15. Tak Ada Yang Bisa Dipercaya

Part 15 Tak Ada Yang Bisa Dipercaya

Gadis benar-benar merasa jengah dengan sikap Langit yang satu ini. Seolah belum cukup dengan Aaraf yang bertugas untuk mengawasinya, sekarang pria itu memastikan Riana mengekor ke mana dirinya pergi. Hanya karena curiga dirinya akan dengan sengaja menggugurkan kandungannya.

Tapi Gadis pun tak bisa banyak berkomentar. Setidaknya pria itu mengijinkannya pergi ke perkebunan meski bukan untuk pekerjaan. Ia butuh bicara dengan sang ayah.

Riana mengulurkan botol air mineral yang sudah dibuka sebelum Gadis melompat turun dari mobil. Langsung menghilang dari pandangannya dalam hitungan detik.

Riana hanya mendesah pelan, gegas menyusul Gadis masuk ke dalam rumah bertingkat di tengah perkebunan tersebut. Setidaknya suara langkah kaki yang bergema memberinya petunjuk ke mana harus pergi. Ia melintasi lorong dan berhenti di samping pintu yang setengah terbuka. Mencoba untuk tak mendengarkan percakapan pribadi di antara ayah dan putri tersebut.

"Siapa kau?" Seorang wanita yang Riana yakin adalah kakak Gadis, Jelita Evander berjalan mendekatinya.

"Riana." Senyumnya melengkung sopan.

"Sekarang kau yang jadi asisten pribadi Gadis?"

"Ehm, semacam itu."

Jelita mendengus tipis dan berkata, "Menjauhlah. Ini urusan keluarga."

Riana tetap tak bergeming saat Jelita menyusul masuk. Berusaha tak mendengarkan pertengkaran yang terdengar cukup keras. Hingga Gadis baru saja keluar dari ruangan tersebut dan Jelita menyusul dengan jambakan di kepala.

Riana segera mendekat dan berusaha melepaskan pegangan Jelita di kepala Gadis. "Lepaskan."

"Jangan ikut campur!" delik Jelita, menggunakan tangannya yang lain untuk mendorong Riana menjauh. "Pergi atau aku akan mengurusmu lebih dulu."

Riana tersenyum, pegangannya di tangan Jelita semakin kuat dan berusaha melepaskan cengkeraman wanita itu dari tangan Gadis. "Ya, kau memang harus mengurusku lebih dulu sebelum menyentuhnya."

Mata Jelita semakin membulat sempurna, melakukan perlawanan dengan mengerahkan tenaganya melawan Riana sekaligus menyakiti Gadis. Aksi saling dorong, pukul, dan jambakan pun tak terhindarkan. Hingga sang ayah menarik tubuhnya menjauh dan Riana membawa Gadis yang entah bagaimana tampak limbung ke samping. Kemudian jatuh ke lantai dengan kepala berada dalam pelukan Riana. Kepuasan tersirat dalam tatapannya. Terutama melihat rambut Gadis dan Riana yang berantakan.

"Apa yang kau lakukan, Jelita?!" bentak Ludy marah. "Kembali ke kamarmu dan jangan keluar."

Jelita sama sekali tak peduli dengan hukuman tersebut meski ia kesal karena bukan anak kecil lagi. Kenapa sang adik selalu mendapatkan yang terbaik, itulah yang membuatnya selalu merasa kesal dan tak tahan.

Ludy membawa sang putri ke ruang tengah dan membaringkannya di sofa panjang. Sementara Riana menyuruh pelayan untuk membawakan minyak kayu putih. Setelah beberapa saat dan Gadis mulai sadar, Riana pergi ke dapur dan mengambil segelas air putih hangat di dapur.

"Pusing?"

Gadis menggeleng, meletakkan sisa air hangat di meja dan menatap sang ayah yang berdiri di ujung sofa. Tak ada sepatah kata pun yang dikatakan sang ayah, juga tak ada yang ingin ia dengar maupun katakana. "Aku ingin kembali," ucapnya pada Riana dan bergerak turun. Berjalan menuju pintu utama. Menahan rasa pusing di kepala bersama hatinya yang terkoyak.

Satu pertanyaan yang tak bisa dijawabnya, 'Apakah ia akan kembali ke tempat ini?'

Sementara tak ada satu pun alasan yang akan membawa langkahnya ke tempat ini lagi. Bahkan jika itu untuk keluarganya. Satu-satunya alasan ia tak berdaya oleh ancaman Langit ketika menikahinya.

***

"Sejak pulang dari perkebunan, ia hanya berbaring."

"Sudah makan?"

Riana menggeleng.

Wajah Langit seketika mengeras. "Dia tak sengaja menggunakan alasan itu untuk niat tertentu pada anakku, kan?"

"Apa pikiran burukmu memang setajam itu?" gumam Riana tak membutuhkan jawaban. "Tidak bisakah kau lebih memperhatikan emosinya."

"Aku tidak melakukan hal semacam itu."

"Ayahnya mengkhianatinya, kakaknya membencinya. Menurutmu apalagi yang akan membuatnya ketakutan menghadapimu?"

Ketajaman dalam tatapan Langit membuat Riana merapatkan mulut. Hanya untuk sejenak, tetapi kali ini Aaraf yang bersuara. "Dan dia tak menyukai kehamilannya."

"Apa maksudmu?"

"Aaraf sedikit mencondongkan tubuhnya ke depan. "Maksudku, kenapa kau tiba-tiba menikahinya? Kau ingin

"Dan kau mempertanyakannya sekarang?"

