19. Sepasang Kekasih
Part 19 Sepasang Kekasih
Gadis tak peduli apa pun itu yang dikatakan Langit setelah mengatakan kalau pria itu mengijinkannya pergi ke perkebunan dengan Riana yang akan mengawasinya. Tetapi tepat jam tiga sore, ketika wanita itu masuk ke ruangannya dan mengatakan sudah waktunya mereka kembali ke rumah Langit. Mendadak kata-kata Langit kembali terputar di benaknya.
'Belajar menjadi istri yang menyenangkan?'
Pikirannya bukan mencari cara bagaimana ia harus belajar menjadi istri yang menyenangkan Langit, tetapi apa yang akan pria itu lakukan jika ia tak menurut.
"Langit sudah menghubungiku, Gadis. Memastikan kau sudah keluar dari tempat ini." Riana menunjukkan ponsel di tangannya. Yang memaksa Gadis menyelesaikan pekerjaannya dan mulai mengemas barang-barangnya ke dalam tas.
"Noni akan ikut denganku," beritahunya sambil memutari meja.
"Kau sudah bicara dengan Langit? Aku tak ingat dia mengatakan ..."
"Kenapa aku harus minta ijinnya untuk membawa orang kepercayaanku? Sementara dia membiarkan orang kepercayaannya membuntutiku ke mana pun."
"Aku tidak membuntutimu."
Gadis mendengus tipis dan berjalan melewati Riana. Dokter kandungan macam apa yang menjadi sopir serta pengawal untuk istri majikannya. "Kau benar-benar dokter kandungan?"
Riana terdiam, matanya memicing dengan pertanyaan tersebut. "Kau pikir aku memalsukan profesiku?"
Gadis hanya menghela napas tanpa menghentikan langkahnya.
"Jangan buat posisiku menjadi rumit. Aku sedikit punya perasaan dibandingkan Langit."
"Kau pikir posisiku juga tidak rumit? Aku muak menjadi istrinya," gumam Gadis tak terlalu jelas.
"Aku hanya bertanggung jawab agar kandunganmu baik-baik saja. Itu pekerjaanku."
"Dia akan baik-baik saja. Kalian memperlakukannya seolah aku adalah ancaman terbesarnya."
"Apakah tidak?"
Langkah Gadis seketika terhenti dan wajahnya memucat.
"Kau menggugurkan kandunganmu sebelumnya, Gadis." Suara Riana merendah, mengamati reaksi Gadis dengan hati-hati.
"Apa?" Mata Gadis membeliak terkejut bercampur tersinggung. Tetapi kemudian ia menyadari kegugurannya satu tahun yang lalu dan membiarkan Langit mempercayai kesengajaan tersebut.
Riana terdiam, menangkap perubahan tersebut dengan kedua alis yang bertaut.
"Aku tak menginginkannya."
"Tak ada seorang ibu yang akan melakukan hal semacam itu, Gadis. Bahkan orang seperti Langit."
Gadis mengerjap, segera menguasai ekspresi wajahnya dengan cepat. "Sayangnya, aku bukan seorang ibu dan Langit punya tujuan tertentu pada calon anaknya, kan? Bukan karena dia tipe pria yang kebapakan," jawabnya kemudian dan berbalik dengan cepat. Berjalan mendahului Riana menuju pintu utama.
Noni sudah menunggu di samping mobil dan membukakan pintu untuknya. Duduk di sampingnya sambil menunggu Riana yang berdiri di teras dengan ponsel menempel di telinga. Menghubungi Langit, tentu saja. Siapa lagi? dengus Gadis dalam hati. Tetapi tampaknya Langit pun tak mempermasalahkan keberadaan dan wanita itu langsung duduk di balik kemudi.
"Ada apa? Ada yang mengganggumu?" Pertanyaan Riana memecah lamunan Gadis yang sejak meninggalkan perkebunan hanya melamun menatap bagian depan mobil.
Pandangan Gadis bergerak menatap mata Riana di kaca spion, memberikan satu gelengan meski sempat berpikir sejenak dengan pertanyaan tersebut.
"Katakan. Aku tahu ada yang mengganggu pikiranmu."
Gadis kembali bergeming. "Sejak kapan kau mengenal Langit?" akhirnya ia bertanya.
"Sejak kecil."
Gadis tak harus terkejut melihat kesetiaan dan kepatuhan Riana terhadap Langit, kan?
"Jadi kau tahu semua keberengsekan dan kejahatan yang pernah dilakukan olehnya, kan?"
"Hmm, kenapa? Kau ingin tahu tentang Langit lebih banyak lagi?"
Gadis tak langsung menjawab. Mungkin ia memang perlu tahu tentang Langit untuk menghadapi pria itu, kan? Setahun pernikahan, yang dirinya tahu tentang Langit adalah pria itu selalu mendapatkan apa pun yang diinginkan dari siapa pun, terutama dirinya. Selain itu, ia tak pernah benar-benar mau tahu tentang pria itu.
"Apa dia pernah membunuh orang?"
Riana terdiam, sejenak membagi fokusnya pada jalanan dan kaca spion untuk membalas tatapan Gadis lalu menjawab, "Jika pernah, apakah menurutmu akan ada yang tahu?"
Gadis menelan ludahnya. Berusaha agar kegugupannya tak sampai tertangkap oleh Riana.
