2. Resah
Aisya berjalan dengan gontai melewati jalanan komplek menuju rumahnya. Ketika sampai waktu telah menunjukkan pukul tujuh malam. Sepanjang jalan ia tak henti bersin akibat tubuhnya yang mulai terasa dingin. Aisya merapatkan jaket yang ia kenakan agar terlindung dari angin malam. Meski hasilnya nihil karena tubuhnya tetap mengigil. Tanpa terasa, ia sampai juga di depan rumah.
"Assalamualaikum, Nek!" seru Aisya. Gadis itu memilih duduk di kursi kayu yang terdapat di teras depan. Lalu mencopot sepatu perlahan dan memperlihatkan kakinya yang berubah pucat karena terlalu lama mengenakan sepatu basah.
"Waalaikumsalam," jawab suara di dalam. Tak berapa lama kemudian seorang wanita berusia sekitar enam puluh tahunan keluar. Wanita itu menyunggingkan senyum lega, mendapati cucu perempuannya pulang dalam keadaan baik.
"Kamu dari mana saja, Ais? Kenapa sudah malam begini baru sampai rumah?" Mendengar pertanyaan khawatir dari neneknya, Aisya terdiam dan menatap wanita tersebut. Gadis itu mencoba mencari alasan agar Maryam, neneknya, tak semakin khawatir.
"Apa ada hal yang terjadi?" sambung Maryam, karena Aisyah tak kunjung menjawab.
"Nggak, Nek. Ais ada tugas kelompok yang harus di selesaikan hari ini. Itu mengapa Ais pulang telat," jawab gadis itu berbohong.
"Oh, apa kerja kelompok di rumah Husna?"
Pertanyaan Maryam hanya dijawab anggukan kecil Aisya. Ia tahu, akhir-akhir ini sering sekali berbohong pada neneknya. Tapi tak ada pilihan lain, ia hanya tak ingin Maryam lebih khawatir melepasnya ke sekolah.
"Husna dan Marsya sekarang jarang sekali main ke sini," sambung wanita tua itu.
Aisyah semakin bingung jika terus diinterogasi seperti itu. Pasalnya sang nenek tak pernah mengetahui masalah yang dialaminya di sekolah.
"Mereka hanya sedang sibuk, Nek," jawab gadis itu pada akhirnya, guna menghentikan pertanyaan sang nenek.
"Kalau begitu Ais ke dalam dulu ganti baju." Neneknya mengangguk. Maryam menghela napas pelan ketika punggung aisyah menjauh. Gadis itu, cucunya, masih tetap sama seperti dulu, tertutup dan tak pernah ingin merepotkan orang lain. Batin Maryam.
Aisyah membuka pintu kamar dengan perlahan. Ia menggantung tasnya ke kapstok, dan kembali menutup pintu. Gadis itu melepas jaket yang ia kenakan sebelum memutuskan duduk di tepi ranjang.
Hari ini terasa begitu melelahkan untuk Aisyah, sama seperti hari-hari sebelumnya. Gadis yang sudah terlalu lelah itu menghela napas pelan. Sesak, dadanya terasa sesak sekali.
“Sampai kapan seperti ini, ya Allah?” lirih Aisya menengadahkan kepala. Sekuat tenaga ia menahan laju air mata yang ingin menetes. Tapi tak bisa, karena isakkan tertahanlah yang terdengar. Ia memutuskan meraih bantal dan menenggelamkan kepalanya ke benda itu, agar isakkannya tak terdengar sampai ke telinga sang nenek.
Setelah puas melampiaskan rasa sesaknya dengan menangis, tatapan matanya beralih pada jaket yang dipinjamkan Jovan padanya. Ia mulai mengingat hal yang terjadi hari ini, juga tentang seniornya.
Aisya bukan tak mengenal Jovan, tentu saja ia tahu cowok itu. Bahkan sangat-sangat tahu. Karena hampir satu sekolah sering membicarakannya. Atau mungkin diam-diam ia juga sering memperhatikan cowok itu tanpa ia sadari. Meski ia sendiri baru pertama kali ini berbicara dengan Jovan.
"Tapi kenapa tadi dia mau menolongku?" gumam Aisyah penasaran.
