30. Titik Balik

Part 30 Titik Balik

Praanggg ....

Vas bunga itu melayang tepat di samping kepala Langit. Nyaris menyerempet pipi pria itu. Pun begitu, tubuh Langit tetap bergeming. Sama sekali tak terpengaruh dengan serangan tersebut. Dan bahkan jika mengenai wajahnya pun, ia pernah mendapatkan luka yang lebih serius daripada hanya sekedar lemparan vas seorang wanita di hadapannya saat ini.

Vas tersebut membentur dinding kaca dan pecahannya menyebar ke segala arah. Hanya dua meter tepat di belakang Langit.

Setetes air mata meleleh di ujung mata Gadis. Tetapi perasaannya yang dicabik-cabik "Apa kau cukup bersenang-senang dengan semua ini?"

Ujung bibir Langit menyeringai. Menatap keputus asaan yang tampak kewalahan sang istri hadapi. "Kau terlihat seperti anak kecil yang merajuk karena kalah dalam permainan, sayang."

"Kau masih berpikir semua ini hanya permainan?"

"Bukan?" Salah satu alis terangkat dengan tatapan mengejek. "Kau yang menyanggupi kesepakatan tersebut, sayang. Apakah aku salah ingat?"

"Karena aku tak punya pilihan."

"Sekarang pun kau terlihat tak punya pilihan." Langit duduk di kursinya. Menyilangkan lengan di depan dada. "Pilihannya hanya mati atau menjadi istriku untuk selamanya. Percayalah, aku akan membuatmu bahagia. Tanpa ada seorang anak pun, tak akan mengurangi kesenanganku terhadapmu."

"Kalau aku tidak mau, aku masih punya pilihan untuk mati, kan?"

Seringai Langit membeku. Kata-kata sang istri cukup mengusiknya, tetapi menghambur melewati meja kerjanya dan mencengkeram rahang sang istri tidak akan membuat kata-kata penentangan tersebut tidak ia dengar. Dan sungguh, entah bagaimana ia memahami kehancuran yang dirasakan oleh Gadis. Tetapi ia tak akan membiarkan perasaan tersebut melemahkannya terhadap wanita itu.

"Kau ingin mati dan bersikap pengecut dengan membiarkan ayahmu hidup sendirian? Percayalah, istriku. Jika kau mati, aku akan memastikan kau tak bisa tenang dalam kematian melihat penderitaan apa yang akan kuberikan pada ayahmu."

Gadis mengerjap. Ketakutan menyelinap ke dalam dadanya, tetapi ia tak akan membiarkan ketakutan tersebut mempengaruhinya. Wanita itu hanya menatap sorot tajam Langit yang tak main-main. Ia sangat tahu ancaman tersebut bukan hanya omong kosong sialan. Dan dengan kebengisan serta kekejaman pria itu, ia sangat yakin Langit akan membuat sang ayah menderita. Memastikan dirinya menyaksikan kematian tersebut sebelum membunuh dirinya dengan cara yang lebih menyedihkan.

Pria itu tak punya hati, tak punya akal sehat, dan yang pasti bukan manusia. Pria itu iblis yang menguasai tubuh manusia. Gadis menelan ludahnya. Dan saat itu juga ia menyadari Langit telah menangkap ketakutannya.

Keheningan membentang di antara keduanya. Langit memastikan ancamannya tertanam di kepala mungil sang istri yang keras kepala.

"Sejak awal, kau tahu aku akan kalah." Suara Gadis lirih. Sangat lirih karena bibirnya nyaris tak bergerak.

"Kau yang kurang berusaha istriku."

Kedua tangan Gadis mengepal. Menekan amarah lonjakan amarah dan kebencian yang mulai menekan dadanya. Terasa begitu sesak hingga ia kesulitan untuk bernapas. Butuh lima detik yang panjang baginya untuk berkata dengan penuh ketenangan. "Mulai sekarang aku akan merenungi kesalahanku."

Langit bergeming. Ujung bibirnya berkedut dengan kata-kata Gadis. Ada kecurigaan yang ia rasakan pada kalimat penyerahan tersebut. Tetapi melihat kedua mata Gadis yang tampak berkilau oleh air mata membuatnya menahan firasat tersebut. Ia memberikan wanita itu anggukan singkat dan Gadis berbalik. Kemudian berjalan keluar ruangannya.

Begitu pintu tertutup, desahan panjang dan berat lolos di antara celah bibirnya. Kenapa terasa seperti ada sesuatu yang mengganggunya? Melihat tatapan keputus asaan wanita itu terasa mengusik sesuatu di dadanya.

***

Braakkk ....

Tubuh Gadis setengah berputar karena menabrak seseorang yang baru saja keluar dari dalam lift. Kepalanya tertunduk, membuat wanita itu tak benar-benar fokus pada jalanan di depannya. Tas kulit berwarna biru muda tersebut jatuh di lantai dan membuat isinya berserakan di sekitar kaki.

"M-maaf." Suara Gadis terdengar parau, segera membungkuk untuk membantu sang pemilik memungut semua barang-barang tersebut.

"Gadis, bukan?"

Kepala Gadis terangkat. Mengernyit menatap wajah cantik yang berdiri di hadapannya. Ia berusaha mengingat wajah familiar tersebut. "Ah ..."

"Renata. Kau melupakanku?"

