TD | RING
"Kalau siang begini, biasanya dia ada di tempat fae," kata seorang pria bermata sipit. Tangannya sibuk membuat pangsit, tapi mata dan mulutnya jelas kepada Morel. "Ten tidak akan jauh-jauh bermain. Dia akan selalu ada di sekitaran pasar ini. Kau bawa mobilmu sedikit lebih dalam dan akan menemukan tempat tinggal fae di sana." Morel tidak mendengarkan pembicaraan pria itu lebih lanjut dan membawa mobil kodoknya memasuki perumahan fae yang mirip seperti perumahan tingkat yang lembap dan sempit.
Banyak suara melengking dan tawa rayu yang ia dengarkan ketika memarkirkan mobilnya. Morel menengadah dan menemukan beberapa fae melambai nakal padanya. Beberapa terbang begitu cepat di bawah kawat-kawat pembatas. Menariknya, tempat yang sangat jelas berciri komersial seks ini buka 24 jam. Morel tersenyum samar tidak habis pikir ketika ia menemukan manusia keluar masuk dari perumahan itu.
Di mana aku harus menemukannya? Morel mulai melangkah hati-hati pada jalanan yang tergenang air kotor. Wajah Morel yang tidak menggunakan topeng itu membuat semakin banyak fae meliriknya. Tidak ada yang tahu ia sopir Pavla ketika ia tidak menggunakan topeng. Tapi yang membuat semua mata melirik ke arahnya adalah, ia terlalu disayangkan untuk tidak dilihat barang secuil. Tubuhnya jangkung untuk takaran wanita, langkahnya lebar, dengan gaya santai bersama rambut cepaknya yang sedikit bergerak karena angin, Morel mulai berpikir kalau mereka semua mengira ia adalah pria.
"Hei. Ya, kau yang sedang menggunakan kaos hitam. Sebelah kirimu, bodoh!" Salah satu fae tua yang begitu penasaran, pada akhirnya memanggilnya dan Morel mendekatinya yang duduk-duduk mengipasi dirinya sendiri bermaksud menyebar aroma feromonnya. "Mencari apa kau di tempat ini?" tanyanya sedikit kejam. Lalu berhenti mengipasi dirinya ketika ia tahu Morel seorang wanita.
Mata emas Morel bergerak sebentar berpikir sebelum membalasnya. "Kau kenal Ten? Aku sedang mencarinya sekarang."
"Kau manusia 'kan?" Morel mengangguk ketika fae itu bertanya. "Lantas bagaimana manusia bisa tahu namanya? Seingat aku imp tidak menyebutkan namanya pada kaum yang lain apalagi manusia."
Morel menghela napas samar dan mengeluarkan kartu kerjanya sedikit berbisik, "Aku sopir dari Pavla dan dia adalah penumpangku yang baru. Aku mencarinya untuk mendiskusikan beberapa hal," balas Morel sedikit berbohong lalu menemukan raut wajah fae itu terkejut karena dirinya tidak menggunakan topeng. "Aku sedang di luar jam shift sekarang. Jadi aku akan baik-baik saja," lanjut Morel dengan senyuman profesionalnya.
Fae itu memperhatikan Morel dari atas ke bawah dalam beberapa saat. Kemudian menunjuk pintu di belakangnya dengan dagu. "Dia di dalam, lantai tiga." Morel masuk ke dalam setelah menunjukkan senyumannya lagi. Dengan cepat ia menaiki tangga melingkar dan menatap atapnya yang mengerucut seperti kubah dimana hanya ditutupi kaca-kaca tebal yang usang.
"Mencari siapa?" Ada suara maskulin milik fae jantan yang menghampirinya ketika tiba di lantai tiga. Morel menoleh dan mencoba untuk tidak terkejut dengan sapaan itu. "Aku mencari Ten. Di mana ruangan pria itu berada?"
Fae itu tidak menjawab cepat. Diperhatikannya Morel dari atas ke bawah. Dari depan dan belakang. Lalu mengambil langkah mundur untuk menatap wajahnya. "Manusia, ya? Untuk pelayanan satu malam, lantai ini tidak bisa menerima manusia. Ini dikhususkan untuk imp. Ten adalah pelanggan kami dan dia memiliki waktunya sekarang, aku akan mengantarmu ke lantai 2 dan meminta fae jantan yang lain untuk melayanㅡ"
"Aku tidak ke sini untuk tujuan itu." Secara perlahan Morel menyingkirkan tangan fae yang merangkulnya. "Lantas ntuk apa kau kemari?" Fae itu bertanya.
