TD | EAT HER
"Terlalu berisik sepertinya, ya?" Morel menengadah. Ada wanita yang keluar dari pintu belakang kedai mie. Memperbaiki tali bajunya yang jatuh. Di sebelahnya ada pria dengan wajah memerah dan Morel sangat tahu apa yang mereka barusan lakukan. Suara yang mereka hasilkan di belakang sana sangat jelas di telinga Morel. Ketika selesai berciuman di depannya, wanita itu mendekatinya. "Apa yang ingin kau makan, Tuan Misterius?"
"Aku wanita." Dan lawan bicaranya menyeringai cantik menyembunyikan rasa malunya. "Berikan aku air biasa," lanjut Morel dan wanita itu memberikannya sebotol air.
"Kau tidak terlihat demikian." Wanita itu membuka kembali pembicaraan. Memangku wajah cantiknya. Menerka-nerka bagaimana rupa Morel di balik topeng konyol itu. "Aku selalu penasaran wajah-wajah sopir Pavla kau tahu."
Morel mengabaikannya. Melihat keliling kedai yang sepi. Sementara di luar sana hujan, lampu-lampu kedai lain berwarna merah dan oren masuk melalui jendela yang usang. "Kau tidak merawat tempat ini dengan baik sepertinya, ya?" komentar Morel.
"Manusia bisanya menuntut. Bukannya dibantu." Wanita itu tertawa. Kembali Morel menemukan sayap seperti capung yang lusuh di punggung wanita itu. Terkadang ia tidak mengerti mengapa iaㅡdan manusia lainnya bisa bersikap biasa saja pada keberadaan makhluk-makhluk ini. Sebenarnya bisa saja ia merekam atau melakukan siaran langsung untuk menunjukkan kepada dunia kalau Toulouse memilliki banyak spesies aneh. Tapi tidak, Morel tidak tahu dirinya enggan melakukan hal itu semua. Mungkin perasaan ini sama dengan manusia lainnya, sehingga semua orang hanya akan diam dan cenderung tidak peduli.
"Tapi biar tempatnya begini, kami bersyukur diberikan tempat tinggal oleh Pemerintah. Disediakan sarana transportasi khusus, dan hak-hak lainnya. Walau masih bisa dibilang belum layak, sih," lanjut sang Wanita. Matanya sesekali melirik Morel.
"Pria yang tadi bersamamu, manusia?" Morel membalas tidak relevan. Wanita itu mengangguk.
"Tenang saja. Kami memahami larangan kawin silang itu. Lagipula siapa juga yang mau memiliki anak dengan pekerjaan seperti ini? Merepotkan."
"Oh, apa kau lihat sopir Pavla yang diserang oleh penumpangnya sendiri?" Wanita itu bertanya lagi dengan sumringah. "Dia membuka topengnya, 'kan? Bagaimana wajahnya? Beritahu aku."
"Aku tidak melihatnya." Ketika wanita itu mendesah kecewa, Morel melanjutkan, "Apa karena membuka topeng satu-satunya alasan dia diserang? Maksudku, apa yang salah dengan membuka topeng? Polisi juga tidak peduli dengan ini. Tidak masuk akal sama sekali menurutku."
"Pavla memang tidak memberi protokol soal itu. Karena memang itu peraturan umum. Kalau kau belum tahu, kutebak kau orang baru di kota ini."
Morel mengerutkan dahi. Ia akan membalas, tapi wanita itu menyela, "Sopir Pavla itu kumpulan kriminal. Satu-satunya kumpulan manusia yang lebih rendah dari kami, dikumpulkan dan dipekerjakan untuk kami hanya ada di Pavla."
Morel terdiam sebentar lalu tertawa mengejek. "Hari ini banyak hal yang tidak masuk akal rupanya. Apa aku terlalu lelah, ya?"
"Menyangkal sekali." Wanita itu masih tersenyum dengan dengusan samar. "Kami bisa makan apa yang kalian makan. Tapi tentu saja menu utama yang lebih lezat itu berasal dari manusia itu sendiri. Menikmatinya pun setiap spesies berbeda-beda. Ada yang dimakan langsung, atau hanya mengambil txarra yang dihasilkan manusia ketika mati. Kalau kau melihat pasir hitam mengkilap di jasadnya, itu txarra. Kaumku memakan itu untuk perpanjang usia dan awet muda."
