."
Aydan berusaha menggerakkan jarinya yang gemetaran sekali lagi untuk memberikan stempel pada kertas tersebut dengan benar. Meski membutuhkan waktu sedikit lebih lama karena Aydan juga harus berkosentrasi untuk meletakkan kode berupa untaian sihir tipis yang menandakan salah satu dari kelompoknya ingin berkunjung, Ten menunggu dengan sabar sampai pria itu selesai dengan surat perijinannya. "Ingatlah peristiwa ini, Aydan. Kau dan aku adalah teman, jadi aku tidak ingin mengingatkanmu dengan cara ini untuk berikutnya. Kau tahu ke mana arah pembicaraanku," katanya sembari menggulung surat itu dengan pita kecil kemudian memasukkannya ke dalam saku.
Aydan mendengus. Cerewet, pikirnya. Tetapi ia paham kalau tujuan utama pria itu menyerangnya bukan untuk memaksa mendapatkan stempel tersebut, melainkan karena hal sesederhana tak ingin Morel dalam bahaya. Aydan bisa mengertiㅡbagaimanapun Ten dan wanita itu memang tengah terikat.
Atau hal lain. Sesuatu yang melibatkan perasaan.
Aydan tak ingin tahu. Tapi ia berharap itu menjadi kemungkinan yang tak mustahil.
Karena ia tak akan berpikir dua kali untuk membalas perlakuan teman sialannya ini.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top