21. Cinta Dan Keyakinan
Jovan terdiam menatap gadis di hadapannya yang kini berurai air mata. Dengan tangis tertahan Jesica terus meminta penjelasan pada cowok itu. Tentang kebenaran pengakuannya pada Aisyah kemarin. Ya, Jesica mendengar semua pengakuan Jovan pada Aisyah. Sebab gadis itu mengikuti Jovan sejak ia melihat cowok itu mengikuti Aisyah ke perpustakaan.
Selama dua hari ini Jesica berusaha menahan rasa penasarannya dan pura-pura tak ada yang berubah. Bahkan ia menutup mata dan dengan santainya selalu bercerita panjang lebar soal Jovan di depan Aisyah. Ia masih percaya jika cowok itu masihlah Jovannya yang dulu. Jovan yang selalu menyembunyikan perasaannya di depan semua orang. Tapi, kenyataan pahit itu kini harus ia dengar sendiri dari mulut Jovan. Yang lebih menyakitkan adalah pengakuan cowok itu pada Aisyah yang tetlihat begitu tulus. Pengakuan yang bertahun-tahun Jesica nantikan, kini sudah bukan untuknya.
"Jawab, Kak. Apa benar semua yang aku dengar kemarin?" tanya Jesica sekali lagi.
Tapi, Jovan tak kunjung membuka suaranya.
"Untuk apa kamu menanyakan hal yang udah kamu tahu jawabannya," jawab Jovan tanpa keraguan.
Jesica berdecap kesal. Ia membutuhkan jawaban yang lebih tegas dari itu.
"Ck! Bisa nggak Kakak jawab ya atau nggak?" Jesica sedikit memaksa.
Jovan menatap sekilas gadis berambut coklat di depannya sebelum memilih memutar tubuh berniat pergi. Cowok itu tak tega harus menambah luka Jesica dengan pengakuannya secara langsung. Bagi Jovan Jesica sekarang hanya tengah berusaha tegar.
"Kenapa Kakak tega sama aku!" seru Jesica menghentikan langkah Jovan.
Jovan diam di tempatnya berdiri tanpa berniat memutar tubuh. Cowok itu hanya tak mau melihat Jesica sekali lagi harus menangis karena dirinya.
"Apa sebenarnya yang mau kamu bilang sama aku? Kalau hanya mau tahu tentang perasaan aku ke Aisyah jawabannya memang seperti yang kamu dengar. Aku sayang sama Aisyah."
Tegas Jovan.
Jesica tersenyum miris mendengar jawaban tersebut.
"Kakak jahat. Kakak seharusnya tahu aku menunggu Kakak hampir sepanjang usia aku. Bahkan aku memberanikan diri pulang ke Indonesia hanya demi pengakuan itu. Hanya demi jawaban dari Kakak untuk pernyataan cinta aku beberapa tahun yang lalu. Aku yakin Kakak dulu juga sayang sama aku. Tapi, kenapa semuanya berubah begitu cepat? Apa kurang aku, Kak?" Wajah sembabnya membuat Jesica terlihat sangat menyedihkan.
Jovan menghela napas berat dengan pertanyaan Jesica. Ia masih setia dengan posisinya memunggungi gadis itu.
"Aku emang sayang sama kamu lebih dari sahabat. Tapi, itu dulu. Jauh sebelum aku kenal Aisyah," jawab Jovan jujur. Dia tak bisa berpura-pura lagi. Seperti kata Shanum, Jovan tak ingin memberi harapan apapun pada Jesica.
"Lalu ... lalu kenapa kita nggak bisa bersama? Kenapa Kakak nggak kasih tahu jawaban itu sebelum aku pergi?"
"Aku dan kamu berbeda, Jes. Kamu tahu pasti jawabannya!" Jovan menjawab dengan nada frustrasi. Cowok itu reflek memutar tubuhnya dan menatap Jesica sedih.