"Kenapa? Kau takut dia akan membunuh para pekerjamu?"
Bibir Gadis menipis, tak akan menampakkan kecemasannya tersebut pada Riana.
"Tampaknya kau lebih peduli pada pekerja dan perkebunanmu dibandingkan ayahmu dan Jelita."
"Tampaknya Langit memintamu memastikan hal itu, kan?" dengus Gadis. "Kau bilang kau punya sedikit perasaan dibandingkan dirinya. Apa kau akan membuat mereka menjadi korban kegilaan Langit selanjutnya? Mereka sama sekali tak bersalah, apalagi harus terseret kegilaannya."
"Mungkin perasaanmu pada mereka sedikit lebih banyak dari yang kumiliki."
Bibir Gadis menipis keras. "Kau dan Langit sama saja."
Riana tak menyangkal, yang membuat Gadis semakin kesal. "Tapi satu hal yang perlu kau tahu, Gadis. Jangan buat dia bosan padamu."
"Kedengarannya itu ide yang menarik," dengus Gadis. "Apa dia akan menceraikanku saat dia bosan denganku?"
"Tidak, Gadis. Itu bukan ide yang bagus. Saat dia bosan denganmu, dia akan membuat permainan menjadi lebih seru. Dan dia tak akan memandangmu sebagai kesenangan. Tetapi barang yang bisa dipermainkannya. Aku tak akan penasaran untuk tahu bagaimana Langit bersenang-senang dengan barangnya."
Gadis seketika terdiam. Entah kenapa kalimat tersebut berhasil membuat bulu kuduk di tengkuknya berdiri. Ujung matanya melirik ke arah Noni untuk menghindari tatapan Riana, yang mendengkur dengan memeluk bantal di sampingnya. Apa sebenarnya gunanya ia mempertahankan pelayannya yang satu ini, hah?
***
Langit menatap satu persatu lembaran foto di tangannya. Gambar Gadis dan Jemmy yang terlihat begitu mesra tertampil di setiap lembaran tersebut. Senyum pasangan yang tengah kasmaran tersebut menciptakan kecemburuan di dadanya yang semakin membengkak. Apalagi jika mengingat, Gadis tak pernah tersenyum seperti itu padanya. Ia sudah menduga ada sesuatu di antara Jemmy dan Gadis. Tetapi tak menyangka ceritanya akan semenarik ini.
"Tadi kau bilang berapa lama?"
"Lima tahun. Keduanya kuliah di universitas yang sama. Sebagai senior dan junior. Sampai Nyonya Gadis harus berhenti kuliah setelah kematian Nyonya Evander dan menggantikan beliau memegang perkebunan."
Langit melempar lembaran tersebut ke tempat sampah. Seakan membuang hubungan yang pernah terjalin antara Gadis dan Jemmy. "Dan cecunguk itu berselingkuh hingga Jelita hamil. Yang membuat hubungan mereka berakhir?"
Aaraf mengangguk. "Hubungan kakak beradik itu sudah memburuk sejak mereka kecil. Jelita sengaja menjebak Jemmy untuk merebut tunangan adiknya. Tepat di hari pernikahan tersebut."
"Hmm, aku mengerti." Langit menyeringai. Jadi itu alasan Gadis terlihat muram di sepanjang acara pernikahan tersebut. Menerima minuman yang ditawarkannya dan cukup mabuk untuk membawanya ke kamar wanita itu. Lalu insiden tersebut terjadi.
Langit menyandarkan tubuhnya di punggung kursi. Kepalanya sedikit tertunduk saat tangannya menyentuh bekas jahitan di pelipisnya. Senyumnya melebar ketika mengingat malam pernikahan tersebut.
"Dan beberapa bulan terakhir, hubungan pernikahan tersebut memburuk. Tampaknya akan segera mengarah ke perceraian. Beberapa kali dia pergi ke firma hukum dan menyewa pengacara untuk mengurus hal tersebut."
"Anak mereka?"
"Masih berusia lima bulan dan Jelita sering membawanya menginap di rumah tuan Evander. Laki-laki."
"Kau pernah melihatnya?"
"Noni sering menggendongnya dan mendiamkannya. Terkadang juga istrimu yang melakukannya jika Noni tidak ada."
Mata Langit memicing curiga. "Jadi bukan hanya keponakan, tetapi dia menggendong anak dari selingkuhan mantannya?"
Aaraf mengangguk.
"Dan dia membunuh darah dagingnya sendiri."
"Kau masih berpikir saat itu dia sengaja menggugurkan kandungannya?"
Langit mendengus. "Kesimpulannya sudah jelas, Aaraf. Jangan buat aku mempertanyakan kesetiaanmu meski aku tak percaya siapa pun."
Aaraf mengedikkan bahu dan tak bicara lagi.
"Awasi Jemmy. Aku yakin dia akan mulai melirik istriku setelah kegagalannya."
"Istrimu tak mungkin memaafkannya, Langit. Sejak pernikahan tersebut, mereka tak pernah saling bertemu."
"Hingga kemarin malam dan tadi pagi di perkebunan."
Mata Aaraf melebar.
Langit menyeringai. Pekerjaan Riana cukup memuaskan. "Siapa yang tahu, dengan kenaifan istriku, mereka akan mulai melakukan ketololan."
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top