三 𝙐𝙧𝙖𝙪𝙢𝙚

┏━━━━•❅•°•❈•°•❅•━━━━┓
三 𝙐𝙧𝙖𝙪𝙢𝙚
┗━━━━•❅•°•❈•°•❅•━━━━┛

Batang pepohonan disandarnya. Bersama pemandangan alam dimana tempat beristirahat yang cocok, ia menghela napas berat. Perjalanan panjang ia tempuh mandiri, tidak sekali pun meminta bantuan.

Terbentang hamparan rumput beserta sungai berair bersih di hadapannya. Cerminan [Name] terefleksi persis kaca saking jernihnya. Akhirnya suatu sumber minum ia temukan.

Berbekal ilmu dasar ajaran Ayah, sampailah ia di perbatasan bagian selatan. Tidak membutuhkan sejam nanti sampai [Name] ke pusat perkampungan sebelah yang mungkin ia mampu hidup bebas.

Percikan menyiprat tanah seiring ia mencebur, menyelam merasakan kenikmatan sejenak. Ia bahkan lupa melepaskan pakaiannya terlebih dahulu. Biarlah, [Name] tidak peduli risikonya nanti.

Rasanya ia ingin tenggelam. Terbawa arus menuju lautan. Entah mengapa Tuhan memberikannya kenangan menyakitkan terus-menerus. Hidupnya kacau, maka untuk apa ia bertahan begitu lama jika tidak diperbolehkan mengikuti Ayah Ibunya ke Surga.

Berenang kembali ke tepi, tidak sengaja ia menabrak seember tumpukan kain. Sabun berbusa menutupu penggilas kayu. Bisa ia pastikan seorang warga tengah mencuci. Jarang sekali.

"[Fullname]." Menoleh ke arah panggilan, terbelalaklah ia mendapati wanita bercepol memandangnya lekat.

Amarah [Name] sontak meluap. "Kau... dasar tidak beradab!" katanya mengerahkan segala emosi. Marah menguasainya seperti kerasukan. Sklera memerah melotot, ia mengepal kencang hingga telapak lecet perih. "Apa yang selanjutnya hendak kau rebut? Nyawaku?!" Pipi [Name] terbasahi linang kesekian kali.

Meluap dendamnya.

Terbakar amarah, Nenek tidak kalah menyahut, "Ayahmu salah! Dia menjualmu ke Sukuna!" Tidak sengaja fakta yang seharusnya merupakan rahasia sejuta umat itu terbeber. "Kini kau tumbal penguasa kutukan, jadi jangan egois!"

Panah imajiner seolah menusuk [Name]. Apakah dahulu keluarganya miskin hingga ia dijadikan pelunas? Pikiran [Name] mengulanginya.

"Sukuna...?" ulangnya, "Maksudmu, Tuan Sukuna? Apa mereka pribadi yang sama? Tetapi dia—" [Name] terhenti.

Seingatnya, Sukuna pernah menipunya. Itulah salah satu bukti.

Tertatih-tatih ia meninggalkan Nenek menyebalkan barusan. "Bunuh aku," harapnya menautkan kesepuluh jemari. Diapit kekecewaan, [Name] meringkuk menempel ke tanah. "Kubilang 'bunuh aku'! Bukankah kau mengincarku, Sukuna? Ambisimu?!" Tidak,  ia tidak takut membayangkan kematian mengenaskan.

Daun kering berbunyi terdengar gurih. Kuning gugur selayaknya mental [Name] yang jatuh. Batang tanaman kokoh memayunginya, menghalau [Name] terkena mentari. "Maafkan aku, Ayah... aku menyesal... aku tidak sanggup meneruskan hidup." Rongganya sulit menangkap gegana. "Aku anak durhaka, ya..."

Lelaki bertato menatapnya datar sejarak dua meter di belakang. Tidak setitik iba terlintas baginya. Simpati terkubur sejauh kedalam samudra bagi benaknya.

"Onna."

Darah [Name] berdesir. "Sukuna!" sebutnya meniadakan embel 'Tuan'. Sekali bertemu saja ia mengenal perawakan karakter Sukuna yang gemar memanggilnya sembarang.

Kaki Sukuna mengarungi menghampiri. Semakin dekat semaking kencang jantung [Name] berdetak. Aura menerjang yang buatnya kerepotan batin. Tekanan monster—Sukuna yang memberatkan [Name].

Tawa Sukuna menghilang terganti raut menyeramkan. "Heh, idiot. Kau kira kau tewas semudah apa? Tuduhlah Ayah yang sudah menumbalkanmu. Dia 'menjanjikan'ku dirimu, cilik bodoh."

"Ap—akh!" Pijakan [Name] melayang sewaktu ia terangkat seringan kapas. "H—hah! S, Su... Sukuna..." racaunya tercekik meminta ampunan. Ia menampar lengan Sukuna pelan, guna memberitahu lepaskan.

Reaksi [Name] menggeliat kesakitan mengobarkan kesenangan Sukuna. Ringisan, keluhan, tipe yang Sukuna sukai dari kaum manusia alias lemah. "Argh!" Rengekan kecil [Name] yang tidak kunjung berdampak.

Liur menetes. "To, tolong... apa kau langsung membunuhku?" gagapnya menyetop Sukuna, "Semudah itu? Apa kau yakin...?"

Jelas Sukuna terhibur. "Ada apa? Kau yang ingin tewas awalnya, bukan? Apa salahku?"

[Name] seketika tercengang bagaimana menjawab Sukuna. " Benar... tetapi apakah kau serius?"

Langsung Sukuna melepasnya. Malahan membopongnya ke bahu ala karung. Sekeras apa pun [Name] memberontak, Sukuna tidak merasa sakit selain memerintah, "Diam, atau kubunuh." Maka [Name] senyap.

Sekitar berpuluh tapak Sukuna bertindak, [Name] pusing mabuk digotong paksa. Sebenarnya ia akan muntah. Namun ditahan paksa sebelum Sukuna marah menggila.

Bokongnya tiba-tiba menabrak menghantam kerasnya dasar lantai. "Auch!" keluh [Name] mengelus bagian sakit, lalu menelan ludah kala melihat seputarnya berbeda latar. Tidak disangka ia sudah di kuil.

Di sarang Ryomen Sukuna yang berarti ia selamanya terkurung di awasan sang iblis.

"Selamat datang." Senyum Sukuna mengembang sangat lebar, menebarkan kecanggungan.

Pintu terbuka memerlihatkan sosok cantik. Pemilik surai seputih salju berbercak kemerahan yang mengagumkan anggun. Sialnya, [Name] mengira dia korban, dan berteriak, "Jangan kemari!"

Sukuna yang tidak memedulikan ocehan [Name] pun menopang dagu. "Apa kau selesai melaksanakan misi?" yang dibalas anggukan hormat. "Bagus, sekarang tinggalkan kami... Uraume."

Menguping, [Name] ber-oh ria. "Uraume... bagus, ya namanya bukan [Name]."

Bersesuaian titah, Uraume menunduk mengerti sebelum menghilang di kegelapan kelam. Sesekali berbalik memerhatikan tajam, mengukur energi [Name] yang hampa. "Manusia biasa? Apa yang dia lakukan di sini? Sebanding jujutsu saja tidak. Ampas," decih Uraume kesal menyembulkan kebencian.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top