Gadis yang ditata tersenyum miris dengan jawaban Jovan.
"Meski hati kita satu. Tapi, cara kita berdoa beda. Meski kita berusaha sekuat tenaga, tetap pada akhirnya cinta yang kita miliki akan semakin melukai aku dan kamu. Karena kita nggak akan pernah bisa menemui muara dari cinta itu. Sementara kamu tahu aku nggak pernah ingin berpacaran. Aku sadar aku nggak bisa kasih kamu kepastian apa pun. Bahkan untuk sekedar berjanji suatu hari akan menjadikan kamu istri aku pun aku nggak bisa. Itu jawaban kenapa aku membiarkan kamu pergi tanpa kepastian apa pun. Karena jika aku jujur tentang perasan aku ke kamu, kamu pasti nggak akan jadi pindah ke Amrik, dan itu akan semakin sulit untuk kita. Aku harap kamu ngerti," sambung Jovan. Setelah mengatakan itu ia melangkahkan kakinya. Tapi, baru beberapa meter berjalan Jesica memeluk punggung Jovan.
"Kita bisa asal Kakak mau berusaha. Atau kalau perlu aku akan pindah keyakinan demi, Kakak," ucap Jesica penuh tekat.
Jovan terdiam karena perkataan Jesica.
"Kamu salah, jika hanya demi cinta kamu bersedia menukar keyakinan kamu. Masalah keyakinan bukanlah mainan, Jes. Meski kamu pindah keyakinan sekali pun. Belum tentu aku akan menerima keputusan kamu. Belum tentu Tante Gea akan terima keputusan itu juga. Pikirin orang tua kamu dan keluarga kamu. Betapa kecewanya mereka jika itu terjadi," ucap Jovan. Cowok itu melepaskan tangan Jesica di pinggangnya dan melangkah pergi
"Lalu aku harus gimana?! Aku harus apa biar Kakak mau terima aku!" seru Jesica lantang. Ia berusaha menghentikan langkah Jovan. Tapi, cowok itu menulikan telinganya ketika samar-samar terdengar tangis Jesica semakin menjadi.
"Maaf, menyakiti kamu lagi," gumam Jovan sambil berlalu.
****
Aisyah tengah berjalan di koridor bersama Marsya dan Husna. Tiga gadis itu baru saja dari perpustakaan untuk meminjam buku.
"Si Jesica ke mana? Perasaan dari istirahat dia tiba-tiba ngilang," tanya Marsya.
"Palingan lagi nyamperin Kak Jovan. Kan tahu se-" Husna tak jadi melanjutkan ucapannya, karena Marsya menyenggol lengan gadis itu dengan sikutnya agar berhenti membahas Jesica dan Jovan di depan Aisyah.
Aisyah yang menyadari kelakuan dua sahabatnya tersenyum samar.
"Nggak pa-pa kok," ujar Aisyah.
Meski tersenyum Husna dan Marsya jelas tahu Aisyah tengah menahan luka hatinya. Terlebih beberapa hari ini Jesica tak hentinya membicarakan Jovan di depan mereka bertiga.
"Sa, kita nggak habis pikir deh sama kamu. Kok bisa sih kamu sekuat itu tiap hari dengerin ocehannya Jesica tentang Kak Jovan dan kedekatan mereka. Yang Kak Jovan katanya suka dia lah, yang dia tahu segala hal tentang Kak Jovan lah dan bla bla bla," ucap Marsya tak habis pikir.
"Tahu nih anak. Hatinya sebaik malaikat emang. Kalau aku jadi kamu, Sa. Ogah banget tiap hari dengerin ocehanya dia. Dia nggak tahu aja kalau Kak Jovan sukanya sama kamu," sambung Husna setuju.
Aisyah tersenyum samar. Gadis itu menghela napas sebelum menjawab perkataan dua sahabatnya.
