16. Kehilangan

Part 16 Kehilangan

Langit mencengkeram rahang Gadis, tangannya berusaha mengambil apa pun yang ada di dalam mulut wanita itu. Tetapi terlambat, Gadis sudah menelannya. "Apa yang kau makan?" geramnya dengan wajah yang menggelap.

Gadis tak menjawab, sengaja membungkam mulutnya. Kepuasan tersorot jelas di matanya akan amarah yang berkobar di manik Langit. Mencoba membakar keberaniannya, tetapi sayangnya sudah tak ada lagi yang ditakutkannya.

Langit membungkuk, menjambak rambut Gadis hingga kepala wanita itu terdongak dengan keras. "Kau ingin menggugurkannya?"

Gadis tak akan mengaduh meski lehernya terasa akan patah. Hanya butuh satu patahan, pria itu akan dengan mudah mengakhiri hidupnya. "Kau ingin membunuhku? Lakukan."

Langit mendorong tubuh Gadis ke lantai, cengkeramannya menekan leher wanita itu bersama amarah yang bergemuruh di dadanya.

Gadis bisa merasakan napasnya yang mulai menyempit. Pada awalnya, ia tak peduli dengan kebutuhannya akan bernapas. Ia sudah siap membawa keputus asaannya lenyap bersama nyawanya. Tetapi dengan tekanan Langit yang semakin menguat, benar-benar ingin mematahkan leher dan membunuhnya. Rasa sakit tersebut mulai membuatnya kewalahan dan tak tertahankan. Sampai kemudian kegelapan melenyapkan kesadarannya. Sepenuhnya.

***

"Tak ada reaksi apa pun, Langit. Kau yakin dia menelan sesuatu untuk menggugurkannya?"

Langit menggeram dan tatapannya menusuk tajam pada Riana yang masih duduk di samping ranjang pasien. Memegang alat yang digerak-gerakkan di atas kulit perut Gadis. "Apakah aku terlihat bercanda?"

"Tidak. Tapi kau juga tidak tahu apa yang ditelannya, kan?"

"Dia mengatakan nyawa anakku tergantung nyawanya."

Riana mengangguk paham. "Tapi tidak ada kontraksi maupun pendarahan yang menandakan janinnya berada dalam bahaya. Selain kekerasan yang kau lakukan padanya."

Langit menatap lebam di leher Gadis. Untuk sejenak, ia memang berniat membunuh wanita itu. Akan tetapi, begitu tubuh Gadis kehilangan kesadaran. Cengkeramannya terlepas dan satu-satunya hal yang harus dilakukannya adalah membawa wanita itu ke rumah sakit.

"Lalu untuk apa dia melakukan semua drama konyol ini jika bukan untuk membunuh anakku, hah?" Langit mulai kehilangan kesabaran.

Riana mengedikkan bahu. "Kita akan menunggu."

"Menunggu janin itu mati lagi?"

"Tak ada yang bisa kita lakukan, Langit. Dokter juga sudah menguras isi perutnya, kita memang harus menunggu hasil labnya." Riana kembali menatap layer di depannya. "Janinnya berusia 6 minggu, memang masih rentan tetapi sekarang dia baik-baik saja."

Kedua tangan Langit mengepal. Terutama ketika Riana selesai menjelaskan keadaan kandungan Gadis dan mengamatinya. "Perasaanku saja atau kau merasa dipermainkan, Langit?"

***

Dan benar saja, Gadis memang mempermainkannya. Hasil lab yang ditunjukkan Riana hanya mengafirmasi pertanyaan wanita itu.

"Sekarang kita tahu, dia melakukan semua ini untuk drama konyolnya. Tapi apa pun itu, sekarang dia tahu. Seorang Langit Samudra memiliki kelemahan."

Langit meremas lembaran tersebut. "Beraninya dia."

