TD | JAGUAR

"Ini sebenarnya agak berlebihan," kata Derek kepada Morel. Pagi ini wanita itu mengantarnya dengan taksi berukuran besar khusus oguv seperti dirinya. Tapi Derek yang tidak pernah menggunakan transportasi itu merasa asing, tatapan dari oguv lain juga membuatnya tidak nyaman. "Aku bisa dijadikan bahan gunjingan yang lain."

Morel tidak bertanya pada gerakan gelisah Derek di kursi belakang. Mata emasnya melirik kemudian menemukan oguv lain yang melihat ke arah taksinya. Dengan cepat ia membaca situasi dan berkata, "Kalau begitu aku akan menjemput dan mengantarmu di tempat yang tidak bisa dilihat oleh teman-temanmu. Bagaimana?"

"Apa itu merepotkanmu?"

"Tentu saja," jawaban spontannya membuat Derek tersentak tak nyaman. Tapi ia dengan cepat mendengus senyum. "Ini sudah ada dalam pekerjaanku, mau bagaimanapun permintaan penumpang nomor satu. Beritahu aku kapan kau akan pulang."

"Sore."

"Kita akan bertemu lagi di waktu sore."

*

Morel selesai mengantarkan Derek pulang dan kembali ke kantor pada sore hari untuk mengganti taksinya yang biasa. Membutuhkan waktu dua puluh menit untuk dirinya menjemput penumpang utamanya hari ini.

Morel membawa taksinya lebih dalam, dan kali ini tidak melepaskan topengnya seperti ketika ia datang ke tempat ini kemarin. Ia mendongak dan melihat mansion putih dengan tiga lantai. Orang-orang sini menyebutnya La maison Blanche. Tapi sekali lihat, mansion ini jelas hunian pekerja seks daripada mansion suci untuk kerohanian. Cat putihnya sedikit menguning, bersama lumut sisi-sisinya. Udara di gang lembap dengan pohon-pohon besar berumur tua beserta feromon fae yang menguar manis. Jika keluar dari gang, begitu kontras panas matahari terasa.

Keluarlah penumpang utama dari mansion itu. Dengan kemeja satin mencolok bersama jas usang seperti preman kelas bawah. Sepatunya mengkilap, beberapa tindik di telinga, gelang perak di kiri dan kanan. "Oh, kau mengganti topengmu. Ke mana topeng badut yang dulu? Kau buang?" tanya Ten basa-basi. Rambut peraknya berkilau ketika siluet matahari menyelinap di antara dedaunan, kulit-kulit putih mengintip di sela kerah yang sedikit terbuka.

"Tujuan hari ini ke mana?" Morel masuk ke dalam taksi dan melirik ketika Ten duduk di sebelah kursinya.

"Pemakaman," jawab pria itu memperhatikan cat kukunya yang berwarna hitam.

"Bukan kasino lagi?"

Ten meliriknya. "Kau bertanya atau sedang bercanda denganku? Aku tidak bisa menebak karena wajahmu tertutup topeng konyol itu."

"Sangat aneh aku melihatmu dengan pakaian itu jika tujuannya pemakaman."

"Jadi aku harus menggunakan pakaian serba hitam? Siapa yang membuat peraturan hitam tanda kesedihan? Lagi pula ini Prancis. Orang bebas mau berekspresi apapun."

"Sayangnya pemikiran seperti itu tidak semua orang mengerti."

Ten mengangguk. "Termasuk kau."

"..."

"Mana botol kecil itu?"

Morel menoleh sekilas ketika tangan pria itu mengulur.  "Botol apa?" tanyanya.

"Botol yang kau beli dengan harga lima euro."

"Oh, aku tidak membawanya. Itu ada di flatku."

"Pintar." Ten mendecak. "Kita ke flatmu kalau begitu."

"Apa itu penting?"

