8. Permainan Baru Saja Dimulai
Part 8 Permainan Baru Saja Dimulai
"Obat penggugur kandungan?" ulang Langit dengan amarah yang menggelegar di dalam suaranya.
"Tapi dokter bilang kegugurannya karena benturan di perutnya, Langit."
"Kau bilang obat itu ditemukan bersamanya, kan?"
Aaraf terpaksa mengangguk. "Kita tak bisa mengambil kesimpulan ..."
"Kesimpulannya sudah jelas," tegas Langit. Menyentakkan tubuh sang adik dan dari hadapannya. Tangannya memegang gagang pintu dan menggesernya terbuka. Namun langkahnya terhenti, memutar kepalanya saat memberikan perintah selanjutnya. "Aku ingin Evander tua itu menemuiku dalam satu jam," ucapnya kemudian masuk ke dalam. Menyeberangi ruangan luas dengan fasilitas lengkap rumah sakit sebelum masuk ke ruangan khusus pasien.
"Pergi," perintahnya pada perawat yang masih membantu Gadis untuk berpakaian. "Sekarang!" bentaknya karena dua perawat wanita itu masih tak jugaenyah dari hadapannya dalam hitungan detik. Satu perawat gegas menyambar pakaian kotor Gadis dan mendorong meja peralatan sementara perawat satunya yang belum selesai mengancingkan baju rumah sakit segera menyusul.
"Apa yang ..." Gadis tak sempat menyelesaikan ketidak percayaannya akan tindakan semena-mena Langit. Begitu pria itu mendekati ranjang pasiennya, lehernya disambar dan tubuhnya dibanting ke kepala ranjang. Meski punggungnya membentur sandaran ranjang yang empuk, tetap saja kekasaran Langit membuatnya kesakitan. Terutama di bagian perut.
"Kau memohon padaku untuk diberi satu kesempatan dan inilah bayaran yang kau berikan padaku?" desis Langit tepat di atas wajah Gadis yang memerah. Tampak kesulitan untuk bernapas karena tekanan kuat tangannya tepat di tenggorokan wanita itu. "Kenapa hanya dia yang mati? Bukan kau sekalian?"
"L-lepaskan." Suara Gadis tak terlalu jelas. Meski ia tak benar-benar peduli Langit akan mendengarkannya atau tidak. Tangannya memegang cengkeraman di leher, yang terasa sekeras batu. Tak mengherankan jika tulang lehernya akan remuk dengan tekanan yang sedikit lebih kuat lagi.
Gadis merasakan paru-parunya yang terasa sakit, Sangat membutuhkan udara. Kepalanya juga mulai terasa pusing. Tubuhnya meronta, tetapi perlahan usahanya untuk melepaskan diri dari cekikan Langit semakin melemah. Hingga ia merasa putus asa dan pasrah, membiarkan Langit menghabisi nyawanya. Cengkeraman pria itu tiba-tiba terlepas dan napasnya tersengal saat berusaha meraup udara sebanyak mungkin demi memenuhi paru-parunya.
"Tidak, kematianmu tidak akan semudah ini." Langit menyeringai. Kilat jahat tampak di kedua matanya.
"Semua sudah selesai. Anak itu sudah tidak ada lagi." Gadis memberanikan diri untuk melawan meski ketakutan hampir membuat tubuhnya bergetar hebat akan amarah yang menguar dari tubuh Langit. Kemurkaan pria itu lebih serius dari yang bisa dibayangkannya.
Langit terkekeh. Tangannya mencengkeram rambut di belakang kepala Gadis.
Gadis menahan ringisan akan rambut di kepalanya yang terasa mengulitinya. Napas pria itu berhembus keras di atas wajahnya. "Anggap saja anak buahmu tak melakukan kesalahan dan hanya sedikit terlambat mengikuti perintahmu."
Kekehan Langit lebih keras. Menambah tekanan dalam jambakannya dan kali ini Gadis berhasil mengerang kesakitan. "Ya, aku akan menganggapnya seperti itu. Tapi denganmu, kita baru saja memulai permainannya."
***
Permainan macam apa ini, Gadis sukses dibuat terperangah dengan keberadaan sang Ayah yang akan menjadi saksi pernikahannya dan pria berengsek itu.
