TD | MIXING THINGS

Morel menahan diri untuk tidak menguap ketika angin malam Paris menerpa wajahnya. Ia mengeratkan jas lusuh milik pria itu yang tersampir di tubuhnya dan membuang napas untuk sekali lagi. "Apa kita tidak kembali dulu mengambil taksiku?" tanyanya melirik Ten yang berjalan di sisinya.

"Tidak." Pria itu menggeleng lalu matanya melihat deretan sepeda sewaan di pinggir jalan. "Kau bisa naik sepeda?"

"Aku malas berolahraga sekarang."

Ten memikirkan sesuatu sebelum pada akhirnya menarik satu sepeda itu dan menaikinya sendiri setelah membayar uang sewa dengan koin di outlet terdekat. "Aku yang akan mengayuh sepedanya."

"Kenapa kita tidak naik transportasi umum saja?"

"Sepeda ini juga salah satu yang disediakan negara, benar?"

"..."

Ten terkekeh melihat wajah wanita itu. Bodoh, pikirnya. "Cepat naik."

Sepeda itu tidak memiliki kursi lain di belakangnya, jadi Morel berdiri dan memegang kedua bahu Ten selama perjalanan mereka yang terasa singkat karena pria itu melewati jalan gang yang terasa tak asing baginya. "Aku pertama kali melihat jalan ini, tapi entah kenapa aku merasa akrab pada sekitarnya."

"Oh, ya?" Ten melirik sekilas. "Padahal kau berasal dari Paris, tapi baru tahu tempat ini. Memangnya selama ini kau menghabiskan waktu di mana saja? Mengikuti para tikus berkerah itu? Menjadi seorang reporter sepertinya harus kehilangan kebebasan menikmati waktu luang."

Morel baru saja akan memukul kepala Ten kalau saja kalimat pria itu berikutnya tidak membuatnya agak mengernyit. "Aku juga baru pertama kali melakukan ini, tapi entah kenapa aku merasa tak asing."

"Menaiki sepeda?"

"Membonceng seseorang, lebih tepatnya." Ten tersenyum meski wanita itu tidak melihatnya. "Terasa sangat akrab dan seolah-olah ini kegiatanku setiap hari."

Morel tidak lagi menanggapi dan ia hanya melihat gedung-gedung yang dilewati. Ketika akan memasuki wilayah khusus manusia, Ten menghentikan sepedanya tepat dimana setiap kendaraan akan berhenti saat lampu merah menyala. Ia menengadah ke atas. Pilar magis yang hanya bisa dilihat selain ras manusia inilah yang membuatnya berhenti. Membentang hingga menembus langit, sebuah pembatas sihir ciptaan leluhur vascones¹.

"Sebentar." Ten menahan lengan Morel yang akan berjalan ketika lampu untuk pejalan kaki menyala. Mata abunya mencari sang Penjaga Perbatasan di antara manusia yang akan menyebrang ke arah mereka.

Tidak sulit menemukannya dalam waktu seperkian detik. Seorang wanita dengan kucing pada pelukan. Setelan rajut tipis di badan agak berisi, aroma kucing dan biskuit tercium ketika Ten dan wanita itu saling melewati. Tangan bersentuhan dengan surat perijinan di dalamnya.

Ia kemudian memarkirkan sepedanya di tempat tersedia lalu kembali berjalan kaki bersama Morel. Sebuah mantra berupa kawat berduri muncul mengelilingi lehernya. Upaya untuk mencegah makhluk-makhluk asing menggunakan sihir di area ini. Mata abunya melirik Morel. Agak penasaran pertanyaan apa yang akan diutarakan wanita itu bila mampu melihatnya.

Di antara banyaknya para pejalan kaki, Ten agak takjub memperhatikan beberapanya berbalut kawat berduri di leher. Sama sepertinya. "Lihat itu." Ia bergumam sendiri tapi Morel mendengar dan mengikuti arah pandangnya.

"Mobil van yang menjual roti isi itu maksudmu?"

"Apa?" Ten menyadari kebodohannya. "Yaㅡya, mobil van itu. Kau lapar?"

"Tidak." Mulut Morel agak mengerucut. "Tapi karena kau membicarakannya, aku jadi ingin mencoba."

