20. Godaan Jelita
Part 20 Godaan Jelita
Gadis berhenti menyeberangi ruang tidur ketika melihat sesuatu yang membuat perutnya mual di tempat tidur. "Milik siapa itu?" tanyanya pada pelayan yang baru saja keluar dari ruang ganti.
"Nyonya."
"Nyonya?"
"Anda."
"Bukan milikku. Kenapa aku bertanya kalau itu memang milikku?"
"Itu hadiah dari tuan Langit, Nyonya." Noni setengah berbisik menjelaskan. "Apakah itu edisi terbatas? Saya pernah melihatnya di ..." Celetukan Noni seketika terhenti dengan pelototan Gadis. Tetapi tak menghentikan tatapan takjubnya pada lingerie merah maroon yang dihamparkan di hadapan keduanya.
"Singkirkan." Perintah Gadis pada pelayan.
"Orang dari butik baru saja datang dan membawakan beberapa. Saya baru saja menyimpan sisanya di ..."
"Tidak hanya satu?" Mata Gadis memicing tajam.
Pelayan tersebut mengangguk. Kembali merapatkan mulut dengan kejengkelan di wajah Gadis. Tetapi tak bergerak untuk meraih lingerie yang ada di tempat tidur.
"Kau tak akan menyingkirkannya?"
"Tuan Langit berpesan untuk ..."
Gadis berjalan mendekati ranjang, tangannya baru saja menyambar kain tipis tersebut ketika ponsel di dalam tasnya berdering. Nada khusus yang ia pasang untuk Langit terdengar. Tentu saja bukan karena special, tetapi lebih karena ia bisa tahu dan mengabaikan jika itu panggilan dari Langit.
"Ada apa?"
'Kau sudah pulang?'
"Aku tahu kau tahu, Langit. Kau menelponku bukan untuk menanyakan hal ini, kan?'
Kekehan terdengar dari seberang, yang membuat Gadis meremas pakaian kekurangan bahan tersebut.
'Dan kau sudah melihatnya. Apa kau suka?'
"Tidak. Dan sejak kapan aku menyukai hadiah-hadiah darimu, Langit?"
'Mulai sekarang kau akan menyukainya.'
Gadis mendengus.
'Malam ini aku akan pulang setelah makan malam. Jadi aku ingin kau mengenakannya ...'
"Tidak akan pernah."
'Aku tidak bertanya pendapatmu, sayang.'
Pegangan Gadis pada ponselnya menguat. Bibirnya menipis menahan geraman di tenggorokan.
'Yang kutahu, saat aku pulang. Kau akan menyambutku dengan pemandangan yang menyenangkan.'
"Kenapa bukan kau saja yang merobek pakaianku seperti yang biasa kau lakukan?"
'Karena kau tak menyukainya.'
"Lakukan saja seperti biasanya, Langit. Aku sudah terbiasa."
'Kalau begitu kau perlu terbiasa dengan aturan baru ini.'
Gadis tak bisa menahan kejengkelannya lebih banyak lagi. Memutus panggilan tersebut dan membanting ponselnya ke tempat tidur bersama dengan lingerie sialan itu. Pelayan Langit segera berpamit undur diri sementara Noni malah berjalan mendekat, berusaha menenangkan sang Nona.
"Aku bukan Jelita. Kenapa aku harus memakai pakaian murahan seperti itu."
Noni mengambil lingerie tersebut mengangkatnya di depan muka. "Saya melihatnya di ponsel Nona Jelita."
"Kau pikir aku peduli?"
Noni menggeleng, tak terpengaruh dengan delikan Gadis yang duduk di tepi ranjang. "Bukankah ada alasan tuan Langit memberikan ini pada Anda? Ini semacam niat baik."
"Sekali lagi kau mengatakan omong kosong, lebih baik kau keluar!"
Noni duduk di samping Gadis dan merangkul lengan wanita itu. "Itu artinya, tuan akan bersikap lebih lembut pada Anda."
"Sepertinya kau lebih berpengalaman berhubungan dengan laki-laki, ya?" dengus Gadis dengan sinis.
