32. Menunggu Kesempatan


Part 32 Menunggu Kesempatan

Gadis sudah melewatkan haidnya dua hari yang lalu sebelum Langit memberinya testpack tersebut. Ia bertaruh dengan keberuntungannya bahwa kehamilannya tidak akan terdeteksi dengan alat tes kehamilan karena kemungkinan usia kehamilannya yang masih terlalu muda.

Ia berharap satu garis itu adalah hasil nyatanya, tetapi haidnya yang tidak kunjung datang hingga saat ini dan melihat bagaimana cara Langit menidurinya agar ia cepat hamil, ia tak bisa menyangsikan kehamilan tersebut benar-benar terjadi.

Sudah dua minggu sejak mereka pindah di kediaman Bara, dan haid itu tidak kunjung datang juga. Dan Nonilah yang pertama kali menyadari ketika pelayannya itu akan ikut bersama Bara untuk berbelanja kebutuhan mereka. Menanyakan kebutuhan-kebutuhannya, salah satunya pembalut.

"Nyonya tidak membutuhkannya?"

Gadis menatap wajah pelayannya tersebut dan memberikan satu gelengan. Noni yang menyadari kemuraman tersebut berjalan mendekat. Menatap perut Gadis yang rata.

"Apa tuan besar sudah tahu?"

"Tidak. Dan jangan memberitahunya." Entah kapan ia akan memberitahukan hal ini. Cepat atau lambat perutnya juga akan membesar. Jika tidak keburu Langit menemukan mereka, kehamilannya juga tetap akan kelihatan karena ia sudah memutuskan untuk mempertahankannya.

Noni mengangguk. "Kalau begitu, mungkin Nyonya membutuhkan sesuatu untuk dimakan? Biasanya ibu hamil suka yang segar-segar?"

Gadis tersenyum dengan penghiburan Noni untuk sedikit meredam kemuramannya. "Memangnya kau pernah hamil?"

Noni menggeleng. "Tapi sejak tahu Nyonya hamil yang pertama, tentu saja saya mencari berbagai sumber tentang kehamilan untuk menjaga Anda. Informasi dari dokter Riana lebih banyak membantu."

"Benarkah?" Kedua alis Gadis bertaut. Meski terkadang menyebalkan, ketulusan dan kasih sayang Noni terhadapnya memang tidak perlu diragukan lagi.

"Tentu saja. Jadi Nyonya ingin makan apa? Buah manga muda? Atau anggur?"

"Tidak. Selera makanku sedang tidak baik. Perutku sering mual."

"Ya, tapi tetap saja Anda harus makan yang banyak agar bayi Anda tumbuh lebih kuat. Jadi saya akan membelanjakan banyak buah dan menyelipkan susu ibu hamil untuk memperbaiki mual nyonya."

"Ck, lakukan saja apa pun yang kau inginkan, Noni." Gadis mendorong pelayannya tersebut menjauh. Beranjak dari duduknya dan berjalan menuju kamar mandi untuk mencuci muka sebelum turun untuk makan pagi. Noni benat, ia tetap harus makan untuk pertumbuhan bayinya. Dua kegugurannya memberinya pengalaman yang cukup.

***

Riana mengangkat benda di tangannya dari perut Renata. "Semuanya normal dan baik-baik saja. Mual, muntah, dan pusing yang kau keluhkan memang gejala normal yang dialami wanita di kehamilan trimester awal. Jadi, kandunganmu baik-baik saja."

Renata menanggapi penjelasan tersebut dengan ketidak sukaan yang jelas. "Kau yakin semua ini bukan sekedar omong kosong."

"Aku tak mungkin membohongimu, Renata. Apalagi ini adalah proyek khusus yang dibiayai Langit dan aku yang bertanggung jawab atas semuanya. Kau pikir aku berani membuat masalah dengan Langit?" Riana beranjak dari duduknya. Senyum ramahnya sama sekali tidak penting untuk pasiennya yang satu ini. "Aku tak bisa menolakmu sebagai pasien karena aku bekerja pada Langit. Selain itu, aku tak perlu punya masalah pribadi denganmu."