"Apa tadi dia melihat aku di-bully?” Ada jeda sejenak. Gadis itu mulai menerka-nerka dan berpikir keras kenapa Jovan menolongnya.
“Biasanya juga dia melihat, dan selalu memilih menutup mata, kan? gumamnya lagi.
"Ah sudah lah. Besok kukembalikan saja jaketnya." Setelah mengatakan itu, Aisya bergegas membersihkan diri, dan keluar dari dalam kamar setelah selesai.
Ketika keluar, Maryam tengah menyiapkan makan untuk gadis itu. Aisya melangkah ke meja makan. Kedatangannya membuat sang nenek yang tengah serius mengalihkan perhatiannya pada gadis itu.
"Makanlah, Nenek memasak makanan kesukaanmu," ucap Maryam sambil menaruh ayam kecap ke atas piring Aisyah.
"Terima kasih, Nek," gadis itu berkata, dan memperlihatkan deretan giginya yang rapi karena terlalu girang.
“Ngomong-ngomong Kakek belum pulang dari toko?" sambung Aisyah
"Belum, mungkin sebentar lagi." Aisyah hanya mengangguk kecil dan memilih menyantap makanannya dalam diam. Meski kemudian Maryam kembali membuka percakapan.
"Bagaimana dengan sekolahmu? Apa teman-temanmu tak menjauh setelah mereka tahu tentang orang tuamu?" Pertanyaan Maryam menghentikan kunyahannya. Gadis itu bingung hendak menjawab apa sekarang.
"Ba-baik kok, Nek. Mereka malah selalu mendukung Ais. Nenek nggak perlu khawatir." Aisyah berbohong lagi kali ini. Seperti biasa, ia hanya tak ingin neneknya khawatir.
"Ah, syukurlah kalau begitu. Nenek kadang khawatir dengan nasibmu, Ais. Tak seharusnya anak seusiamu menanggung beban seberat ini." Perkataan Maryam semakin membuat dada Aisyah nyeri.
Gadis itu menatap sedih Maryam, lalu mengusap tangan sang Nenek yang ada di atas meja. Berusaha menenangkan wanita tua itu yang terlihat murung. Aisya tahu sekali, Neneknya tengah merindukan sang anak yang memilih pergi bersama harapan palsu mereka.
"Nek, Aisyah enggak pa-pa. Insyaallah Aisyah kuat asal Nenek dan Kakek selalu ada. Aisyah telah menerima dengan ikhlas semua yang terjadi dalam hidup Aisyah, karena dari awal ini pilihan Aisyah. Nenek jangan sedih, karena masih ada Aisyah yang selalu ada untuk Nenek." Mendengar perkataan Aisyah, Maryam menyunggingkan senyum kecil yang bahkan tak sampai ke matanya. Wanita itu tahu sekali, jika cucu gadisnya ini selalu menangis diam-diam.
"Semoga Allah membalas ketulusan hatimu, Sayang," kata Maryam sambil menyunggingkan senyum sedih. Mereka melanjutkan makan setelah itu. Bebrapa saat kemudian terdengar sapaan salam dari arah pintu depan.
"Assalamualaikum,"
"Waalaikumsalam," jawab Aisyah dan Maryam serentak. Lalu terlihat Abdullah, Kakek Aisyah, masuk menghampiri mereka.
"Kenapa baru pulang, Kek?" tanya Aisyah mencium punggung tangan sang Kakek.
"Iya, ada barang datang hari ini. Kakek terpaksa harus mengawasi semuanya." Aisyah dan Maryam hanya mengangguk mengerti.
"Kakek ke kamar dulu, mau mandi. Kalian makan dulu saja,” sambung Abdullah berlalu pergi.
*****
Di kediaman keluarga Kaffi, Jovan tengah tidur terlentang di kasurnya. Cowok itu terlihat termenung mengingat kejadian tadi sore saat di sekolah. Ia tak habis pikir kenapa prinsipnya yang tak ingin mengurusi orang lain begitu saja berubah hanya karena gadis itu.
"Aisssh, untuk apa coba lo ikut campur masalah gadis itu! Mana ada acara meminjamkan jaket pula. Nanti kalau dia salah paham bagaimana? Terus baper," gerutu Jovan merutuki kebodohannya.
