TD | SIGNALS

Imp pada dasarnya memiliki pekerjaan utama untuk menjaga wilayah Toulouse agar aman selalu. Tapi mereka enggan menyebut itu sebuah pekerjaan, alasannya sederhanaㅡtidak pernah dibayar oleh pemerintah. Jadi mereka harus mencari pekerjaan lain yang menghasilkan pundi-pundi uang. Walau tidak membutuhkan makanan pokok seperti manusia, tagihan listrik, biaya transportasi, dan pajak tetap harus dibayar.

Ten adalah salah satunya. Ia menjalankan pekerjaannya sebagai seorang peramu, meski ia juga memantau kawasan Toulouse yang paling sulit dijagaㅡ pinggiran laut dimana pasar ikan bertumpah ruah dan kawat-kawat duri pada langit tak dipasang.

Ia dikenal dengan kemampuan membuat tonik untuk mencegah kaumnya tertular birahi ketika season makhluk lain tiba. Tapi namanya makin melejit naik karena penawar yang ia buat. Penawar khusus untuk pecandu seks atau mereka yang mengalami kelainan tertarik dengan spesies lain nyatanya lebih banyak dicari, sebab nafsu bisa tersulut diluar season.

Untuk penawar itu, Eden Dillingham turut serta mensponsori biaya sekaligus sarana tempat membuatnya. Tak sedikit euro yang dirogoh dari saku pribadi Eden sendiri. Karenanya Ten merasa terbebani dan tak nyaman. Hasilnya memang tidak sia-sia. Saat ini, ia telah membuat tipe A hingga F yang disebar untuk kaumnya di Toulouse dan Paris. Kasus salah satu imp yang mendatanginya kemarin memang cukup langka, sehingga tipe B diberikan. Rambut pria itu telah berubah warna menjadi jelaga, tanda ajal di depan mata. Bukannya mencari mate sejati dengan sesama, malah bermekaran dengan manusia.

Dalam aturan yang dibuat Eden Dillingham, manusia memang makhluk yang paling pantang untuk didekati. Feromon manusia tipe favorit mereka, sehingga ketika season dimusim dingin tiba, banyak pikiran untuk bermekaran bersama manusia, dan itu terlalu berbahaya. Pada proses bermekaran nyata yang dituangkan dalam buku lama, manusia tanpa sadar akan menyerap seluruh energi imp dan jika dilakukan secara berkala, maka usia imp itu tak akan lama.

Oleh sebab itu, Ten sebisa mungkin meminimalisir interaksinya dengan manusia. Terutama lawan jenis. Di Pavla, sopir favoritnya adalah seorang pria tua yang sekarang sudah meninggal dunia, satu tahun ia berhenti menggunakan transportasi itu karena dirasa tidak menemukan sopir yang sesuai dengannya.

Setidaknya begitu, sampai manajer dari Pavla menghubunginya kembali menawarkan sopir baru. Katanya, yang baru seolah reinkarnasi dari pria tua itu. Walau terkesan melebih-lebihkan dan sang Sopir seorang wanita, Ten akhirnya kembali memesan. Diam-diam, pil dibawa dalam saku celana tiap hari.

Stasiun bawah tanah di Paris berbeda jauh dari yang ada di Toulouse. Dekorasinya sama dengan stasiun pada umumnya, modern dengan warna monoton. Yang membuatnya terkesan tidak membosankan adalah, bagaimana koper-koper terbang cepat mencari pemilik.

Gerbong kereta terbuka. Bertumpah ruah surai-surai perak itu keluar mirip koin berserakan. Ten keluar lebih dulu disusul Morel di belakangㅡtengah menghabiskan kue manis di tangan. Jas lusuhnya kini tersampir di tubuh wanita itu. Sengaja menutupi seragam Pavla yang warnanya kelewat mencolok.

Kereta-kereta lain yang tiba dari udara mendarat dengan mulus, asap keluar ketika rem terdengar. Petugas meniupkan peluit.

