Bab 8
TATTO WAJAH PEREMPUAN DI PUNGGUNG SUAMIKU 8
“Mas! Kamu kenapa sih? Mas, aku nggak mau ya mati konyol,” teriakku lagi.
Mobil terus melaju dengan kecepatan tinggi, jalanan pun tidak macet dan tidak terkena lampu merah lagi.
Mas Dandy seperti tidak mendengarkan ucapanku, aku tidak tahu dia kenapa tiba-tiba menjadi seperti ini, apa dia cemburu melihat keharmonisan rumah tangga perempuan itu?
Kenapa juga harus cemburu, kita kan bisa melakukannya juga.
“Mas, aku bilang stop!”
“STOP!”
Mas Dandy seketika menginjak remnya, dan aku menarik napas dalam-dalam.
“Kamu mau bunuh aku, Mas?” tanyaku kali ini dengan nada lirih.
“Maafkan aku, Dy.”
“Aku lebih baik pulang sendiri.” Aku membuka pintu mobil dan langsung keluar meninggalkan suamiku.
Aku berjalan menelusuri trotoar, entah berada di mana aku saat ini. Kudengar suara klakson mobil Mas Dandy terdengar di belakang.
“Sayang, ayo naik. Aku nggak akan ngebut lagi,” teriaknya dari dalam mobil.
Aku tak peduli, kamu pikir aku akan kembali naik ke dalam mobil dengan kamu yang pikirannya ke mana-mana itu, Mas?
Aku terus melangkah, karena kesal aku mengambil ponsel dari dalam tas dan mencoba menghubungi Tomi, salah satu karyawanku.
“Ya, Bu. Ada yang bisa saya bantu?”
“Tom, tolong jemput saya di ....” Aku melihat sekeliling.
“Di mana, Bu?”
“Seberang gedung Panca Kirana ya.”
“Oh iya, iya, Bu. Ibu di mananya?”
“Halte busway.”
“Siap, Bu. Saya segera ke sana.”
Aku berhenti dan duduk di halte, di mana bagian atasnya adalah tangga yang menghubungkan penumpang untuk menaiki salah satu transportasi di Jakarta ini.
Sengaja aku berhenti di sini, karena mobil Mas Dandy nggak akan bisa parkir. Ada petugas yang berjaga, melarang kendaraan parkir sembarangan.
Kulihat mobil hitam milik Mas Dandy hanya melintas di hadapan. Aku membuang muka ke arah lain, malas. Biar saja sana kalau mau pulang duluan.
Sampai akhirnya tak terlihat lagi mobilnya dari hadapanku.
Tak lama kemudian pria berjaket hitam datang dengan motornya menjemputku.
“Maaf, Bu. Kena lampu merah tadi,” ujarnya sambil menyerahkan helm padaku.
“Nggak apa-apa, ayo buruan ke toko.” Aku langsung naik ke boncengan dan memakai helm dalam perjalanan.
.
[ Ma, Mama di mana? Udah malam ko belum pulang?]
Sebuah pesan WhatsApp baru saja masuk dari putriku, Nasya. Aku masih ada di toko meskipun sudah tutup.
[ Kamu belum tidur?]
[ Kebangun, tapi Mama belum pulang, soalnya Papa juga belum pulang.]
Aku mengernyit, Mas Dandy belum pulang, lalu dia ke mana?
[ Mama ketiduran di kantor, Sayang. Sebentar lagi Mama pulang ya.]
[ Iya, Ma. Hati-hati, Ma.]
Aku buru-buru memasukkan ponsel ke dalam tas, di toko sudah tak ada orang lagi. Semua karyawan sudah kusuruh pulang tadi pukul 21.30. Besok mau nggak mau aku yang harus datang lebih awal ke sini untuk membuka toko karena kuncinya kubawa.
Aku bergegas keluar toko dan mengunci semua pintu serta mematikan lampu.
Di luar sudah sangat sepi, udara dingin pun menyergap dan membuat tubuh sedikit menggigil. Aku langsung masuk ke mobil, menghidupkan mesin mobil.
Jam di pergelangan tangan sudah menunjukkan pukul 22.45 hampir jam sebelas malam, dan aku masih di luar rumah.
Namun, jalanan masih cukup ramai oleh lalu lalang kendaraan.
Aku sudah tak peduli lagi ke mana Mas Dandy pergi dan tidur di mana malam ini. Karena aku tahu dia nggak mungkin sama perempuan itu. Perempuan itu sedang bersama keluarganya malam ini.
Baru saja perasaanku tenang karena seharian Mas Dandy berusaha memperbaiki hubungan yang kemarin sempat renggang. Kenapa harus melihat keluarga perempuan itu?
Aku yang salah, ya aku yang salah.
Harusnya tadi aku pura-pura tidak melihat saja, dan tidak perlu memberitahu hal itu pada Mas Dandy. Tapi, tujuanku bilang tadi itu ya agar suamiku tahu, kalau perempuan itu sudah punya keluarga sama sepertinya.
