1. Salah Rahim

Part 1 Salah Rahim

Plaakk …

Tamparan keras tersebut mengenai dokter muda yang tertunduk dalam. Tubuhnya gemetar ketakutan, lebih sanggup menghadapi rasa sakit yang menghantam wajahnya dibandingkan ketakutan yang membuat seluruh tubuhnya bergetar hebat. Di hadapannya, berdiri seorang Langit Samudra. 

Ujung bibir dokter tersebut robek, tampak darah menetes di sana. Membuat pria yang berdiri tak jauh dari keduanya hanya mampu menghela napas. Biasanya ia akan menahan sang tuan jika memang sudah berlebihan, tetapi kali ini kesalahan perempuan itu memang sangat fatal. Bahkan ia tak akan membela meski dokter itu seorang wanita.

Bagaimana mungkin seorang dokter melakukan kesalahan sebesar dan setolol ini. Salah mengenali seseorang dan memberikan sperm* seorang Langit pada sembarangan orang. Bukan pada seseorang yang jelas-jelas sudah diseleksi oleh pria itu dengan sangat teliti. Sudah memperhitungan semua resiko dan masalah yang mungkin akan timbul di masa depan.

‘Kenapa kau tidak menikahi seseorang saja dan membiarkan semuanya berjalan dengan alami.’

‘Aku tidak tidur dengan sembarangan perempuan dan aku tak suka tidurku diganggu.’

‘Ada beberapa konsep pernikahan, salah satunya dengan pisah ranjang. Kenapa bukan cara …’

‘Sudah kubilang aku tak suka direcoki dengan yang namanya perempuan, terutama istri.’

Ia bersumpah tak akan kembali mempertanyakan keputusan Langit yang satu ini mengingat jawabannya yang tak akan berubah.

“Siapa nama perempuan itu?” Ujung mata Langit melirik pria muda yang berdiri tak jauh dari posisi mereka. Senyum khas menyiratkan seringai yang tajam.

“Gadis.”

“Seorang gadis, seharusnya aku tahu dia memang seorang gadis. Tak mungkin pria, kan?”

“Namanya Gadis. Putri Evander.”

“Aku pernah mendengar nama itu."

“Evander. Pemilik lahan yang baru saja Anda beli. Putrinya yang bertanggung jawab atas perkebunan anggur milik beliau.”

Kepala Langit menoleh dengan kemarahan yang seketika berubah menjadi ketertarikan. Seringai melebar dan matanya berkilat dengan licik. “Gadis yang itu?”

Aaraf mengangguk. “Gadis bodoh yang telah berani …” Pria itu tak berani melanjutkan kalimatnya. Sang tuan tahu dengan sangat jelas. Tak mungkin kejadia memalukan itu terlupakan begitu saja.

“Apakah itu artinya dia akan mengandung anakku?” Tatapan Langit beralih pada sang dokter. Yang mengangkat kepala dengan perlahan. Menatap sang tuan dengan ketakutan yang berubah menjadi keheranan.

“Hmm?”

Dokter tersebut mengangguk. “Kemungkinan besar.”

“Kapan?”

“Sudah satu bulan sejak proses pembuahan terjadi.”

“Aku butuh kepastian. Apa sekarang dia hamil? Anakku?”

Dokter tersebut mengerjap dengan tatapan tajam Langit, menelan ludahnya yang terasa lebih pekat dan mengangguk. Kalaupun gagal, sepertinya dia akan bunuh diri.

Langit terbahak. Suaranya memenuhi ruangan serba putih tersebut. Saat tawanya berhenti, pria itu menatap sang dokter. “Temui dia dan perbaiki kesalahanmu.:

Sang dokter mengangguk. Tak punya pilihan lain jika masih ingin hidup.

“Pergi,” usirnya kemudian pada si dokter. Memberikan seluruh perhatiannya pada Aaraf, lebih besar dari yang mendadak ia inginkan. “Bukankah sekarang perkebunan itu milikku?”

“Perkebunan strawberrynya, ya.”

“Bukan yang anggur?” Salah satu alis Langit terangkat. Ada kecewa yang tersirat di ujung bibirnya.

Aaraf menggeleng.

Seringai Langit bergerak naik, sedikit lebih tinggi. “Kau bisa membelinya juga?”

Mata Aaraf melebar. Kali ini tatapannya tak lagi menyorotkan seorang bawahan pada atasannya. “Kau ingat tuan Evander menjualnya padamu karena terpaksa, kan? Dia mencintai kebun itu seperti anak-anaknya. Hanya itu yang tersisa, kau pikir dia akan memberikannya padamu?”

Langit terkekeh, sebelum kemudian tatapan tajamnya berubah menjadi ancaman. “Kalau begitu aku tidak akan bertanya. Buat itu juga menjadi milikku, Adik.”

Aaraf melebarkan mata, tetapi kata-katanya membeku di ujung lidah. Keinginan Langit adalah perintah. Titik.

*** 

Huueeekkk …

Gadis muda itu membungkuk di depan lubang toilet. Memuntahkan seluruh makan siang yang baru saja singgah di dalam perutnya. Keringat membasahi keningnya karena perutnya yang tiba-tiba bergejolak dengan keras.

