6. Satu Kesempatan
Part 6 Satu Kesempatan
Pusing yang teramat dan perih serta pegal di kedua kaki menyambut kesadaran Gadis yang perlahan kembali. Napasnya berhembus dengan cepat bersamaan ingatan terakhir yang menghujani pikirannya.
Ketika kemudian keterkejutan yang lain menyadarkan dirinya begitu pandangannya beredar ke sekeliling. Ia tidak berbaring di ranjangnya, dan ia tidak berada di dalam rumahnya. Gadis melompat bangun, menyingkap selimut dan kembali disambut keterkejutan yang lain saat menemukan tubuhnya telanjang di balik selimut.
Gadis segera kembali menggunakan selimut tersebut untuk menutupi dadanya. Mencari sesuatu yang lain yang bisa digunakan untuk berpakaian.
"Mencari ini?"
Gadis menoleh ke belakang, menemukan Langit yang bersandar di pintu kamar mandi dan mengangkat pakaian berwarna hitam. Kemeja pria itu. Wajahnya seketika menegang. "Apa yang kau lakukan padaku?"
Langit tersenyum, mendekati tempat tidur. "Ucapan terima kasih yang manis," gumamnya duduk di sisi lain tempat tidur.
"Di mana ini?"
"Bukan di rumahmu yang jelas."
"Rumahmu?" Gadis kembali mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Saat itulah ia menyadari pintu kamar yang tertutup rapat dan ... Langit menunjukkan sebuah kunci yang menggantung di jari telunjuknya. Pandangannya kemudian menatap seluruh jendela yang pasangi teralis besi. Satu-satunya jalan keluar hanyalah pintu balkon yang terjemblak terbuka. Dan hanya melihat langit biru yang tampak cerah.
"Bukan pilihan yang bagus, gadis kecil. Kita berada di lantai tiga."
Gadis segera mengalihkan perhatiannya. Menatap Langit dan ya, pria itu benar. Melarikan diri dari balkon bukan pilihan yang bagus. Bahkan Langit dengan mudah menangkapnya di dalam hutan, apalagi di tempat pria itu.
"Meski kau begitu ingin mati, aku yakin pikiranmu masih waras untuk melompat dari sana."
"Sangat mustahil menghadapimu dengan pikiran yang waras," balas Gadis.
Langit tertawa. "Apakah itu artinya kita sama-sama gila."
Bibir Gadis merapat. Terserah apa pun yang dikatakan oleh pria itu. Ia mulai menjernihkan pikirannya. Mencoba memahami situasinya yang tak mendukung. Setidaknya ia butuh keluar dari tempat ini. "Apa yang kauinginkan?"
Tawa Langit berhenti.
"Setidaknya aku perlu tahu situasi apa yang membawamu padaku seperti ini?"
Langit tak langsung menjawab, mengamati ekspresi di wajah Gadis yang mulai serius. Ya, mereka tak pernah benar-benar bicara selain kebencian gadis itu padanya.
"Aku tahu terakhir kalinya kita bertemu bukan ingatan yang bagus untuk diingat. Tetapi maaf, aku sama sekali tak menyesal untuk apa yang kulakukan padamu saat itu. Kau yang masuk ke kamarku dengan lancang, dalam keadaan mabuk ..."
"Sejujurnya aku tak benar-benar mabuk."
Bibir Gadis menipis, siap melontarkan makian tetapi ia kembali menekan keinginan yang menggoda tersebut. Mereka butuh bicara, bicara baik-baik untuk keluar dari tempat ini.
"Di pesta itu kau terlihat sangat menarik dan seksi. Semua orang memperhatikanmu, mereka hanya butuh sedikit keberanian untuk bergerak lebih dekat padamu," kekeh Langit. "Keberanian yang tak mereka miliki karena ternyata mereka hanya pecundang tak takut untuk apa yang mereka inginkan."
Alis Gadis bertaut. Karena mereka bukan mesum sepertimu, balasnya dalam hati.
"Dan bukankah kau berdandan sesempurna itu untuk menggoda salah satu di antara kami?"