"Dia kenalanku." Kembali Morel dikejutkan oleh sosok lain yang bergabung. Ia tidak mengenalinya, tapi pria itu bertingkah mereka pernah bertemu beberapa malam di bar. "Lama tidak bertemu. Aku akan mengantarmu bertemu dengan Ten." Begitu saja tindakan pria itu lakukan, tidak ada sisi mendominasi atau pandangan menyalang, tapi fae tadi dengan mudah menunduklan kepala kepadanya dan mengundurkan diri.
"Lewat sini." Pria itu tidak menyentuhnya, tidak juga berjalan seiringan. Ia membiarkan dirinya selangkah lebih depan sebelum Morel. Rambutnya jelaga, pakaiannya semi formal dengan jas dan kaos. Tas kantor di sisinya menunjukkan sepertinya ia manusia. Tapi ketika pria itu menoleh dengan netra abunya, Morel menyingkirkan dugaannya.
"Apa sopir dari Pavla selalu mengoleksi rupa-rupa menawan sepertimu, ya?" Pria itu terkekeh samar dan meneruskan, "Aku juga penumpang dari Pavla. Kebetulan sopirku seorang wanita."
"Apa sopirmu memberitahu kalau aku rekannya?"
"Tidak. Tapi aku pernah melihatmu berbicara dengannya menggunakan seragam yang sama."
"Kau agak mengerikan." Pria itu mendengus dengan senyuman miring.
"Kau melakukan kontrak dengan Ten?"
Morel tidak tahu maksud pria itu. Apakah sesuatu yang terikat seperti kata Derek atau terikat dalam hal pekerjaan. "Oh ya, aku dikontrak olehnya untuk mengantarnya kemana pun yang dia inginkan dalam beberapa waktu. Jadi aku tidak mengantar penumpang lain untuk saat ini," balas Morel mencoba untuk menebak arah pembicaraan pria itu.
"Aku juga. Aku mengontrak satu sopir untukku dalam beberapa waktu. Ada urusan yang harus aku selesaikan di kota ini."
"Kau bukan dari sini?" Morel sedikit tertarik.
"Aku dari Bessieres, sekarang tinggal di Paris untuk bekerja." Dengan sopan pria itu memberikan kartu namanya kepada Morel. Morel sedikit tertegun ketika mengetahui kalau pria itu seorang redaktur majalah dari Paris. "Imp bisa memiliki pekerjaan di luar sana? Kupikir imp hanya ada di sini."
"Kau akan menemukan kami lebih banyak di Paris. Nah, kita sudah tiba." Pria itu berdiri di depan pintu berwarna hijau tua yang tinggi. "Mau aku ketukan pintunya untukmu?" Kembali pria itu menawarkan kebaikannya. Morel menggeleng. "Terima kasih, kau sudah membantuku sangat banyak."
"Aku akan senang jika kau membalas kebaikanku dilain waktu."
"Ya kalau kita bertemu lagi."
*
Di ruangan itu Ten tidak sendiri. Ada sosok lain yang mempunyai netra abu yang sama. Tapi versi wanita. Iris namanya. Pakaiannya longgar menjuntai-juntai, langkahnya ringan tidak dibuat-buat. Riasan murahan di wajahnya sama sekali tidak menuruni kualitas wajahnya yang sempurna. "Kau mengikat diri dengan berlian ini? Darimana kau menemukannya?" Iris bertanya kepada Ten sementara ekspresinya takjub memperhatikan Morel yang duduk berseberangan dengan pria itu.
Satu-satunya yang membuat Iris terpana kepadanya adalah, Morel seorang kriminal. Salah satu kriminal berharga koleksi Pavla. Pavla memang tidak pernah mengecewakannya dari dulu. Menghasilkan manusia-manusia rendah dengan penyesalan tiada habis. Manusia naas seperti mereka ini tentu sudah tak ingat dosa apa yang sudah mereka lakukan di masa lampau. Nanti ketika mereka mati, ketika tubuh mereka terbagi seperti potongan daging babi di pasar, mereka akan mengingat semua dosanya, semuanya, sampai kepada alasan mereka berakhir di Pavla.
Itu membuat Iris penasaran bagaimana lezatnya Morel ketika wanita di depannya ini mati. Pikiran kotornya mengatakan kalau sewaktu-waktu ia akan membuka topeng Morel ketika shift kerja wanita itu dimulai. Tentu saja setelah kontrak Morel dan Ten selesai.