Setelah seluruh isi perutnya terkuras habis, napasnya terengah. Kepalanya terasa berputar dan seluruh tubuhnya melemah. Ia berusaha berpegangan pada dinding kamar mandi. Berdiri kedepan wastafel untuk berkumur dan berjalan dengan tertatih keluar dari kamar mandi. Membaringkan tubuhnya di ranjang.

Perlahan napasnya kembali membaik. Begitu pun dengan pusing di kepalanya yang mulai mereda. Sepertinya karena kelelahan mengurus perkebunan. Pengiriman yang melonjak dan segala urusan perkebunan yang seolah tiada henti menguras seluruh tenaga dan pikirannya. Akhirnya sekarang tubuhnya menunjukkan protes.

Satu helaan panjang melewati celah bibirnya. Setelah beberapa saat, akhirnya ia berhasil mengumpulkan seluruh tenaganya dan bangkit terduduk. Tepat ketika pintu kamarnya diketuk.

“Masuk.”

Noni, pelayan pribadinya masuk dengan senyum manis yang memenuhi seluruh permukaan wajah wanita muda itu. Tanpa mengatakan apa pun, berdiri di tengah ruangan.

Kening Gadis berkerut, senyum terlalu lebar tersebut tentu saja mengundang tanya yang besar di kepalanya. “Ada apa?”

Mata pelayan muda tersebut membeliak girang. Saat bibirnya terbuka, siap melontarka kabar gembira yang sejak tadi tertahan di ujung lidahnya. “Tuan Bara menunggu di bawah.”

Kerutan di kening Gadis semakin menukik tajam. “Ya, ada pengiriman ke …”

“Bukan hanya itu saja tujuannya, kan?” Noni nyaris menjerit dengan kedua tangan yang saling menggenggam di depan dada. Senyum semringah tertahan, tetapi itu tak menutupi kebahagiaan yang memenuhi dadanya.

Kedua mata Gadis berputar saat menghela napas. “Bawakan berkas di meja kerjaku. Aku akan menemuinya sekarang.”

Noni mengangguk, masih dengan semangat yang penuh, hingga tumpah-tumpah sebelum menghilang dari kamar Gadis. Dan saat Gadis hendak berbelok di ujung lorong, pelayan muda itu sudah menyambutnya tepat di depan tangga. Melengkungkan senyum lebar yang tak akan membuatnya luluh.

“Tidak,” tegas Gadis mengambil berkas yang diulurkan si pelayan. “Aku tahu dia tampan, Noni. Tapi kau tak akan mempermalukanku dengan cara itu.”

“Saya berjanji tak akan mengatakan apa pun. Hanya akan bicara ketika Anda meminta dan akan menuruti semua perintah. Hanya itu.” Kedua tangan Noni saling menempel di depan dada dan matanya berkedip penuh permohonan.

“Sekali kau bicara yang bukan-bukan, saat itu juga aku akan menyuruhmu pergi.”

Noni mengangguk-anggukkan kepalanya dengan penuh semangat lalu mengekor di belakang sang nona dengan langkah yang tak sabaran. Keduanya berjalan keluar dari rumah, sampai di teras langsung berbelok ke samping. Melewati jalan berpetak yang langsung mengarah ke perkebunan. Berbelok ke kanan dan menemukan seorang pria yang sedang menunggu di depan gudang.

“Hai, tidak ada masalah dengan pengiriman, kan?”

Bara mengangguk. “Semuanya berjalan dengan lancar. Begitu barang sampai, setengah pembayarang juga akan dikirimkan.”

“Sepertinya hanya beberapa. Kebanyakan membayar lunas di muka. Aku hanya berharap semua berjalan dengan lancar dan tidak mengecewakan mereka.”

“Tentu saja tidak.”

“Nona Gadis?” Suara memanggil dari arah belakang menyela di antara pembicaraan tersebut.

Gadis menoleh, menatap pelayan pribadi sang ayah. “Ya?”

“Tuan ingin bertemu dengan Anda.”

“Aku akan menemui …”

“Sekarang,” penggal pelayan paruh baya tersebut.

“T-tapi aku …”

“Dokter Sunny ingin bicara dengan Anda dan ini penting. Tuan ingin Anda segera.”

“Dokter Sunny? Aku tak ingat ayah mengganti dokternya.”

“Sebaiknya sekarang Anda segera menemui beliau.”

Gadis mengernyit dengan keheranan yang semakin menumpuk.

“Kau bisa pergi.” Bara memberikan seulas senyum. “Aku bisa menunggu.”

“Maafkan aku, Bara. Aku berjanji tak akan lama.” Gadis pun mengikuti pelayan pribadi sang ayah. “Siapa dokter Sunny? Dia dokter jantung ayah yang baru?”

“Bukan, Nona. Beliau dokter kandungan.”

Langkah Gadis seketika terhenti. Keheranannya seketika berubah menjadi kepucatan, badannya berputar dan menatap si pelayan. “Untuk apa aku menemui dokter kandungan Jelita?” desisnya tajam dan tatapan yang dingin. Yang membuat pelayan baya tersebut menelan ludah.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top