"Perhatikan langkahmu." Ten memperingati Morel ketika wanita itu hampir menginjakㅡapa itu sebutannya? Morel sendiri bingung pada makhluk kerdil yang begitu banyak berkeliaran di antara kaki-kaki para imp. Pakaian mereka seperti pekerja kontruksi, rambutnya tipis dengan mata yang terlampau besar melotot tak ramah. Ia tak pernah melihat makhluk ini di Toulouse. Mereka semua terlalu kecil hingga pikiran jahat Morel sepintas menerka sekali injak dua tubuh bisa mati.

"Kecil begitu tenaga mereka luar biasa." Seolah mengerti pandangan ingin tahu Morel, Ten menjelaskan sebentar disela-sela melewati belahan bahu-bahu lain. "Mesin-mesin dasar kereta dibuat oleh tangan-tangan menakjubkan itu, kami hanya memberikan sedikit mantra ke dalamnya."

Sedikit mantra itu tidak termasuk stasiun bawah tanah ini, segala benda mati yang melayang, serta rel kereta yang ada di atas langit sana, 'kan?

Entah sedang merendahkan diri, atau memang tulus memuji, Morel tidak tahu mana yang benar. Fokusnya berpencar. Harus memperhatikan langkah di bawah, harus melihat ke depan agar tak betabrakan dengan imp lain atau koper-koper keras yang terbang bagai kilat.

Ada eskalator yang mengarah ke pintu keluar. Ketika dibuka, Morel mengedipkan mata beberapa kali dengan dahi mengerut. Pandangan pertama yang ia lihat adalah kumpulan daging hewani merah yang segar. Para pemotong daging hanya melirik sesekali tidak peduli, surai mereka sama peraknya dengan Ten dan penumpang lain yang keluar dari pintu. "Jangan melamun, di sini jalannya sempit. Percepat langkahmu." Ten menarik lengannya ketika banyak mata tak senang pada langkah Morel yang terlampau lambat.

"Aku agak heran dengan pola pikir kalian." Morel kembali menyamakan langkahnya dengan Ten. "Kenapa pintu masuk berasal dari pohon, dan pintu keluar dari pasar daging?"

"Pohon di pinggir kotaㅡperbatasan pemakaman dan hutanㅡjadi pilihan untuk mencegah fae atau puck menemukan celah keluar dari Toulouse. Dan kenapa pintu keluarnya pasar daging?" Ten meliriknya sedikit tersenyum geli. "Morel, kau yang berasal dari Paris pasti paling tahu kota ini bukan Toulouse yang mewajarkan adanya makhluk lain."

Ia memberi jeda setelah keluar dari pasar daging. Pemandangan mereka selanjutnya menampilkan deretan pasar lain dengan berbagai macam aroma. Sekilas Morel merasa rindu dengan kota asal. Rindu pada segala hal yang terlihat normal lebih tepatnya. Taksi-taksi itu tidak membawa penumpang spesies lain, tidak ada puck yang kawin di gang sempit, atau fae yang menerjangnya seperti beberapa waktu lalu. Untuk sesaat dengusan kecut tersirat.

"Lagi pula, Paris adalah aktor utama Prancis, terlalu banyak manusia dari belahan dunia berkunjung sehingga sulit jika dijadikan tempat tinggal oleh kami yang ada di Toulouse. Tapi imp yang bekerja di Paris kebanyakan memang dalam pengawasan khusus Eden Dillingham. Untuk yang bekerja dengan pemerintah bisa bebas tinggal di Paris atau Toulouse. Mereka punya akses cukup luas, mampu membuka jalur kereta bawah tanah antara Toulouse dan Paris. Tentu saja ada syarat yang harus dipatuhi. Menyembunyikan stasiun bawah tanah ini, berpura-pura menjadi manusia misalnya."

Ten selesai berbicara. Kesunyian menjadi tamu ketiga diantara mereka dalam lautan manusia itu. Atau sebagian lautan ini imp. Ketika masih tinggal di Paris, Morel sama sekali tidak tahu orang-orang dengan surai perak itu bukan manusia. Ya, bisa saja mereka manusia sungguhan dengan warna rambut dicat, atau keturunan genetik. Tapi warna mata seperti koleksi berlian warna-warni itu hanya imp yang punya. Sekali lihat, orang awam saja tahu itu bukan kontak lensa. Tanpa sadar, Morel meniliti rupa-rupa manusia yang dilewati.