"Aku tidak punya waktu untuk membicarakan hal seperti ini." Morel melihat jamnya yang sudah menunjukkan pukul sembilan. Ia harus menjemput penumpang prianya tadi. Jadi Morel mengeluarkan selembaran uang dan tidak menoleh ketika wanita itu berteriak memberikan kembaliannya.
Kumpulan kriminal apanya? Morel berjalan cepat melewati orang-orang yang menabrak bahunya beberapa kali. Berpikir bahwa kata-kata wanita itu benar-benar konyol hanya akan membuatnya tersenyum di dalam topengnya. Ia sangat tahu rekan kerjanya di Pavla bukan seorang kriminal. Johnny mantan bartender, Kiraㅡsopir baru yang bergabung seminggu yang lalu juga dulunya seorang pemahat patung. Dan sisanya kebanyakan mantan pekerja kantoran karena di-PHK besar-besaran di beberapa perusahaan empat tahun yang lalu. Morel sangat tahu, walau Pavla sangat asing di telinga orang, tapi unit taksi ini sangat menjajikan. Gaji dan fasilitas umum juga asuransi kesehatannya sudah disediakan. Orang-orang di sana juga adalah yang terbaik menurut Morel. Jadi ia benar-benar tidak bisa terus mendengarkan perkataan makhluk sialan setengah capung tadi mengomentari hal buruk soal pekerjaannya.
"Menyingkir dari jalanku sialan!" Ketika Morel akan menoleh ke arah sumber suara, pria yang meneriakinya lewat di depannya. Dengan cepat Morel menghindari tangan pria itu yang akan mendorong bahunya. Tapi disaat yang bersamaan juga, tangan pria itu justru membuka topengnya. Sialan. Morel harus mengejar pria itu yang membawa topengnya. Ia menyebrang mengabaikan klakson mobil-mobil. Dan tanpa ia ketahui beberapa makhluk di belakang mulai mengejarnya.
Kaki Morel yang panjang bisa meraih kerah baju pria itu. Ia menangkapnya hingga keduanya terpeleset menabrak parkiran sepeda. "Kau membawa topengku." Morel mendesis merasakan sikunya yang terluka. Sensasi perih karena hujan membuatnya mengerutkan alis samar. Ia berdiri dan mencoba menahan umpatan kasar dari mulutnya. "Kau membuatku dalam masalah setelah ini." Morel memberikan pandangan gelap dengan lawannya yang terlihat berusia enam puluhan.
Lalu susah payah pria itu berdiri dan terdiam sebentar. Seperti mendapatkan sebuah ide, dengan tergesa-gesa ia mengeluarkan botol kaca berukuran kecil. Tangannya yang gemetar hebatㅡentah mungkin kedinginan atau tengah ketakutan, mencoba menunjukkan botol berwarna kusam itu pada Morel. "Beli ini, dan aku akan mengembalikan topengmu."
"Aku tidak membutuhkan botol kaca yang kosong. Sekarang kembalikan topengku." Morel mengulurkan tangannya. Rahangnya yang mengeras terlihat sekali ia harus mendapatkan barangnya kembali. Ia sudah merasakan pandangan-pandangan aneh dari makhluk sekitarnya. Bahkan beberapa sudah mulai mendekati. "Aku meminta untuk terakhir kalinya." Kali ini Morel sedikit meninggikan nada suara. Tapi pria itu melangkah mundur. Menyeringai yang dibuat-buat seolah-olah pria itu tidak takut dengan ancaman Morel.
"Aku membuat ini mudah. Kau justru mempersulitnya. Berikan aku lima euro untuk botol ini, dan kau akan dapat keduanya."
"Aku tidak melihat benda itu berguna untukku." Morel melangkah untuk mendekati pria itu, dan kembali lawan bicaranya mundur. "Astaga. Bisa kita tidak bermain-main? Aku harus menjemput penumpangku."
"Satu-satunya yang kau cemaskan itu dirimu sendiri. Lihat sekitarmu." Morel melirik ke arah sekitarnya dan ia semakin merasa disudutkan. Ia tahu. Ia hanya tidak ingin menunjukkan rasa takutnya. "Hanya lima euro dan kau akan selamat." Pria itu tidak menyerah.