Kedua tangan Ten terlipat dengan alis bertaut menahan kesal. Ia menjelaskan, "Benda itu bisa dikatakan tempat tinggal yang mewah untuk makhluk sepertiku. Tidak banyak imp memiliki botolnya sendiri di zaman sekarang. Jika benda kosong itu tidak dipegang oleh tuannya, maka sangat mudah imp lain untuk merebutnya."

"Botol itu terdengar eksklusif karena zaman sekarang tidak banyak yang memilikinya. Apa itu mahal?"

"Sama seperti binatang yang habitat aslinya di hutan, habitat asli kami bersemayam di botol itu. Dulunya botol-botol tersembunyi antara tanah dan akar pohon di hutan." Ten mengeluarkan satu tangan membiarkan angin sore menerpa, ketika taksi mulai berjalan. Jari-jari rampingnya mengeluarkan serbuk kilauan tipis untuk menutup aspal yang berlubang di sisi jalan khusus disabilitas. Mata abunya telah berserat dengan emas milik Morel sehingga pandangan sekitar berubah menjadi kewaspadaan dan mangsa pengganti kesialan untuk sang Tuan. "Itu cerita lama, aku juga mendengarnya dari imp yang lain, yang lebih senior. Sekarang yang tidak memiliki rumah luntang-lantung mencari hunian baru, yang masih beruntung memilikinya terikat dengan majikan baruㅡsama sepertiku. Zaman sekarang diberi rumah di deretan gang saja, mereka yang tidak memiliki botol sendiri sudah bersyukur."

"Kau yakin?" Pada lampu merah pertama, Morel meliriknya dan mata mereka bertemu. "Aku menemukan jenismu dari Paris. Katanya mereka lebih banyak di sana dan lebih hmm ... berkelas."

Ten mengerutkan dahi, tapi Morel menjawab kebingungannya dengan kartu nama yang wanita itu keluarkan di saku jins. "Seorang redaktur majalah dari Paris datang ke tempatmu kemarin. Aku bertemu dengannya di sana dan sepertinya kalian saling mengenal."

Dibacanya kartu nama itu dan Ten tersenyum sinis. "Oh, pria ini." Memorinya mengingat pria itu datang padanya, bertanya mengenai pasar Cina yang berbaur menjadi surga duniawi penuh nafsu pada malam harinya. "Tidak mengenal secara langsung. Yah, hanya saling tahu kalau kami makhluk yang sama. Si Jelaga itu sepertinya sudah di penghujung usia."

"Maksudmu?"

Tidak menjawab, Ten memutar ujung rambut peraknya. Hanya kaumnya yang tahu kalau sekawanannya tengah sakit atau sekarat. Pada dasarnya, seluruh imp memiliki warna rambut yang samaㅡperak. Jika salah satunya berubah warna menjadi lebih gelap, maka kematian telah di ujung mata. Hanya tiga hal yang Ten tahu penyebabnya. Pertama, melanggar kontrak dengan manusia. Kedua, terlalu sering memasuki rumah sakit dan gereja. Dan yang terakhir penyatuan diri dengan makhluk lain.

Sejujurnya ia tahu alasan pria itu sekarat.

"Kau tahu sendiri alasan pemerintah sangat melarang keras perkawinan silang selain mencegah spesies baru lahir, sangat berbahaya untuk setiap makhluk yang terkait." Ten melihat pria itu dengan sinis. Duduk di depannya dengan senyuman miris. "Lihat dirimu, kematian sudah menginjak bayanganmu."

"Aku datang untuk meminta informasi mengenai season setiap puck, oguv, dan fae. Hal apa saja yang kurang mereka dapatkan di sini mengenai sarana season itu. Lalu, aku tahu kau yang membuat tonik untuk disebar kepada kaum kita di Paris." Pria itu menggeser selembar kertas dengan tanda tangan beserta angka euro yang banyak. "Season kita datang ketika salju pertama turun. Aku tahu seharusnya tonik itu dibagi menjelang season tiba. Tapi aku ingin toniknya sekarang."