Gadis menggeleng. "A-aku hanya ... pikiranku sedang kacau. Kau di sini?"

"Hmm, aku ..." Renata menunjuk ke ujung lorong. Hanya ada satu ruangan di lantai ini. "Kau baru saja bertemu Langit?"

Gadis mengangguk dan perhatiannya segera teralih pada barang-barang Renata. Ia kembali membungkuk dan memunguti satu persatu barang-barang tersebut. Sampai kemudian gerakannya terhenti pada stik berwarna biru muda yang tergeletak di samping sepatu hak tinggi Renata. Napasnya tercekat keras ketika mengambil testpack tersebut dan membaliknya. Menemukan dua garis sebagai hasilnya. "I-ini?"

Renata mengambil benda tersebut. "Apa Langit tidak mengatakannya padamu?"

Tidak. Gadis menjilat bibirnya yang kering. Tetapi Langit juga tidak perlu mengatakannya. Pria itu begitu terobsesi memiliki anak. Jika tak bisa mendapatkan anak darinya, pria itu tentu saja bisa mendapatkannya dari wanita mana pun.

Tanpa mengatakan apa pun, Gadis berjalan masuk ke dalam lift dan menekan tombol tutup dengan cepat. Berkali-kali hingga pintu bergeser tertutup. Giginya menggigit bibir bagian dalamnya dengan keras. Jika sejak awal pria itu akan memiliki anak dengan wanita lain, kesepakatan Langit yang dibuat dengannya rupanya hanya untuk bersenang-senang. Mempermainkannya dengan cara yang paling buruk. Dan sekarang, pria itu sangat bersenang-senang dengan hidupnya.

***

Langit melirik sekilas dua garis di testpack yang disodorkan Renata di hadapannya. Hanya untuk mengingatkan ketika Gadis memberikan benda yang sama dengan hasil yang berbeda. Pun begitu, sekarang perasaannya sama saja.

Kedua matanya bergerak naik, menatap wanita itu tersenyum dengan puas saat mengatakan, "Aku melewatkan haidku. Dua hari, tetapi aku tak sabar untuk memastikannya dan ternyata hasilnya positif."

"Dan kau ke sini?"

Senyum Renata sempat membeku dengan pertanyaan dengan nada dingin tersebut. Kemudian mengangguk. "Seperti yang kau inginkan."

"Sudah menghubungi Riana?"

Renata menggeleng.

"Sepertinya aku sudah mengatakan padamu kalau hanya Riana yang akan mengurus dan bertanggung jawab atas program ini."

Renata mengangguk. Menelan kekecewaan akan reaksi Langit yang tidak seperqqt hingga detik ini. Bukankah seharusnya ini menjadi kabar bahagia untuk pria itu?

Wanita itu mengamati dengan hati-hati ekspresi di wajah Langit. "Kau tidak suka dengan kabar ini?"

"Istriku baru saja tertimpa musibah. Apakah aku harus bersenang-senang dengan hal semacam ini?"

"Hal semacam ini?" Renata mengulang kata yang terdengar merendahkan tersebut. Tetapi saat alis Langit terangkat. Wanita itu segera tersadar dan menggumamkan kata maaf.

"Intinya, urusan pribadiku sedang tidak mendukung untuk bersenang-senang atas keberhasilan kesepakatan bisnis di antara kita." Langit menekan setiap kata dalam kalimatnya. Memastikan tidak ada satu pun kata yang terlewat dari telinga Renata. "Mulai sekarang kau bisa berkomunikasi dengan Riana. Dia akan memantau perkembangannya."

"Kau tidak ingin terlibat dengan proses ini?"

"Apakah aku harus?"

Renata membeku. Kali ini kekecewaan tersebut terasa mengganjal di tenggorokannya.

"Aku akan membiarkan kesalahanmu kali ini karena ..." Langit mengambil testpack tersebut dan mengangkatnya sekilas. Sebelum kemudian melemparnya ke dalam tempat sampah. "Selanjutnya aku tak suka direpotkan dengan hal semacam ini."

Wajah Renata tak bisa lebih pucat lagi. Kedua matanya tampak berkilau karena kekecewaan. Pandangan Langit beralih ke arah pintu. Mengusirnya dengan tanpa repot-repot mengeluarkan suara.

Begitu pintu ditutup, Langit kembali mengenyakkan tubuh di kursinya. Suasana hatinya semakin memburuk. Butuh pengalihan yang lebih kuat.

Ia memanggil asistennya untuk membawakan semua berkas yang belum diperiksanya. Yang akan selesai hingga tengah malam, tetapi ia memang tidak akan pulang malam ini.

Keesokan paginya, Langit terbangun dengan kedua kaki di atas meja. Menatap ponselnya yang bergetar di atas berkas terakhir yang diperiksanya jam tiga pagi.

Matanya berkedip beberapa kali menyesuaikan cahaya matahari yang sudah menerobos di seluruh ruangannya. Jam di tangannya menunjukkan tepat jam tujuh pagi saat ia menempelkan ponsel di telinganya. Mendengarkan suara Aaraf di seberang.

Matanya seketika melebar tajam dan menegakkan punggungnya ketika merasakan ketegangan di seluruh tubuhnya. Bibirnya menipis dengan keras saat mendesiskan pertanyaannya.

"Apa maksudmu mereka tiba-tiba menghilang, hah?!"














Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top