13. Penjagaan

Part 13 Penjagaan

Suara ketukan di balik pintu menahan Langit yang sudah siap dibakar gairah, dan siapa yang mengganggu kesenangannya? Bukankah semua orang sudah cukup bersenang-senang, waktunya dirinya sendiri untuk mendapatkan kesenangannya.

Langit menarik dirinya turun dari tempat tidur sementara Gadis berguling ke semping. Memunggungi arah pintu dan menyembunyikan ikatan tangannya di balik selimut.

“Ada apa?”

“Mama mendengar suara …” Kayla membelalak ketika melihat pecahan vas di antara kaki sang putra. “Apa itu?”

“Gadis hanya tak sengaja menabraknya. Kepalanya pusing dan butuh istirahat.”

Kayla menatap ke arah tempat tidur. “Mama akan membuatkan teh untuknya.”

“Tidak perlu. Yang dia butuhkan hanya berbaring di atas ranjang.” Tentu saja dengan arti yang berbeda dengan yang ditangkap sang mama. “Apakah ada hal lain?”

Kayla menggeleng. “Ya, kalian istirahatlah. Besok pagi mama akan menyiapkan sup daging untuknya. Dia terlihat lebih kurus sejak terakhir kali datang ke rumah ini.”

“Hmm, hanya masalah wanita dengan dietnya.”

“Dia sedang hamil, tentu saja tidak boleh terlihat kurus.”

“Aku akan mengurusnya.”

Kayla mengangguk dan berbalik pergi. Kali ini Langit mengunci pintunya saat melihat sang istri yang sudah tidak ada di tempat tidur. Pintu kamar mandi tetap tertutup rapat, tetapi jendela gorden kamarnya yang tertiup angin cukup menjelaskan sang istri tengah berusaha mencari masalah dengannya.

Bibirnya menipis keras. Melompat keluar dari jendela ketika melihat Gadis yang berbelok ke samping rumah. Melewati tepi kolam renang dan berlari menuju gerbang utama. 

“Kembali, Gadis.”

“Tidak!” teriak Gadis yang perlu berlari agar tak tertangkap Langit yang berjalan santai di belakangnya. Kaki pria itu memang lebih panjang, tentu saja ia harus berusaha dua kali lipat. “Biarkan aku sendiri!”

“Tengah malam, di jalan sepi seperti ini dengan tangan terikat.”

“Lebih baik daripada harus kembali ke tempat itu dan menjadi boneka pemuas nafsumu.”

“Kembali. Sekarang,” perintah Langit lagi penuh dengan penekanan.

“Atau apa?”

“Kau tak sedang berpikir aku tak bisa menyeretmu kembali, kan?”

“Ya, aku memang. Lakukanlah. Agar semua orang bisa melihat keberengsekanmu.”

“Hanya kau yang berpikir kalau tak ada orang yang tahu keberengsekanku, sayang.”

Gadis tak tahu lagi harus mengatakan apa.

“Kau pikir mamaku pergi karena percaya omong kosongku?” dengus Langit mengejek. “Ayolah, siapa yang percaya jawabanku saat mendengar kau membanting vas itu ke pintu.”

Langkah Gadis seketika terhenti. 

Langit tertawa kecil. “Tentu saja mereka semua tahu bagaimana kau menjadi istriku? Dan betapa tidak relanya kau menjadi bagian dari keluarga kami.”

Tubuh Gadis berputar, menatap Langit yang tersenyum geli. “Apa maksudmu?”

“Ck, masih butuh penjelasan yang detail?”

Gadis terdiam.

“Kau ingin berjalan dengan kakimu atau …”

Gadis menggeleng. “Seharusnya aku memang tak terkejut, kan? Kau dan keluargamu sama saja.”

Bibir Langit menipis.

“Untuk apa kau membawaku ke sana, hah? Aku tak pernah sukarela menjadi istrimu, jadi tak seharusnya aku juga perlu ada di sana.”

“Ya, disanalah letak masalahnya. Mamaku akan mengajarimu untuk menjadi bagian keluarga kami. Menjadi istri yang patuh dan menyenangkanku untukku. Tidak banyak bicara dan tingkah seperti yang kau lakukan saat ini.”

“Aku tak berniat menjadi istrimu, apalagi menjadi orang yang harus menyenangkan orang egois sepertimu!”

Langit menggeram. Dalam dua langkah besarnya, ia menyambar lengan Gadis dan menyentakkan tubuh wanita itu ke arahnya.

“Lakukanlah.” Dagu Gadis terangkat tinggi. “Pria sepertimu memang tak diharapkan untuk bersikap lembut. Kau tak lebih dari seorang pengecut yang …”

Langit mencengkeram rahangnya, memaksa sang istri menutup mulut. “Bicara lebih banyak hanya akan membuatmu rahangmu kesakitan, cantik.”

Gadis berusaha menggerakkan bibirnya. Dengan tangan yang masih terikat dasi. Tentu saja tak banyak yang bisa dilakukannya. Terutama ketika Langit membungkam mulutnya dengan ciuman yang kasar. Bahkan sengaja membuatnya kehabisan napas, menyiksa paru-parunya.

