Part 5: Asta dan Musik Country
AKU masuk ke dalam Accord milik Asta setelah lelaki itu membuka kuncinya.
"Enggak pakai AC, ya, Riv, belum gue benerin soalnya. Kemarin tiba-tiba aja bocor AC-nya. Maklum lah mobil tua." Asta memberitahu saat sudah menyalakan mesin mobilnya.
"Nyantai aja, gue biasa pakai AC alami kok." Asta tersenyum mendengar penuturanku, dan aku memakai sabuk pengaman.
"Eh, Riv. Boleh enggak kalau nanti kita makan dulu?" tanyanya ragu-ragu.
"Loh, tadi enggak sekalian pesan makan di dalem?" Bukannya aku keberatan dengan ajakannya, hanya saja aku enggak menyangka kalau ternyata Asta sedang kelaparan.
"Lupa, saking keasyikan ngobrol." Asta menggaruk-garuk bagian belakang kepala dengan tangan kirinya. Aku memaklumi hal itu, apalagi ia bertemu dengan teman lama –Mbak Clarissa.
"Ya udah, gue, sih, oke aja."
"Enaknya makan apa, ya, Riv?" tanya Asta saat mobil sudah keluar dari area basemen.
"Lo lagi penginnya makan masakan apa? Pedes, manis, kering atau berkuah?"
"Lagi pengin yang berkuah sih," jawabnya sembari berpikir.
"Gimana kalau soto betawi?"
"Wah boleh tuh, kalau bisa yang searah sama jalan ke rumah lo aja, ya."
"Ada kok di Pasar Slipi dari sana enggak terlalu jauh ke tempat tinggal gue."
"Sip, kalau begitu."
Sepanjang perjalanan, kami enggak berhenti berbincang-bincang. Rasanya ada saja yang kami bahas, mulai dari pekerjaan, pendidikan, hobi, otomotif, dan lain sebagainya. Asta benar-benar hangat, seolah kami sudah lama saling kenal.
Asta juga bercerita kalau Mbak Clarissa adalah teman sewaktu SMA. Asta melanjutkan sarjananya di UGM. Setelah lulus, ia bekerja di perusahaan migas selama dua tahun sebagai Welding Engineer. Dari sana, ia sudah kehilangan kontak dengan Mbak Clarissa. Dan atas permintaan papanya, Asta kembali melanjutkan gelar masternya di Inggris tepatnya di kota Leeds. Lalu di sana ia kembali bertemu dengan Mbak Clarissa, meski mereka berdua berbeda fakultas.
Usai S2, Asta sempat bekerja di perusahaan otomotif di Inggris. Namun, itu hanya satu tahun karena ia mendapat kabar kalau papanya meninggal. Dan dua tahun terakhir ini, Asta memutuskan untuk kembali bekerja lagi, karena ia memiliki keinginan untuk menjadi seorang pengusaha. Asta bilang, dengan bekerja ia bisa sedikit demi sedikit menabung untuk merintis usahanya.
Aku benar-benar salut dengan keproduktifan lelaki itu. Di satu sisi ia memanfaatkan ilmunya dalam bidang engineer, dan di sisi lain ia mengikuti hobinya yang berbuah hasil menjadikannya satu usaha.
"Tinggal di Leeds betah, Ta?" tanyaku saat kami sudah berada di rumah makan soto betawi.
"Betah, kok. Seru banget malahan, di sana sama sekali enggak bikin gue bosan. Justru Leeds terkenal sebagai kota yang murah."
"Oh gitu."
"Kalau mau dibayangin, Leeds itu kayak Yogyakarta-nya Indonesia Riv, karena dikenal sebagai Kota Pelajar."
"Really?" Ia mengangguk, netranya masih fokus menatapku. Hal itu sedikit membuatku gugup, tetapi juga senang. Senang dalam arti dihargai, karena Asta tipe orang yang selalu menatap mata ketika bercengkrama dengan lawan bicaranya.
"Kebetulan lokasi kampus gue letaknya enggak jauh dari pusat kota. Otomatis biaya hidup pun mengikuti dinamikanya. Bahasa praktisnya 'harga pelajar' gitu, Riv. Yah, meskipun luas Kota Leeds itu enggak sebesar Manchester apalagi London, tapi Leeds tetap memiliki daya tarik tersendiri, sih, dari segi pemandangan, pusat kota, pusat pertokoan, arsitektur, dan tempat bersejarahnya." Asta bercerita panjang.
"Terus di sana lo masak sendiri?" kataku seraya mulai menyantap soto betawi yang baru saja disajikan.
