7. Kecemburuan Sang Kakak
Part 7 Kecemburuan Sang Kakak
Dua jam sebelumnya ...
Menangis tak akan memberi apa pun untuknya, apalagi jalan keluar. Ditambah laporan-laporan di meja kerja serta tubuhnya yang sulit diajak kompromi, meyakinkan dirinya bahwa memang ada yang tak beres dengan tubuhnya. Gadis hanya duduk terdiam sejak satu jam yang lalu. Membiarkan dirinya tenggelam dalam pikirannya yang berkecamuk.
Pintu ruangannya diketuk dengan terburu. Noni muncul saat ia menoleh dan berjalan dengan tergesa mendekatinya. "N-nona?"
"Aku sudah bilang kalau tidak ada ..."
"Nona Jelita datang." Noni berhenti untuk mengambil napas. "Saya melihat mobilnya memasuki halaman."
Tubuh Gadis membeku. "Di mana ayah?"
"Tuan sedang berada di gudang. Tetapi saat naik, saya mendengar Nona menanyakan tentang Anda pada pelayan." Suara Noni melirih begitu keduanya mendengar hak sepatu yang beradu dengan lantai tersamar di antara celah pintu yang masih terbuka.
Gadis mendesah pelan sementara Noni lebih dari ahli dibandingkan dirinya untuk bersandiwara dengan membawakan gelas air putih yang sudah kosong di mejanya tepat ketika Jelita melangkah masuk.
Wanita tinggi semampai yang umurnya lima tahu lebih muda dari Gadis tersebut langsung menemukan keberadaan sang adik. Melenggang masuk dan duduk di sofa tunggal setelah meletakkan tas yang harganya tak kurang dari ratusan juta di meja.
Pandangan Gadis sempat menyentuh perut sang kakak yang mulai terlihat menonjol. Dan perih itu masih menganga di dadanya mengingat siapa ayah dari anak dalam kandungan sang kakak. Ya, penampilan Jelita memang sejelita nama sang kakak.
"Apa tidak ada yang mengatakan padamu kalau Ayah ada di gudang?" Gadis berusaha mengenyahkan kecamuk tentang dirinya sendiri dan membuka berkas di depannya untuk mencari kesibukan yang lain.
"Aku datang bukan untuk menemui Ayah." Jelita memutar tubuh, menghadap Gadis. "Aku mendengar kabar aneh."
Gadis mendengus. Kabar aneh apa yang membuat sang kakak sampai menyempatkan diri datang ke tempat ini.
"Tuan Samudra, yang membeli perkebunan bagianku. Dia datang ke tempat ini."
Ekspresi Gadis sempat membeku, tetapi segera memperbaiki penampilan wajahnya saat menatap Jelita. Menatap lipstick merah yang memolesi bibis sang kakak. "Benarkah? Kenapa kau tak bertanya langsung pada Ayah?"
"Apa hubungannya denganmu?" Jelita sepenuhnya mengabaikan pertanyaan basa-basi Gadis. "Jangan menganggapku bodoh, Gadis."
Gadis menutup berkas di depannya, setengah membanting. "Setelah Jemmy, rupanya masih ada yang membuatmu tertarik padaku, ya?"
"Ayah tak berniat menjodohkanmu dengannya, kan?"
"Kenapa aku harus menjawab pertanyaanmu?"
Jelita berdiri, mendekati meja kerja Gadis dan berhenti di depannya. Wajahnya yang cantik tampak berusaha keras menahan kegeramannya akan jawaban sang adik yang menjengkelkan. "Kau akan menerima perjodohan ini demi membalas kami?"
Gadis tertawa. "Membalas? Ah, apakah sekarang tampaknya Langit lebih baik dibandingkan Jemmy?"
Wajah Jelita semakin mengeras. "Keributan malam itu, ada hubungannya dengan Langit, kan? Sekarang kau hamil dan meminta pertanggung jawabannya. Kau menggunakan cara yang sama untuk mendapatkannya. Untuk membalasku dan Jemmy."
Gadis mendesah dengan jengah. Berdiri dari duduknya dan menatap lurus sang kakak. "Ya, berpikirlah sesukamu, Jelita. Jika itu bisa memuaskan kecemburuanmu terhadapku yang sudah mengakar di hatimu."
"Tidak bisakah kau menemukan seseorang yang lain? Kau mendekatinya karena tahu hubungan kami, kan? Kau pikir aku tidak tahu semuanya, hah?"
Langkah Gadis yang sedang memutari meja terhenti, kembali menatap Jelita. "Apa kau bilang?"
"Kau tahu Langit adalah mantanku dan dia adalah atasan Jemmy."
Gadis sendiri terkejut dengan informasi tersebut. Entah apa yang membuat sang kakak berpikir sejauh itu tentang dirinya. Tahu ke mana prasangkan Jelita mengarah. "Sepertinya dia akan menjadi pilihan terbaik untuk mengobati luka hatiku."