Ten melihatnya. Iris yang merangkulnya bersiul. "Ambil kembali," kata-katanya membuat Iris terkejut dan pria itu mengerut. Ten berdiri tidak bermaksud menunjukkan tato biru di dada kirinya yang bergerak-gerak. Langkahnya menuju pada deretan rak besar. "Kau melakukannya dengan fae atau puck?"

"Manusia."

Iris masih dengan ekspresi yang sama tapi jari-jarinya menutupi mulutnya sendiri hampir tidak percaya. "Toniknya tidak akan menyembuhkanmu. Hanya membuatmu sedikit bertahan lebih lama." Ten menyembunyikan rasa terkejutnya dengan raut wajah tegas. Tangannya menggeser tonik itu. "Ini untuk menetralisir dirimu ketika season tiba. Kuberi tipe B."

"Berikan aku tipe F."

"Tidak."

"Apa aku harus mengulang permintaanku?"

"Kau mau mati?" Karpet yang dipijaki menguar aroma bunga menenangkan begitu Ten duduk meluruskan kaki-kaki di atasnya. Ruangan itu penuh dengan bekas-bekas penyatuan antara dirinya dan Iris, tapi tidak membuat hidung pria Jelaga itu mengerut. Sebab feromon-feromon imp tidak menghasilkan aroma yang menyengat ingin muntah. Bau-baunya sensual, dan bergairah. "Tipe F hanya untuk mereka yang tidak bisa mengontrol birahi. Tipe pencadu seks. Kalau yang sepertimu mengosumsinya, kau akan kehilangan tenaga dan kejang-kejang selama dua minggu berturut-turut. Dua minggumu hanya akan terbaring di ranjang dan tidak bisa mencari accoupler(1)."

"Aku sudah menemukan accoupler milikku sendiri."

"Manusia bukan accoupler, bodoh. Kita memang tidak beranak-pinak. Tapi kalau menyatukan diri dengan manusia, energi kita diserap habis dan akan mati. Kau pikir aku buta melihat warna jelaga rambutmu? Sudah berapa season kau habiskan dengan manusia itu hingga warnanya menjadi gelap? Sudah sinting oleh cinta rupanya."

Pria itu mendengarkan kata-katanya. "Standarnya aku harus memberimu tipe A, tapi berhubung yang kau lakukan ini bersama manusiaㅡferomon mereka memang agak sulit ditoleransi, sih, kuberi tipe B dengan catatan konsumsi seminggu sekali ketika season tiba. Apa ada kasus yang sama denganmu di Paris? Kalau ya, berarti tonik tipe B harus diproduksi dalam jumlah besar. Eden akan mengambil kepalamu kalau dia tahu apa yang kau lakukan ini benar-benar tercela. Penyatuan diri dengan fae atau puck saja dianggap kotor. Apalagi manusia. Pada musim season pula. Kau akan dihina oleh yang lain."

"Untuk saat ini, hanya aku yang mengalaminya di Paris." Tonik tipe B yang berwarna merah muda berkilau itu bergoyang di dalam botol kecil ketika pria Jelaga memasukannya ke dalam tas. Berikutnya, ia mengeluarkan pin berkualitas mahal dengan gambar jaguar hitam. "Aku tahu kau tidak akan mengambil bayaranku, jadi aku menggantinya dengan ini."

"Koleksi pinku sudah banyak."

"Sepertinya kau memiliki orang terdekat di Paris." Pria itu kali ini memiringkan sedikit kepala. "Yeux d'or(2)ㅡtulisan di belakangnya."

"Aku tidak pernah berkunjung ke Paris."

"Ada nama belakangmu juga di sana. Pin itu hanya dibuat dan dibeli langsung di Paris."

Sedikit menarik lengan kemeja satinnya untuk melihat pin jaguar itu. Lee, Yeux d'or, Orlov. Ia membaca ukiran kecil di belakang pinnya, dan mengingat kata-kata pria Jelaga itu berikutnya bersama dengan sepucuk surat yang diberi.