"Sudah setahunan kau menikahinya, Langit. Dengan semua ancaman dan tekanan emosi maupun secara fisik. Bisa jadi, selama ini dia diam dan menerima semuanya, untuk mempelajari dan menemukan celah mencari kelemahanmu. Lalu menggunakannya untuk melawanmu."

"Katakan saja intinya, Riana. Aku tak butuh petuahmu."

"Ya, kau tak butuh." Ada sindiran dalam penekanan kata-kata Riana.

Mata Langit memicing.

"Sekarang, apa yang kau inginkan?"

"Anak itu baik-baik saja."

"Dia baik-baik saja, seperti yang kau inginkan. Kau puas?"

Langit terdiam, tetapi jawaban dari pertanyaan Riana adalah tidak. Kehamilan Gadis masih tak memberinya kepuasan.

"Kau menikahinya karena ingin menghukumnya, kan? Membuatnya membayar nyawa anakmu yang dibunuhnya. Hanya saja, jangan sampai hal ini menjadi bumerang untukmu sendiri, Langit."

"Tidak akan."

"Lalu cara apa yang akan kau gunakan? Menyakiti dirinya sama saja kau menyakiti darah dagingmu yang ada di perutnya. Kau sudah mempertimbangkan jalan yang satu ini?"

"Kau pikir aku tak mempertimbangkannya?" sergah Langit merasa jengkel. "Aku sudah mempertimbangkannya setahunan ini sebelum memutuskan untuk sengaja menghamilinya."

Riana hanya manggut-manggut pelan. Ya, selama ini bukannya mereka tak tahu kalau Gadis melakukan kontrasepsi, dan itu memang dibutuhkan dengan kesiapan emosi yang memaksa wanita itu siap menghadapi kehamilan selanjutnya.

Mereka pikir, waktu setahun cukup untuk mempersiapkan Gadis. Menaklukkan Gadis untuk jadi istri yang patuh dan penurut. Menunggu wanita itu pasrah akan nasibnya sebagai seorang Gadis Samudra.

"Kita pikir pengkhianatan keluarganya akan membuatnya merasa bahwa anak dalam kandungannya adalah satu-satunya keluarga yang akan dimilikinya yang tak akan mengkhianatinya. Tapi ... sepertinya dia lagi-lagi membuat kita salah tebak, Langit."

Wajah Langit mengeras.

"Kenapa kau tak coba memikirkan cara yang lain?"

"Dan kau pikir aku ingin direpotkan dengan cara lain selain kekerasan?"

"Ya, lakukan itu." Riana mengangkat kedua tangannya, tanda menyerah. "Bakar saja sekalian perkebunannya, sepertinya hanya itu satu-satunya hal yang dia miliki."

"Apa?" Langit tampak memikirkan lebih dalam kalimat Riana. "Perkebunan?"

Riana membeku. Menatap keseriusan yang mulai menyelimuti wajah Langit. "Aku tahu kau gila, Langit. Tapi ini ..." wanita itu kehilangan kata-kata saat Langit menyeringai. Seketika menyesali celetukannya. Setidaknya ia masih memiliki sedikit nurani di hatinya.

***

"Kau begitu menginginkannya." Suara Gadis terdengar lemah, tetapi sama sekali tak mengurangi kebencian yang tersirat dalam tatapan wanita itu. Begitu Gadis sadar dan Riana memastikan kandungan wanita itu baik-baik saja. Langit langsung membawa Gadis keluar dari rumah sakit dan pulang ke rumahnya. Seharusnya mereka kembali ke rumah orang tuanya agar mamanya bisa melakukan sesuatu untuk memperbaiki tingkah Gadis, tetapi sepertinya sekarang bukan saat yang tepat.

Langit tersenyum. "Kau berpikir akan menggunakanya untuk mengancamku?"

"Tidak boleh?"

Langit terkekeh. "Dan kau berpikir akan memenangkan permainan ini?"

"Tidak. Tapi setidaknya kau tak akan memenangkannya dengan cara yang mudah."