Jadi keduanya berjalan mendekati mobil tersebut yang memiliki setidaknya tiga pembeli. Ada beberapa kursi kosong yang tersedia dan Ten meminta Morel untuk menunggunya selagi ia mengantre. "Aku yang akan membayar."

"Oh, penumpang yang dermawan," puji Morel setengah minat. "Tapi tetap tak ada potongan harga untuk biaya perjalananmu." Yang kemudian dibalas decakan kesal dari pria itu.

Morel mengeluarkan ponselnya, melihat beberapa pesan yang masuk. Kebanyakan dari grup yang membicarakan seputar keluhan para sopir sepertinya. Morel tersenyum, lalu terkekeh pada hal-hal yang menurutnya lucu. Terutama kotoran burung yang tertempel di kaca mobilㅡketika tahu sang Sopir yang mengirim foto dengan sumpah serapah itu adalah Kira, ia spontan terbahak. Lalu kembali diam karena beberapa orang meliriknya heran.

Ponsel kembali dimasukkan ke dalam saku. Morel melepas jas Ten dari tubuhnya dan menaruhnya di atas paha. Ia bersedekap dengan satu kaki disilangkan pada kaki lainnya. Memperhatikan pria itu menunggu pesanannya selesai dan tengah berbicara dengan seseorang. Sosok semampai berpakaian penuh warna kontras nan manis itu rupanya seorang pria ketika berbalik menatapnya danㅡtunggu, dia melambai padaku? Morel mengerutkan dahi, di sana wajah Ten sama bingungnya.

Setelah membalas lambaian tangan agak kikuk, Morel memperhatikan lebih rinci raut wajah Ten. Selama pria manis itu berbicara, tidak ada senyuman di wajah penumpangnya. Makin mengerut, lalu terkejut, kemudian tubuh Morel meremang ketika mata abu melihatnya dengan pandangan amarah.

Pesanan selesai dibuat, Ten membayar lalu membawa pria manis itu bersamanya. Dua orang pria kini duduk di meja yang sama dengan Morel. Walau aura membunuh yang dihasilkan Ten di sebelahnya ini terlalu kentara, nyatanya pria manis tidak terganggu. Cenderung tidak menyadari karena hanya Morel yang dibiarkan tahu.

Di atas meja ada roti isi dilapisi keju dan daging, pasti gurih dan manis ketika dirasa. Sayang, yang meminta sudah tak berselera.

"Morel." Mulai sang Pria Manis. Kecupan pada pipi kiri dan kanannya agak gatal karena janggut tipis pria itu. Aroma tembakau dan gula dari rambut panjangnya menyambut hidung saat berpelukan. Bukan pelukan sensual penuh meraba, bukan pula basa-basi. Ini ... ini apa Morel? Pelukan erat ini sebuah rindu dari seorang teman lama. Morel bisa merasakannyaㅡdan karena ia bisa merasakannyaㅡada sesuatu yang mengganjal di kepalanya sekarang.

"Lama tidak berjumpa," katanya dengan penuh bahagia. "Aku senang keadaanmu saat ini jauh lebih baik dari sebelumnya. Terakhir kali aku melihatmu, seolah ada dewa kematian yang menginjak bayanganmu."

Pria manis menatap Morel dan Ten yang saling berpandangan. Lalu mata pria itu jatuh ke bawah. Melihat jari-jari dua orang di depannya. Hanya Morel yang menggunakan cincin dan segera saja pria manis terkejut.

"Kalian sudah berpisah? Maafkan aku." Wajahnya penuh penyesalan. "Aku tidak bermaksud menyinggung, sungguh aku tak tahu kabar kalian yang sudah berpisah. Tapi setidaknya kalian harus memberi tahu Dorothy tentang ini. Bagaimana pun, dia yang membuat cincin kalian berdua, aku masih ingat betapa membaranya dia hingga tidak menerima permintaan pelanggan yang menginginkan cincin dibuat oleh tangannya."

Morel melirik cincin di jari tengahnya lalu bergeser pada Ten yang mengeluarkan cincin yang sama dari dalam saku. "Aku masih menyimpannya," kata pria itu yang membuat Morel terkejut dalam tenangnya.