Morel menghela napasnya. Tidak mengerti kenapa pria di depannya ini begitu ingin botol kaca itu harus dibeli. Dengan cepat Morel mengeluarkan uangnya. Sementara mata emasnya memperhatikan sekitar, Morel menemukan penumpangnya berdiri di seberang sana. Menemukan pria itu berteriak kepadanya, tapi ia tidak mendengarkan. Kendaraan yang ada di antara mereka membuatnya tidak mengetahui apa yang penumpangnya katakan.
"Berikan barangku." Morel menerima botol kaca dan topengnya, dua detik kemudian kepala pria itu dipecahkan oleh penumpangnya yang tiba-tiba datang menggunakan satu tangan yang bebas. Hal selanjutnya yang terjadi adalah, Morel diseret paksa oleh penumpangnya menjauhi kerumunan fae yang sibuk mengambil txarra baru hingga punggungnya menghantam dinding toko.
Beberapa fae tak menyerah sehingga penumpangnya harus melindungi Morel yang masih berusaha berdiri. Tapi belum selesai sampai di sana, salah satu kaki Morel kembali ditarik oleh makhluk capung itu dari arah lain. Suara fae yang berteriak melengking membuatnya hampir kehilangan kesadaran. Morel menemukan tiang listrik dan memegang itu dengan kuat. Lalu melirik ke bawah dan menendang wajah-wajah mereka yang menarik kakinya.
Aku harus berdiri. Morel mencoba untuk menegapkan tubuhnya tapi sebelum ia berhasil, rambutnya ditarik oleh salah satu oguv. Makhluk dengan tinggi 3 meter itu menyeretnya dengan mudah hingga Morel tidak bisa menginjak tanah. Apa yang salah? Kembali ia berpikir, hanya tidak menggunakan topeng konyol itu ia sampai seperti ini. Dengan mata yang sedikit terbuka, Morel menemukan polisi patroli melihatnya. Dan dengan cepat pandangan polisi itu beralih ke arah lain. Sialan, aku harus pergi dari kota ini.
"Itu sopirku." Oguv itu berhenti ketika Ten berdiri di depannya dengan pipa yang ujungnya terdapat bekas darah. "Aku tidak mengizinkanmu untuk memakannya. Makan yang lain saja sana."
"Ketika topengnya dibuka ini akan menjadiㅡ" Ten menyela perkataan makhluk itu dengan putaran mata jengah. "Perlu kau ketahui, aku sudah mendapatkannya duluan. Itu milikku. Turunkan dia sekarang. Kau tidak lihat dia seperti cacing mati?" Ten melirik Morel yang sudah kehilangan kesadarannya dan terlihat sangat kacau dengan pakaian basah kuyup.
"Pria tadi menjual botol kaca itu padanya. Seharusnya aku menghancurkan botol itu setelah selesai melakukan kontrak. Tololnya, wanita itu malah membelinya. Padahal sudah kuperingatkan dari jauh." Sialan, aku maunya tahun ini bebas malah jadi suruhan lagi. Ten menghela napas membayangkan hari-hari merepotkannya akan datang dalam waktu beberapa jam.
"Kalau aku menolak?" Ten mengerutkan dahinya dengan kata-kata makhluk itu. Maka ia mengarahkan pipanya tepat ke wajah Oguv. "Aku tidak ingin berurusan dengan makhluk besar seperti kalian. Tolong jangan buang waktuku. Manusia di tanganmu itu sudah sangat kedinginan, dan mungkin akan mati. Tentu saja kalau dia sampai mati, kupaksa pipa ini masuk ke lubang hidungmu hingga tembus menuju kepala."
Ten tersenyum ketika makhluk itu melempar Morel ke arahnya dan dengan mudah ia menangkapnya. "Aku hanya kasihan. Bukan takut. Pegang kata-kataku." Ten tersenyum dan membalas, "Siapa namamu? Aku harus mengingat kebaikanmu."
Dan Ten terkekeh ketika Oguv itu menunjukkan jari tengah kepadanya dari kejauhan. Kemudian Ten melirik Morel di tangannya. Memperhatikan bulu matanya yang panjang dengan hidung ramping. Lalu berjalan menuju taksi mereka. "Astaga, dia benar-benar wanita rupanya." Ten tertawa dengan kata-katanya sendiri.
*
A/n: Taxi Driver hanya mengangkat tema utama dari cerita pendek The Bottle Imp karya Robert Louis Stevenson pada kumpulan cerpen Island Nights' Entertaiments tahun 1891. Dalam ceritanya, tokoh utama membeli botol dengan imp di dalamnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top