Part 6: Asta dan Mobil Klasik
SELESAI make up dan mengenakan blazer, aku berjalan menuju kubikal lalu mengganti flat shoes-ku dengan pantofel. Dari rumah aku memang enggak langsung memakai seragam Nationtrust Bank dan juga sepatu kerja, karena tentu saja enggak akan nyaman. Lagi pula dengan rok pendek ditambah pantofel begini, aku enggak akan bisa naik tangga dengan leluasa.
Daniar baru tiba di kubikalnya dengan rambut yang masih dicepol asal-asalan, sandal jepit dan earphone di telinga tentunya.
"Kusut banget lo? Naik apa?"
"Biasa naik Transjakarta, penuh banget deh tadi." Gadis itu meletakkan tasnya di atas meja. "Gue kesiangan juga sih, telat sepuluh menit aja efeknya maha dahsyat." Wajahnya memberengut.
"Makanya bangun pagi," saranku sembari meneguk teh hangat.
"Lo tahu kali, gue selalu in time. Ini gara-gara gue kebanyakan ngopi aja semalem, akhirnya enggak bisa tidur deh sampai jam satu pagi." Ia menaruh ponselnya di laci setelah mencabut earphone dari telinganya.
"Terus kenapa udah tahu bakalan insom kalau minum kopi, tapi lo lakuin juga?"
"Kafe temen gue baru buka, Riv. Jadi, gue nyobain kopinya di sana. Enggak enak dari kemarin udah diminta datang terus."
"Oh gitu, buka di daerah mana?"
"Cipete," sahut Daniar mulai mengambil pouch berisi alat make up-nya dari dalam tote bag. "Gue make up dulu, ya," katanya seraya meninggalkan kubikel.
"Buruan! Sepuluh menit lagi briefing," kataku memberi peringatan. Gadis itu terus berjalan dengan mengacungkan ibu jarinya kepadaku.
Daniar itu teman satu perjuanganku. Kami saling kenal saat mengikuti Training Development Program. Ia bertugas sebagai Funding Officer yakni mempromosikan produk-produk bank berupa Tabungan, Deposito dan Giro. Juga membuka Rekening Tabungan Baru.
Sama sepertiku, Daniar pun setiap harinya jarang berada di kantor karena kami bekerja secara mobile untuk mencari nasabah baru. Ketika sedang disibukkan membuat memo calon debitur, aku meraih ponselku yang sedari tadi tampak bergetar.
Anggasta Baskara
Riv, Lo bisa datang hari ini ke showroom gue? Gue usahakan sekitar jam 3 pulang kantor.
Ternyata pesan yang masuk dari Asta, langsung saja kubalas agar aku juga cepat mendapatkan informasi seputar showroom-nya. Lebih cepat akan lebih baik.
Bisa kok, Ta.
Gue jemput?
Enggak usah, Ta. Share location aja.
Yakin? Nanti lo naik apa?
Ada supir kantor kok.
Oh oke, nanti gue shareloc kalau begitu. Sampai nanti, Riv.
Sip, sampai nanti.
Terkadang aku selalu bertanya-tanya. Asta hanya mempunyai kepribadian ramah pada semua orang atau memang ia sedang perhatian kepadaku saja? Namun, hal itu selalu kutepis cepat-cepat setiap kali melintas di kepalaku. Sepertinya pernyataan pertama lebih masuk akal.
Mungkin sisi diriku yang terlalu bawa perasaan sedang lebih dominan ketika berada di dekatnya. Lagi pula untuk apa juga Asta perhatian kepadaku, bahkan kami baru tiga kali bertemu.
Aku berhenti di sebuah kompleks di kawasan Kebon Jeruk, sesuai lokasi yang sudah Asta bagikan padaku. Aku meminta Pak Rohim–supir kantor—untuk meninggalkanku karena kemungkinan dari showroom Asta, aku akan langsung pulang. Lagi pula hari ini aku berniat ke rumah mama.
Sebenarnya, aku memundurkan waktu bertemu dengan Asta. Itu karena jam setengah tiga tadi ada meeting dadakan dengan pihak kredit. Jadi, tepat pukul empat sore aku sudah tiba di showroom Asta.