"Oh, oh." Kedua alis pria manis melengkung. Terkejut dan agak salah tingkah. "Aku salah paham sepertinya. Kalian masih bersamaㅡsyukurlah. Berarti pin itu masih kau simpan?" tanyanya kemudian kepada Ten.

"Ini?" Berikutnya Ten mengeluarkan pin jaguar yang membuat pria manis mengangguk senang. Kemudian mengambilnya untuk dilihat sesaat. "Kau merawatnya dengan baik. Ya, ya, ya, tentu saja akan begitu, ini hadiah dari Morel untukmu."

Kembali Morel terkejut dan Ten menahan wanita itu untuk berbicara. "Apa pin ini dibuat oleh toko perhiasan Gaspard?"

"Ya," jawab pria manis pada Ten. Dirinya agak heran dengan pertanyaan pria itu, tapi ia tetap menjelaskan. "Aku yang membuatnya. Kalau kau lupa, Dorothy dan aku bekerja di tempat yang sama."

Ten mengangguk, pria manis itu kemudian kembali melihat Morel. Matanya berbinar. "Jadi beritahu aku bagaimana kabar Elley sekarang. Apa dia sudah mulai bersekolah?"

Alis Morel terangkat satu. "Apa?"

"Elley, bayimu yang hanya kulihat ketika masih di dalam perutmu," jawabnya. "Apa bukan anak perempuan yang lahir seperti dugaan kalian berdua? Beritahu aku siapa nama anak laki-laki kalian."

Morel melihat Ten dan ia mengerti sekarang mengapa pria itu memandangnya dengan amarah.

"Tidak ada Elley yang kau maksudkan," kata Morel dengan tegas. Meski terkejut, ia masih mampu terkekeh. Baginya ini mungkin lelucon yang dibuat oleh dua orang pria itu. "Aku tidak pernah hamil, tidak pernah menjalin hubungan dengan siapapun. Aku terlalu mencintai pekerjaanku sebagai reporter hingga tidak ada waktu untukㅡ" Morel tidak bisa meneruskan kata-katanya karena perutnya seketika terasa dihujam oleh ribuan paku. Ia menahan dirinya untuk tidak berteriak, tapi tubuhnya terjatuh ke tanah dan secara reflek ia meringkuk memegangi perutnya sendiri.

Selagi telinganya mendengar Ten dan pria manis itu memanggil namanya, pandangannya yang mulai gelap secara cepat tergantikan oleh potongan ingatan yang sama sekali tidak ia tahu. Kepingan memori yang begitu menyiksa, bagai flash yang menyakiti mata. Rentetan peristiwa ditunjukkan secara kilat. Darah, tubuh, darah, tubuh. Dua hal yang sama dengan tampilan yang berbeda. Badannya mulai bergetar hebat menyaksikan memori yang sekali lagi terasa tidak asing baginya. Mengapa semuanya menjadi terasa tak asing? Ia berteriak dalam pikirannya, mengulang-ulang hingga Morel melihat kilasan terakhir dari sudut gelap di kamar mandi. Sebuah daging busuk memanggilnya sebagai maman dengan nada riang, lalat dan ulat yang mengerumuni tak menghalanginya untuk merangkak mendekat.

"Maman, maman," katanya. "Mengapa aku dihancurkan? Benda itu menyiksaku."

Hal-hal akrab, tak asing, terluka, penyesalan dan rasa bersalah ini ... Mata emas Morel bergerak kiri kanan, ia seperti pernah mengalami semuanya. Makin disentuh daging itu, makin terlihat peristiwa lain yang tak diduga. Morel menahan diri untuk tidak memuntahkan isi perutnya ketika daging itu menjulurkan tangan kecilnya. Menunjuk di sisi lain, ada seseorang lagi di sana. Mati dihantam mobil.

"Maman yang membunuhnya."

Morel menggeleng penuh ketakutan. Tapi pelaku yang keluar dari mobil memang dirinya. Dengan setelan jas dan kartu reporter di leher.

"Papa mencoba untuk menyelamatkanku, tapi Maman membunuhnya."

*

¹)Vascones : sebuah suku yang salah satu keturunannya bernama Basque. Etnik ini berada di barat daya Prancis serta timur laut Spanyol. Sekarang ditemukan di area Euskal Herria, ujung barat Pirenia.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top