Part 3: Kagum, Cinta, dan Obsesi
SEPERTI rencana awal, Kiara sudah mendapatkan outfit-nya usai keluar dari Avenue, meski kami harus menghabiskan waktu selama dua jam untuk berputar-putar dari satu tenant ke tenant yang lain. Itu karena Maura enggak tinggal diam dan ikut berbelanja bahkan lebih semangat daripada Kiara.
Dari yang awalnya Kiara hanya ingin membeli outfit saja, akhirnya gadis itu membeli sepatu dan tas karena sedang ada new arrival. Memang, ya, penyakit wanita itu enggak jauh-jauh dari kata "lapar mata". Beruntung, aku enggak terpengaruh untuk ikut membeli, karena aku sadar bulan ini pengeluaranku lumayan banyak. Minggu lalu, aku sudah membeli koleksi Baume & Mercier.
Setelah itu, aku lumayan shock sih dan bertanya-tanya, kenapa aku bisa sampai membelinya? Namun, kalau bukan karena jam tanganku masuk closet, aku pun enggak akan langsung terburu-buru membeli. Itu karena aku terbiasa memakai jam tangan, rasanya aneh saja ketika lenganku tanpa ditempeli benda bundar itu. Memang ada jam tangan lainnya, tapi aku lebih nyaman menggunakan jam analog dibandingkan digital ketika pergi ke kantor.
"Gengs, makan dulu, yuk!" Aku menyerah. Selain lapar, kakiku pegal dan sudah terasa mau copot.
"Baru jam sebelas, Riv." Kiara menimpali setelah melihat Bell & Ross-nya.
"Gue enggak sarapan loh tadi, lo sendiri yang langsung narik gue, lupa huh?"
Pasalnya, tadi pagi Kiara mendatangi rumahku dan langsung heboh menyuruhku segera bersiap-siap. Padahal aku masih ingin berlama-lama di bawah selimut. Aku sudah bilang, jam sembilan baru datang ke rumahku, tetapi gadis itu berubah amnesia. Tepat jam delapan pagi, Kiara sudah menggoyang-goyangkan tubuhku guna menyuruhku mandi. Padahal Mal juga enggak akan buka pagi-pagi buta. Rajin banget, sih.
"Iya deh, yuk kita brunch." Kiara akhirnya memutuskan.
"Enaknya makan apa, ya?" Aku mulai berpikir.
"Gue lagi pengin makan udon deh," cicit Maura.
"Ya udah, makan di lantai 3 aja, biar nanti kita langsung ke Sky Rink." Kiara mengusulkan.
"Kuy," jawabku dan Maura bersamaan. Lalu melangkah menuju rumah makan tersebut.
Selesai menyantap makanan, Maura meminta untuk membeli es krim. Maura memang enggak pernah lupa hal itu. Berbeda dengan Kiara yang sedikit pemaksa, Maura terbilang gadis easy going, diajak ke mana saja ayo. Maura itu flexible, feminin, dan fashionable banget. Semua itu bisa jadi karena tuntutan pekerjaannya dibidang kecantikan sekaligus Beauty Vlogger. Maka tak heran, seluruh anggota tubuhnya terawat sempurna.
Kalau aku sedang ada masalah dengan Kiara maupun Emeri, maka Maura Bellvania lah orang yang tepat untuk aku datangi. Itu karena Maura merupakan gadis yang berpikir netral dan enggak berat sebelah. Maura akan menyelesaikan masalah lalu memutuskannya dari kacamata kondisi yang terjadi, bukan karena orang tersebut merupakan keluarga ataupun teman dekatnya.
"Foto dulu dong, Riv." Maura memintaku untuk mengambil gambar es krim yang baru selesai kami pesan. "Biar Emeri ngiri karena enggak bisa jalan sama kita," katanya dengan senyum jahil. Akhirnya, aku menangkap momen tersebut dengan tiga es krim kami, lalu kubagikan di grup WhatsApp.
Women and the City
Rivka Dentisya: Better together with ice cream ❤️
Emeri L.A: mauuu.
Maura Bellvania: nyusul gih!
Kiara Aswary: bentar lagi kita mau main es loh, Em. Yakin enggak akan nyesel?
Emeri L.A: gue lagi di City Walk nemenin Deva ketemu klien.
Kiara Aswary: tungguin aja tuh cinta si Masnya sampai lo berjamur, Em.
Emeri L.A: jahat lo, Ki. Ketemu gue kasih cabe, Anda!
Aku hanya bisa tersenyum membaca satu per satu komentar ketiga sahabatku, terutama Emeri.
Berbicara soal Emeri, gadis itu sedang jalan dengan gebetan barunya. Hidup Emeri itu enggak jauh dari cerita soal lelaki. Makanya, gadis itu kalau sudah putus cinta, break down-nya kebangetan. Seakan-akan harta tujuh turunan keluarganya bangkrut dalam satu malam. Aku enggak tahu hubungan apa yang sedang dijalaninya saat ini?