"Hanya sedikit." Noni mengambil pergelangan tangan Gadis, menyingkap lengan panjang yang menutupi lingkaran memerah di sana dan mengelusnya dengan lembut. "Saya hanya merasa sedih setiap kali melihat luka-luka ini."
Gadis menarik tangannya dan kembali menutupi bekas cengkeraman Langit di sana. Ia tak pernah peduli dengan bekas-bekas kekerasan yang ditinggalkan di tubuhnya oleh pria itu. Namun melihat Noni yang lebih peduli pada tubuhnya, sedikit menyentuh perasaannya.
"Apa Tuan tahu kalau seperti ini Anda menjalani pernikahan ini?"
"Ayah tidak akan tahu, Noni. Jika dia sampai tahu, aku tahu kau yang memberitahunya."
"Ya, setidaknya sampai detik ini, Tuan tidak tahu. Tetapi kemungkinan Tuan tahu di masa depan juga ada, kan."
Gadis merasa gusar dengan kemungkinan tersebut. "Lalu apa yang kau inginkan dariku, hah?"
"Mencoba membuat tuan Langit senang."
"Dia bersenang-senang dengan penderitaanku. Apakah semua itu masih belum cukup?"
"Nyonya yang keras kepala."
Gadis melotot sempurna.
"Sebentar lagi Nona akan memiliki seorang bayi. Apakah Anda yakin akan menjadi seorang ibu yang membencinya?" Noni menyentuhkan telapak tangannya di perut Gadis. Mengusap dengan lembut.
Pertanyaan Noni tentu saja membuat perasaan Gadis mencelos. Seorang ibu dan anak. Gadis tak pernah menyukai konsep hubungan tersebut sejak mengetahui kehamilannya satu tahun yang lalu.
"Anda bukan seseorang seperti itu, Nyonya. Saya sangat tahu itu."
Kepala Gadis perlahan bergerak turun. Menatap perutnya yang masih rata.
"Seberapa pun Anda membenci tuan Langit, Anda sangat kehilangan dengan keguguran tersebut. Anda bahkan tidak berterus terang pada tuan Langit kalau keguguran tersebut adalah kecelakaan."
Gadis terhenyak selama beberapa saat, tetapi segera menguatkan hati "Mungkin memang itu langkah terbaik untuk kami. Aku dan Langit bukan orang tua yang tepat untuknya."
"Lalu sekarang, apa Anda berniat menggugurkannya dengan sengaja?"
Terjangan emosi membuat Gadis terpaku.
"Bahkan seseorang seperti tuan Langit melakukan segala cara untuk melindunginya. Anda tak mungkin lebih buruk dari beliau, kan?"
***
"Jelita?" Langit mengangkat alisnya ketika sekretarisnya mengatakan nama seseorang yang sedang ingin bertemu dengannya tersebut.
"Jelita Evander."
Langit mengangguk singkat dan sekretarisnya kembali mendekati pintu dan mempersilahkan Jelita masuk.
"Maaf aku tiba-tiba datang tanpa pemberitahuan."
"Hmm, pasti ada keperluan yang tiba-tiba. Mengenai pembicaraan terakhir kita?" Salah satu alis Langit terangkat.
"Tidak juga," Jelita menggeleng. "Itu hanya pertengkaran kakak adik seperti biasa. Aku sudah mengatakanpadamu, kan?"
"Lalu?"
"Hanya ada sesuatu yang lama yang belum sempat kukatakan."
"Ah, masih ada yang ingin kau katakan rupanya?" ulang Langit menautkan jemari di kedua tangannya ketika bersandar pada punggung kursi. Menatap Jelita yang berdiri di seberang meja, tak terlalu menangkap sindirannya dan malah mengamati ruang kerjanya yang luas, sebelum memutuskan dirinyalah yang paling menarik di ruangan ini.
Sejenak pandangan Langit berhenti pada belahan dada Jelita yang menyembul di antara tiga kancing yang terbuka di atas. Kerah yang diatur sedikit tertarik ke belakang sehingga kedua pundak yang putih mulus tersebut ditampilkan dengan sangat menggoda.