"Iya, dong, gue lumayan jago loh untuk urusan masak memasak." Asta berkata jemawa sembari mengaduk-aduk sotonya lalu menyesap kuahnya perlahan.
Aku sesekali memperhatikan cara makan Asta yang begitu menikmati makanannya, seolah apa yang dimakannya adalah menu terenak di dunia. Asta bukan rakus, tetapi ya itu tadi, ia menikmati makanannya dengan cara yang berbeda. Aku bisa pastikan, bahkan orang yang kenyang pun akan merasa kelaparan saat melihat cara makan Asta yang begitu nikmat.
"Masa, sih?" tanyaku setengah enggak percaya. Masalahnya, aku jarang sekali bertemu dengan lelaki yang bisa masak.
"Lain kali, lo harus coba masakan gue deh!" katanya seolah menantangku.
"Siapa takut," balasku tak mau kalah.
Selesai makan, kami melanjutkan perjalanan menuju rumahku. Asta menyandarkan kepalanya ke kaca sebelah kanan saat mobil berhenti untuk membiarkan beberapa orang menyebrang jalan. Hening beberapa saat membuatku mengantuk. Mungkin efek dari perut yang sudah merasa kenyang.
"Kalau ngantuk, tidur aja Riv. Binus masih tiga kilo lagi, nih." Aku sudah memberitahu Asta, bahwa rumahku enggak jauh dari kampus Binus.
"Enggak ah, nanti lo berasa jadi supir banget." Asta tertawa mendengar ucapanku. Apa ada yang salah?
"Santai aja, atau ... kita dengerin musik kali, ya?" tawarnya, lalu aku mengangguk setuju. Daripada aku tidur dan merasa enggak enak terhadap Asta, sepertinya mendengarkan musik adalah pilihan yang tepat.
Setelah memutar-mutar saluran pada radio yang ada di mobilnya, Asta memilih saluran yang sangat familier di telingaku. Tampak terdengar penyiar yang kutahu bernama Eda membacakan daftar lagu di Trending 20 Countdown–nama acara di saluran radio tersebut. Dan saat itu juga, lagu Lover milik Taylor Swift mengalun indah mengiringi perjalanan kami.
"Suka sama lagunya?" tanya Asta saat mendengarku sesekali bersenandung mengikuti lirik lagunya.
"Banget," jawabku antusias. "Sejujurnya, waktu hari pertama rilis, entah berapa kali gue puter terus lagu ini. Rasanya tuh enggak mau berhenti, candu banget, deh."
"Seriusan?" Aku mengangguk cepat. "Tapi kalau lo bilang candu, gue setuju sih. Apalagi gue bisa dengar di intro awalnya itu ada nuansa country-nya dan gue suka."
"Nah, itu dia, gue merasa lagu Lover ini tuh perpaduan dari albumnya Fearless dan Red. Sampai banyak yang komentar, katanya tuh The Old Taylor Swift is back."
"Ternyata lo ngikutin beritanya banget, ya?" Asta menatapku tak percaya. Namun, aku justru tersenyum bangga. "Padahal sempat ada yang bilang, Swift tuh enggak mungkin balik ke genre lamanya. Lo ingat waktu dia rilis lagu Look What You Made Me Do?"
"Ingat. Di liriknya kan dia bilang, the old Taylor can't come to the phone right now. Why? Oh, cause she's dead! Yah, meski belum tahu juga, sih, dari aspek mananya kata dead ini ditujukan. Apakah dari kepribadian, sikap atau aliran musiknya?" Tubuhku kembali bersemangat saat membahas soal musik, apalagi musik yang kusuka. "Lo suka lagu Swift yang mana?"
"Sebenarnya, gue lebih suka waktu dia bawain musik country, kayaknya cocok aja gitu. Itu karena gue memang suka banget sama musik country sih, Riv." Asta menjawab seraya menekan tombol klakson beberapa kali, itu karena tiba-tiba saja ada motor yang menyalip lewat kiri dengan gerakan cepat. Apa pengendara motor itu berpikir dirinya Valentino Rosi? "Eh, kampret banget sih tuh motor!" Asta menatap tajam ke arah motor yang sudah hilang dengan cepat dari pandangan kami.
"Sabar, Ta, katanya orang sabar disayang pacar, loh." Aku berusaha menenangkan hatinya agar enggak kesal. Asta justru membalas dengan tawa. Nyatanya, ia mudah sekali mengembalikan mood-nya. "Lo suka sama musik country?" Aku kembali bertanya agar Asta lupa kekesalannya.
