18. Patuh


Part 18 Patuh

"Bagaimana aku tahu kalau mereka semua selamat dalam kebakaran tersebut dan tidak terluka sedikit pun?"

Langut menatap dagu Gadis yang sedikit terangkat, tatapan yang mengeras dan suasana hatinya yang baik setelah tadi malam wanita itu berhasil memuaskannya tentu saja tak akan mencegahnya untuk memberikan apa yang diinginkan sang istri. "Riana akan membawamu."

"Aku tak..."

"Atau tidak sama sekali."

Gadis kembali menutup mulut.

"Lagipula tak ada yang perlu kau kerjakan di sana. Pengiriman dibatalkan dan penanggung jawab gudanmu juga pasti akan membereskan masalah ini dengan cepat. Gudangnya sudah rata dengan tanah, persediaan terbakar semuanya. Kebunmu juga belum siap untuk dipanen."

"Ada banyak hal harus kulakukan karena kegilaanmu. Aku harus menghubungi semua pelanggan yang sudah ..."

"Aku sudah membereskan yang satu itu. Mereka semua menerima dengan lapang dada."

"Kau memang merencanakan semuanya dari awal, kan?" Bibir Gadis nyaris tak bergerak selain karena getaran amarahnya.

Langit hanya menjawab dengan kedikan bahu. "Karena kau hamil muda dan kandunganmu masih rentan, kau akan pulang satu jam dari biasanya."

Gadis menahan bantahannya. Menjadi penurut adalah pilihan yang bijak. Tampaknya itu bukan hanya satu syarat.

Langit berdiri, mendekati sang istri yang berdiri di tengah ruangan. Tangannya menahan kedua sisi pinggang yang ramping tersebut dan menempelkan di tubuhnya. "Dan jadi istri yang menyenangkan saat aku pulang dari kantor."

Gadis mengernyit. Menyenangkan?

Senyum Langit mengembang. Tersenyum penuh arti. "Kau bisa belajar."

Kernyitan Gadis semakin dalam. Belajar? Tak hanya belajar menjadi istri yang penurut, sekarang ia harus belajar menjadi istri yang menyenangkan? Berapa banyak lagi ia harus menjadi semua hal yang diinginkan Langit sementara dirinya saja masih tak terbiasa dengan kata istri.

***

Begitu Riana memarkirkan mobil di halaman depan rumahnya, Noni turun lebih dulu dan membantunya turun dari mobil. Mengulurkan kedua tangan ke arahnya yang membuat Gadis mendelik tak terima.

"Kau pikir aku sakit?"

Noni memberengut, menarik kembali kedua tangannya yang ditepis Gadis.

"Sekali lagi kau memperlakukanku seperti orang pesakitan, aku akan memecatmu."

Kemasaman Noni segera berubah menjadi senyum semringah saat berbisik rendah pada Gadis. "Bukankah Nona meminta tuan Langit untuk tidak memecatku?"

"Diam kau." Gadis mendelik. "Atau aku akan berubah pikiran."

Noni merapatkan mulut, meski tak mengurangi senyum semringahnya. Keduanya berjalan ke halaman samping rumah. Melewati jalan setapak yang mengarah pada gudang. Beberapa kali napas Gadis tertahan. Bahkan dari kejauhan, ia tak bisa melihat gudang anggurnya yang menjadi satu-satunya bangunan terbesar di lahan tersebut. Dan semakin langkahnya mendekat, remasan di dadanya semakin terasa. Menemukan puing-puing bangunan terhampar di hadapannya.

Lama wanita itu hanya tercenung di tengah halaman. Perlahan, mulai berhasil menguatkan diri melihat rumah-rumah yang disediakannya untuk pekerja sama sekali tak tersentuh api.

"Mereka ada di kebun," bisik Noni. Keduanya menatap beberapa anak kecil yang bermain-main di halaman berumput dari kejauhan. "Apa Anda ingin menemui ..."

Gadis menggeleng. Menghela napas dengan kasar dan membalikkan tubuhnya ketika menemukan Jelita yang berjalan mendekat, setelah sempat berbicara dengan Riana dan wajah sang kakak langsung mengeras, meski tak mengatakan apa pun.

Satu tatapan Riana berhasil mengusir Noni dari sisinya walau pelayan setianya tersebut hanya mundur beberapa langkah di belakang sang kakak.

"Kau masih berani menginjakkan kakimu di tempat ini?"

Pandangan Gadis bergerak turun pada kaki Jelita lalu tersenyum. "Ini lahanku. Lahanmu sebelah sana, kan?" Dengan dagunya, Gadis menunjuk ke arah utara. "Ah, aku lupa. Kau sudah menjualnya pada suamiku."

Wajah Jelita mulai mengeras dengan awal pembicaraan yang tak menyenangkan tersebut. Seolah Gadis memang sengaja membalasnya. "Kau berpikir menjadi korban dalam pernikahanmu, hah?"

"Urus saja urusanmu, Jelita. Lahanku maupun pernikahanku, semua itu bukan urusanmu."

"Hentikan kemunafikanmu, Gadis. Aku tahu kau menikmati pernikahan tersebut. Aku tahu kau begitu bangga menjadi istri dari seorang Langit Samudra. Kau melakukan semua ini untuk membalasku dan Jemmy."

"Aku bukan kau, Jelita. Kau lupa?"

Kedua tangan Jelita sudah terkepal. Siap melayang ketika keberadaan Riana di dekat mereka segera menghentikan niatnya.