Aku melihat dua orang lelaki sedang mengobrol di halaman showroom. Baru saja hendak bertanya, lelaki berambut cepak menyapaku.
"Cari siapa, Mbak?"
"Saya nyari Asta, Mas. Ada?" Keduanya tampak bingung. Aku lalu menyebutkan nama lain. "Angga?" Aku tiba-tiba teringat panggilan Mbak Clarissa kepada lelaki itu.
"Oh temennya Angga, masuk aja Mbak. Angga baru sampe juga, palingan lagi rebahan di dalem."
"Boleh minta anter, Mas? Nanti kalau saya nyasar repot loh," kataku berubah sok kenal supaya enggak terlalu canggung.
"Mbak bisa aja deh ngelucunya pantes betah jadi temen Angga yang rada-rada."
"Rada-rada apa, Mas?"
"Rada-rada halu, Mbak. Tahu kan kebiasaannya yang suka ngasih nama-nama cewek sama kendaraannya?" Aku mengangguk dengan senyum mengembang. "Nah, itu gara-gara kelamaan jomlo kayaknya, Mbak. Jadi, dia suka halu."
Saat menginjak undakan anak tangga terakhir menuju sebuah ruangan, Asta muncul dari sana. Masih dengan balutan kemeja dalam keadaan sudah digulung tentunya.
"Riv, udah sampe? Enggak nyasar, kan?" tanyanya dengan raut terkejut.
"Enggak kok, location map lo akurat. Maaf, ya, jadwalnya malah jadi mundur."
"Engga apa-apa, masuk Riv!" ajak Asta padaku. "Lo kenapa senyam-senyum begitu, No?" tanya Asta kepada temannya.
"Happy aja, Bos, lihat lo punya temen cewek secara nyata."
"Maksud lo?"
"Lo kan kebanyakan halu selama ini."
"Dih, nih anak minta disambelin ternyata. Sana gih!" Asta mengibaskan tangannya ke udara.
"Dari sini gue paham bahwa istilah tamu adalah raja itu benar adanya," ledek lelaki itu. Sementara Asta tampak kesal seraya mendumal. Aku hanya bisa tersenyum mendengar percakapan keduanya. "Lo enggak mau ngenalin temen lo ke gue, Ga?"
"Lihat cewek cantik jiwa celamitan lo keluar, ya, No?" Asta meledek temannya kemudian beralih melirikku. "Riv, kenalin nih temen gue namanya Nino. Dia mekanik di sini," kata Asta yang terlihat ogah-ogahan. Aku menjabat tangan Nino dengan akrab, dan lelaki itu tersenyum ceria.
"Udah, ya, enggak ada modus-modus club, ya, No!" kata Asta seraya mengajakku ke dalam ruko. Nino tampak memberi sumpah serapah yang justru berusaha enggak didengar oleh Asta.
Beberapa menit kemudian, Asta kembali dengan dua minuman di tangannya. Kami mulai membahas tentang pengajuan kreditnya. Aku memberitahu secara rinci, mulai dari macam-macam bunga dan rincian angsuran.
"Suku bunga Nationtrust berapa, Riv?"
"Bunga flat 12% per tahun."
"Lumayan tinggi dong."
"Lumayan, Ta," jawabku seraya meneguk sirup melon buatan Asta.
"Tenornya sampai berapa tahun kalau ini?"
"Minimal 1 tahun dan maksimal 3 tahun."
"Itu kalau pakai bunga flat sampai lunas pun tetap 12%?" Aku mengangguk lagi. "Misal gue ambil tenor dua tahun, tapi di bulan ke 15 gue mau lunasin. Itu kena penalti enggak?"
"Kena dong, Ta. Semisal yang tadinya bunga angsuran lo 2% per bulan naik jadi 5% per bulan. Karena jatohnya lo dianggap melanggar perjanjian kredit lantaran melunasi sebelum jatuh tempo." Asta memperhatikan brosur berisi daftar angsuran pinjaman yang kuberikan, ia lalu membacanya dengan serius.
"Ini syaratnya apa aja, Riv?"