Ia tahu sosok Eden Dillingham. Pekerjaanya sebagai reporter tak jarang harus mengejar beberapa orang dalam partai. Termasuk pengikut Dominique Fabriceㅡwalikota Toulouse saat ini. Dalam kelompok partai dimana Dominique ikut serta, Eden dengan balutan jas abu serta kemeja biru muda, sering kali disoroti. Ia berdiri di belakang Dominique dengan senyuman profesional. Dihiasi surai perak dan kulit tannya. Ketika diwawancarai, jawaban diplomatis selalu keluar. Morel sejujurnya masih sedikit sulit menerima, bahwa pria yang sering dibicarakan teman-temannya di kantor dahulu nyatanya bukan manusia. Eden Dillingham adalah pemimpin utama dari para imp, dengan rumor yang bisa menghacurkan satu benua hanya satu kali genggaman tangan, jelas usianya sudah bukan seabad atau dua abad lagi.

Darimana ia tahu? Padahal awalnya ia seperti bayi yang baru saja lahir ke dunia baru, yang mengira Toulouse memiliki banyak karnaval dengan kostum-kostum makhluk mistis. Terima kasih kepada Derek. Oguv yang ia antar sore kemarin menghabiskan waktu perjalanan mereka untuk menceritakan ini itu. Sehingga Morel kurang lebih tahu bagaimana Toulouse bekerja dengan nampak normal dari luar.

Bagaimanapun, Derek menjelaskan segalanya jauh lebih rinci dan jelas. Dari konsep Pavla itu sendiri, sampai keberadaan Oguv yang dipandang sebelah mata. Berbeda jauh dengan manajer Pavla yang hanya menjelaskan garis besar Pavla dan shift-nya. Morel bahkan tidak tahu alasan peraturan tak tertulis dilarang melepas topeng ketika bekerja itu ternyata hampir membunuhnya kalau saja Ten tidak ada waktu itu.

Diliriknya pria di sebelah. Ten berjalan dengan dahi sesekali mengerut. Langkah keduanya sama cepat dan seimbang. Paris baru saja selesai hujan beberapa menit lalu, aspal yang basah memantulkan cahaya lampu, dan kendaraan. Warna biru, hijau, merah, hingga kuning bagai polesan cat kasar mengkilap pada jalanan. Untuk sesaat, Morel terbuai dengan apa yang ia lihat sampai Ten menyadarkannya. "Aku baru ingat, Aydan telah pindah dari sana."

"Aydanㅡkau sedang berdialog sendiri atau berbicara padaku?"

Mata abu bergeser padanya, terbentuk sedikit pola bulan sabit ketika pria itu tersenyum. "Aku memang sering berbicara sendiri. Memangnya kau tidak?"

"Setiap pagi, di depan cermin aku menyemangati diriku sendiri. Itu termasuk berbicara sendiri, 'kan? Jadi yaㅡaku sama denganmu." Morel menyadari langkah pria itu yang melambat untuknya. "Jadi, kita ke Paris untuk bertemu dengan Aydan? Teman satu spesiesmu?"

"Ya." Angin bertiup ringan. Menggerakan surai pendek Morel dan Ten. Kemeja satin berwarna biru malam yang digunakan pria itu kontras dengan kulit putihnya. Tak lupa celana bahan yang hampir menutupi separuh sepatu. Morel berpikir sosok bernama Aydan itu mungkin sering menilai penampilan Ten memang mirip preman pasar daripada peramu profesional.

Kata-kata Ten berikutnya membuat langkah Morel terasa berat dan enggan menaiki bus yang berhenti di halte seberang.

"Aydan ditarik Eden untuk tinggal bersamanya."

Padahal bertemu dengan Eden Dillingham adalah pilihan terakhir pada list wanita itu.