'Jika kau menyentuh sehelai pun rambut istriku, aku tak hanya akan memastikan tangan yang gunakan patah, Jelita. Sebaiknya pikirkan itu jika masih saja bertingkah seperti anak kecil yang cemburu pada adiknya bayinya.'

Ancaman Langit kembali terngiang di benaknya. Pria itu tak pernah main-main dengan ancaman yang dilontarkan. Langit bahkan membakas gudang anggur milik Gadis karena sang adik yang dengan otak udangnya berusaha membantah perintah pria itu.

"Lagipula ... apa kau yakin Jemmy tahu aku menikah dengan Langit?" Pertanyaan tersebut sempat membuat Jelita terkejut. Sebelum kemudian Gadis berjalan melewati sang kakak dan harus ke rumah. Sayang sekali ruang kerjanya ada di rumah, pun tak sepenuhnya disayangkan karena berkas-berkas yang ada di sana tidak ikut raib. Sangat beruntung hanya salinannya yang ada di sana.

"Gadis." Gadis berhenti oleh suara panggilan dari arah halaman rumah. Sungguh, apa paginya harus sememuakkan ini?

Jemmy yang baru saja melompat turun dari mobil lekas menghampiri Gadis dan langsung memegang lengan wanita itu.

"Lepaskan, Jemmy." Gadis memelintir lengannya dengan kasar.

"Kau sudah menikah? Dengan Langit Samudra dan kenapa aku tak pernah tahu?"

"Kenapa kau harus tahu?"

"Aku dan Jelita akan segera bercerai."

"Aku tak peduli dengan urusan kalian berdua."

"Kami tak pernah bahagia dalam pernikahan tersebut."

"Oh ya? Kau kesulitan mencintainya?"

Jemmy mengangguk dengan tanpa keraguan sedikit pun.

Gadis mendengus. "Rupanya mencintainya lebih sulit dibandingkan menidurinya, ya?"

"Kau tahu itu hanya kecelakaan, Gadis. Setelah sejauh ini, apakah kau masih belum bisa memaafkanku?"

"Dan setelah semua ini, apakah kau masih mengharapkan maafku?"

Jemmy kembali mengangguk dengan mantap.

Kepala Gadis rasanya semakin berdenyut.

"Setiap kali bertengkar dengan Jelita, kau tahu kenapa aku tak pernah kemari?"

Gadis benar-benar tak bisa mendengarkan lebih dari ini.

"Kau ingat apa yang kaukatakan di hari itu? Di malam pernikahanku dan Jelita."

Kepala Gadis menggeleng, bukan karena tak ingat. Tetapi ia tak butuh mendengarkan lebih banyak.

"Karena kau tak ingin melihat wajahku agar kau bisa memaafkanku."

Sekarang kau muncul di hadapanku." Kali ini Gadis menyentakkan pegangan Jemmy lebih kuat. Jemmy tentu saja tak menyerah, hendak kembali mempertahankan wanita itu hingga Riana muncul dan segera menghentikan pria itu.

"Siapa kau?"

"Siapa kau?" Riana mengulang pertanyaan yang sama saat Gadis berjalan masuk ke dalam rumah.

"Aku bagian keluarga ini."

Kedua alis Riana bertaut, mengamati penampilan Jemmy dari atas hingga ke bawah. "Aku seperti mengenalmu."

"Jemmy?" Kali ini Jelita yang berjalan mendekat, menghampiri sang suami dengan delikan tajam. "Apa yang kau lakukan di sini, hah? Aku sudah bilang, jangan pernah datang ..."

"Kau tahu Gadis sudah menikah?"

"Urusan Gadis sudah bukan urusanmu lagi."

"Kau tahu dia menikah dengan atasanku? Tuan Langit Samudra. Kau tahu dia atasanku, kan?"

"Terutama yang satu itu." Jawaban Jelita terdengar ringan. Berbanding terbalik dengan emosi yang menggebu dari Jemmy.

Jemmy menggeram. "Kau sengaja merahasiakan ini dariku?!"

Jelita mendengus, sambil menyilangkan kedua lengan di depan dada dan dagunya terangkat angkuh. Sama sekali tak terpengaruh dengan kemarahan Jemmy. "Aku hanya ingin melindungi perasaan suamiku. Dia melakukan semua ini untuk membalas perselingkuhan kita berdua."

"Perselingkuhan? Kau yang menjebakku."

Jelita mendecakkan lidah. "Apa itu yang kau katakan saat kita selesai berbagi keringat? Aku benar-benar kehabisan kata-kata pada otaku dang Gadis jika dia percaya itu."

"Kau mempermainkanku, kan?"

"Sayang sekali permainan itu harus membuat anak kita ikut bertanggung jawab dengan keberengsekanmu."

"Aku ingin bercerai."

Jelita kembali mendengus. "Memangnya apalagi yang bisa kudapatkan darimu."

Jawaban Jelita membuat Jemmy geram bukan main.

"Permainannya membosankan. Seharusnya kau lebih berengsek lagi, Jemmy. Bukan pengecut seperti ini." Jelita mengakhiri penghinaannya dan masuk ke dalam rumah.

"Sialan kau, Jelita!" makinya saat Ludy melangkah keluar, dengan tatapan yang segera membuat Jemmy merapatkan mulut.

"Kita harus bicara," ucap Ludy, lalu membalikkan badan dan berjalan menuju ruangannya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top