Renata menyentakkan bajunya hingga menutupi perutnya yang telanjang. Usia kehamilannya masih sepuluh minggu. Dan sejak ia memastikan kehamilannya dengan testpack pada hari itu, tak sekalipun ia kembali bertatapan dengan Langit. Ia pikir, keadaan kehamilannya yang sedikit tidak baik-baik ini akan sedikit memberinya alasan untuk menemui pria itu.

"Apa Langit tahu perkembangan kehamilanku?"

Riana tertawa kecil. "Kenapa Langit harus tahu?"

"Aku mengandung anaknya." Renata melompat turun dari ranjang pasien tersebut.

"Anaknya?" Salah satu alis Riana terangkat. "Ya, anak itu akan menjadi anaknya, tapi kenapa dia harus peduli padamu?"

"Aku ibunya?"

"Kau bukan ibunya, Renata. Kenapa kau melewati batasanmu dengan mengakui anak itu adalah milikmu?"

Wajah Renata menggelap, berdiri tepat di depan meja Riana. "Kau menertawakanku?"

"Tidak." Riana menahan senyumnya. "Aku bukan menertawakanmu. Aku hanya menertawakan pikiranmu yang ... tidak seharusnya. Kau sendiri yang bilang padaku. Kau terbiasa mendapatkan bayaran untuk apa yang sudah kaukerjakan. Jadi, lakukan pekerjaanmu dan setelah anak itu lahir, pekerjaanmu berhenti di sana. Kau mendapatkan bayaran dari jasamu. Selesai."

Renata mendengus. Tentu saja dia tak akan berhenti di sana. Ibu pengganti adalah celah sekaligus kesempatannya untuk memiliki seorang Langit Samudra. Ia akan melakukan segala cara untuk masuk ke hidup pria itu.

"Ya, kita lihat saja nanti." Renata menyambar tasnya dan berjalan keluar. Tak lupa membanting pintu dengan keras.

Riana hanya mendecakkan lidah dengan sifat buruk Renata yang satu ini. "Ya, kita lihat nanti. Kau bahkan tak tahu apa pun tentang Langit, Renata. Aku memahami kau yang tak benar-benar tahu apa yang kau katakan," ucapnya setengah bersenandung.

Ditambah suasana hati Langit sejak Gadis melarikan diri, tak ada siapa pun yang berani mengusik pria itu. Berhadapan dengan pria itu secara langsung adalah pilihan terakhir. Karena setiap saat, kemurkaan pria itu bisa meledak kapan saja. Bahkan jika itu hanya karena suara yang tidak disukai pria itu.

***

Langit memutar kursinya menghadap dinding kaca di ruangannya. Menyandarkan kepalanya di punggung kursi dengan seringai di ujung bibir. Sementara salah satu tangannya meremas sebuah kertas yang berisi biografi seorang Bara Jenora. Selain wajah, detail fisik dan alamat. Dan seorang yatim piatu yang berasal dari panti asuhan. Tak ada apa pun informasi yang bisa digali dari orang yang membantu Gadis untuk melarikan diri darinya.

Jejak mereka begitu meninggalkan rumah sakit saat tengah malam adalah hasil penelusuran terakhir yang bisa didapatkannya.

Matanya terpejam. Napasnya berhembus dengan normal, begitu pun dengan emosi yang mengendap di dadanya. Pencariannya akan menjadi lebih sulit dan membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Tetapi, tentu saja ia tak akan membiarkan Gadis lolos begitu saja. Jika butuh waktu satu bulan, atau mungkin satu tahun. Ia akan tetap mengobrak abrik negara ini untuk mencari sang istri. Bahkan jika itu membutuhkan waktu sepuluh tahun.