Setelah puas bersenang-senang, pria itu melepaskan bibirnya dan mengangkat tubuhnya di atas pundak. Membawanya masuk melewati gerbang. Tendangan maupun pukulannya tak berarti apa pun bagi Langit. Dan pria itu benar, ada yang tak beres dengan keluarga ini. Beberapa anggota keluarga yang masih duduk-duduk di sekitar kolam renang, melihat sikap kurang ajar langit dengan pandangan yang biasa. Seolah semua ini memang normal. Membuatnya menahan diri untuk tidak berteriak minta tolong seperti orang tolol.

Begitu mereka sampai di dalam kamar dan lewat jendela. Langit membanting tubuhnya, mengikat tangannya sudah terikat ke kepala ranjang, lalu merobek gaunnya dengan cara yang tak lebih lembut.

*** 

“Pagi.” Sapaan lembut tersebut membangunkan Gadis dari tidurnya. Begitu mata wanita itu terbuka, Gadis terperanjat dan menarik selimut hingga menutupi dada. Ia tak pernah bangun dalam keadaan tidak telanjang setelah menikahi dengan Langit, dan biasanya memang tak ada yang berani masuk ke dalam kamar saat Langit masih tidur.

Riana melengkungkan senyum manisnya, meletakkan nampan berisi piring dengan dua potong sandwich dan gelas susu di nakas.

Gadis mengernyit melihat nampan tersebut sambil melepaskan lengan Langit yang masih melilit pinggangnya. “A-apa ini?”

“Sarapan.”

“Langit tidak pernah sarapan.”

“Ini untukmu.”

Gadis melirik sandwich tersebut. “Aku tak bisa minum susu.”

“Mulai sekarang, kau harus minum susu ibu hamilmu.”

Bibir Gadis segera menipis. Bangun terduduk dengan masih menahan selimut tetap menutupi ketelanjangannya, ia berusaha mendorong Langit yang masih berusaha merapat di tubuhnya. Mengabaikan erangan pria itu karena kenyamanannya diganggu.

“Mau ke mana kau?” Suara serak Langit saat berusaha menenggelamkan wajahnya di perut Gadis. Tetapi karena pemberontakan sang istri kali ini lebih kuat, memaksanya untuk membuka mata dan menemukan Riana berdiri di samping ranjang. “Kau?”

“Aku tak membutuhkan semua ini.” Gadis mendorong nampan tersebut lalu mengambil kain di ujung ranjang untuk menggantikan selimut. “Dan aku tidak hamil. Langit hanya mengatakan omong kosong.”

Langit terkekeh, bersandar pada kepala ranjang dan membiarkan dadanya telanjang saat menahan Gadis yang hendak melompat turun. “Mulai sekarang, dia yang akan mengurus kebutuhanmu.”

“Terima kasih, tetapi aku tak membutuhkannya. Aku bisa melakukan semua kebutuhanku sendiri, dan kalau pun tidak. Ada Noni yang akan …”

“Kau ingin kaki tanganmu itu dipecat?”

Bibir Gadis menipis dan mendesis tajam, “Kau mengancamku?”

Langit mengedikkan bahunya. Melirik pada Riana. “Dia dokter kandungan, jadi dia yang akan menjagamu semua kebutuhan gizimu dan calon anak kita. Juga yang akan memastikan setiap makanan yang masuk ke mulutmu, aman atau tidak.”

“Aku tidak hamil.”

“Menyangkalnya tak membuat kehamilanmu tidak menjadi nyata, Gadis. Terbiasalah.”

Gadis menyentakkan lengan Langit, tetapi karena pegangan pria itu yang terlalu kuat. Tak kehilangan akal, Gadis menurunkan kepalanya dan menggigit punggung tangan pria itu. Hanya satu gigitan, ketika Langit mencengkeram rambutnya dan mendongakkannya.

Langit mendesah. “Dengarkan dia atau aku akan menidurimu di depannya.”

Gadis mendengus. “Kau tidak akan.”

“Kau pikir aku tak bisa?” Langit menyentakkan kemeja di depan dada Gadis. Ujung bibirnya menyeringai ketika kepanikan mulai menggantikan keberanian sang istri dengan cepat. Ancaman yang satu ini selalu berhasil membuat Gadis patuh.

“Y-ya. Ya, aku akan mendengarkannya.” Gadis berusaha menyentakkan tangan Langit di rambutnya. Terpaksa menyerah dengan panik. Kembali meraih kemeja putih pria itu untuk menutupi ketelanjangannya. “A-aku ingin ke kamar mandi dulu.”

Langit melepaskan pegangannya, terkekeh ketika Gadis bergegas menghilang di balik pintu kamar mandi.

Riana mendesah panjang. “Memangnya kau pikir aku akan tetap di sini untuk menyaksikan urusan ranjangmu?”

Langit hanya terkekeh. Melirik nampan di nakas dan berbaring kembali setelah berkata, “Urus semuanya seperti yang kuinginkan. Dia terlalu licik, jadi pastikan kau tak mengalihkan perhatianmu darinya meski hanya sekejap.”

Riana mengangguk. Duduk di tepi ranjang sambil menyilangkan kedua lengannya. “Seperti yang sudah kita sepakati,” senyumnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top