"Biar bagaimanapun ada kenyataan yang nggak bisa diubah dari hubungan mereka. Bahwa mereka udah dari kecil tumbuh besar bersama. Wajar kalau Jesica terkesan seolah memamerkan kedekatan mereka di depan aku setelah insiden buku diary itu. Mungkin kalau aku di posisi Jesica juga akan berbuat hal sama. Dia hanya sedang berusaha mempertahankan Kak Jovan. Mengingat seberapa dekatnya mereka. Dan lagi Jesica baik kok. Dia nggak seburuk yang kalian pikir. Yakin deh sama aku," ucap Aisyah tulus.
Husna dan Marsya saling berpandangan. Dua gadis itu seolah tak habis pikir dengan jawaban tenang Aisyah.
"Selalu baik hati, as always. Itulah Aisyah," ucap Husna memutar mata bosan. Marsya mengangguk setuju dengan ucapan Husna.
"Kamu nggak takut apa Kak Jovan sama dia?" tanya Marsya.
Aisyah tersenyum.
"Buat apa takut. Kalau jodoh juga nggak kemana 'kan?" Aisyah menjawab santai.
Husna dan Marsya mengangguk paham dengan jawaban itu. Mereka tahu tak ada gunanya memprovokasi Aisyah agar merubah pemikirannya.
"Eh hasil lomba nulis udah keluar belum?" tanya Marsya pada Husna. Dia berusaha mengalihkan topik agar tak membahas Jovan lagi.
"Belum, masih tahap seleksi. Sejauh ini sih ada beberapa yang dah jadi kandidat pemenang," Husna menjelaskan.
"Wah aku nggak sabar lihat hasilnya. Beruntung banget yang menang lomba. Kan bakal diterbitkan mayor tuh." Marsya terdengar antusias.
"Kok jadi kamu yang antusias. Kayak ikut lomba aja." Ejek Husna.
Aisyah tersenyum melihat perdebatan dua sahabatnya.
"Yee biar gimana pun setidaknya bakal ada calon penulis pemes satu sekolah ama kita. Apa lagi kan denger-denger kalau responnya bagus bakal di filmkan." Marsya membela diri
"Ya juga sih. Coba Aisyah ikut lomba itu. Pasti dia yang menang, dan kita bakal punya sahabat penulis pemes." Husna terlihat kecewa ketika mengatakan itu. Padahal dia sangat berharap Aisyah serius menekuni bakatnya tersebut.
Sementara Aisyah hanya menanggapi ucapan Husna dengan senyum samar.
"Ya nih. Kenapa deh kamu nggak ikut coba masukin naskah kamu di lomba itu, Sa? Kan Novelmu dah banyak tuh di laptop. Dari pada numpuk nggak ada yang baca," sambung Marsya.
"Aku nggak pede sama tulisan aku yang masih berantakan. Mungkin lain kali aku coba. Lagian aku nulis cuman buat hobi kok."
"Yah sayang banget. Padahal kesempatan kamu berkembang di situ gede banget loh," ucap Husna.
"Eh, btw ada ribut-ribut apa tuh di lapangan basket? Kita lihat yuk." Marsya menyela, dia yang menyadari beberapa murid berlarian menuju lapangan basket. Dengan langkah lebar tiga gadis itu mendekat ke sumber keributan.
***
Hai hai assalamualaikuuum. Selamat sore pembaca. Maaf ya baru bisa updet setelah beberapa hari ini terserang demam. Gimana part ini? Apa bikin kalian kepo buat lanjut? Tinggalkan jejak di kolom komentar ya. Biar aku semangat lanjut.
Btw kemarin ada yang dm kasih usul buat bikin grup WA tentang cerita Jovan dan Aisyah. Menurut kalian gimana? Ada yang minat nggak? Kalau yang minat ada 15an orang aku bikin deh grupnya wakaka. Ditunggu lewat komen ya. See you next chapter. Lop u all
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top