"Aku mempertanyakannya satu tahun yang lalu. Aku yakin serratus persen kau akan menolak tawaran tuan Evander, tapi tiba-tiba kau mengejutkanku dengan persetujuanmu. Dan sekarang, aku masih merasa penasaran."

"Kenapa kau mempertanyakannya jika kau tak perlu tahu jawabannya? Bukan urusanmu." Langit mendengus. Ck, sejak mengetahui bahwa Gadislah yang menjadi ibu pengganti dalam program bayi tabungnya, tentu saja semua rencananya berubah. Sampai mengetahui Ludy Evander yang bertanggung jawab atas kesalahan tersebut, membuatnya semakin tertarik pada Gadis. Melebihi ketertarikannya pada malam itu.

"Tentu saja itu perlu tahu, aku yang mengurus semuanya."

"Kau dibayar untuk melakukan tugasmu. Apa kau ingin mengundurkan diri?"

Aaraf tak membalas. Kembali menegakkan punggungnya.

"Apa kita akan membawanya ke rumah sakit?" Riana kembali bersuara.

Langit mengangguk. Bahkan jika harus menyeret Gadis.

"Oke." Riana bangkit berdiri dan mengambil tasnya. "Aku akan menyiapkannya. Jam berapa kalian sampai?"

Langit tak repot-repot menjawab, melirik sang adik.

"Tak sampai lima menit setelah kau sampai."

Riana mengangguk singkat dan berjalan keluar. Berpapasang dengan Kayla yang baru saja keluar dari area dapur.

"Kenapa istrimu belum keluar? Meja makan sebentar lagi siap."

Langit beranjak, "Kami tak akan bergabung di meja makan."

Kayla mengernyit, menatap sang putra yang berjalan menuju kamar tamu. Lalu menatap Aaraf. "Ada masalah?"

"Tidak ada, tante."

Kayla berjalan mendekat, tatapannya menelisik Aarfa lekat-lekat. "Apakah aku perlu turun tangan?"

Aaraf menggeleng. "Tante hanya perlu melakukan apa yang diinginkan Langit untuk membimbingnya menjadi bagian keluarga ini. Riana yang akan bertanggung jawab untuk kehamilannya."

Kayla tampak tak terima. Tentu saja ia lebih suka ikut campur lebih dalam rumah tangga Langit. "Langit tak pernah membawanya ke tempat umum, bukankah itu artinya dia tak layak menjadi bagian keluarga ini. Ya, melihat dari mana asalnya, tak mengherankan Langit membawanya."

"Bukan tak layak. Tapi Langit tak suka berbagi kesenangannya dengan siapa pun."

Senyum Kayla membeku, menatap anak haram suaminya dengan lebih tajam. Tak ada lagi kelembutan dan kehangatan yang selalu tampil sempurna di wajahnya. Dengusan tipis lolos di antara celah bibirnya. "Kau memang mirip ibumu."

Aaraf hanya memberikan seulas senyum tipisnya. "Langit membeli perkebunan strawberry milik saudaranya karena melihat nilainya yang tak bisa disepelakan. Perkebunan anggurnya lebih tak bisa dipandang sebelah mata," tambahnya kemudian mengangguk sekali dan berjalan pergi.

Tatapan Kayla menajam, menatap punggung Aaraf yang berjalan keluar ke pintu utama. "Kesenangan, hah?" dengusnya lagi.

***

"Bangun." Langit menarik lengan Gadis hingga terduduk. "Bersiaplah, kita ..."

"Aku tak ingin ke mana pun."

"Saat aku menyuruhmu berdiam di rumah, kau memohon ingin pergi. Dan sekarang aku menyuruhmu pergi ..."

Gadis menyentakkan pegangan Langit. "Tidak bisakah kau membiarkanku saja?"

Langit menyeringai. "Tidak," jawabnya kemudian membungkuk dan hendak membawa tubuh Gadis di pundaknya.

"Aku akan bersiap," kesal Gadis melompat turun sebelum lengan Langit berhasil melingkar di pinggangnya.

"Dua menit." Langit menyeringai dan duduk bersandar di tiang ranjang menatap Gadis yang berjalan ke kamar mandi.

Tepat di detik ke 120, pria itu membuka pintu kamar mandi dan menemukan Gadis yang masih duduk di atas penutup toilet.

"Apa yang kau lakukan?!" bentak Gadis dan cepat-cepat mengusap mata.

"Waktumu habis." Mata Langit menyipit, menatap basah di sekitar mata wanita itu. "Kau menangis?"

Gadis berbalik dan berdiri di depan wastafel, segera membasahi wajahnya dengan air dingin. Tidak bisakah keberengsekan pria itu berada di saat yang tepat? Suasana hatinya masih begitu buruk, tubuhnya terasa lemah dan belum pernah ia merasa tak ingin melakukan apapun seperti saat ini di seumur hidupnya. Tapi itu memang pertanyaan yang tolol. Langit memang terberengsek dari yang paling berengsek.

"Aku sudah bilang, kan. Tak ada siapa pun bisa dipercaya."

Gadis mendengus, membalas tatapan Langit di cermin. "Termasuk kau dan diriku sendiri."

Langit tersenyum. "Sekarang kau belajar banyak."

Gadis berbalik, menatap lurus mata Langit yang berkilat licik. "Kau akan membawaku ke rumah sakit?"

Langit tak menjawab, senyum pria itu tiba-tiba membeku ketika menyadari sesuatu. Dan ketika melompat ke arah Gadis, wanita itu sudah memasukkan apa pun itu yang ada di tangan ke dalam mulut.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top