Dan wanita itu berdiri, sedikit merendahkan tubuh saat menyandarkan kedua tangan di meja. "Kau yang paling menarik di ruangan ini."
Langit tersenyum. "Aku setuju. Duduklah."
Senyum Jelita melengkung lebih lebar, sengaja mengulur waktu sebelum kemudian duduk. "Aku tak menyangka hubungan kita setelah putus akan menjadi seperti ini. Kau menikahi adikku sendiri, setelah kita putus karena kau tak berniat memiliki komitmen. Apa yang membuatmu berubah pikiran?"
"Aku tidak berubah pikiran. Aku masih pemilih dengan wanita yang kukencani dan ketiduri."
Alis Jelita bertaut, tak mengerti.
"Hanya saja, dengan adikmu, semua bagian dari kesepakatan bisnis dan kebutuhan biologi yang tidak terhindarkan."
"Perkebunan?"
Langit tak mengangguk, tetapi tersenyum lebih lebar. "Kau datang jauh-jauh hanya ingin menanyakan hal ini?"
Jelita menggeleng. Beranjak dari kursinya dan berjalan memutari meja. Ujung-ujung jemarinya menyeret di sepanjang sisi meja. Hingga berhenti tepat di samping kursi Langit, wanita itu menyandarkan tubuh di meja.
"Apa aku masih termasuk wanita yang kau pilih untuk duduk di pangkuanmu?" Jelita menyentuhkan telapak tangannya di lengan Langit, bergerak lebih ke atas dan merambat ke dada pria itu. "Aku selalu lebih baik dibandingkan Gadis."
***
Kenapa kata-kata Noni terdengar bijak setelah Gadis memikirkannya beberapa kali? Dan kenapa kata-kata itu harus ia dengar di saat seperti ini?
Gadis menatap pantulan tubuhnya di cermin besar. Rambutnya masih tergerai dan lembab setelah ia mandi. Tubuh telanjangnya masih terbungkus jubah mandi dan lingerie sialan itu masih tergeletak di tempat tidur. Sama sekali tak berniat menyentuh kain tipis itu.
Riana sudah membawa makan malamnya di meja, tapi perutnya masih kenyang hanya karena ingat ada janin di dalam perutnya. Langit bilang kehamilannya masih muda dan rentan.
'Dia akan baik-baik saja. Kalian memperlakukannya seolah aku adalah ancaman terbesarnya.'
'Apakah tidak?'
Desahan kasar lolos di antara celah bibirnya. Percakapannya dan Riana yang terasa seperti hujaman di dada tersebut lagi-lagi membuatnya berpikir lebih dalam. Seberapa pun besarnya ia tak menginginkan kehamilan tersebut dan kebenciannya pada Langit yang begitu besar. Tetap saja, ia tidak bisa menjadi seseorang yang mengkhianati anaknya sendiri? Ia tahu betul bagaimana rasanya dikhianati.
"Kau tidak memakainya?" Suara Langit menyentakkan Gadis dari lamunannya. Wanita itu menoleh dan memucat dengan keberadaan Langit yang tiba-tiba berdiri di ambang pintu ruang ganti. Mengangkat lingerie tersebut di tangan kanan.
"Kau pulang lebih awal?" Gadis merapatkan belahan jubah di dadanya ketika menatap lingerie di tangan Langit.
"Hmm, pekerjaanku teralihkan dan aku pulang lebih cepat. Aku tahu kau tak tertarik mencari tahu tetapi apa aku mengejutkanmu?"
Gadis tak membalas. Langkah Langit yang perlahan mendekat membuat napasnya tertahan, membuatnya sedikit mundur dan ponselnya di meja bergetar pelan.
"S-sebentar." Gadis meraih ponsel tersebut sambil berjalan memutari meja untuk menghindari Langit, tetapi mendadak langkahnya terpaku saat melihat foto yang dikirim oleh Jelita. Bergambar sang kakak yang duduk di pangkuan Langit dan wajah keduanya yang saling menempel.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top