*

"Aku sering melihat wajahmu." Setelah menyambut dua tamunya malam itu, Eden membiarkan Aydan menarik Ten menuju ruangan lain, tentu ia lebih menaruh perhatiannya pada majikan baru Ten. Morel Orlov. Berdiri dengan tubuh tegap, tak dibuat-buat. Salamannya tegas khas seorang pekerja profesional. Eden tidak berbohong ketika mengatakan memang sering melihat wanita itu. Dalam artian mengejar berita. Diikuti satu kameramen. Mata emasnya memang mirip jaguar hitam, sehingga sulit untuk tidak menemukannya dalam sekali pandang. "Kapan terakhir kali kita bertemu? Balai kota?"

Morel mengangguk. "Ketika Dominique Fabrice masih menjadi calon walikota. Aku sering melihatmu ada di belakangnya."

"Ah, cara bicaramu seolah aku kacungnya." Mata liquid lemon pria itu tertutup sebentar. "Aku berada dalam satu partai dengannya, dan lagi dia akan menjadi calon walikota Toulouse dimana imp banyak tinggal di sana, dia sering meminta pendapatku cara untuk memenangkan suara kala itu."

Termasuk cara buruk sekali pun? Begitu gatal mulut Morel ingin melontarkan pertanyaan. Tapi ia memikirkan kepalanya yang mudah saja ditebas oleh pria berkulit tan di depannya.

Akhirnya ia hanya mengangguk singkat.

"Duduklah, Morel." Eden mempersilakan, jubah tidur berwarna putih dengan garis hitam itu bergerak ringan bersama dengan langkah tenang pemiliknya. "Ten biasanya akan berbincang lama dengan Aydan. Bisa semalam suntuk. Kusarankan kau menginap, bagaimana?"

"Aku sedang dalam shift bekerja, terima kasih tawarannya, tapi kami tidak akan lama di sini."

Eden melihat seragam Pavla yang tertutupi di antara jas lusuh itu. "Jika aku tidak menyinggung privasimu, mengapa kau berhenti dari pekerjaan sebelumnya?"

"Aku melakukan kesalahan cukup serius, sehingga dikeluarkan dari stasiun televisi."

"Dan Toulouse pilihanmu?"

Morel diam sebentar. "Ya." Dan sedikit heran dengan keraguan jawabannya. Sisi lain dirinya mengatakan tidakㅡtidak tahu lebih tepatnya. Toulouse tak pernah dijadikannya pilihan dalam hidup. Ia sejujurnya tidak tahu mengapa Toulouse, mengapa Pavla. Selama ini Morel hanya menjawab keraguan yang sekelebat itu dengan takdir, naluri, atau intuisi. Tapi tak ada yang memuaskan dari jawaban itu semua.

"Andai saja kita bisa mengenal seperti ini kala itu, aku akan senang hati membantumu. Aydan saat ini membutuhkan seseorang untuk membantunya membuka usaha kecil di toko. Kalau kau memang ingin kembali ke Paris suatu saat nanti, kau bisa menghubungi Aydan."

Morel tersenyum masam. Aydan Williams yang sempat bersalaman dengannya tadi adalah satu dari teman terdekat Ten. Ia memang tinggal di Paris dan bekerja pada penerbitan sebuah buku fiksi. Ia suka menjahit sarung-sarung ganggang telepon lama dengan warna terang dan mulai serius menjadikan itu sebagai usaha dalam skala kecil. Tapi Morel tidak ingin berinteraksi dengannya. Menatap mata merah darahnya saja sudah tak berminat.

Aydan Williams dengan ramah mengatakan ia adalah algojo dalam artian sebenarnya. Kalau Ten adalah peramu yang membuat penawar sekaligus obat, maka ia peramu yang menciptakan racun dari tumbuhan, hingga hewan. Favoritnnya adalah racun milik fae mati yang dihasilkan melalui air liur. Pekerjaan utama pria itu di Paris tentu melenyapkan orang-orang yang menjadi ancaman untuk Eden atau kaumnya sendiri.