Jovan teringat ketika ia tak sengaja mendengar rintihan istigfar Aisyah. Ya, Jovan mengenal namanya, ia terlalu sering mendengar semua orang membicarakan gadis itu. Bahkan mungkin jauh sebelum itu ia telah mengenal Aisyah. Hanya Jovan tak pernah ingin melibatkan diri dengan hidup gadis itu.
Namun, untuk kali ini ia tak bisa menutup mata akan hal yang terjadi. Terlebih saat dengan jelas ia melihat gadis itu menangis. Ada rasa iba yang mulai merasuki hatinya ketika mendengar suara istigfar Aisyah, suara kesakitan yang berusaha gadis itu tahan untuk dirinya sendiri.
bukan sekali dua kali Jovan menyaksikan gadis itu di-bully. Hampir setiap hari ia melihatnya. Tapi baru hari ini ia melihat gadis itu akhirnya menangis. Selama ini Jovan berusaha tak acuh, meski setiap kali ia bertingkah seperti itu penyesalan selalu datang.
Cowok itu lantas duduk tegak di tempatnya.
"Arrrg! Kenapa gue jadi ingat dia terus, sih!" gerutu Jovan kesal. Cowok mengacak rambutnya frustrasi.
Tiba-tiba terdengar pintu kamarnya diketuk dari luar. Tentu saja itu akibat ulahnya sendiri yang berteriak cukup kencang dan memaksa Kayla yang tak sengaja mendengarnya tergopoh-gopoh mendekat.
"Jo, kamu kenapa? Boleh Bunda masuk?" seru Kayla meminta izin.
"Boleh, Bun. Masuk aja!"
Setelah itu terlihat Kayla menyembulkan kepalanya dari pintu lalu masuk ke kamar anaknya. Wanita itu duduk di tepi ranjang dan memerhatikan putranya yang dari tadi terlihat gelisah. Bahkan semenjak Jovan masuk ke rumah, Kayla menangkap ada hal yang tak beres pada anaknya.
"Ada apa? Kenapa anak Bunda hari ini terlihat galau sekali?" Jovan menatap Kayla ragu-ragu. Antara ingin bercerita atau tidak.
"Nggak pa-pa, Bun. Aku hanya ...." Jovan menggantung kalimat karena ragu sekaligus malu jika harus menceritakannya.
Tak ayal Kayla menautkan alis. Seingatnya, Jovan adalah jenis makhluk yang tenang dan irit bicara. Bahkan dalam delapan belas tahun usia putranya tersebut, Kayla hampir tak pernah melihat Jovan segalau ini.
"Ayo, cerita sama Bunda. Apa yang membuat kamu gelisah seperti itu. Tak biasanya anak Bunda yang ganteng ini uring-uringan." Kayla menyuarakan isi pikirannya.
Jovan mengembuskan napas berat. Untuk berbohong di depan Bunda itu tak mungkin, karena Kayla terlalu tahu segalahal tentang Jovan.
"Aku bingung, Bunda. Hari ini aku telah melanggar prinsip aku sendiri. Bunda tahu, kan? Aku paling nggak suka ikut campur urusan orang," ucap Jovan dengan nada lesu.
"Terus? Apa urusan itu berkaitan dengan merugikan orang lain?" tanya Kayla lembut.
"Nggak, Bunda. Aku nggak mungkin berbuat seperti itu. Ini tentang seorang gadis."
Mendengar jawaban itu Kayla hanya tersenyum simpul. Ditatapnya lekat-lekat wajah Jovan. Ia kini sadar putranya sekarang sudah beranjak remaja. Rasanya waktu berjalan begitu cepat, pikir Kayla.
"Jadi, ini tentang seorang gadis yang sedang kamu suka?" goda Kayla tersenyum jenaka.
"Bukan, Buda. Bukan itu! Jadi ... gadis ini kalau nggak salah namanya Aisyah. Dia gadis yang sering Shanum ceritakan ke Bunda."
"Ah, gadis yang orang tuanya meledakkan bom bunuh diri itu?"
