Aku Mencintaimu

Vierra berbalik ia menyeka air matanya yang sedikit menetas.

Harusnya tidak seperti ini, harusnya Vierra tidak perlu menangis. Kala bukanlah suami sebenarnya. Mereka hanya kontrak tiga bulan saja. Cepat atau lambat, pemandangan seperti ini pasti akan sering ia dapatkan.

"Vierra, ada apa?" Gebi menghampiri Vierra yang berjalan tergesa sambil menangis.

"Aku tidak apa-apa." Vierra mencoba untuk tersenyum. "Meja nomor lima belas sedang menunggu temannya dan tadi ada pelanggan baru, aku belum sempat ke sana. Perutku terasa sangat sakit." Vierra berpura-pura memegangi perutnya.

"Oh, ya sudah. Kamu duduk saja dulu. Aku yang akan melayaninya."

"Terima kasih."

"Tidak masalah." Gebi mengambil buku menu, kertas dan pena yang ada pada Vierra lalu keluar.

Seperginya Gabi, Ryan menghampiri Vierra sambil membawakan air putih hangat. "Aku rasa kamu butuh ini."

"Seharusnya kamu tidak perlu repot-repot, aku bisa mengambilnya sendiri tapi terima kasih sudah ambilkan air putih ini untukku."

"Apapun akan aku lakukan untukmu."

Vierra menatap Ryan yang kini tengah menatapnya. Kemudian, ia buru-buru mengalihkannya. Ia tak mau ada salah paham.

"Aku mencintaimu, Vierra."

"Maaf, aku sakit perut." Vierra beranjak dari tempat duduknya lalu ke kamar mandi, meninggalkan Ryan sendiri.

Andai saja, Ryan mengutarakan perasaannya dua hari lalu, mungkin ia akan menerimanya. Ryan sangat baik dan pengertian. Namun, semuanya sudah terlambat. Ia tak pantas lagi untuk Ryan.

"Dimana Vierra?" Gebi melihat sekeliling.

"Kamar mandi," jawab Ryan singkat dan sedikit ketus. Ia kecewa karena Vierra menolaknya padahal ia yakin bahwa Vierra juga menyukainya tapi kenyataannya tidak.

"Meja nomor dua puluh mencarinya."

"Siapa?" Ryan berjalan sedikit, kemudian mengintip lewat kaca yang ada di dapur, kaca itu bisa melihat suasana di luar. "Pria itu?"

"Iya, pria yang sangat tampan. Dia mencari Vierra."

"Untuk apa?"

"Aku tidak bertanya?!"

"Harusnya kamu tanyakan dulu."

"Kenapa kamu marah seperti itu?!" Gebi tak terima karena Ryan sedikit membentaknya.

"Aku tidak marah tapi aku hanya khawatir, dia orang yang tidak benar. Bilang saja, Vierra sakit tidak bisa ditemui."

"Ya." Sambil cemberut, Gebi keluar untuk menemui pelanggan tadi. Setelah dekat meja pelanggan, ia mengubah ekspresinya. Ia harus tersenyum ramah pada pelanggan meski sedang jengkel. "Maaf, Tuan. Vierra sedang sakit perut. Apakah Anda ingin menitipkan pesan untuknya?"

"Sakit?"

"Iya, Tuan. Dia tengah sakit perut."

"Aku melihatnya melayani pelanggan di meja lima belas, saat aku masuk."

"Betul, Tuan. Setelah itu, dia kembali dalam keadaan menangis karena sakit perut."

"Menangis?"

"Betul, Tuan. Jadi, apa yang harus saya sampaikan pada Vierra?"

"Sampaikan pada atasan kamu, Sangkala ingin bertemu."

"Baik, Tuan."

Meski merasa aneh, Gebi tetap pergi ke ruang atasannya untuk menyampaikan pesan pria bernama Sangkala itu.

"Tuan, menunggu Vierra?" Anggia menghentikan langkahnya saat melihat Kala. Padahal ia tadinya mau pulang karena Vierra sedang sibuk bekerja.

"Ya."

"Jam pulang masih lama, mungkin sekitar tiga atau empat jam lagi. Jika pelanggan semakin ramai, bisa lembur mendadak."

"Aku akan membawanya pulang sekarang juga."

Anggia tersenyum menggoda, "pengantin baru."

Kala hanya diam, ia tak merespon apapun. Meski Kala akui, Vierra sangat luar biasa tapi ia tidak mau terpaku pada satu wanita. Ia tidak mau ada perasaan yang lebih untuk wanita manapun.

"Baiklah, selamat menunggu, Tuan." Menurut Anggia, menggoda Kala tidak menarik. Lebih baik ia pulang.

Tak lama, Gebi datang bersama pemilik kedai. "Tuan ini__"

"Aku sudah mengenalnya." Kala memotong ucapan Gebi. "Aku ingin Vierra pulang sekarang."

"Vierra?"

Pemilik kedai itu, mengerutkan keningnya. Ia tak paham dengan ucapan Kala.

"Ya."

"Pulang?"

"Ya. Tidak usah banyak tanya. Bawa Vierra kemari. Aku akan membawanya ke rumah sakit."

"Memangnya Vierra kenapa?"

Pemilik kedai semakin bingung, ia melihat ke arah Kala dan Gebi secara bergantian, berharap mendapatkan jawaban.

"Pelayanmu yang ini," kala menunjuk Gebi dengan dagunya, "mengatakan, Vierra menangis karena sakit pada perutnya."

"Benar begitu?" Si pemilik kedai bertanya pada Gebi.

"Betul."

"Kalau begitu, kamu temui Vierra. Tanyakan padanya, masih mampu bekerja atau ti___"

"Vierra harus pulang sekarang juga!"

Kala menyela ucapan pemilik kedai. Ia menginginkan Vierra pulang sekarang juga. Ia harus mengecek keadaan Vierra secara langsung.

"Tentu. Namun, aku memiliki banyak pertanyaan. Aku harap, kamu bersedia meluangkan waktumu yang sibuk itu untuk menemani aku minum dan membicarakan tentang ini."

"Jenny, atur jadwal untuk kita."

Kala memerintahkan asisten pribadinya yang sejak tadi hanya diam menyimak untuk mengatur pertemuannya dengan pemilik kedai.

"Baik, Tuan."

"Puas? Sekarang, panggil Vierra."

"Tentu saja." Pemilik kedai tersenyum lebar dan memerintahkan Gebi untuk memanggil Vierra.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top