10. Tak Pernah Tahu

Part 10 Tak Pernah Tahu

Noni yang pertama kali menyadari kedatangan Langit, lekas menghampiri Gadis. Menarik lengan Gadis dari Bara dan segera memisahkan jarak di antara mereka tepat ketika Langit muncul. "Tuan Samudra sudah datang," bisiknya nyaris tak menggerakkan bibir.

"Kau baik-baik saja?"

Gadis yang tersadar memberikan satu anggukan singkat, bersamaan dengan rasa sakit yang tiba-tiba menusuk pergelangan kakinya dan tubuhnya terhuyung ke arah Noni. "Auww..."

Bara mendekat lagi, menatap Gadis yang menyentuh pergelangan kakinya. "Sepertinya kakimu terkilir," ucapnya sambil berjongkok dan menyentuh pergelangan kaki Gadis.

"Ada apa ini?!" Suara Langit setengah menggeram kedatangannya disambut dengan pemandangan sialan tersebut. Hanya butuh tiga langkah besarnya untuk menghampiri sang istri.

"Kaki Nona terkilir," jelas Noni dengan segera. Kecemasan tampak jelas di wajahnya menyadari kegelapan yang mulai merebak di wajah garang sang tuan. Dan hanya berarti hal buruk sang sang Nona. Berharap penjelasannya akan sedikit memancing rasa kemanusiaan seorang Langit Samudra.

"Lepaskan tanganmu darinya," perintah Langit rendah, tetapi mampu membuat bulu kuduk siapa pun yang mendengarnya berdiri.

Bara mengernyit, menatap pria tinggi dengan rambut ikal sebahu tersebut dengan penuh tanya. "Siapa kau?"

"Kau tak berhak dan aku tak peduli siapa dirimu. Yang kutahu, kau akan melepaskan tanganmu darinya atau aku akan membuatmu kehilangan kedua tanganmu."

Gadis menahan rasa sakitnya dan menarik kakinya dari Bara. "Aku baik-baik saja, terima kasih sudah berusaha membantuku."

"Kakimu ..." Bara berusaha kembali menyentuh, tetapi niatnya tertahan oleh pegangan Langit di pundaknya.

"Kau tak mendengarnya?"

Bara menyentakkan tangan pria sok jagoan tersebut. Wajahnya tak kalah tegangnya dan siap menghajar wajah arogan tersebut jika dibutuhkan.

Langit mendengus dengan keberanian Bara. Tetapi ia sedang tak berminat meladeni masalah receh karena orang tolol ini. Tangannya terangkat dan sebelum Aaraf bergerak mendekatinya. Gadis menghadang di depannya.

"Pergilah, Bara." Gadis menatap lurus mata Bara dengan permohonan. Tak menambah kata-katanya lebih banyak atau satu kata itu akan digunakan Langit sebagai alasan untuk menyentuh Bara. Pria itu selalu punya ribuan alasan untuk membuat masalah dan bersikap berengsek, bahkan pada orang yang baru dikenal.

Bara tak bergeming. Beralih pada Langit dengan tatapan yang semakin mengeras. Terutama ketika Langit menyeringai padanya, dan dalam satu gerakan sigap, pria itu membungkuk dan menggendong tubuh Gadis. "Apa yang kau lakukan? Ke mana kau akan ...."

"Siapa pun kau, sebaiknya kau tak membuat masalah." Aaraf menahan pundak Bara dan melihat satu-satunya truk pengiriman yang terparkir di halaman gudang tersebut. "Atau kau tak akan pernah menginjakkan kaki di perkebunan ini dan usahamu bangkrut."

"Siapa kau, hah?"

"Orang yang memperingatkanmu, demi kebaikanmu."

Bara menyentakkan tangan tersebut dengan kasar. "Omong kosong," geramnya siap melayangkan kepalan tinjunya pada Aaraf, yang ditangkis dengan mudah.

Aaraf mundur sambil mendecakkan lidahnya saat jasnya harus miring karena gerakan tersebut. "Ck, kenapa aku selalu mengurus hal receh ini," gerutunya sambil memperbaiki letak dasinya. Menatap pria tolol yang tampaknya dipenuhi amarah tersebut. "Lakukan dengan lebih baik."

Noni yang menyadari baku hantam siap dimulai tersebut segera menghadang di antara kedua pria tersebut. Membentangkan kedua lengannya dan menghadap pada Aaraf. "Aku akan memberikan beliau penjelasan. Ini hanya kesalah pahaman."

Aaraf mengernyit dengan kalimat si pelayan ingusan tersebut. Sekarang kekesalannya beralih pada pelayan centil ini.

"Tuan Bara akan segera pergi." Noni memutar tubuh, menarik lengan Bara dan membawa pria itu mendekati truk. "Maaf, Tuan Bara. Tapi saya tak akan membiarkan Anda terluka."

"Apa? Kau mengenalnya?"

Noni menggeleng cepat dengan kedua mata membelalak tak terima. "Tidak, Tuan. Tentu saja tidak. Bagaimana mungkin saya mengenal pria jahat seperti dia."

Mata Bara memicing curiga. "Dan kau membiarkan bos orang jahat itu membawa Gadis begitu saja."