Mana mungkin ia bertarung dengan partner yang
baru saja menemaninya satu jam yang lalu di ranjang besar sana.
"Kukatakan berapa kali kalau Pavla itu memang sumbernya berlian?" Ten menekan rokoknya di asbak dan berdiri dari sofa. Siang ini, Morel menemukan pria itu menggunakan kimono satin yang tidak diikat. Menunjukkan tubuh sempurna yang memiliki ukiran tato berwarna biru di dada kiri.
"Dia mengingatkanku dengan teman lamaku. Seorang geisha pada jaman Edo." Morel mengerutkan dahi karena Iris terus berputar hanya untuk menatapnya. "Kau tidak suka wine? Apa ada sesuatu yang kau inginkan?" Sekarang Iris duduk di sebelahnya. Tidak mendekat, hanya saja pandangan wanita itu seperti ingin menelannya bulat-bulat.
"Biarkan aku memiliki ruangan ini bersamanya, Iris." Ten menariknya menjauh. Tapi wanita itu merangkul lehernya dan bertanya dengan suara sensual, "Kau mau menggunakan ruangan ini sama denga apa yang kita lakukan satu jam yang lalu?"
Ten menyeringai. "Tidak." Lalu membuka pintu untuk Iris setelah melepas lengan wanita itu di lehernya. "Berikan aku waktu setengah jam dengannya."
"Kalau kau mengakhiri kontrak dengannya, dia miliku."
Ten mendengus lalu mencium pipi wanita itu singkat. "Kita lihat nanti."
Setelah menutup pintu, Ten menggerakan satu jarinya dan jendela besar di sebelah Morel terbuka lebar. Cahaya dan udara segar masuk ke dalam ruangan lembap tersebut. Lilin-lilin pengganti cahaya di ruangan itu sebelumnya mati dengan cepat, semua barang yang terlihat berantakan kembali kepada letaknya masing-masing. "Minum." Ten memberikan gelas lain berisi air dingin ketika Morel terpana dengan apa yang ia lihat, membuat wanita itu menatap gelasnya dengan alis terangkat satu. "Aku tidak meletakkan apa-apa di sana. Hanya air dingin," lanjutnya.
"Aku tidak haus," jawab lawan bicaranya.
Ten memandangnya. Lalu wajah Morel yang awal mula terlihat biasa, berubah memerah, kemudian terbatuk mengeluarkan air dingin yang ada di gelas tadi. Selagi Morel berusaha mengatur napasnya kembali, Ten memperhatikan mata wanita itu tak percaya karena menemukan air di dalam gelas itu berada di tenggorokannya sekarang. Bagaimana bisa? Morel bertanya sembari memukul dadanya sendiri secara ringan.
"Seterusnya aku akan melakukan hal seperti itu jika yang kuberikan kau menolaknya." Ten menggeserkan kotak tisu untuk wanita itu. "Aku mengetahui luar dalammu. Mengetahui kapan kau lapar, kapan kau haus, kapan kau takut, marah, sedih, terluka." Ten menunjuk bagian bawah Morel di mana organ intim wanita itu berada "Aku juga tahu sekarang kau sedang menstruasi. Sangat menganggu privasimu bukan?"
Ten melipat kedua tangannya ke depan. Tidak ada niat untuknya membantu Morel di sana. Ia hanya menunggu hingga sampai wanita itu membalas dengan suara agak parau, "Derek mengatakan kita terikat."
"Siapapun Derek, aku berterima kasih karena dia membuat pembicaraan kita mudah. Dan ya, kita terikat. Apa kau mau mengakhirinya?" Ten sedikit tersenyum, sepertinya ia akan menyelesaikan ini dengan mudah dengan bayangan satu tahun ke depan ia akan bebas.
"Bagaimana caranya?" Morel mengikuti pembicaraan Ten. Ia tidak akan terikat apapun dengan pria yang melewati batasnya. Setelah ini, Morel berpikir untuk meminta kepada manajernya agar dipindahtugaskan dari shit pria itu.
"Kau membeli botol yang dijual seorang pria. Ingat?" Ketika Morel mengangguk, Ten melanjutkan, "Sumpahnya adalah, ketika botol itu dipindahtangankan dengan syarat membeli, maka imp di dalam botol akan mengikuti Tuan barunya."
