5. Lebih Baik Mati

Part 5 Lebih Baik Mati

Seperti belum cukup ada berengsek Jemmy di hidupnya, ia tak akan sudi harus kembali bertemu dengan berengsek lainnya seperti Langit. Lebih baik mati daripada harus ...

Bughh ...

Gadis tersandung akar pohon dan terjerembab di antara dedaunan kering. Menatap ke sekeliling dan hanya menemukan pohon-pohon rindang di sekelilingnya. Ia tak tahu di mana tepatnya berada. Saat melihat botol air mineral di jok belakang mobil Langit, hanya itu ide yang tiba-tiba muncul. Ia berlari, menghilang dengan cepat di antara pepohonan dan masuk ke dalam hutan.

Suara langkah yang samar-samar terdengar dari kejauhan segera memaksanya bangkit. Berlari ke mana pun kakinya bergerak, tak peduli meski napasnya tersengal dan tubuhnya terasa semakin lemah. Mengabaikan rasa sakit dari telapak kakinya. Ia bahkan tak tahu di mana sepatunya terlepas.

Suara di belakangnya semakin jelas, semakin dekat dan semakin memangkas jarak di antara mereka.

"Masih ingin bermain-main?"

Suara Langit di belakang punggung Gadis membuat wanita ingin menangis. Tapi ia tak akan membuat dirinya ketakutan oleh pria mesum itu. Namun, keberuntungannya benar-benar sudah habis. Tak ada sedikit pun yang tersisa ketika langkahnya terhenti, berhadapan dengan ujung tebing yang tinggi. Tepat di ujung kakinya.

Napasnya terengah dengan keras, menatap jauh di bawah sana dengan ketakutan yang seketika merebak di dadanya.

Langit pun ikut berhenti, Ia tak percaya keberuntungan bisa didapatkan dengan mudah, Tetapi tetap saja semua itu datang dengan mudah di hadapannya. Ck, ia masih ingin sedikit bersenang-senang dengan aksi kejar-kejaran ini.

"Kau ingin ke sana?" Langit menoleh ke samping kanannya, tetapi hanya ada tebing lainnya yang meskipun lebih rendah, tetap saja jatuh dari ketinggian itu setidaknya akan membuat kaki patah dan ia tak suka perempuan yang cacat. "Ah, atau ke sana?" Langit menunjuk ke samping kiri. Samar-samar suara gonggongan anjing terdengar semakin jelas. "Anak buahku ada di sana, setidaknya aku sudah memperingatkan mereka untuk membawamu hidup-hidup."

"Aku lebih baik mati," balas Gadis dalam desisan tajamnya ketika memutar tubuhnya dan berhadapan dengan pria itu.

Langit terkekeh, salah satu alisnya terangkat ketika bertanya, "Apa benda itu menunjukkan dua garis?"

Gadis tak akan menjawab.

"Kau tak mungkin melarikan diri jika hasilnya negatif."

Gadis menelan ludahnya. Tebakan Langit tepat, tetapi ia tahu semua ini hanya permainan pria itu. Entah apa yang diharapkan pria itu darinya?

"Baiklah, kita tak perlu ke dokter untuk memastikannya."

"Tak ada yang perlu dipastikan." Gadis meludah ke tanah di antara mereka. "Aku tak peduli alat itu dimanipulasi atau tidak untuk mendapatkan hasil yang kau inginkan. Dan aku tak peduli apakah semua ini kecelakaan atau kesalahan anak buahmu. Satu-satunya yang akan kupastikan adalah aku tidak sudi mengandung benih dari pria macam kau."

Mata Langit menyipit, salah satu ujung bibirnya terangkat. "Sepertinya mulutmu lebih manis dibandingkan kata-katamu."

Gadis berusaha meredam amarah yang bergemuruh di dadanya. Ujung kakinya bisa merasakan udara yang berhembus. Satu gerakan sembrono yang akan membuatnya kehilangan keseimbangan, tubuhnya akan melayang jatuh ke bawah sana. Pilihan lainnya adalah maju ke depan dan membiarkan Langit mendapatkan apa yang diinginkan. Tentu saja akan ia tolak mentah-mentah. Lebih baik mati.

Bibir Langit menipis ketika menatap ujung kaki Gadis yang gemetar. Dengan tubuh semungil itu, angin yang berhembus lebih dari mampu untuk membuat wanita terdorong ke belakang. "Kau ingin kita bicara baik-baik? Kita belum pernah melakukannya. Aku berjanji akan mempertimbangkan keinginan ayah tersayangmu."

Mata Gadis mengerjap. Keinginan ayahnya?

"Jika kehamilan itu benar, aku akan menikahimu. Sepertinya itu bukan ide yang buruk." Lagi-lagi tatapan Langit melucuti Gadis dari ujung kepala hingga ujung kaki.

