24. Apa Yang Kau Inginkan?
Part 24 Apa Yang Kau Inginkan?
“Tunggu sebentar.” Gadis menahan penjaga keamanan Langit menutup pintu tersebut dan kembali berjalan keluar. Mendekati Jemmy yang baru saja keluar di antara dua pohon palem besar yang ada di sisi jalanan. Entah bagaimana pria itu berpikir akan mendapatkan kemungkinan bertemu dengannya dengan menunggu di tempat ini. “Apa yang kau lakukan di sini, Jemmy?”
“Kita belum selesai bicara.”
Gadis tak peduli dengan pembicaraan yang dimaksud oleh Jemmy. Satu-satunya hal yang ia pedulikan sekarang adalah keselamatan pria itu. Setelah Jelita tiba-tiba menghilang, hanya Jemmy satu-satunya yang mungkin bisa dipercayanya untuk menjaga James. Hanya pria itu yang dimiliki oleh keponakannya, kan?
“Sebenarnya apa yang kau pikirkan dengan berada di tempat ini, hah? Siapa yang menjaga James?”
“Dia memiliki pengasuh.” Jawaban Jemmy begitu ringan, membuat Gadis semakin kesal.
“Dia anakmu, Jemmy.”
“Aku tak ingin membicarakan tentang James.”
“Apa kau bahkan tak peduli pada anakmu sendiri?”
“James akan menjadi urusanku dan Jelita. Sekarang aku hanya membicarakan tentang kita.”
Gadis mendesah dengan gusar. “Tak ada lagi tentang kita, Jemmy,” balasnya dengan penuh penekanan. “Jika kau masih ingin bicara tentang kita, yang sudah tidak ada apa pun di antara kita, aku akan masuk.” Gadis mundur dan memutar tubuhnya.
“Apakah memang sudah tidak ada kesempatan?”
“Memang tak pernah ada.” Gadis berjalan masuk. Membiarkan petugas keamanan menutup pintu di belakangnya meski ia masih bisa mendengar suara Jemmy yang mengatakan tak akan menyerah untuk mendapatkan maaf darinya.
Mata Gadis terpejam. Kenapa baru sekarang? Kenapa harus sekarang? Di saat situasi sudah cukup sangat rumit antara dirinya dan pria itu? Di saat luka di dalam dadanya sudah cukup dalam dan mustahil untuk sembuh. Di saat sudah ada James dan … kepala Gadis tertunduk. Menatap perutnya yang masih rata.
Gadis menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya secara perlahan. Menguatkan hati, menyingkirkan kata-kata berbau penyesalan dan harapan setipis kulit ari untuk memperbaiki kehidupannya.
‘Saat kau melahirkan anak pertamanya, dia akan menghadiahimu perkebunan tersebut.’
Mungkin hidupnya memang tak pernah benar-benar menjadi miliknya sendiri.
***
“Apa itu benar yang dikatakan ayahku?” cecas Gadis begitu Langit melangkah masuk ke kamar utama sambil melepaskan jas dan melonggarkan dasi di leher. Mengambil tempat di sofa tunggal dan menatap puas pada penampilan sang istri dari ujung kepala hingga ujung kaki. Rambut yang terurai dan malam ini menyambutnya dengan lingerie berwarna hitam yang membuat kulit putih Gadis terlihat berkilat.
“Tentang?”
Gadis tak langsung menjawab. Senyum kepuasan Langit adalah satu dari dua hal yang diharapkannya dengan penampilannya malam ini. Mungkin tak ada salahnya menyenangkan pria itu, jika ia pun memiliki hal yang harus didapatkannya dari pria itu.
‘Kenapa bukan kau yang memegang program bayi tabung Langit?’
‘Aku sudah bilang ada urusan di luar negeri, kan?’
‘Berapa lama program tersebut berjalan? Kenapa Langit melakukan hal semacam ini? Melihat wajah dan namanya, kupikir dia tidak akan kesulitan mendapatkan salah satu dari mereka untuk dinikahi dan hamil anaknya.’
‘Memang, tapi … sudah sejauh ini, kenapa kau masih mempertanyakan apa yang diinginkan Langit? Dia bisa melakukan dan mendapatkan apa pun yang diinginkannya, Gadis.’
‘Itu tak menjawab pertanyaanku, Riana.’
Riana mengedikkan bahunya. ‘Entahlah, aku juga tak benar-benar tahu. Aaraf sudah menyarankan untuk menikahi salah satu di antara mereka, tapi Langit memang tipe yang pemilih. Saat menjatuhkan pilihannya pada Renata, dia sudah mempertimbangkan banyak hal.’
‘Renata?’
‘Hmm, wanita yang seharusnya menjadi rahim pengganti untuk calon anak Langit.’
‘Kau mengenalnya.’
Riana terdiam, menatap wajah Gadis dan menjawab, ‘Bahkan seharusnya aku tak bicara sebanyak ini padamu, kan?’
Gadis merasa kesal tiba-tiba Riana berhenti bicara. Ayahnya yang mengatur semuanya untuk menggantikan wanita bernama Renata dengan dirinya, kan? Ayahnya pasti mengenal wanita itu, kan?
Langit menepuk pangkuannya, dengan senyum yang lebih lebar.
Gadis terdiam. Dengan pertanyaan-pertanyaan yang menggantung di atas kepalanya.
‘Kenapa Langit menikahinya meski ia sudah tidak mengandung anak pria itu?’
‘Kenapa Langit menginginkannya?’
‘Kenapa bahkan pria itu rela membayar anak dalam kandungannya dengan harga perkebunan milik Jelita, yang harganya juga tidak murah?’