"Aku berencana untuk menyudahi kontrak dengan manusia. Jadi setelah kontrakku dengan pria itu selesai, aku ingin membunuhnya agar dia tidak bisa menjual kemana pun. Tapi kau datang, dan membeli botolnya." Ten membuang napas kesal di sela-sela ia berbicara. "Untuk mencegah hal-hal yang tidak kau inginkan, aku tidak segan membunuh beberapa orang sebagai gantinya, juga bukti kalau aku memang bisa digunakan untukmuㅡTuanku. Dan tentu saja semua itu ada bayarannya."
"Menjual jiwaku untukmu?" Morel menebak, Ten spontan tergelak tawa di sana.
"Aku tidak butuh hal-hal begitu." Ten memajukan tubuhnya dengan jari-jari yang sekarang bertautan sama lain. "Lihat bahu kirimu." Morel mengikuti kata-kata Ten, melirik ke dalam bajunya, dan terkejut ketika menemukan ada tato berwarna biru dari bahu hingga ke dadanya sama seperti milik pria itu. "Kita akan mengabulkan permintaan satu sama lain. Seandainya ini berwarna hijau, akan sangat mudah untuk kita menyelesaikannya. Hijau melambangkan kau ingin sesuatu hal finansial."
"Bagaimana dengan biru?"
Ten menunjuk dadanya sendiri. "Sesuatu dari dalam sini." Morel reflek bergidik geli. "Aku jelas tidak memiliki hal apapun yang kuinginkan darimu, jadi aku akan menyesuaikan apa yang kau inginkan. Semakin cepat kita mengetahui keiinginanmu, semakin cepat ini selesai," lanjut Ten meyakinkan Morel dan juga dirinya kalau ini semua akan mudah dengan adanya keputusan wanita itu. Tidak ada satu tahun sialan itu.
"Apa tidak ada cara lain?" tanya Morel.
"Aku membunuhmu. Atau kau yang membunuhku. Tentu saja sudah jelas siapa yang menang kalau kita saling membunuh sekarang." Ten tersenyum sambil membunyikan jari-jari rampingnya. "Kalau kau berpikir untuk menjual botol itu kepada orang lain, tidak bisa. Syarat agar bisa botol itu bisa dijual kembali adalah, kita harus mengabulkan permintaan satu sama lain. Melanggar, kau sendiri yang mati. Yah, itu juga tidak masalah, sih. Toh, pilihan manapun aku tidak dirugikan di sini." Ten mencoba membuat dirinya unggul walau sebenarnya agak was-was bagaimana hidupnya ke depan jika masih bersama wanita itu.
"Harus kujawab sekarang?" Ten melirik Morel dan wanita itu terlihat sedang memikirkan pilihannya. "Besok aku ingin ke suatu tempat, jemput aku di sini, dan aku ingin mendengarkan jawabanmu." Ten memberi final.
Maka Morel berdiri dari duduknya diikuti oleh Ten. Tidak ada hal lagi untuk mereka bicarakan sampai besok. Tapi ketika Ten telah membuka pintu untuk Morel, wanita itu berputar dan memandangnya. "Apa?" Ten mengangkat satu alis.
"Jangan membunuh siapapun."
Ten memutar kedua bola matanya. "Ada lagi?"
"Jangan sembarang membuka bajuku seperti semalam di taksi." Ten menemukan dahi mengerut menahan emosi di sana. "Kau memang bukan manusia, tapi tetap saja ...."
"Aku hanya memikirkan bagaimana caranya agar kau tidak mati kedinginan, bodoh." Tawanya menciptakan suasana canggung sebentar ketika raut wajah wanita itu berubah semakin tidak senang. "Maaf soal semalam. Aku terlalu spontan," lanjutnya agak kikuk.
Setelah Morel pergi begitu saja tanpa etika, Ten membuang napas. Menutup pintu, dan mencuci wajahnya di wastafel. Memperhatikan netra abunya melalui cermin. Ia mendengus sebentar karena warna netranya sekarang sedikit tercampur dengan warna emas milik Morelㅡtanda telah terikat.
Kemudian tangannya bergerak kepada cincin di dalam saku celana. Mengerutkan dahi samar, mengingat kalau cincin yang ada di jari tengah Morel sama seperti miliknya. Emas putih dengan tiga permata kecil di tengahnya.
Pikirnya hanya kebetulan. Tapi ketika melihat cincin itu melingkar di jari Morel ada perasaan tidak asing yang menyerang sehingga ia tak nyaman, Ten tahu benda itu sama persis dengan miliknya.
Bagaimana bisa? Ten membuang napas untuk kedua kalinya dengan gusakan kasar mengusap kepala. Persetan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top