TD | IT WOULD FEEL LIKE THIS
Ten memperhatikan kuku-kukunya yang berwarna hitam. Sesekali menguapㅡmenunggu Morel yang keluar dari flat wanita itu membuatnya hampir tertidur di anak-anak tangga kalau saja burung-burung merpati tidak mematuk kepalanya berkali-kali. "Sialan." Ia bergumam sembari mengusir burung-burung itu dengan kesal.
Karena tindakan mengusir sederhananya tidak membuat mereka pergi, maka Ten berdiri dan memutuskan untuk masuk ke dalam gedung flat. Keputusannya itu akan terjadi, kalau saja Morel tidak berdiri di depan pintunya dan mereka hampir bertabrakan.
Ten dengan cepat melangkah mundur menemukan mata emas wanita itu terkejut di dalam topeng. "Setengah jam aku menunggumu di sini," kata pria itu.
Morel tidak menjawab cepat. Matanya bergeser pada kumpulan merpati yang berada di anak tangga gedung flatnya.
"Bersama para unggas?"
Wajah penumpangnya mengerut, tapi sebelum amarah dilayangkan, Morel memberikan botol kecil seharga lima euro itu kepadanya.
"Lama aku mencari benda ini, ternyata ada di bawah ranjangku. Sepertinya terlempar, untungnya tempat tinggalmu ini tidak pecah."
Daripada mengambil, Ten terlihat merampas benda itu dari Morel. Sore ini memang terlampau panas, tapi tidak sepanas emosinya kepada wanita itu. "Aku tidak bodoh pada kalimat sarkasmu, Orlov."
Lawan bicaranya terdengar mendengus. "Kau orang pertama yang memanggil nama belakangku di kota ini." Ia melewati Ten bersama jari yang memutarkan kunci taksinya. Lalu menduduki kursi kemudi dan menunggu penumpang itu masuk.
Ten duduk di sebelahnya kemudian. Ia tidak lagi peduli pada kata-kata Morel dan mengarahkan kaca depan kepadanya. Memperbaiki tatanan rambutnya yang dicabik oleh burung-burung tadi.
Sadar taksi tidak kunjung berjalan, Ten mendelik sopir di sebelahnya. Masih diam memperhatikan dirinya. "Tunggu apalagi?"
"Aku menunggu kau selesai menata rambutmu dan segera menggunakan sabuk pengaman." Morel menyalakan pendingin udara dan membuka map di ponsel untuk tujuan mereka selanjutnya yang cukup jauh. "Tujuan selanjutnya ... pemakaman."
Perjalanan mereka berlangsung selama satu setengah jam, dan keduanya tiba di pemakaman pada malam hari. Morel dapat merasakan perutnya berbunyi, tapi ia tahu shift-nya masih berlangsung selama beberapa jam ke depan. Artinya ia belum boleh membuka topeng yang terasa pengap, dan perutnya tidak bisa menerima makan atau minum apapun.
Pemakaman di pinggir kota ini tidak memiliki nama dan lebih mirip pasar malam. Terlalu terang, terlalu ramai pengunjung. Patung-patung wanita yang murung dilumuri lumut itu terlihat jelas bagian retaknya disoroti lampu kuning.
Jalanan tanah bersih dari dedaunan dan ranting kering, walau pemakaman seperti labirin, Morel menemukan kumpulan imp juga datang dengan pakaian yang tidak mencerminkan ingin ke pemakaman. Kumpulan surai-surai perak itu seperti mendatangi acara daripada mengunjungi pendahulu mereka yang telah lama mati.
Morel melihat punggung Ten berjalan di depannya. Ketika ia menyamai langkah pria itu, didapatinya tengah sibuk membuka halaman-halaman pada buku saku. Diurungkannya niat bertanya perihal keadaan pemakaman sekarang.
Perjalanan mereka berhenti di pagar pembatas antara pemakaman dan hutan. Garis panjang antrean imp berakhir pada satu pohon besar di dalam hutan, membuat Morel mengerutkan dahi heran. Terlalu penasaran apa yang dilakukan oleh mereka semua. "Tetap dalam jarak pandangku." Ia menggeserkan matanya ketika Ten memberi sebuah titah daripada permintaan. Buku saku di tangan pria itu sudah kembali dimasukkan ke dalam saku jas lusuh.