"Foto kopi KTP, KK, NPWP, slip gaji, sama surat nikah." Asta mendongak dengan wajah innocent. "Kalau ada," tambahku dengan senyum tipis.
"Fyi, gue single, Rivka." Asta menatapku sekilas dengan mata elangnya lalu kembali ke brosur di tangannya.
Usai berdiskusi dan memutuskan dana yang akan diajukan untuk pinjaman Asta kepada Nationtrust Bank, lelaki itu mengajakku berkeliling ke showroom-nya.
Bangunan showroom Asta ini berasal dari dua ruko yang dijadikan satu gedung. Di ruko sebelah kiri, Asta jadikan ruang administrasi—tempat kami mengobrol tadi—lalu di lantai duanya ia jadikan ruang pribadi. Katanya Asta sering tidur di sana, kalau sedang malas pulang ke apartemen.
"Kalau dananya cair lo mau pakai buat beli bangunan sebelah?" tanyaku memastikan. Tempo hari ia memang bercerita ingin membeli bangunan di sebelah showroom-nya.
"Iya, yang itu, Riv." Asta menunjuk bangunan di sebelah kanan showroom-nya. Tampak sebuah ruko kosong namun sudah direnovasi dengan adanya kanopi di bagian depan. "Penjualnya pengin cash, sementara uang gue masih muter. So, gue memutuskan untuk pinjam ke bank. Rencananya, selain jual beli mobil antik. Gue sama temen-temen mau buka bengkel, udah jalan sih setahun terakhir ini."
"Otak bisnis lo memang oke ya, Ta." Asta tersenyum.
"Gue cuma pengin ilmu yang udah gue dapet bisa bermanfaat aja, Riv. Lagi pula, gue memang suka ngotak-ngatik mesin," cengirnya seraya mengajakku terus berjalan menuju sebuah garasi. "Tujuan utamanya gue bangun bengkel sih buat memberikan edukasi ke masyarakat, bahwa memelihara dan merawat mobil tua enggak semahal yang dikira. Makanya kita harus paham mesin dan rajin merawatnya."
Asta membuka garasi yang lumayan tinggi, dan di sana tempampang beberapa mobil klasik. Accord yang kemarin juga ada di sana. Aku enggak bisa percaya, ini semua adalah aset Asta. Aku rasa, Asta pinjam 500 juta pun bisa tembus kalau agunannya mobil antik yang harganya ratusan juta ini.
Asta menjelaskan tentang mobil Ford Mustang Maverick keluaran tahun 1967. Kata Asta, mobil ini termasuk dalam kategori muscle car dengan mesin V8 yang suaranya sangat garang. Sehingga Asta lebih memilih mendengarkan suara mesin mobilnya, ketimbang suara musik saat berada di dalam mobil tersebut.
Asta sangat menyukai mobil ini, bahkan ia rela mengganti oli mobilnya setiap setelah digunakan. Aku juga bisa merasakan kesan maskulin dan cowok banget melekat erat pada diri seorang Anggasta Baskara, begitu pula mobil klasik yang menjadi pilihannya ini. Oh iya, Ford Mustang ini diberi nama Marcella oleh Asta.
Lalu Asta beralih pada mobil klasik lainnya, di sana ada Mustang Boss 429 keluaran Ford juga. Salah satu mobil kesayangannya, karena kendaraan ini merupakan pemberian dari papanya dan Asta memberinya nama Clara.
"Lo tahu enggak, Riv? Mobil ini terkenal di dunia karena muncul di film Gone in 60 second yang diperain sama Nicholas Cage. Terus mobil ini juga termasuk mobil yang dikendarai Keanu Reeves di film John Wick karena sama-sama termasuk varian Ford Mustang, yah meskipun udah dimodifikasi."
"Oh, ya?" Asta mengangguk antusias. "Keren banget. Great info, Ta. Itu Mercy bukan sih, Ta?" Aku menunjuk mobil berwarna putih paling ujung.
"Iya, itu Mercy Kebo tahun 1969. Waktu gue beli harganya cuma 40 juta. Awalnya gue ngerasa ketipu, Riv. Masalahnya, hampir seluruh elemen Mercy yang gue beli itu ternyata harus diganti sampai ngabisin 100 juta buat merestorasi itu."