Gadis menggigit bibir bagian dalamnya demi menahan kegeramannya terhadap pria ini. Ya, Noni mendandaninya sedemikian rupa untuk pesta resepsi Jelita dan Jemmy memang hanya untuk menunjukkan pada semua orang, terutama pasangan pengantin itu, bahwa dirinya bisa menjadi lebih baik, lebih cantik, lebih seksi, dan lebih segala-galanya dibandingkan Jelita. Menunjukkan bahwa pengkhianatan tersebut tak berarti apa pun. Meski kemudian ia menyadari semua itu hanyalah kekonyolan. Ketololan terbesar yang pernah ia lakukan di hidupnya.
"Baiklah, kita anggap itu impas. Aku mendapatkan akibat dari perbuatanku dan kau mendapatkan bayaran untuk kelancanganmu."
Tawa Langit lebih keras. "Ya, baiklah."
Gadis menarik napasnya tanpa suara, sambil bersikap was-was dengan selimut yang menempel di dada. Jaraknya dan Langit tak lebih dari tiga meter. Ia sama sekali tak diuntungkan dengan tubuhnya yang telanjang. Dan dengan kemesuman pria itu, ia tak akan terkejut jika pria itu melompat ke arahnya lalu ... Gadis tak akan berdaya dengan kekuatan pria itu untuk menolak.
"Apa cara yang kau inginkan untuk memperbaiki kesalahan anak buahmu?"
"Kita harus memastikan keberhasilan programnya lebih dulu, kan?"
Napas Gadis kembali tertahan, memaksa kepalanya mengangguk pelan. "Sebelum ke rumah sakit, aku ingin bertemu, atau setidaknya bicara dengan ayahku. Kau bilang ayahku ingin pernikahan, dia mengatakan sebelum bicara denganku. Pendapatku perlu dipertimbangkan, bukan?"
"Kau masih berpikir mati lebih baik daripada menikahiku?"
Gadis tak langsung menjawab. Memikirkan jawaban yang seminimal mungkin tak akan menyinggung pria itu. "Terakhir kali berhadapan dengan pernikahan, orang terdekatlah yang mengkhianatiku. Menurutmu, berapa kemungkinan aku bisa mempercayaimu?"
Mata Langit memicing. Tentu saja ia tak peduli dengan kemungkinan tersebut. Dan ia memang bukan orang yang bisa dipercaya, juga tak percaya siapa pun.
"Apa yang kukatakan di hutan, kuakui itu adalah kesalahan." Tambah Gadis agar lebih meyakinkan. Memastikan penyesalan tertampil di wajahnya dengan apik.
Langit bergeming, seringainya bergerak naik dengan perlahan. "Aku tak pernah berkompromi. Tetapi aku akan memberimu satu kesempatan."
Gadis kembali bernapas dengan jawaban cukup memuaskan tersebut. Ya, ia hanya butuh satu kesempatan. Tak mungkin butuh lainnya, batinnya dengan senyum tipis yang tersamar. "Di mana pakaianku?" Matanya melirik kemeja hitam yang masih ada di tangan Langit.
Langit melemparkan kemeja tersebut ke hadapan Gadis dan bangkit berdiri. "Aku membuangnya. Kau bisa memilih, menggunakan pakaian itu, selimut, atau telanjang saja. Aku lebih suka pilihan ketiga."
Gadis kembali menekan amarahnya. Ia harus bersabar. Harus bersabar dengan teramat sangat.
***
Setelah Jemmy dan Jelita, satu-satunya orang yang ia pikir tak akan mengkhianatinya hanyalah sang ayah. Yang terbukti sukses meruntuhkan kepercayaan tersebut. Setelah mendengarkan penjelasan sang ayah dengan telinganya sendiri. Jantungnya serasa diremas, setelah dihujam dengan tombak yang tepat di dadanya.
Siapa lagi yang bisa dipercayanya sekarang. Kekasih, kakak, dan ayahnya. Semua orang terdekat menghancurkan kepercayaannya dengan begitu mudah.
"Hanya ini pilihan terbaik yang kita miliki, Gadis."