Ada satu pria bertubuh kurus kering berdiri di sebelah pohon kokoh tersebut. Rambut panjangnya memilik warna senada dengan Ten. Ketika tersenyum nampak gigi-gigi kuning.
"Lama tidak melihatmu."
Ten mendengus pada basa-basi sang Penjaga Pohon. "Kau masih hidup saja. Tidak pensiun?"
"Aku akan pensiun ketika kau mati lebih dulu."
Keduanya tertawa, dan Morel tidak mengerti pada gurauan itu. Selera humor mereka mengerikan, pikirnya.
Suara tawa surut bersamaan dengan pandangan pria kurus itu pada Morel. Menerka rupa wajahnya.
"Sopir taksi Pavla tidak diperkenankan masuk."
"Dia bersamaku." Ten menyanggah. "Aku ke sini karena dia biang masalahnya."
Dalam topeng itu, Morel mendelik.
"Aku tidak menjamin keselamatannya di dalam. Kau akan kewalahan jika ada yang merebutnya. Bagaimana?"
"Dia tidak semenarik itu untuk diperebutkan." Ten melirik Morel dengan pandangan geli. "Buka pintunya, kau tidak dengar suara antrean di belakang menuntut ingin masuk juga?"
Si Penjaga Pohon melihat Ten untuk beberapa detik sebelum ia membuka pintu dari batang pohon ituㅡmenampilkan tangga-tangga kayu yang mengarah ke bawah. "Jangan terlalu jauh darinya." Morel mendengarkan nasihat sekilas dari pria kurus sebelum ia mengikuti Ten yang berjalan lebih dulu.
Pohon itu mengarahkan mereka pada bawah tanah, dimana sarang utama imp berada. Penuh lampu-lampu kuning dan merah dengan hiasan permadani di setiap sudut. Mirip kota Maroko. Orang-orang yang tinggal di sini dominan menggunakan kemeja lusuh bercorak, gaun-gaun berwarna kontras pada wanita. Tidak ada anak-anak di kota bawah tanah ini, tapi hampir seluruhnya memiliki paras manusia-manusia dua puluh hingga empat puluhan.
Semuanya berlalu-lalang mirip pasar, sama sekali tidak melirik pada Morel yang sebenarnya mencolok dengan topeng dan seragam Pavlanya. Tentu saja, sebab semua mata imp melihat dengan jelas rantai mengambang ringan di langit-langit antara Ten dan Morel. Berakar dari leher pria itu yang melilit, berakhir di pergelangan tangan Morel. Penampilan seperti anjing dan majikan itu hanya bisa dilihat oleh kaum mereka.
Di mata mereka itu adalah pekerjaan paling muliaㅡhal yang mendasar terbentuknya kaum mereka. Namun, tidak banyak imp yang sanggup menjadi suruhan manusia hingga berakhir mengkhianati kontrak sendiri dan membunuh majikannya. Pekerjaan itu utamanya membutuhkan kesabaran, dan manusia seringkali bersikap tidak tahu diri pada kebaikan yang mereka curahkan. Menuruti semua keinginan bukan berarti mereka disebut pesuruh.
Jadi, walau harus menahan diri untuk tidak memperebutkan makanan lezat di depan mata, mereka lebih memilih meneguk air liur daripada bertarung melawan kaumnya sendiri. Semua mata hanya melihat rantai di atas sembari memuji pekerjaan Ten yang sedang dijalankan pria itu.
Ten kembali membuka buku sakunya, satu jari ia jilat untuk membalikkan halaman. Dahinya mengerut. Di tengah keramaian, ia berhenti sebentar lalu menengadah ke atas. "Sebenarnya kita akan ke mana?" Ten mengalihkan pandangannya pada Morel yang melihat sekitar. Ketika mata wanita itu melihatnya, ia menyeringai.
"Stasiun kereta."
"Setahuku pemerintah tidak membuat stasiun kereta bawah tanah khusus untuk kalian."
Buku saku ditutup. Terdengar kekehan dari lawan bicaranya.
"Dari dulu, kami tidak pernah membutuhkan manusia. Membuat stasiun kereta bawah tanah adalah hal kecil yang sudah lama ada, jauh sebelum manusia memikirkan kereta itu sendiri."
"Bercanda, ya?"
