33. Kecemasan
Part 33 Kecemasan
“Biarkan.”
Aaraf mengangkat wajahnya dengan perintah Langit yang aneh tersebut. Setelah mengatakan bahwa Ludy Evander tengah berada di salah rumah sakit di kota kecil yang jaraknya hanya beberapa puluh kilometer dari mereka, ia tak perlu menunggu perintah dari pria itu. Sudah pasti Langit akan memerintah mereka untuk segera menyeret Gadis ke hadapan pria itu. Ludy, Noni, dan Bara adalah urusan belakang mereka akan mati atau hidup.
Ia bahkan sudah mempersiapkan orang-orang untuk berjaga di sekitar rumah sakit maupun beberapa perawat yang akan membantu mereka di sana. Tetapi …
“Pastikan saja tidak ada yang tahu keberadaan kalian,” lanjut Langit kemudian. Seringai jahat pria itu terlihat jelas di ujung bibir meski pria itu sama sekali tak berusaha merasa puas dengan perkembangan tersebut. Sudah hampir tiga bulan pencarian mereka akhirnya membuahkan hasil, tetapi hasil yang lebih baik tentu saja harus dengan kesabaran yang lebih banyak, kan? Dan setelah terbiasa menahan diri selama ini, tentu saja ia bisa memupuk kesabaran lebih lama lagi. “Ada sedikit permainan untuk memulainya.”
Kedua alis Aaraf tampak bertaut, pun begitu ia tak perlu mempertanyakan keputusan sang kakak.
“Pelayan itu.”
Raut Aaraf seketika membeku.
“Aku akan mulai dengan pelayan itu.”
“T-tapi …”
“Ck, dia memang sedikit manis, aku menyukainya karena dia dan istriku tampak tak bisa dipisahkan.” Langit mendecakkan lidah mengejek reaksi Aaraf. “Buat dia tak menjadi urusanku.”
Aaraf mengerjap. Menyadari emosinya yang keluar terlalu kentara. Tetapi dengan segera menampilkan raut datarnya. “A-apa?”
Langit menyeringai. “Seharusnya kau tak berusaha terlalu keras, adik. Itu bisa menjadi kelemahanmu dan memperjelas keinginanmu terhadap dia.”
Aaraf kembali bergeming, menundukkan wajah.
“Wanita adalah kelicikan yang tak terhindarkan.”
“Aku akan mengurusnya.” Aaraf mengangguk dan berjalan keluar.
Langit mendengus tipis. Tak sekali dua kali ia memergoki Aaraf yang memperhatikan Noni. Bahkan pria itu masih tak menyadari bahwa yang membuat Aaraf mulai bersikap lemah seperti ini adalah karena pelayan wanita itu.
***
Noni mengedipkan mata beberapa kali, merasakan matanya yang terasa lebih baik setelah ditiup oleh Bara.
“Lebih baik?”
Noni mengangguk, senyum semringah melebar di ujung bibirnya.Terlalu lebar. “Saya tak pernah tahu kalau Tuan akan terlihat lebih tampan dengan jarak sedekat ini.”
Bara tertawa. Menggeleng-gelengkan kepala dengan rayuan si pelayan,
“Itu benar, Tuan.” Noni menempelkan telapak tangannya di dada. “Jantung saya berdegup dengan kencang.”
“Ya, baguslah. Itu normal, kan? Kau masih menyukai laki-laki.”
“Tentu saja.” Noni mengerucutkan bibirnya, sebelum kemudian merubah ekspresi wajahnya dengan kesedihan yang buat-buat. “Tapi saya sangat sadar diri. Hanya Nyonya Gadis yang berhak mendapatkan cinta Anda.”
Bara tertawa lagi.
“Hanya saja, Anda harus sedikit bersabar. Setelah pengkhianatan tuan Sebastian dan mendapatkan suami yang seperti tuan Samudra. Nyonya Gadis harus menyembuhkan luka hatinya sebelum kemudian memulai kehidupan yang baru dengan Anda.”
“Ya, aku mengerti. Tapi … aku tak yakin Gadis akan menerima perasaanku.”
Noni terdiam sejenak, teringat kehamilan sang Nyonya yang belum diketahui siapa pun. Namun, kepercayaannya pada kebaikan dan keluasan seorang Bara tak akan mengecewakannya, kan? “Apakah Anda akan menerima Nyonya Gadis apa pun keadaannya?”
“Apakah kau pernah menolak seseorang meski kau mencintainya.”
Senyum Noni melebar bahagia. “Saya rela membiarkan Anda menjadi milik nyonya Gadis. Seberapa pun besarnya saya menyukai Anda, kebahagiaan nyonya Gadis yang terpenting.”
Bara tersenyum lagi. “Pergilah. Aku yang akan mengantre obatnya, kau harus membantunya bersiap untuk kepulangan ayahnya. Sebentar lagi dokter akan datang untuk memberikan surat ijin rawat jalannya.”
Noni mengangguk dan memberikan kertas berisi resep obat dengan senyum yang masih menempel di wajah bahkan ketika ia berjalan meninggalkan lobi rumah sakit. Ia berbelok di sisi kanan bangunan, menghilang dari pandangan Bara yang berjalan ke arah sebaliknya.
Rumah sakit ini tak cukup besar, tetapi setidaknya memiliki perawatan yang mumpuni untuk Ludy Evander. Ia berhenti di depan lift, tetapi tombolnya tak menyala. Ia pun memutuskan untuk menaiki tangga yang ada di samping lift. Lagipula bangunan rumah sakit ini hanya tiga lantai.