"Banget," jawabnya singkat seraya mendesah panjang.
"Karena suara banjonya, ya?"
"Enggak juga, Riv, karena beberapa lagu country justru ada yang enggak pakai banjo. Sebenarnya gue mulai suka musik country udah cukup lama. Kalau dihitung-hitung mungkin sejak gue SMP atau SMA, tapi saat itu gue enggak sadar kalau lagu-lagu yang gue dengar itu adalah musik country."
"Contohnya lagu siapa?"
"Somebody Like You punya Keith Urban dan gue baru sadar kalau itu adalah musik country. Terus gue juga suka dengar lagu-lagu dari Faith Hill, LeAnn Rimes, Vince Gill, Shania Twain dan Jessica Simpson. Lagu-lagu mereka yang sering gue dengar itu di akhir tahun 90-an dan di awal tahun 2000-an."
"Ah, gue baru tahu kalau Shania Twain dan Jessica Simpson masuk ke jajaran penyanyi country."
"Iya, mereka pop country."
"Dan sekarang lo masih dengerin, Ta?"
"Musik country?" Aku mengangguk.
"Iya dong. Honestly, gue lebih suka jenis musik country klasik atau beberapa orang nyebutnya Old School Country. menurut gue jenis musik ini benar-benar kerasa country-nya dibanding genre-genre country baru yang lagi booming seperti alt. country atau new country. Nah contohnya kayak Taylor Swift, Carrie Underwood atau Rascal Flatts. Musik country klasik memang bagi sebagian besar orang terdengar membosankan, kuno, dan lain-lain. Tapi namanya juga selera, ya tetap aja buat gue sih masih terdengar cukup enak."
"Balik lagi ke selera masing-masing penikmat musik, ya, Ta?"
"Betul. Selain Old School Country, gue juga suka beberapa sub-genre yang merupakan turunan atau berkaitan sama country seperti Bluegrass, Americana dan Folk Music."
"Gue enggak begitu paham, sih. Hemp, kalau di Indonesia kayaknya musik country enggak banyak peminatnya, ya, Ta? Terutama sebagai penyanyi."
"Di Indonesia memang musik country enggak terlalu populer, Riv. Musik country sempat melanda Indonesia lewat musisi-musisi seperti Iwan Fals, Ebiet G. Ade atau Tantowi Yahya. Tapi sekarang, gue rasa nyaris enggak ada lagi musisi country baru, bahkan bisa dibilang udah enggak ada musisi country lokal yang eksis."
"Ah, gue paham," sahutku cukup mengerti dengan selera musik Asta.
"Kalau lo, Riv. Suka dengar musik apa?" tanyanya masih tetap fokus menyetir.
"Yang easy listening aja, sih, Ta. Slow rock juga hayu, asal enggak bikin sakit kuping."
"Contohnya?"
"Aerosmith, gue suka sama lagunya yang I Don't Wanna Miss A Thing."
"Wah, itu sih lagu legend banget. Awal debut aja itu lagu udah masuk nomor 1 di US Billboard Hot 100, dan kerennya lagi mereka bisa bertahan selama satu bulan." Asta berkata antusias.
"Lo pernah jadi penyiar radio, Ta? Atau PJ, gitu?"
Asta menyipitkan sebelah matanya saat menatapku sebentar lalu berkata, "Memangnya kenapa?" Ia kembali menatap lurus jalanan.
"Tahu banget soal musik, deh, kalau gue pure sebagai pendengar aja. Kadang tahu tapi kebanyakan enggak pekanya, yang penting gue dengar lagunya enak dan nikmatin aja. Gue enggak tahu lagu Aerosmith dan musisi lainnya pernah dapat penghargaan atau apa pun itu, tapi lo? Lo keren banget, gue suka pengetahuan lo tentang musik." Aku berkata jujur.
Aku tahu berita tentang Taylor Swift pun dari reviews beberapa penikmat musik, itu karena aku sedang penasaran. Kalau enggak, ya, aku enggak bakal peduli dengan beritanya.
"Itu pujian, Riv?"
"Iya, karena itu yang gue rasain."
"Makasih atas kejujuran lo," katanya dengan senyum asimetrisnya yang tiba-tiba saja membuatku sedikit rikuh.
Sepanjang obrolan kami, baru detik ini Asta menampilkan senyum miringnya. Dan entah kenapa, aku selalu merasa terintimidasi secara enggak langsung. Asta sulit ditebak kalau sedang seperti itu. Tadi aku enggak salah bicara kan?
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top