‘Kenapa harus dirinya?’
Kata-kata Riana yang mengatakan Langit tidak ingin menikah dan direpotkan dengan kata bernama istri. Tentu saja tak hanya mengundang tanya yang lebih besar lagi bagi Gadis. Tak hanya Riana.
Kenapa Langit tiba-tiba berubah pikiran?
Kenapa Langit menjadikan dirinya sebagai seorang istri.
“Kau tidak ingin kemari?” Sekali lagi Langit menepuk pahanya. Menyadarkan Gadis dari lamunan.
Gadis berjalan mendekat, mengabaikan rasa malu dan harga diri yang sudah terinjak-injak, ia duduk dipangkuan pria itu dengan patuh. Membiarkan Langit membawa kedua lengannya melingkari leher pria itu dan menutup jarak di antara tubuh mereka.
“Kesepakatan apa saja yang ada di antara kau dan ayahku?”
“Bukan hal yang besar.”
“Besar kecil, bukankah aku juga berhak tahu? Kalian melibatkan diriku.”
“Kau hanya perlu tahu untuk menjadi istri yang menyenangkanku.”
“Dan apa yang kudapatkan dari semua itu? Kau tahu aku tak menginginkan segala hal yang ada kau berikan di hidupku.”
“Kau memang tak menyukai banyak hal tentangku, sayang.”
‘Semua hal,’ lanjut Gadis dalam hati.
Langit terkekeh. “Ah, jadi semua, ya?”
Napas Gadis tercekat, tubuhnya menegang. Entah bagaimana pria itu bisa menebaknya.
Tangan Langit terangkat, mengusapkan ujung jemarinya di bibir bagian bawah Gadis. “Kedua matamu lebih jujur dari bibirmu, sayang.”
“A-aku …”
“Tidak apa-apa. Aku sudah terbiasa dengan semua hal tentangmu.”
Gadis mulai bernapas. Ketegangan di tubuhnya perlahan mengendor. Pun masih bersikap was-was.
“Apa yang kau inginkan?”
“Apa kau akan memberikannya?”
“Tidak gratis, kan?”
“Aku akan memikirkannya.”
“Hmm, kau punya waktu yang sebanyak yang kau butuhkan.”
“Apakah itu termasuk bercerai?”
Langit terdiam, mengamati napas Gadis yang tertahan. Telapak tangannya yang menempel di paha Gadis bergerak mengelus. Pada awalnya hanya di sekitar lutut, tetapi kemudian bergerak lebih ke atas. “Mungkin. Saat aku sudah merasa bosan dengan tubuhmu.”
Gadis menelan ludahnya. Bosan? Kata-kata Riana kembali berputar di benaknya.
‘Tidak, Gadis. Itu bukan ide yang bagus. Saat dia bosan denganmu, dia akan membuat permainan menjadi lebih seru. Dan dia tak akan memandangmu sebagai kesenangan. Tetapi barang yang bisa dipermainkannya. Aku tak akan penasaran untuk tahu bagaimana Langit bersenang-senang dengan barangnya.’
“Kau suka permainan?” Langit sedikit menggeser tubuh Gadis hingga kedua paha wanita itu terbuka untuknya. Menenggelamkan wajah di leher sang istri dan membiarkan kehangatan tubuh wanita itu menyebar di seluruh permukaan wajahnya. Napasnya mulai memberat dan berhembus keras. “Saat permainan menjadi membosankan, aku selalu menemukan cara untuk membuat permainan menjadi lebih seru. Kau tertarik mengetahuinya?”
Seluruh tubuh Gadis menegang. Apa Riana mengatakan kebenaran atau wanita itu hanya mengatakan apa pun yang diinginkan Langit untuk ia dengar?
“Permainan apa yang kau mainkan dengan ayahku?”
“Kau tahu, sayang. Hanya kesepakatan ini dan itu.”
“Lalu denganku?”
“Bukankah kau bagian dari permainan.”
“Jelita?”
Ciuman Langit bergerak ke rahang dan berhenti di bibir. Menggigit ujung bibir Gadis hingga wanita itu tersentak pelan dan membuka mulut untuk lidahnya. Ciumannya menjadi lebih dalam dan lebih panas. “Bukan apa-apa?” jawabnya kemudian sambil melepaskan pagutannya. Tetap mempertahankan jarak di antara mereka begitu dekat hingga napas terengah saling berhembus di udara tipis tersebut. “Dia hanya terlalu berusaha menjadi lebih baik darimu. Sayangnya, rasa manismu yang terbaik.”
Gadis terdiam. Dadanya bergerak naik turun di tengah jantungnya yang berdegup kencang. Oleh ciuman Langit juga oleh kata-kata pria itu.
“Kuharap kau tetap menjadi semanis ini agar hubungan baik ini tetap terjalin.” Seringai Langit menajam ke atas. “Demi kebaikanmu sendiri.”
Gadis menelan ludahnya.
“Biasanya aku tak suka direpotkan dengan sesuatu bernama wanita. Tetapi denganmu …” Langit mengulur nada suaranya. Tangannya bergerak menelusup di balik celah kain tipis tersebut. Berhenti di dada Gadis, yang degupannya seketika terhenti. “Rasanya semua kerepotan ini sepadan dengan apa yang kudapatkan darimu.”
‘Dari tubuhku,’ batin Gadis mengoreksi. Baiklah, ia akan mulai memikirkan apa yang akan diinginkannya dari Langit. Toh dirinya tak bisa menolak apa yang diinginkan pria itu darinya, kan?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top