Bab 7
TATTO WAJAH PEREMPUAN DI PUNGGUNG SUAMIKU 7
Panggilan itu seketika berhenti, kupikir sudah tak menelpon lagi. Ternyata ponsel Mas Dandy kembali menjerit-jerit, aku tersenyum miring dan meraih ponselnya.
Kuusap gambar gagang telepon itu ke atas, lalu kuterima telpon dari “istriku” tersebut.
“Ya hallo,” sapaku.
Hening.
Tak ada sahutan.
“Maaf ini siapa ya?” tanyaku lagi.
Masih hening, sunyi, bahkan suara napasnya saja tidak ada.
Setelah itu panggilan terputus, cepat-cepat aku menghapus bekas panggilan di ponsel Mas Dandy.
Ponselnya memang tidak pernah dikunci, siapa pun sebenarnya bebas membuka ponsel milik suamiku, karena memang Aries sering memakai handphone papanya untuk main game.
Aku juga tidak pernah periksa periksa handphone dia, karena aku malas, dan takut sakit hati seperti sekarang ini.
Tak lama kemudian pesananku dan Mas Dandy tiba di meja. Sementara suamiku masih berada di toilet dan belum kembali.
Aku merapikan kembali tas miliknya, seolah tak terjadi apa-apa. Sambil menyesap es yang kupesan, aku menatap layar ponselku karena ada beberapa chat masuk juga email dari toko.
“Huft, kayanya aku masuk angin deh, perut melilit,” ujar Mas Dandy yang baru saja duduk.
“Kamu sih, pulangnya malam terus. Kan udah aku bilang, nggak usah mandi malam. Masuk angin, susah bilangin kamu.”
“Aku mandi malam juga baru kemarin kok. Mungkin karena nggak terbiasa kali ya.”
“Eum.” Aku hanya mengangguk saja.
Kami pun makan tanpa bicara apa pun, tadinya aku senang karena Mas Dandy mengajakku makan siang. Berarti dia sudah mau berdamai denganku, tapi setelah ada telepon dari nomor tadi, aku jadi kembali curiga.
Siapa sih nomor yang dia simpan pakai nama istriku itu? Trus nomorku dia simpan dengan nama apa coba?
Mana aku lupa pula melihat nomornya, barangkali bisa aku cocokkan dengan nomor Sarah atau aku cari siapa pemiliknya di aplikasi getcontack.
“Maafin aku ya, kalau kemarin udah buat kamu marah-marah. Aku nggak akan jelasin masalah kemarin ke kamu. Aku minta maaf kalau aku salah udah bilang itu pacar aku di depan kamu,” ujarnya tiba-tiba.
Nafsu makanku pun jadi menurun, tapi, sayang kalau makanannya tidak dihabiskan.
Aku menghela napas pelan.
“Kenapa sih, Mas, harus kepergok dulu baru kamu ngaku.”
“Ngaku apa? Aku itu sama dia juga baru kenal, lagi pula kan di sana itu aku nggak Cuma berdua sama Sarah, ada Andre sama beberapa teman artis juga. Udahlah, malah kamu kan yang berduaan sama cowok. Siapa dia?”
Duh, begini nih kan jadi memutar balikkan fakta. Playing victim, iya kurang lebih seperti itu.
Aku memang tidak tahu kalau malam itu Mas Dandy diminta untuk menjemput Sarah di apartemennya, itu kata si Andre yang ada di tempat itu juga.
Entahlah, ucapan siapa yang harus aku percaya, tidak ada selain aku mencari bukti lebih lanjut lagi.
Sekarang mungkin aku akan memaafkan dia dulu, sambil menyelami bagaimana mereka berdua nanti. Apakah Sarah akan benar-benar menjauhi suamiku, atau malah makin mendekat.
Kalau sampai dia deketin suami aku lagi, aku tak akan segan menghubungi suaminya. Ya, biar laki-laki itu tahu bagaimana kelakuan istrinya di luar sana.
“Dia temanku, teman SMA dulu. Kebetulan aja dia ngajak makan, sebenarnya aku mau ngajak anak-anak karena bete nggak kamu ajak keluar. Eh, anak-anak nggak ada yang mau ikut, jadi kita berdua doang deh.”
“Oh, gitu.”
“Iya, eum, dia ternyata suka tattoan juga loh kaya kamu. Dia nanya kamu bikin tatto di mana? Di mana emang?” tanyaku menyelidik.
“Uhuk.” Mas Dandy seketika tersedak. “Eum, aku juga nggak tahu pasti sih alamatnya. Eum, emang dia mau bikin tatto juga?”
“Iya, dia mau cari yang harganya terjangkau juga nggak jauh dari rumahnya.”
“Oh, eum, yang di aku itu agak mahal, lumayan jauh juga sih. Mending cari tempat lain aja, kasihan nanti teman kamu.”
“Oh gitu ya, Mas.”