"Aku tidak mau!" Gadis melempar kotak cincin yang baru saja diserahkan pria tinggi di samping Langit. Ke arah pintu kaca lemari yang pecahannya seketika menyebar di lantai. "Aku tak sudi mengandung anakmu, apalagi harus menikah ..."
Langit mengeluarkan pistol dan menempelkan moncongnya di kepala Ludy, segera membungkam penolakan histeris Gadis.
Ludy hanya bisa menatap tak berdaya pada Gadis.
"Pria macam ini yang Ayah harapkan untuk menikah denganku?" dengus Gadis. Meski begitu kesal pada sang Ayah, tetap saja melihat Ayahnya ditodong pistol seperti itu tak memberinya pilihan untuk menolak keinginan Langit. "Anakmu sudah mati, Langit."
"Kita akan memiliki," seringai Langit. "Dengan cara yang berbeda."
Wajah Gadis memerah, rasa malu dan amarah yang bercampur jadi satu. "Tidak. Kau tak akan ..."
Doorrr ...
Tembakan itu memecah vas bunga di atas meja. Pecahannya meledak hampir di seluruh ruangan. Ludy mengangkat kedua tangannya, hendak berlari ke arah Gadis untuk melindungi sang putri, tetapi tangannya ditahan oleh Aaraf. Satu-satunya selain Langit yang tak terpengaruh oleh tembakan tersebut.
Kedua kaki Gadis bergetar hebat seberapa pun kuatnya ia berusaha memberanikan diri.
"Biasanya aku tak pernah meleset." Salah satu alis Langit terangkat "Jadi, masih tidak?"
Gadis menatap sang ayah. Tanpa mengatakan apa pun karena tak tahu apa yang harus dikatakannya. Begitu pun dengan pria paruh baya tersebut. Ketegasan yang ia lihat di ruang kerja sang ayah, kini berubah menjadi sama tak berdaya seperti dirinya. Keduanya tak punya pilihan.
"Apa yang kau inginkan dengan pernikahan ini?"
"Bersenang-senang denganmu tentu saja." Langit benar-benar memberikan jawaban yang menyempurnakan keberengsekan pria itu.
"Aku menawarkan kesepakatan ini bukan untuk jawaban ..."
"Hmm, aku mengerti." Langit tersenyum dingin. "Seharusnya kau mendidik putrimu sebelum memutuskan menghabisi anakku."
"Ini hanya kesalah pahaman. Gadis tak mungkin ..."
Tawa Langit lebih keras. "Kau begitu mempercayai putrimu, ya?"
"Ya, aku percaya padanya. Dia bukan seseorang yang akan tega melakukan hal sejahat itu." Ludy menatap lurus kedua mata sang putri. Tetapi kemudian pernyataannya segera berubah menjadi keterkejutan menatap Gadisnya hanya berdiam diri. Sama sekali tak membantah tuduhan Langit.
Langit yang menyadari keretakan kepercayaan antara ayah dan putri tersebut menyeringai puas. "Kita tak punya banyak waktu." Langit menatap Aaraf, bersamaan pintu ruang perawatan tersebut yang diketuk dari luar.
"Ya, dia." Aaraf mengangguk. "Kita butuh tak ada pemaksaan di sini."
"Ya, tidak akan ada pemaksaan." Langit mendorong Ludy ke arah Aaraf. "Jadi, kau lebih suka ayahmu ada di sini menyaksikan momen bahagia kita atau anak buahku memastikannya masih bernapas sampai proses ini selesai dengan penuh ketenangan?"
"Tak ada yang lebih baik," dengus Gadis.
"Di luar kalau begitu. Kita hanya butuh satu saksi." Putus Langit.
"Di dalam saja," jawab Gadis kemudian.
"Di luar," tegas Langit dengan senyum memuakkan. "Aku sudah memberiku kesempatan untuk memilih."
Gadis menahan kegeramannya. Menatap sang Ayah yang dibawa Aaraf menuju pintu. Kedua tangannya terkepal, tetapi ia segera melonggarkan tekanan tersebut. Perutnya terasa sakit oleh ketegangan di tubuhnya. Kepalanya pun masih pusing karena kehilangan terlalu banyak darah. Langit benar-benar tahu saat yang tepat untuk menyudutkan dirinya.
Ia kembali duduk di tepi ranjang pasien. Berusaha menenangkan diri meski sangat mustahil merasa tenang dengan situasi yang semakin membuatnya menggila ini. Begitu sang ayah menghilang dari pandangannya, Aaraf kembali masuk dengan seorang pria. Yang ia yakin akan menikahkannya dengan Langit.