Kali ini kekehan Langit berubah menjadi tawa geli. "Sekarang aku mengerti, kenapa Jelita sangat membencimu. Kau begitu keras kepala. Lebih bebal dari yang kuperkirakan."

Kata-kata Langit kali ini berhasil memucatkan raut wajah Gadis. Tangannya yang mengepal kuat terangkat dan melayang di udara. Namun tamparannya tak pernah mendarat di pipi Langit. Pria itu menangkap telapak tangannya, kemudian membawanya ke bibir dan mendaratkan satu kecupan di punggung tangan.

Gadis meronta, menolak ciuman itu dengan sia-sia karena kekuatan Langit yang tak akan bisa ia tandingi.

"Sekarang kau sudah tak memiliki ketakutan apa pun, ya?" senyum Langit bergerak lebih tinggi. "Kau berpikir sudah kehilangan semua yang kau miliki. Kemarahan dan kekecewaan yang membutakan hatimu, membuatmu merasa tak memiliki apa pun."

Gadis berusaha menarik tangannya, tetapi tarikan Langit lebih kuat. Membawa tubuhnya ke atas pangkuan pria itu hanya dengan satu sentakan yang kuat. Saat ia menyadari, kedua lengannya menyilang di perut dengan posisi memunggungi Langit. "Lepaskan, Langit."

Langit semakin merapatkan tubuh mereka. Wajahnya tenggelam di cekungan leher Gadis. "Sudah sejauh ini, kenapa kau masih tidak terbiasa dengan pernikahan kita, istriku?"

"Aku tak pernah menginginkannya, tetapi setidaknya aku sudah terbiasa dengan keberengsekanmu."

Langit terkekeh, dengan gemas menggigit daging kenyal di sana yang membuat Gadis terkesiap kaget. Ya, tubuh wanita itu selalu patuh padanya meski sang pemilik tak berhenti mencoba mengingkari penaklukkan tersebut.

Gadis menggeliatkan tubuhnya lebih kuat lagi. Namun seketika menyadari itu adalah keputusan yang salah saat merasakan sesuatu di bawahnya mulai mengeras.

"Kau menggodaku."

Gadis berhenti meronta. Matanya terpejam, meredam amarah yang menggeliat ingin diluapkan di tengah ketidak berdayaannya. Sampai kemudian keheningan tersebut dipecahkan oleh suara ponsel miliknya.

"Ponselmu." Langit melepaskan kedua lengan Gadis dan menggenggamkan ponsel di telapak tangan sang istri.

Gadis tercenung, firasat buruk segera menyergap dadanya melihat ponsel miliknya. Langit membawanya dalam keadaan pingsan, bagaimana mungkin benda ini ada bersamanya? Nama penanggung jawab gudang muncul sebagai pemanggil.

"Angkatlah," bisik Langit di telinganya. "Tampaknya panggilan penting."

Kepucatan seketika merebak di seluruh permukaan wajahnya. Tangannya terlalu kelu untuk bergerak, tetapi Langit menggeser tombol hijau untuknya dan menempelkan ponsel tersebut di telinganya. Mendengarkan kabar buruk di seberang yang seketika meluruhkan seluruh kekuatan di tubuhnya.

"Kenapa kau terlihat seperti kehilangan sesuatu, istriku?" Nada suara Langit terdengar sedih yang dibuat-buat.

Genggaman tangan Gadis melonggar dan ponsel tersebut jatuh ke bawah, tepat di samping kaki Langit. Ia bisa merasakan senyum Langit melengkung di lehernya. "I-ini perbuatanmu?"

"Apa?"

"K-kau membakar gudangku?"

"Kenapa? Kau memang sudah tak memiliki apa pun, kan? Tak seharusnya kau juga merasa kehilangan, bukan?"

Air mata Gadis meleleh. Gadis pikir ia telah kehilangan semuanya, tetapi ia salah besar.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top