Morel tidak ingin bekerja dengan pembunuh. Sudah cukup dirinya menjadi mangsa di Toulouse.

"Aku memang ada rencana untuk kembali ke Paris tapi tidak dalam waktu dekat. Ada banyak hal yang harus dipersiapkan lagi."

Eden mengangguk. Matanya memperhatikan rambut cepak wanita itu dan kembali bergulir pada rantai yang terikat di tangan, panjangnya mengarah pada lantai dua dimana Ten berada. Mengambang ringan diselingi untaian sihir biru tua. Kedua alis Eden mengerut terlampau samar mengetahui ada percikan merah dari sana. Tapi lawan bicara yang duduk di hadapannya ini terlalu banyak bertemu rupa manusia hingga perubahan minim pun ditemukan. Morel melihat kejanggalan dari wajah Eden, dan sebuah senyuman muncul.

"Pikiranmu tidak ada di sini sepertinya, Dillingham."

"Aku hanya berpikir sebentar, tentang perjalananmu ke sini. Tidak ada taksi Pavla yang kau bawa. Artinya Ten mengajakmu pergi dengan kereta bawah tanah."

Cangkir-cangkir berisi teh diletakkan oleh pelayan, tak lupa kudapan manis. Morel mengangguk sebelum ia mengambil satu cangkir berwarna hijau muda tersebut. "Sejujurnya aku takjub pada kereta udara yang kalian buat. Ke mana rute itu mengarah?"

"Keluar Prancis," jawab Eden spontan. "Aku sebenarnya berencana untuk memindahkan secara berkala kaumku di beberapa negara lain. Toulouse terlalu kecil untuk mereka semua, jadi ada beberapa imp yang kukirim di beberapa tempat untuk melakukan survei."

"Aku tidak melihat anak-anak dalam kelompokmu. Itu berarti tidak akan ada pertambahan jiwa, bukan?"

"Benar. Kami memang tidak beranak pinak seperti manusia. Tapi kami diciptakan dan tiap tahunnya akan ada imp dewasa yang bergabung di Toulouse. Kadang aku bisa membawa salah satu ke Paris jika kulihat kemampuan mereka tinggal di sana kecil."

Itu fakta baru yang Morel dengarkan. Jeda sebentar tercipta membiarkan Eden menyeruput tehnya sendiri. Bulu mata transparan membentuk bayangan di pipi, bagaimana cara pria itu bergerak dalam keheningan mengelilinginya terlampau menawan. Atau mungkin karena didukung rupanya yang malam ini terlihat jauh lebih manusiawi. Meski masih ditetapkan dalam kepala segala yang ada dalam diri Eden terlalu sulit untuk menjadi kenyataan, tapi malam ini jari-jari Morel begitu penasaran merasakan tekstur rambut perak yang pendek itu. Terlihat berantakan dan sedikit berminyak. Lalu turun kebawah mengusap alis sejajarnya, kemudian menyentuh tulang pipi, kalau beruntung, ia juga bisa mengintip sedikit tubuh tan yang kokoh itu dari baju tidurㅡ

Morel menutup mata sebentar. Sepertinya aku harus ke gereja untuk menetralkan pikiran. Kembali dirinya menyeruput teh. Lebih baik ia memandang pantulan dirinya untuk sementara di dalam air cokelat itu.

"Diciptakan." Setelah meminum beberapa tegukan, Morel mengutip poin menarik pada kalimat Eden sebelumnya. "Siapa yang menciptakan kalian? Apa Tuhan? Maksudku konsep yang sama dengan umat manusia."

"Kami tidak tahu." Eden tersenyum. "Tapi jika ditanya alasan mengapa kami bisa diciptakan seperti ini jawabannya satu. Kami terbentuk pada serpihan dendam serta kasih sayang besar seorang manusia. Bukan tanpa alasan setengah iblis, setengah peri itu dijadikan definisi untuk kami."