"Katakanlah kami mencuri penglihatan masa depan. Dulu sekali, ada cerita bahwa pendahulu kami tahu di masa depan akan ada transportasi bernama kereta. Daripada kami membangunnya di atas dan merusak perkembangan manusia, lebih baik membangunnya di bawah tanah dan udara."
"Udara?" Morel mendengus geli. "Terdengar seperti bualan."
"Memangnya pemerintah Toulouse bisa membangun itu?"
Ten menunjuk pada lampu-lampu yang menyinari kota dan Morel menyadari tidak ada kabel-kabel listrik terhubung. Beberapa batang kayu bahkan terbang begitu cepat di atas kepala mengangkut barang bawaan atau belanjaan milik orang-orang di kota ini. Segala hal yang mengambang, jelas dibuat dari kekuatan magis.
"Kau akan melihat lebih dari ini di stasiun nanti." Kedua alis pria itu naik turun tersenyum sombong.
Mereka kembali berjalan dan sesekali Ten melirik wanita itu ketika tertinggal di belakang. "Aku bisa mengantarmu dengan taksi daripada menggunakan kereta," kata wanita itu disela-sela perjuangannya menyusul Ten dan memastikan pria itu ingat kalau ia memperkejakan dirinya sebagai sopir pribadi.
Tapi Ten tertawa bersama gelengan kepala.
"Kalau menggunakan taksi malah akan repot. Di perbatasan akan ada pemeriksaan ini itu. Konfirmasi yang membutuhkan waktu dua puluh menitㅡmembayangkannya saja aku terlalu malas. Lebih baik beli tiket langsung di sini dan tada kita tiba di Paris."
Saat itu juga Morel menghentikan langkahnya.
"Paris?"
*
Stasiun Harneinㅡbegitu Ten bilang, adalah stasiun dengan dekorasi Maroko yang lebih membuai mata daripada kota utamanya. Kaya akan magis dan begitu menakjubkan.
Sebelas kereta besar berwarna hijau tua mengkilap siap digunakan malam ini. Cerobong asap mengepul ke atas. Asap sama sekali tidak berwarna abu, melainkan biru muda kemilauan. Rel dibuat dua, untuk perjalanan bawah tanah dan udara.
Lantai stasiun dilapisi permadani empuk, setiap kotoran yang mengenai akan ditelan bulat-bulat oleh benda itu. Persis seperti pasir hidup.
Pada sisi pinggir ada deretan kedai. Kebanyakan roti, akseroris, lampu-lampu, atau piring bercorak khas Maroko.
Morel memastikan matanya kalau rel berwarna merah itu memang menjulang ke arah langit hingga ujungnya tertutup oleh awan malam. Sebelum Ten membeli tiket, pria itu mengatakan di sekeliling rel terdapat untaian sihir berupa tali-tali emas sebagai penjaga agar rel tidak hancur.
Orang-orang membawa koper dengan oleh-oleh di tangan. Batang-batang pohon lebih banyak terbang di langit, sibuk mengantarkan barang ke bagasi. Terkadang saking cepatnya bisa mengenai penumpang kelas tiga.
Jam saku ikut melayang di sekitar penumpang. Memastikan semua orang tahu keberangkatan mereka sendiri. Tak lupa permen-permen terbungkus manis dan gratis ikut berkontribusi di atas kepala.
Ten memberikan tiket pada Morel selagi wanita itu terperangah. Ia melihat sebentar sebelum tertawa. "Kau tidak ingin membuka topengmu?"
Morel masih melihat rel di atas langit sana. "Kau masih ingat apa yang terjadi padaku ketika topeng ini terbuka?"
"Aku ingat." Ten mengangguk. "Tapi ini bukan di Toulouse, dan seluruh orang di sini adalah kaumku. Mereka tidak akan menyerangmu."
"Berarti tidak masalah juga kalau aku makan?"
Pria itu memiringkan kepala dengan dengusan mengejek. "Tidak akan ada yang membunuhmu di sini, Morel. Bukalah, makanan akan datang ketika kereta berjalan."
Gerbong kereta untuk keberangkatan bawah tanah terbuka. Morel menarik pria itu sebelum benar-benar melewatinya. "Bagaimana dengan taksiku?" Ia mengingat kendaraan itu terparkir pada deretan mobil milik imp lainnya di luar pemakaman. Tidak ada jaminan apapun kalau taksinya hilang di sana.