"Apa? Menikah?!" Sekali lagi Gadis meludah, menatap Langit dengan kebencian yang semakin pekat. "Kau bercanda?"

Langit mengedikkan bahunya. Ya, kedengarannya ia bercanda. Kali ini ia sepakat. "Aku memang sedikit rewel saat berhubungan dengan perempuan yang akan tidur denganku. Tetapi mungkin menikah akan memberi anakku seorang ibu yang dibutuhkan. Aku tak keberatan dengan ..."

"Lebih baik aku mati daripada harus menikah denganmu."

Langit terdiam sejenak, lalu tertawa kecil. Oh, ayolah. Di antara wanita-wanita yang jatuh di bawah kakinya, tak akan ada yang berani memikirkan, apalagi mengatakan kata-kata menyinggung hati seperti itu. "Sayangnya, terserah aku pilihan mana yang akan ..."

"Satu kali kau maju, aku akan melompat dan membawa anakmu mati bersamaku," ancam Gadis.

Langit tertawa lagi. "Kau memilih mati, kan?"

Gadis menelan ludahnya melihat Langit yang sengaja bergerak maju. Tubuhnya sedikit oleng, tetapi dengan cepat bisa menyeimbangkan tubuh. Pun begitu, rupanya lebih cepat gerakan Langit yang melompat ke arah Gadis. Tak menyia-nyiakan kesempatan tersebut, dalam sepersekian detik berhasil menyambar leher Gadis, mengangkat tubuh mungil tersebut hingga ujung kakinya hanya berpijak pada ujung tanah. Hanya butuh satu dorongan dan genggamannya sedikit melonggar, tubuh Gadis akan meluncur dengan lancar ke dalam jurang di bawahnya.

"Kau lebih suka mati dibandingkan menikah denganku?"

"Y-ya. Bunuh saja aku."

Langit menyeringai. Kilat jahat melintasi kedua mata hijaunya yang tampak menggelap. Amarah mencuat di dadanya, tetapi harga dirinya tak akan membiarkan bocah kecil ini berpuas diri. Dengan satu dorongan, Langit membanting tubuh Gadis ke tanah di sampingnya. Cukup keras tetapi tak cukup membuat wanita itu kesakitan. Ia masih ingat ada darah dagingnya di perut wanita itu.

"Tidak sekarang, tapi kau pasti akan mati." Langit berjongkok di depan Gadis, kembali menyambar leher perempuan itu. "Ternyata kau lebih licik dari ayahmu, ya?"

Gadis memegang tangan Langit di lehernya. Tulangnya terasa remuk, membuat tenggorokannya kesakitan dan napasnya tersengal. Untuk sejenak, ketakutannya akan berada di ambang kematian berhasil membuatnya ingin menangis. Dan sekarang harus berhadapan dengan Langit adalah ambang kematian yang lain. Rahangnya dicengkeram, didongakkan dengan kasar.

"Setelah keserakahan ayahmu, sekarang berapa aku harus membayar kearogananmu?"

"Kau tak perlu membayarnya."

Langit mendengus. "Aku tak suka barang yang gratis dan murah."

Gadis berusaha menyentakkan wajahnya, yang malah hanya memperburuk rasa sakit di lehernya. Dan sebelum gadis itu sempat terkejut dengan apa yang akan dilakukan Langit selanjutnya, pria itu sudah mengelurkan sebuah sapu tangan dari saku jaket. Gadis membeliak, hendak mendorong tubuhnya ke belakang dan menjauh dari jangkauan Langit. Namun, pria itu kembali menangkapnya dengan lebih mudah. Membekap hidungnya dengan sapu tangan tersebut.

Gadis meronta dengan seluruh tenaga yang masih dimilikinya. Tetapi semakin ia bergerak, tubuhnya semakin melemah. Napasnya terengah lebih keras, lebih sesak, dan perlahan semua itu mereda. Bersamaan dengan kegelapan yang menyelimuti kedua matanya.

Langit tersenyum, membiarkan tubuh lemah tersebut jatuh ke pelukannya. Tepat ketika Aaraf dan dua anak buahnya mendekat.

"Aku akan membawa ..."

Langit mengangkat tangan. Membekukan langkah Aarah yang hendak meraih tubuh gadis itu. Kemudian ia sendiri yang mengangkat tubuh Gadis. "Kita kembali."

Kedua alis Aaraf saling bertaut. Membeku menatap punggung sang kakak yang mulai menghilang di antara pohon-pohon. Kakaknya tak pernah merepotkan diri dengan seorang perempuan, satu kali pun. Apalagi membiarkan jaketnya dikotori oleh bocah ingusan yang kedua kakinya dipenuhi lumpur seperti itu.

"Apa kepalanya baru saja terbentur batang pohon?" gumamnya pada dua pria yang juga menatapnya penuh tanya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top