"Kau pikir darimana kita ada? Kita memang tidak dilahirkan, tidak pula beranak-pinak. Kita diciptakan."

"Itu edisi terbatas. Aku tidak tahu kau memilikinya." Morel menyadarkan dirinya dengan kata-kata wanita itu. Taksi sudah berjalan kembali, tapi Ten tahu atensi wanita itu tertuju pada pinnya. "Itu diproduksi tahun 2017 di Paris. Dibuat hanya untuk lima ratus buah."

"Kau dari Paris?"

"Ya."

"Kusangka dari kota ini."

"Sejak keluar dari sel besi itu, aku bekerja di sini."

"Apa pekerjaanmu sebelumnya?"

Ada jeda beberapa detik dan suara dengusan terdengar dari Morel. "Kukira kau tahu segala hal."

"Aku tidak akan bertanya jika aku tahu. Bahkan aku tidak tahu namamu. Bisa saja Morel itu nama buatan."

"Pikiranmu agak pendek."

"Kalau begitu kita harus berkenalan dengan benar, betul?" Lampu merah kedua, Ten mengulurkan tangannya untuk Morel. Yang bersangkutan sedikit heran pada perubahan nada suara yang akrab, tapi ia tetap menyambut tangan lawan bicaranya.

"Ten Lee. Pekerjaan ... aku seorang peramu." Ten sedikit mengeratkan tangannya pada wanita itu dengan kalimat menyinggung berikutnya. "Sekarang berubah menjadi menjadi suruhanmu."

Morel mendengus geli. "Aku belum menyetujui kontrak kita ngomong-ngomong. Jadi, kau belum resmi menjadi anjingku." Berikutnya, ia memperkenalkan diri. "Morel Orlov, pekerjaan sebelumnya reporter. Sekarang sopir taksi."

"Nama belakangmu Orlov?"

"Aneh, ya?"

"Tidak, hanya sajaㅡ" Ten kembali melihat pin jaguarnya. Itu berwarna hitam dengan mata emas yang kontras. Kembali ia memandang sopirnya. Surai hitam, netra yang sama dengan pinnya membuat cuplikan memori asing muncul di kepala.

"Sekali dilihat kau mirip jaguar hitam."

"Hanya saja ...?" Morel menunggu.

"Hanya saja aku penasaran apa kau juga mempunyai pin seperti ini?"

Balasan wanita itu tidak memuaskannya.

"Aku tidak punya."

Lalu dengan cepat berubah mengejutkannya.

"Tapi aku pernah memberikan itu sebagai hadiah kepada seseorang. Itu sudah lama sekali. Kalau diingat juga rasanya seperti membuka lembaran mimpi yang buram."

*

Surat dari pria jelaga itu dibuka ketika Ten meminta menepi untuk merenungkan sebentar apa yang baru dikatakan sopirnya beberapa saat lalu. Dalam langkah panjangnya menuju toko untuk menukarkan uangnya menjadi pecahan koin, ia membaca surat lecek itu yang berisikan suatu rahasia. Rahasia yang membuat Ten gentar. Mata abunya bergerak panik sebagaimana tulisan dalam kertas itu digores secara tergesa.

Sebuah pencarian darimana mereka berasal, bagaimana mereka diciptakan, dan siapa yang kali pertama menentukan Toulouse adalah kota untuk imp.

Bukan Eden Dillingham yang menentukan.

Tulisnya.

Eden Dilingham tahu siapa yang menciptakan kita. Ia berencana mematikan sang Pencipta agar kita tidak tahu darimana kita berasal. Ia ingin kita tunduk padanya. Ia berencana untuk memimpin semua mahluk yang ada di Toulouse, termasuk manusia.

Aku tak memintamu untuk ikut mengatasi masalah ini, cukup diam dan biarkan aku bergerak.

*

(1) Accoupler : mate, pasangan.
(2) Yeux d'or : mata emas.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top