"Iya, jadi tadi sore aku lihat dia di-bully lagi. Tapi karena aku nggak mau ikut campur, maka aku biarkan aja dia di-bully. Tapi setelah aku dengar rintihan istigfar Aisyah, nggak tahu kenapa aku jadi iba Bunda. Awalnya aku nggak mau terlibat sama dia karena aku malas berurusan dengan mereka. Tapi setiap kali aku memutuskan pergi, ada rasa sesal yang tersisa. Aku selalu bertanya kenapa aku nggak menolong dia? Tapi hari ini pengecualian, karena aku memutuskan menolong dia." jawab Jovan tak habis pikir. Ia bukan tak ingin menolong Aisyah, hanya saja ia tak mau membuat hidup gadis itu makin rumit jika berurusan dengannya.
"Loh, bukannya bagus kalau menolong sesama. Justru kalau kamu nggak menolong itu artinya kamu nggak punya rasa belas kasih. Karena sesama manusia harus saling menolong. Ingat, kan, yang Bunda ajarkan?" ucap Kayla mengingatkan.
"Tapi aku kesal, Bunda. lihat sikap dia yang terlalu lemah. Makannya aku diam aja karena aku mau lihat sejauh mana dia bisa bersikap sok kuat. Harusnya kalau diperlakukan begitu dia melawan, atau paling tidak dia lapor guru. Ini malah pasrah aja. Di pikir dia wonder women."
Mendengar gerutukan anaknya, Kayla tersenyum. "Terkadang beberapa orang hanya bisa menyimpan kesedihannya sendiri. Bukan karena dia lemah atau sok kuat. Karena cara terbaik menyimpan sakit dan kesedihanmu adalah dengan berzikir, bertasbih menyebut nama Allah. Bunda yakin, gadis itu adalah gadis paling kuat yang pernah Bunda dengar. Jika Bunda jadi dia, Buda pun nggak yakin bisa kuat bertahan sendirian. Coba deh kamu bayangkan."
Jovan terdiam karena ucapan Kayla. Mencoba mencerna apa maksud yang diucapkan sang Bunda.
Bundanya benar, Aisyah mungkin lebih kuat dari kebanyakan gadis seusianya. Ia tak bisa membayangkan jika hal itu menimpa adiknya, Shanum. Aisyah hanya butuh pertolongan, apa dia akan sama dengan semua orang yang mem-bully gadis itu dan menutup mata?
"Jadi apa yang harus aku lakukan besok, Bunda? Aku nggak mau lagi terlibat masalahnya. Karena satu sekolah pun nggak ada yang mau berurusan sama dia. Dan jika Jovan menolong dia, hidupnya akan makin rumit nanti.” Kali ini Jovan benar-benar terlihat frustasi.
Mendengar kekhawatiran putranta, Kayla menatap Jovan tak mengerti.
"Kenapa? Kamu bahkan belum mencobanya, kan? Tapi itu terserah kamu, sih, Sayang. Bunda hanya percaya kamu anak Bunda yang baik. Kamu pasti tahu yang baik menurutmu. Bunda yakin kamu nggak sama seperti temanmu yang lain,” ada jeda sejenak. Kayla mengusap lembut bahu putranya.
“kalau pun menurut kamu melibatkan diri pada hidup gadis itu akan menambah rumit, setidaknya kamu nggak akan menyesal karena pernah berusaha menolongnya. Dari pada kamu hanya bisa melihatnya dari jauh, dan menyesal setelah semuanya terlambat,” ucap Kayla lalu bangkit.
“Bunda ke luar dulu ya. Kamu bobo! besok harus bangun untuk sahur,” sambung Kayla mengelus lembut kepala putranya.
Jovan mengangguk, lalu Kayla keluar dan mematikan lampu.
"Arrrg ... Aisyah! Gue hanya nggak mau terlibat masalah lo. Gue nggak mau menambah rumit hidup lo. Gue harap besok nggak ada lagi acara melihat lo di-bully. Jadi, gue nggak perlu lagi iba sama lo, karena itu mengganggu gue," gumam Jovan.
*****5
Selamat malaaam, apa ada yang menunggu? Jangan lupa tinggalkan jejak.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top