Dia tidak berpikir apa, kalau suaminya sampai tahu kelakuam istrinya di belakang seperti apa?
Maumu apa sih, Mas?
Perjalanan malam kulalui sambil mendengarkan musik dari ponsel yang kusambung melalui headset. Pikiran makin kacau, ditambah perutku sudah kembali keroncongan. Lapar, tapi tanggung nanti makan di rumah saja.
Tiba di halaman rumah aku melihat memang mobil Mas Dandy tidak ada. Berarti memang malam ini dia nggak pulang. Hanya karena melihat kemesraan perempuan itu lalu dia sampai nggak pulang.
Dia lebih memilih perasaannya dari pada perasaan aku dan juga anak-anak. Keterlaluan kamu, Mas.
.
“Semalam kamu ke mana, Dy? Anak-anak nyariin kamu,” tanya Mama sepulang aku mengantar anak-anak sekolah.
Hari ini aku tidak akan ke mana-mana, mungkin menenangkan diri di rumah saja. Badanku juga pegal, karena semalaman tidurku tidak nyenyak.
Sampai pagi ini pun suamiku masih belum pulang, dan sama sekali tak ada kabar.
Aku duduk di sofa sebelah mertuaku, “Aku ketiduran di toko, Ma. Banyak pelanggan siang itu,” kataku berbohong.
“Kamu nggak bohong kan? Mama tahu kamu nggak pernah kaya gini sebelumnya. Apalagi Dandy nggak pulang.”
Aku menghela napas pelan.
“Kalian berantem lagi? Namanya rumah tangga pasti ada masalah. Apa nggak bisa dibicarakan baik-baik?” Kembali mama mertuaku memberikan masukan.
Bukan aku yang tidak mau semua masalah kembali baik, tapi, Mas Dandy selalu saja kembali membuat masalah itu semakin panjang dan tak ada ujungnya.
“Apa Dandy selingkuh?” tanya Mama tiba-tiba.
Aku hanya diam, apa aku bilang saja kecurigaanku selama ini sama Mama?
“Jawab, Dy. Mungkin Mama bisa bantu untuk menasihati Dandy nanti. Mama nggak mau kamu merasakan apa yang mama rasakan dulu. Meskipun kamu menantu Mama, tapi Mama sudah anggap kamu seperti anak Mama sendiri. Kamu kan tahu Mama hanya punya Dandy dan kamu.”
“Maafin aku, Ma. Bukan maksud aku untuk memfitnah suamiku sendiri, atau membuka aibku dan menceritakan ini semua pada Mama. Tapi, jujur aku bingung harus bagaimana, Ma.” Aku menunduk, dan seketika tangan Mama merangkul bahuku dan memeluk erat.
Aku menangis di pelukan mertuaku, tangan Mama mengusap bahu menguatkan.
“Apa yang terjadi, Dy? Cerita sama Mama.”
“Tapi Mama jangan marahin Mas Dandy, aku takut, aku takut nanti dia nggak pulang ke sini lagi.”
“Iya, Mama hanya ingin tahu saja. Tetap kalian yang akan mengambil jalan keluarnya nanti.”
Perlahan aku menceritakan apa yang selama ini kulihat dan kurasakan. Berbagai kejadian yang membuat pikiranku kacau, bahkan beberapa kerjaan juga ikut terbengkalai. Jujur, aku bisa membalas ini semua lebih dari itu, tapi untuk apa?
Aku hanya memikirkan anak-anak. Kalau memang mereka tidak ada hubungan, kenapa Mas Dandy sampai begitu marahnya melihat keharmonisan rumah tangga Sarah?
Lalu nomor kontak siapa yang dia beri nama istriku?
“Maafin Mama ya, Sayang. Mungkin Mama kurang tegas mendidik Dandy. Mungkin Mama terlalu memanjakannya, Mama yakin, Dandy hanya khilaf. Mama janji, setelah ini Mama akan nasihati dia, agar rumah tangga kalian kembali utuh.” Mama ikut menangis mendengar curhatan ku.
“Mama nggak salah, Mas Dandy sudah dewasa, Ma. Mungkin aku juga yang kurang dalam melayani suamiku, sampai dia bisa berpaling.”
Tiba-tiba suara dering ponsel dari dalam saku celanaku membuat kami saling pandang.
Mama mengurai pelukannya, aku menghapus air mata yang membasahi wajah seraya merogoh saku celana.
Sebuah nomor tak kukenal memanggil.
“Ya hallo.”
“Selamag siang dengan Ibu Maudy?”
“Iya, saya sendiri, maaf dengan siapa?”
“Kami dari rumah sakit Jaya Medika mengabarkan kalau suami ibu mengalami kecelakaan bersama seorang wanita, dan kini sedang dirawat di ruang gawat darurat.”
.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top