"Serius, Ta?" Aku menggeleng tak percaya.
Asta mengangguk lalu kembali berujar, "But, Thank God. Sekarang udah ada yang nawar sampai 200 juta. Orangnya lagi keluar kota jadi nitip dulu." Aku hanya bisa tersenyum takjub menanggapi cerita lelaki di hadapanku. "Ternyata Mercy itu barang antik, Riv, dan semakin tua nilainya semakin mahal," ungkapnya.
"Kalau ada temen gue yang mau nanya-nanya tentang mesin, boleh dong datang ke sini?"
"Tentu, Riv. Oh ya, kalau yang itu, kemarin udah ada yang mau sih. Udah deal juga harganya." Asta menunjuk salah satu mobil klasik Volkswagen Golf Mk1 yang sangat ikonik berwarna kuning kunyit.
"Terus kenapa belum diambil sama orangnya?"
"Besok baru nyampe Jakarta, dia dari Makassar soalnya."
"Wah jauh gitu, dibeli aja, ya?"
"Namanya juga pencinta mobil klasik, Riv. Dari Sabang ke Merauke juga disamperin."
"Salut gue sama hobi kalian," kataku jujur. Aku baru bertemu lelaki yang benar-benar menggeluti hobi sekaligus dijadikan usaha. Dan aku semakin mengagumi cara berpikir Asta. "By the way, itu ada Vespa juga?" tanyaku sembari berjalan mendekat agar bisa menyentuh Vespa berwarna merah itu.
"Iya, namanya Merry. Gue bawa dia atau Angel kalau pas lagi kerja. Mesinnya masih cukup oke." Aku tertawa saat Asta selesai bercerita. "Kenapa sih? Memang ada yang lucu?" Wajah Asta menunjukkan kebingungan sesaat.
"Ya habisnya lo ngasih nama kendaraan lo pakai nama-nama cewek. Apa enggak bikin pacar lo curiga nantinya?"
Entah kenapa aku ingin tahu langsung dari mulut Asta, benarkah ia jomlo seperti yang temannya katakan tadi?
"Curiga gimana?"
"Semisal gini, Ta. Lo ditelepon cewek lo. 'Sayang kamu lagi ngapain?' Terus lo jawab, 'Ini aku lagi jalan sama Merry atau ini aku lagi bareng Angel. Nah, yang ada cewek lo mikir macem-macem kali, Ta."
"Oh iya juga sih, kenapa gue enggak mikir sampai ke sana, ya?" Asta justru balik bertanya. "And then, how about you?"
"Maksudnya?"
"Ya, kalau gue jawab begitu, apa lo cemburu?"
"Kenapa gue?" Aku menatapnya bingung.
"Itu karena gue enggak pernah ditanyain kayak begitu."
"Loh, kok bisa? Memangnya pacar lo enggak pernah nelpon?"
"Bukan enggak pernah nelpon, sih, memang gue enggak punya pacar. Siapa juga yang mau nelpon?" Kepalaku hanya bisa mengangguk, tetapi masih belum paham ucapannya. Lalu, apa hubungan Asta dengan Mbak Clarissa?
Setelah obrolan panjang lebar seputar kendaraan antik dan lain-lain. Urusanku sudah selesai, lelaki itu juga sudah deal mengajukan pinjaman di Nationtrust Bank. Nantinya, aku hanya tinggal membuat memo usulan kredit untuk diserahkan ke komite kredit, yah semoga saja pinjaman Asta bisa approved.
"Gue anterin, Riv!"
"Enggak usah, Ta. Lagian gue mau ke rumah nyokap."
"Oh, di mana?"
"Di Tangsel, jauh loh."
"Nah, makanya jauh mau gue anterin aja, ya. Memangnya lo mau naik apa, udah mau malem begini?"
"Taksi online banyak kali, Ta."
"Udah, ya, gue anterin aja, lo tunggu bentar di sini. Gue keluarin si Angel dulu. Jangan ke mana-mana pokoknya!" ancamnya yang justru terdengar lucu di telingaku. Bahkan aku belum memesan taksi online, bagaimana caranya aku beranjak dari sini?
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top