"Pilihan terbaik?" ulang Gadis yang mulai akrab dengan ketidak percayaan. Terlalu banyak kejutan yang datang dan beruntun dalam dua hari ini. "Ayah bahkan tak mengenal dia."
"Dia pemilik kebun ..."
"Selain uangnya yang banyak, tidak ada apa pun yang ayah ketahui tentang dia."
Ludy terdiam. Menatap kemarahan yang semakin kental di wajah sang putri. "Lalu jalan keluar apa yang kau inginkan? Tes darah itu sudah lebih dari cukup kau hamil anaknya."
Gadis sepenuhnya kehilangan kata untuk menjawab. Tubuhnya meluruh, jatuh terduduk di kursi.
"Jika kita mengetahuinya sebelum dokter Sunny, mungkin kita bisa memikirkan jalan keluar yang lain. Tapi sekarang, kita tak punya pilihan selain memberikan anak itu padanya."
"Lalu kenapa ayah menawarkan pernikahan padanya?"
"Setelah pernikahanmu gagal, apa yang akan dikatakan orang dengan kehamilanmu? Ayah hanya ingin ..."
"Dan pernikahan macam apa yang ayah tawarkan padanya? Langit jelas bukan orang baik-baik. Apa ayah tahu ..." Kalimat Gadis terhenti, tak mungkin menceritakan kekurang ajaran Langit pada malam itu. " Aku tak butuh status, dari pria seperti dia."
"Ayah membutuhkannya." Kali ini suara Ludy diselimuti ketegasan. Nada yang sama ketika menutuskan Jemmy untuk bertanggung jawab pada kehamilan Jelita dan memaksanya merelakan pria itu untuk sang kakak. Apa sekarang ia tak memiliki pendapat untuk dirinya sendiri? Lagi.
"Dan untuk yang satu ini, ayah tak akan tawar menawar. Kau harus menikah dengannya."
***
"Kau bersikeras tak melakukan komitmen semacam itu dan sekarang kau mempertimbangkan tawaran tuan Evander?" Aaraf mengukang pertanyaan tersebut untuk yang ketiga kali. Menghadap Langit yang duduk bersandar di punggung kursi dengan kedua kaki bersilang di tepi meja.
"Gadis itu tampaknya tak akan menjadi masalah." Ujung jemari Langit mengetuk-ngetuk lengan kursi. Alisnya bertaut ketika mengingat apa yang terjadi sepanjang hari ini. Dan hanya mengingatnya, ia lebih tertarik apa yang akan dilakukan gadis itu esok hari. Sepertinya yang diinginkannya atau tidak diinginkannya, sepertinya ini akan menjadi permainan yang menarik.
"Tergantung masalah macam apa yang kaupikirkan, Langit."
Mata Langit melirik ke arah Aaraf, menatap lurus dan tajam pria itu.
Ekspresi Aaraf membeku, menatap sang kakak. "Aku hanya tak ingin kau menyesali keputusanmu."
Langit mendengus. "Apa aku pernah?"
Aaraf terdiam kemudian memberikan gelengan kecil. Pandangannya tertunduk, bersamaan ponsel di tangannya yang berdering. Ia segera mengangkat panggilan tersebut, matanya membeliak terkejut dengan kabar yang disampaikan.
Langit menatap sang adik, yang menurunkan ponsel dari telinga.
"Gadis itu, sedang dalam perjalanan ke rumah sakit. Sepertinya janin itu tidak akan bertahan, jarak perkebunan dan rumah sakit di kota terlalu jauh."
Wajah Langit seketika mengeras dan perlahan menggelap. Pegangannya pada lengan kursi semakin menguat. "Kesengajaan?"
Aaraf tak langsung mengangguk. Sempat meragu sebelum menjelaskan. "Pelayannya menemukan obat-obatan tergeletak di lantai kamar mandi. Kau ingin mereka mencari tahu ..."
"Apa itu perlu dipertanyakan?!" bentak Langit melompat berdiri dan menendang meja di hadapannya. Kedua tangannya mengelap, memang seharusnya ia tak pernah memberi kesempatan pada siapa pun. Bocah sialan itu benar-benar menantangnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top