"Kalau sisi lain kalian memang tidak sejahat itu, seharusnya gereja bukan hal yang dilarang untuk kalian masuki." Morel mengerutkan dahi, tapi ia segera memperbaiki kata-katanya. "Tidak. Tetap saja sisi lain kalian bertentangan dengan Tuhan. Aku ubah pertanyaannya. Kenapa kalian tidak bisa memasuki rumah sakit?"

"Tempat itu memberi banyak tekanan." Eden meletakkan cangkirnya kembali. Satu kaki ia silangkan di atas kaki lainnya. "Rumah sakit adalah tempat berkumpulnya harapan. Harapan dalam artian buruk dan baik. Jangan kau pikir aku tak pernah mengikuti rasa penasaranku sendiri. Sudah berkali-kali aku memasuki tempat terlarang itu. Tapi tak pernah bisa aku selesai mengelilinginya. Setiap langkah, terlalu banyak tekanan menimpa kepala, bisikan semoga lekas mati atau lekas sembuh itu adalah doa yang Tuhan dengar setiap detik. Dan kami turut serta mendengar. Kalau Tuhan bisa mengabaikan mana yang tidak penting, maka kami tersulut ingin mengabulkan. Kedua sisi kami yang berseberangan itu terlalu berisiko jika berada dalam tempat-tempat demikian."

Morel mengangguk. Alasannya terdengar masuk akalㅡsetidaknya karena ia tidak lagi tinggal di Paris. Sedikit banyak Toulouse mengubah cara pandangnya, memaklumi dan mengerti tentang makhluk mistis, maupun hal magis.

Kembali penasaran, ia mengutarakan pertanyaan lain, sekilas Eden mendengus merasakan mereka berdua seperti melakukan sesi wawancara.

"Apa yang lain juga sepertimu? Maksudku, mengikuti rasa penasaran memasuki rumah sakit dan gereja?"

"Tentu saja. Kubiarkan mereka semua mencari jawaban dari rasa itu. Dan semuanya kembali dengan perasaan tertekan. Tapi Ten itu ... memang agak lain. Dia mengikuti peraturan yang ada, tak pernah melewati batasnya sendiri. Pernah kutawarkan dan dia menolak. Katanya, 'aku lebih senang mengikuti porosku sendiri'. Yah, walau aku menanti juga bagaimana beringasnya dia ketika mulai melewati garis-garis yang diciptakannya sendiri."

"Orang sepertinya ituㅡjika manusia, pasti membosankan, tapi sekali dicelupkan dalam hal yang tak pernah dijamah misal narkoba, keadaan fatalnya bisa merambat kepada orang terdekat."

"Kau harus mengingat kata-katamu itu. Sebab kita tidak tahu kedepannya bagaimana hubunganmu dengan Ten berjalan. Jika dia melewati batasnya sendiri, kau adalah orang pertama yang dia lukai. Aku tidak akan turun tangan dengan itu."

Morel menemukan hal yang menjanggal dari kalimat Eden.

"Kau mengetahui aku sedang terikat dengannya?"

Tentu saja Eden tahu. Rantai yang hanya bisa dilihat oleh mereka jelas terpampang nyata di depan mata. Tapi ia tidak mungkin mengatakannya kepada manusia. Sehingga ia menjawab sedikit lain. "Aku tahu kau sedang dalam shift khusus mengantarnya dalam jangka lama. Ten adalah peramu yang mengantar barangnya keluar masuk Toulouse, tidak mungkin dia selalu menggunakan kereta bawah tanah dengan biaya lebih mahal untuk empat koper yang dibawa." Lalu Eden ingat kedatangan Ten malam ini bertemu Aydan dengan tangan kosong. "Dia mengajakmu dengan kereta kemungkinan memberikammu suasana baru dalam perjalanan menuju Paris."

"Suasana baru berisi pemandangan terowongan bawah tanah, maksudmu?"

Tawa Eden pecah. "Jika ada kesempatan, aku akan mengajakmu dengan kereta udara."

Itu kalau kau panjang umur.

*

A/n: Dengan munculnya dua tokoh baru (Eden dan Aydan) TD mulai mendekati babak akhir. Jangan mikir terlalu cepet ya XD

Sampai ketemu di chapter selanjutnya!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top