Wajah Jelita tak bisa lebih merah padam lagi. "Jangan main-main, Gadis."
"Sayangnya, aku tak akan menghancurkan hidupku dengan sengaja setelah kau melakukannya untuk pertama kalinya." Gadis berjalan ke arah pintu.
"Apa maksudnya itu?" kejar Jelita menangkap pergelangan tangan Gadis.
Gadis menyentakkan tangan Jelita. "Apa pun yang akan kulakukan, semua itu bukan urusanmu, Jelita. Urus saja urusanmu sendiri."
"Kau tak mengenal Langit dengan baik. Dia bukan orang yang tepat ..."
"Kenapa aku harus mendengarkanmu sementara aku tahu dengan sangat jelas tujuanmu?"
"Kau akan menikah dengannya?"
"Kau benar-benar sakit, Jelita." Gadis membalikkan badannya dan berjalan keluar. Kali ini menutup pintu agar Jelita tak mengejarnya. Langsung masuk ke dalam kamar dan menguncinya tepat sebelum Jelita menggedor pintu kamarnya.
Entah apalagi yang diinginkan Jelita dari hidupnya selain melihatnya menderita. Seolah belum cukup semua penderitaan yang diberikan sang kakak padanya.
Sejak kecil, hidupnya selalu harus berada di bawah bayang-bayang sang kakak. Harus mengalah meski untuk barang yang didapatkannya atas jerih payahnya sendiri. Dan hal terbesar yang berhasil direbut sang kakak darinya adalah Jemmy.
Gadis duduk di depan meja riasnya. Menatap pantulan wajahnya yang kusut dan rambutnya yang tak disisir dengan rapi. Ada luka gores di sekitar pipinya, juga di kakinya yang masih terasa sakit dan pegal.
Langit Samudra. Rupanya sang kakak juga mengenal pria itu, tetapi tak lebih banyak dari dirinya. Jelita hanya tahu apa yang baik-baik dan tampak di depan muka seorang Langit Samudra. Tidak dengan semua keburukan dan sisi gelap pria itu.
Dan meskipun ia begitu ingin membalas dendam, masuk ke hidup Langit jelas bukan jalan yang mudah. Lebih baik mati dibandingkan harus membalas sakit hatinya pada Jelita dan Jemmy lewat pria itu.
Tidak. Ia tak peduli terlihat menderita di depan Jelita. Ia tak segila itu untuk menikah dengan Langit demi kebodohan semacam itu.
Gadis menarik laci teratas meja riasnya. Kedongkolannya terhadap Jelita yang masih mendekat membuatnya menarik laci tersebut kuat-kuat hingga terlepas dari tempatnya. Menghamburkan seluruh isinya ke lantai.
Kesialan macam apalagi ini, gerutunya dalam hati. Memaksa dirinya berdiri untuk memunguti barang-barang tersebut ketika kakinya menginjak sesuatu yang menarik perhatiannya. Keningnya berkerut ketika mencoba mengenali benda itu dan mengingat bagaimana ada di dalam salah satu lacinya.
'Apa itu?' Gadis menahan tangan Jemmy yang memasukkan sesuatu ke dalam saku celananya. Merebut paksa botol kaca kecil dalam genggaman pria itu. Lalu beralih pada jus buah yang baru saja selesai diaduk oleh pria itu. 'Apa yang kau masukkan ke dalam minuman Jelita.'
'Bukan apa-apa.' Jemmy berusaha mengambil kembali, tetapi gerakan tangan Gadis lebih cekatan.
'Katakan,' tegas Gadis menyembunyikan botol tersebut di balik tubuhnya.
'Hanya obat pereda mualnya, Gadis.'
Gadis mendengus. 'Kau masih berpikir aku bodoh, ya?'
Jemmy mendesah dan mengusap kepalanya dengan kasar. 'Aku mencintaimu, Gadis. Hanya kau. Kehamilan Jelita adalah kesalahan terbesar yang kulakukan dalam hubungan kita. Aku hanya ingin memperbaikinya.'
'Dengan membunuh anak dalam kandungannya?'
Jemmy terperangah dengan tuduhan tersebut. Matanya berkedip beberapa kali sebelum mencoba menyangkal. 'Kau salah paham.'
Gadis sangat mengenal pria di depannya ini. Terutama saat berusaha menyembunyikan kebohongan darinya. Kekecewaan kembali membelah dadanya. Tanpa mengatakan apa pun, ia meninggalkan pria itu. Mengabaikan panggilan Jemmy.
Obat penggugur kandungan. Gadis terhenyak di tempatnya, menatap botol kaca tersebut sejenak lalu membawanya masuk ke dalam kamar mandi.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top