“Apa yang membuatmu begitu senang?” Pertanyaan tersebut menghentikan Noni yang baru setengah menaiki anak tangga. Terlalu senang hingga tak menyadari keberadaan seseorang yang bersandar di dinding tangga.
“A-aaraf?” Mata Noni melebar mengenali pria yang tengah menurunkan masker hitamnya tersebut adalah kaki tangan Langit. Wajahnya seketika memucat, ujung matanya melirik ke sekeliling mereka untuk mengetahui situasi sekitar. Dua orang tiba-tiba muncul di lantai satu dan sudah ada dua orang lagi di ujung tangga lantai dua.
“Kau ingin ikut denganku tanpa membuat keributan atau … kami langsung ke kamar majikanmu untuk menyeret nyonya tersayangmu?”
Noni mundur, tetapi tertahan pagar tangga. Dan saat ia berusaha membuat jarak yang lebih lebar, Aaraf menyambar lengannya dan membawa paksa wanita itu kembali ke lantai satu. Berjalan menyusuri lorong pendek tersebut dan berbelok di ujung, menuju pintu belakang rumah sakit. Noni berusaha memberontak, tetapi rumah sakit tersebut memang tidak terlalu ramai. Ditambah mulutnya yang dibekap oleh Aaraf, tak ada siapa pun yang mengetahui penculikan tersebut.
Keduanya berhenti di samping tiga mobil hitam yang terparkir rapi di halaman belakang rumah sakit yang sunyi. Hanya ada pepohonan rindang di balik pagar tembok tersebut. Dua bawahannya segera menahan kedua lengan Noni, dan mulai memeriksa bagian tubuh pelayan tersebut.
“Lepaskan.” Bibir Aaraf berkedut melihat salah satu tangan pengawal tersebut akan mulai menggeledah dari dada pelayan tersebut.
Dua pengawal tersebut terdiam, melepaskan pegangannya pada lengan Noni tetapi tetap bersikap waspada.
Aaraf maju. Satu tangannya mencengkeram rahang Noni sementara tangannya yang lain mulai menggeledah dari saku celana jeans. Ada ponsel, beberapa lembar uang, dan tangannya bergerak ke tempat lain. Ketika telapak tangannya berhenti di dada, tatapan mereka bertemu.
“Semua pria sama saja?” desis Noni. Matanya yang melotot bukan karena kesal, tetapi marah karena tampaknya sekarang Aaraf sengaja melecehkannya.
“Ya, memang. Semua wanita juga sama, memiliki kesenangan para pria.” Aaraf sengaja meremas dada Noni dan tersenyum puas. Kemudian melepaskan pegangannya dan mendorong tubuh Noni ke dalam mobil. Sebelum menyusul masuk, ia mengambil ponsel di tangan salah satu anak buahnya. “Kembali ke motel.”
“Dan yang lebih buruk, kau sama saja dengan tuan Samudra.”
“Ya, aku memang adiknya. Darah selalu lebih kental dari air, kan?”
Noni mengerjap terkejut.
“Anak haram ayahnya, tapi kami memiliki darah yang sama.”
Mata Noni semakin melebar. Bibirnya menganga tetapi segera kembali tertutup dan menelan ludah.
“Jadi, apakah informasi itu penting untuk kau ketahui? Tak masalah jika kau melupakannya. Itu juga tidak terdengar penting bagiku.”
Mendadak Noni merasakan bulu kuduknya yang berdiri di tengkuk. Terutama jika mengingat semua sikap tak sopan dan merendahkan yang ia lakukan pada pria itu. Tubuhnya beringsut menjauh. Ya, darah selalu lebih kental dari air. Jika seperempat saja sifat tuan Samudra dimiliki oleh Aaraf …
Aaraf menarik lengan Noni dan kembali menggeser tubuh wanita itu ke dekatnya. Meletakkan ponsel di telapak tangan Noni sementara tangannya yang lain menempelkan moncong pistol di kepala. “Kau ingin mengirim kabar bahwa kau tiba-tiba harus pergi karena saudaramu terkena musibah atau aku mengirim kepalamu padanya?”
“Kedua?”
“Ah, aku lupa. Kau tak punya saudara, ya?” Aaraf mendorong kepala Noni menjauh. “Langit bilang untuk mengurusmu sementara dia akan memulai permainannya dengan nyonyamu.”
Noni menjauh hingga punggungnya menyentuh pintu mobil yang mulai melaju meninggalkan area rumah sakit.
“Kenapa mendadak kau menjadi lebih pendiam?”
Noni tetap merapatkan mulut. Sementara benaknya mulai berpikir.
“Sejak kecil dirawat oleh keluarga Evander membuatmu mengerahkan seluruh hidupmu untuk mereka.”
Entah bagaimana Aaraf mengetahui hal tersebut, tetapi perhatian Noni teralih pada ponsel di tangan Aaraf. Jemari pria itu bergerak dengan lihai di layarnya. Masuk ke ruang pesan dan mengetikkan sesuatu. “Apa yang kau katakan pada Nyonya?”
“Bukan apa-apa.” Aaraf menunjukkan layar ponsel tersebut, tetapi kali ini berada di ruang pesan dengan Bara. “Kau ingin aku menulis pesan untuk tuan Baramu juga?”
Noni berusaha meraih kembali ponselnya, tetapi Aaraf menghindar dengan gesit. Lalu membuka jendela dan melemparkan ponsel tersebut keluar.
“Kembali ke motel,” perintahnya pada si sopir.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top