Pria itu tampak terkejut dengan kekacauan yang menyambut, tetapi Aaraf menjelaskan bahwa itu hanya pertengkaran kecil seorang pasangan. Jadi pernikahan akan membuat keduanya semakin dekat dan lebih saling mencintai. Jawaban yang membuat Gadis benar-benar akan muntah.
Langit berjalan mendekati pecahan kaca lemari, mengambil kotak cincin dari sana sebelum kembali ke sisi ranjang. "Surat-suratnya?"
Pria itu mengangguk, menunjukkan sertifikat pernikahan yang hanya membutuhkan tanda tangan di atas nama Gadis dan Langit. Gadis tak mengatakan apa pun, Langit pasti sudah mempersiapkannya saat ia berbaring tak sadarkan diri di ranjang pasien. Mempersiapkan pernikahan tersebut secepat yang pria itu inginkan.
Ya, biasanya orang jahat memang selalu mudah mendapatkan apapun yang diinginkan, kan? Kejahatannya selalu berjalan dengan lancar dan sempurna. Sesempurna keberengsekan pria itu.
Dan Gadis benar-benar dibuat tak berdaya untuk memastikan proses pernikahan tersebut berjalan dengan sempurna. Mengucapkan sumpah pernikahan, memasangkan cincin di jari Langit serta membiarkan pria itu menyelipkan cincin di hari manisnya. Yang kemudian disempurnakan dengan Langit yang menangkap pinggangnya dan melumat bibirnya dengan kasar. Tak memberinya kesempatan untuk bernapas.
Tak lebih dari lima belas menit, sertifikat tersebut dibubuhi tanda tangannya dan keduanya sah dinyatakan sebagai pasangan suami istri. Setelah ini, entah apa yang akan terjadi pada dirinya, Gadis hanya mampu meratap dalam hati.
***
Keadaannya sudah jauh lebih baik meski ia masih mengalami pendarahan. Setelah pemeriksaan USG yang memastikan tidak ada jaringan di dalam rahimnya yang masih tertinggal, Gadis diijinkan untuk menjalani rawat jalan. Perlu kontrol dua minggu kemudian pemeriksaan lanjutan.
Gadis menarik resleting tas bepergiannya. Mengambil ponsel dan berjalan menuju pintu ketika pintu lebih dulu dibuka dari luar. Membekukan langkahnya menemukan Langitlah yang berdiri di hadapannya.
"Sudah selesai?" Langit menatap tas di tangan Gadis, yang segera diambil oleh pria yang ia tahu Namanya Aaraf.
"Tidak perlu. Aku bisa membawanya sendiri." Gadis menjauhkan tas dari uluran tangan Aaraf, berjalan di antara kedua pria itu.
Langit tak pernah membutuhkan penolakan. Jadi ia sendiri yang turun tangan merebut tas tersebut dari tangan Gadis dan melemparkannya pada Aaraf. "Kita pulang, istriku."
Gadis meronta, melepaskan lengan Langit yang berusaha melilit pinggangnya. Ia berhasil lepas, hanya untuk beberapa detik. Detik selanjutnya, pria itu menyambar pinggangnya dan mengangkat tubuhnya seperti karung beras, yang kemudian dia panggul di pundak pria itu. "Apa yang kau lakukan?!" jeritnya sambil memukul-mukulkan kedua tangannya di punggung Langit dan kakinya menendang ke segala arah. "Turunkan, berengsek!"
Langit sama sekali tak terusik dengan rontaan tersebut. Menyusuri lorong dan lewat di tangga darurat. Menuruni anak tangga hingga di lantai basement, mendekati mobil yang sudah disiapkan di sana.
"Turunkan sekarang juga!" Tubuh Gadis dibanting di jok belakang. Saat menyadari dirinya di dalam mobil, satu-satunya hal yang terpikir adalah meraih pintu yang lain untuk keluar.
"Di sini atau bagasi?"
Gerakan tangan Gadis membeku. Menatap dengan kebencian yang semakin pekat sebelum menjawab, "Di bagasi jauh lebih baik dibandingkan duduk di sampingmu."
Langit sempat membeku. Tetapi kemudian tersenyum. "Seperti yang kau mau," balasnya sambil mencengkeram leher Gadis dan kembali menarik keluar wanita itu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top