Tangannya mengambil ponsel di meja, menekan kontak Aaraf yang langsung mengangkat panggilannya di deringan pertama. "Aku ingin data semua rumah sakit dan klinik."

"Semua. Sebanyak yang dibutuhkan." Perintahnya kali ini diucapkan dengan penuh penekanan. Sebelum mengakhiri panggilan tersebut dengan cepat.

Mungkin mereka semua bisa memanipulasi data transaksi yang pasti akan dibutuhkan dengan menggunakan uang tunai. Tetapi penyakit jantung Ludy Evander tak bisa dimanipulasi. Dan mengingat riwayat-riwayat sebelumnya, ia yakin cepat atau lambat mereka akan membutuhkan campur tangan seorang dokter.

Sekarang, ia hanya perlu menunggu. Menunggu dengan penuh sukacita sambil mempersiapkan apa yang akan dilakukannya untuk menyambut kedatangan sang istri kembali. Seringai Langit dengan matanya yang berkilat jahat.

***

Gadis menatap pantulan tubuhnya di depan cermin. Perutnya mulai terlihat menonjol. Usia kandungannya sudah menginjak bulan keempat. Setiap sebulan sekali, Noni mengantarnya ke dokter kandungan yang buka praktek di rumah pribadi. Yang mereka temukan setelah beberapa minggu pencarian dan pertimbangan yang sangat matang.

Tempat prakteknya berada di perbatasan kota kecil tersebut. Peralatannya juga seadanya tetapi setidaknya lebih dari cukup untuk memastikan kandungannya baik-baik saja. Mereka tidak berani mendatangi rumah sakit besar maupun klinik di kota untuk pemeriksaan yang lebih memadai. Perasaannya tentang Langit yang pasti akan memantau mereka dari rumah sakit karena penyakit sang ayah, bukanlah sekedar firasat buruk. Pria itu memiliki kuasa yang cukup untuk melakukan hal licik tersebut.

Suara langkah dari balik pintu menyadarkan lamunan Gadis, wanita itu gegas menurunkan kaos longgarnya dan berjalan keluar dari kamar mandi. Menemukan Baralah yang berdiri di depan pintu kamarnya.

"Kau sudah siap?"

Gadis mengangguk. "Noni tidak ikut, kan?"

Bara menggeleng sambil tertawa kecil. "Dia bersumpah akan menghabiskan makan siang kita."

"Hari ini kita akan singgap di minimarket untuk memenuhi kulkas." Gadis tertawa sambil menutup pintu di belakangnya. "Ancaman yang kekanakan."

"Ya, tapi terdengar menggelikan."

"Aku tidak mau dia salah beli obat lagi. Beruntung kemarin aku memeriksanya lebih dulu sebelum diberikan pada Ayah."

Bara ikut tertawa. "Dia tidak terbiasa tinggal di tempat ini."

"Tidak. Dia terbiasa, Bara. Sangat terbiasa. Dia hanya menyukaimu."

Bara tertawa lagi. "Ya, aku juga menyukainya. Rumah sepi tanpa celotehannya. Kau bisa merasakannya, kan?"

"Ck, tidak seperti caramu menyukainya. Sebagai perempuan pada laki-laki, tetapi dia tidak serius dengan perasaannya."

"Maksudmu?"

"Kau idolanya."

"Hmm?"

Gadis mengeleng. Mengibaskan telapak tangannya di samping wajah dan menjawab, "Tidak. Lupakan."

"Ck. Aku sudah mendengarnya."

"Jangan dianggap serius."

Bara tertawa lagi, keduanya menuruni anak tangga. Sama-sama tertawa ketika sampai di lantai satu dan si pelayan tiba-tiba muncul dengan wajah pucat. Menghentikan tawa keduanya. "Ada apa?"

"T-tuan. Tuan besar terpeleset di kamar mandi dan jatuh pingsan."


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top