"Ehm, itu ..." Mulut Noni membuka nutup dua kali. "Itu, Nona akan baik-baik saja. Ada tuan besar di rumah."

"Dan siapa mereka?"

Mulut Noni lagi-lagi hanya mampu membuka nutup karena kesulitan untuk menemukan jawaban yang bagus. "Anda harus segera pergi, Tuan. Saya harus segera menemani Nona setelah memastikan Anda baik-baik saja."

Bara menatap Aaraf yang menyeringai padanya. Menahan kegeramannya karena Noni mendorongnya untuk segera naik ke dalam truknya dan segera meninggalkan tempat itu setelah berkata, "Aku akan kembali lebih cepat untuk mendapatkan jawaban yang bagus."

Noni mengangguk dan mundur dua langkah saat truk tersebut meninggalkan halaman gudang. Sata tubuhnya berbalik, wajahnya hampir menabrak dada Aaraf.

"Orang jahat, hah?"

Noni mengangguk dengan mantap. "Apa aku mengatakan kebohongan?"

Mulut Aaraf menganga. "Kau bersikap hormat padanya dan sekarang kau bicara padaku dengan lancang?"

"Kenapa? Apa ada yang salah dengan sikapku? Kau pelayan tuan Langit, kan? Aku juga pelayan nona Gadis. Derajat kita sama." Noni mengangkat dagunya tinggi-tinggi sebelum berjalan melewati Aaraf dengan dengusan sinisnya. Meninggalkan pria itu yang masih tercengang dengan kata-kata Noni.

***

Tubuh Gadis dibanting ke jok belakang, tak mengaduh meski rasa sakit kembali menusuk pergelangan kakinya. Tubuhnya digeser ke samping saat Langit menyusul masuk. Membanting pintu mobil dengan keras saat sopir mulai menyalakan mesin dan meninggalkan halaman rumahnya.

"Siapa dia?"

"Bukan siapa-siapa," balas Gadis menggeser tubuhnya hingga menyentuh pintu mobil. Mencoba membentangkan jarak sejauh mungkin dengan pria itu.

Langit tentu saja tak terima dengan jawaban tersebut, melirik tangan Gadis yang memegang pergelangan kaki. "Beruntung aku sedang tak ingin mematahkan kaki siapa pun. Berikan jawaban yang bagus, My dear?"

"Bukan siapa-siapa." Gadis menoleh dengan kasar. "Memangnya jawaban apa yang kau inginkan, hah?"

"Aku tak pernah melihatnya di antara pekerjamu yang lain. Juga semua sopir-sopirmu."

"Anak buahmu pasti melewatkannya. Kau harus menghajar siapa pun itu yang memberikan laporannya padamu."

Langit menyentakkan lengan Gadis hingga tubuh sang istri pindah di atas pangkuannya. "Bukan jawaban yang bagus," desisnya menangkap rahang Gadis dan menghadapkan wajah sang istri ke arahnya.

"Atau mungkin bertindak arogan dengan mematahkan kedua tangannya hanya karena dia lebih manusiawi karena membantuku yang kesakitan," lanjut Gadis dengan keberanian yang tak pernah ia sesali meski harus mendapatkan sikap kasar sebagai bayarannya. "Aku tak akan terkejut jika kau melakukan keduanya, Langit. Orang jahat selalu mendapatkan apa yang diinginkan dan bertindak sesukanya seperti anak kecil."

Bibir Langit mengeras. Jawaban pedas sang istri selalu berhasil berhasil membuatnya disulut amarah. Dan tepat itulah yang diinginkan sang istri darinya. Namun, kali ini ia sedang tak berniat bersilat lidah dengan cara seperti ini. Ia ingin beradu lidah dengan cara yang lain.

Pegangan Langit berpindah pada belakang kepala Gadis, membawa mulut lancang tersebut ke bibirnya. Gadis meronta, tetapi rontaannya tak pernah berakhir seperti yang wanita itu inginkan. Tangannya yang lain merobek bagian depan baju Gadis, yang membuat rontaan tersebut semakin liar.

"H-hentikan, Langit." Tangan Gadis berusaha mendorong kedua pundak Langit saat pria itu memberinya kesempatan untuk mengambil napas di tengah lumatan panjang tersebut. "J-jangan di sini."

Langit kembali menangkap kepala Gadis dan terkekeh tepat di depan telinga Gadis. "Kenapa? Kau yang menggodaku dengan mulut manismu itu dan sekarang kau bersikap sok jual mahal?"

Gadis meringis merasakan jambakan Langit di belakang kepalanya. Tubuhnya kembali menunjukkan perlawanan, pun pada akhirnya tak mampu menolak kegilaan Langit di dalam mobil tersebut. Menarik kakinya hingga terbuka untuk pria itu. Melayani pria itu di mana pun dan kapan pun pria itu ingin. Setahun pernikahan, tak ada yang berubah dari dirinya maupun pria itu. Hatinya masih dipenuhi kebencian yang semakin merasuk ke dalam tulang sumsumnya. Begitu pun dengan keberengsekan Langit yang semakin menjadi-jadi.

Gadis tak pernah tahu, kapan penderitaan tersebut akan berakhir.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top