Kereta berbunyi pertanda bersiap untuk pergi, Ten dengan cepat berjalan menarik tangan wanita itu. "Kita tidak akan kembali esok hari. Aku hanya ingin mengunjungi seseorang di Paris. Tak akan lama," kata pria itu.
Petugas kereta berpakaian putih memeriksa tiket. Ia melirik Ten dan Morel yang telah melepaskan topengnya. Wajah wanita itu berkeringat karena suhu udara yang panas. Ketika mereka dipersilakan masuk, Ten mengarahkannya pada kompartemen kelas dua.
Morel mendesah panjang ketika ia duduk di kursi empuk, di seberangnya Ten terlihat sering menaiki kereta ini. Bukti nyata dari raut wajah tidak peduli dan bagaimana langkah pria itu yang begitu hapal pada seluk beluk stasiun maupun kereta.
Bagi Morel, kereta sama sekali tidak terasa bergerak, tidak terdengar juga suara bergesekan dengan rel. Satu-satunya yang membuat ia menyadari kereta berjalan adalah, lampu-lampu penerang di terowongan melewati mereka dengan cepat. Pendingin menyala dengan suhu yang pas, pegangan kursi terbuat dari kualitas terbaik. Aroma dalam kompartemen begitu segar menyingkirkan bau cerobong asap. Tirai jendela masih bercorak khas kota utama. Sesaat Morel penasaran bagaimana dengan kursi di kelas satu kalau ini saja begitu nyaman baginya.
"Jadi." Morel membuka mataㅡhampir tertidur dalam pangkuan tangan di sisi jendela. Ten kembali melihat buku saku di seberang sana, tapi pria itu berbicara kepadanya. "Apa kau menyetujui kontrak kita? Karena aku belum mendapatkan kepastian."
"Kenapa kau menanyakan itu?" Morel melipat kedua tangan, kali ini bahu dan kepala ia sandarkan ke dinding. "Kalau kutolak juga tidak bisa. Tidak ada yang bisa kulakukan kecuali menerimanya."
Pria itu meliriknya sekilas. "Yah, aku hanya bertanya sebagai formalitas."
"Aku tidak ingin seseorang terbunuh hanya untuk menggantikan kesialanku." Morel menutup matanya yang terasa berat. "Kau mungkin tidak mengerti, tapi manusia itu makhluk perasa. Aku bisa gila jika terbayang kematian seseorang yang tidak kukenal hanya untuk menggantikan posisiku."
"Kalau itu maumu, maka aku harus ada di sekitarmu setiap harinya." Ten masih sibuk membaca pada buku saku. "Kemungkinan kau akan risih, namun kuusahakan aku tidak akan mengganggumu."
Morel mengangguk. Dirasa perbincangan selesai ia memutuskan untuk tidur sebentar. "Bangunkan aku jika makanan datang."
Dalam beberapa menit Ten hanya memandang ke arah luar kereta yang membosankan. Terowongan gelap dengan lampu-lampu itu tidak menarik mata sehingga akhirnya ia menutup tirai jendela. Ketika itu juga mata abunya tidak sengaja melihat cincin yang melingkar di jari Morel.
Cincin yang sama dengan miliknya itu, kembali mengganggu pikirannya.
Tidak, kali ini ia sadar tidak hanya cincin, tapi pin jaguar yang ia gunakan, memori ucapannya pada seseorang tentang jaguar, dan dan ... Ten menutup mata. Tidak ingin mengakui pikirannya yang satu itu.
Tapi buku sakunya menceritakan segala hal.
Buku yang tersimpan di bawah lantai kayu, tertutup karpet berdebu. Ia tidak tahu mengapa intuisinya mengatakan benda itu ada di sana, atau kapan ia menulisnya. Tetapi ia yakin semua yang ditoreh dalam goresan tipis mengatakan segala apa yang ia rasakan saat ini.
Pada setiap halaman, dituliskan petualangan dua orang. Perasaan menaiki mobil bersama, cincin yang sama, hingga menaiki kereta menuju Paris. Ia menutup mata ketika merasakan tulisan itu terasa nyata. Seolah ia pernah melakukan itu sebelumnya, ia bahkan bisa merasakan perasaan momen-momen itu berlangsung sekarang.
Di akhir buku, cerita tidak selesai. Tetapi ditutup dengan tulisan sederhana.
Seharusnya akan terasa seperti ini.
Semua renungan menguar ketika pelayan mengetuk membawa makanan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top