“Iya. Kan nanti kasihan kalau mahal, kalau aku kan ada diskon karena temanku di lokasi syuting langganan dia.”
“Nah, kan kamu kenal tuh, kenapa teman aku nggak sekalian aja bilang kenal sama kamu sama teman kamu, Mas. Kali aja dapat diskon juga.”
“Eum, nggak enaklah, Sayang. Masa aku yang diajak malah ngajak orang.”
“Oh gitu ya.”
“Iya.”
Aku tersenyum miring, bilang saja kamu takut ketahuan kan, Mas. Kalau kamu sering ke sana sama tuh perempuan. Kamu takut kalau Bastian bakalan ngadu ke aku tentang kelakuan kamu itu. Padahal aku ketemu sama Bastian di tempat tatto langgananmu itu, Mas.
“Habis ini kamu balik ke loksyut, Mas?”
“Enggak, mau pulang, capek.”
“Oh. Yaudah, antar aku lagi ke toko aja ya, mobilku kan di sana.”
“Kita ke hotel aja yuk!”
“Ngapain? Ish kamu,” kataku malu-malu.
“Ya kan kita udah lama nggak berduaan, kalau di rumah pasti banyak gangguannya. Apalagi siang-siang begini.”
“Eum.”
“Ayolah, Sayang.”
Aku mengangguk, mengiyakan ajakan suamiku. Dari pada dia ngajak perempuan lain ke hotel kan? Mungkin dengan ini hubungan kami bisa lebih harmonis lagi.
.
Pukul 19.00
“Mas, udah malam.” Aku membetulkan pakaian dan bersiap hendak pulang.
Mas Dandy masih terbaring di atas ranjang hanya dengan memakai celana kolor. Dia pasti kecapean, kita berdua habis main dua ronde, tumben banget dia.
“Lemes, Sayang,” ujarnya sambil duduk dan menyugar rambutnya.
Selama dia bersamaku tadi tak ada panggilan telepon masuk yang kudengar dari ponselnya. Hanya kudengar ada beberapa kali chat yang masuk tapi diabaikan, dan tidak dibalas. Tapi, aku tidak tahu dari siapa.
Karena sejak tadi Mas Dandy tidak memegang handphonenya sama sekali. Dia seperti benar-benar ingin menghabiskan waktunya berdua denganku.
Mungkin kemarin dia bersama perempuan itu hanya untuk hiburan, karena aku yang sibuk atau selalu menolaknya.
“Ayo, Mas. Nih Mama nanyain aku, Aries nangis nyariin ibunya,” kataku seraya membalas pesan dari Mama.
“Iya, iya, aku pipis dulu.” Mas Dandy beranjak dari ranjang dan masuk kamar mandi.
Selesai bebersih dan bebenah, kami pun chek out dari hotel. Kami berdua berjalan tidak bersisian, aku jalan lebih dulu menuju ke parkiran, sementara Mas Dandy jauh di belakang.
Aku menoleh, dia seperti sedang mengetik pesan dari ponselnya, setelah itu dia melihatku dan langsung memasukkan handphone ke dalam tasnya.
Sampai kami tiba di parkiran dan aku naik ke mobil, Mas Dandy juga sudah duduk di balik kemudi.
Tiba-tiba dia mengusap lembut kepalaku. “Makasih ya, Sayang,” ucapnya sambil tersenyum kecil.
“Ya, Mas.”
“Punyamu makin rapet aja, jepitannya mantab,” pujinya.
Aku hanya tersipu, aku setiap dua hari sekali memang latihan senam kegel. Kata orang itu berguna untuk mengencangkan otot kewanitaan. Semoga saja hal itu bisa membuat suamiku tidak berpaling ke perempuan lain.
Mobil pun melaju keluar parkiran, jalanan malam itu tampak lengang. Karena hujan turun walaupun tidak deras, tapi membuat jalanan tergenang air.
Kendaraan roda dua juga sebagian berhenti di tepi jalan untuk menepi.
Tanpa sengaja aku melihat di salah satu caffe, di mana dari luar dinding kaca. Seorang perempuan yang kukenal sedang makan malam dengan keluarganya.
Ya, itu Sarah dengan suami dan kedua anaknya, ternyata mereka harmonis juga.
Kami berhenti di lampu merah dan tepat di samping kiriku pemandangan rumah tangga Sarah terlihat.
“Itu Sarah kan, Mas?” tanyaku menunjuk ke samping.
Mas Dandy melirik sekilas lalu membuang muka.
“Harmonis juga keluarganya, kelihatan dia sayang banget sama suaminya.”
Mas Dandy tidak mendengar ucapanku, entah mungkin tak mau dengar.
Ketika lampu hijau, mobil langsung tancap gas begitu saja. Aku yang lupa tak memakai seatbelt nyaris terbentur dasbor.
“Mas, kamu gila ya? Main ngebut aja? Kamu mau bunuh aku!” bentakku kesal.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top