Menurut informasi dari Kiara, lelaki yang sedang didekati Emeri masih belum menunjukkan tanda-tanda tertarik kepadanya meskipun gadis itu sudah melakukan segala macam cara. Miris memang. Cinta adalah segalanya, begitulah aku mendeskripsikan seorang Emeri Laurinda Agneta.
Namun, jauh daripada kelebihan dan kekurangan mereka, aku sangat menyayangi ketiganya. Hidupku benar-benar berwarna dengan kehadiran mereka.
Usai menghabiskan es krim, kami segera menuju Sky Rink. Setelah mengurus administrasi, kami langsung bersiap-siap memakai sepatu. Suasana di Sky Rink lumayan ramai, maklum saja ini weekend dan mayoritas anak-anak remaja yang sedang bermain. Ada juga yang sedang latihan hockey di bagian ujung agar enggak mengganggu pengunjung yang lain.
Hampir dua jam, kami menghabiskan waktu di wahana ice skating. Cukup puas dan lumayan kedinginan. Dari Sky Rink, Kiara mengajak minum kopi dulu masih di dalam area Mal dan pilihannya jatuh pada Starmoon Coffee.
Sambil menunggu kopi dibuat, Maura menunjukkan feed Instagram milik Emeri padaku. Isinya cuitan gadis itu yang mengeluh karena bosan menunggu. Memang, ya, si Emeri itu enggak bisa jaim sedikit kalau sudah naksir pada lawan jenis.
"Terus Emeri udah pulang?" Aku menyesap Caramel Frappucino-ku dengan gerakan lambat sembari mendengarkan kedua sahabatku bercerita. Aku enggak bisa membaca pesan di grup karena ponselku kehabisan daya baterai.
"Belum, mau makan dulu katanya. Nyobain punya lo dong, Riv." Aku memberikan minumanku pada Maura. Ia menyeruput lalu matanya berbinar. "Enak nih."
"Emeri belum makan siang?" Aku menerima minumanku kembali dari tangan Maura.
"Niatnya pengin lunch bareng Deva, tapi mendadak Deva ditelepon keluarganya dan dia langsung pulang." Kiara menambahkan.
"Ditinggalin banget?" Aku masih enggak percaya fakta ini.
"Ada yang urgent katanya dan rumah orang tua Deva, kan, di Bandung. Jadi, after meeting dia langsung pergi." Maura menimpali.
"Kasihan juga Emeri," kataku menatap nyalang.
Aku enggak bisa membayangkan, sudah lama menunggu tapi yang ditunggu justru enggak peduli. Minimal lunch dulu sebentar atau antar Emeri pulang. Namun, di sini aku enggak tahu kondisi Deva juga, sih. Maybe, urgent yang dibilang itu benar-benar enggak bisa ditunda lagi.
Kalau begini urusannya, paling juga sebentar lagi Emeri mendatangi salah satu di antara kami bertiga untuk melakukan sesi curhat.
Obrolan kami terputus saat sebuah sapaan mengalihkan perhatianku untuk melihat ke sumber suara.
"Hey, Stranger!" sapanya tepat di depan meja kami.
Aku mendongak untuk melihat penampilan orang tersebut dan lagi-lagi aku dibuat terkejut untuk yang kedua kalinya.
"Asta!"
"Boleh gabung?" Asta bertanya bahkan ketika aku masih merasa terkejut dengan kehadirannya.
"Boleh, duduk aja Mas." Maura menyahut karena melihat aku yang masih belum bereaksi.
"Gue beli kopi juga," kata Asta sambil mengangkat gelas Espresso-nya seolah menunjukkannya pada kami. "Dan begitu ngeliat kalian, gue ke sini."
"Lo yang waktu di pesta itu, kan, ya? Yang dapet ciuman gratis dari Rivka?" tanya Maura pura-pura polos.
"Maura!" interupsiku, karena ucapannya yang terang-terangan membuatku malu. Kulihat Asta hanya tersenyum tipis.
Setelah tragedi tantangan di pesta waktu itu, ketiga sahabatku enggak pernah absen melemparkan ledekan demi ledekan kepadaku. Padahal, mereka bertiga yang menyebabkan aku melakukan tantangan itu. Lalu kenapa mereka sekarang berperan sebagai matchmaker? Apalagi ketika aku dan Asta ketahuan sedang ngobrol berdua di luar restoran waktu itu, makin menjadi-jadi saja kelakuan mereka bertiga.
"Lo kok bisa di sini, Ta?"
"Gue ada janji sama temen, katanya nyuruh gue nunggu di sini." Aku mangut-mangut mendengarkan. "Kalian habis shopping?" tanya Asta seraya memandang beberapa goodie bag yang berjejer di bawah kursi.
"Iya, gue sih nganter aja. Yang belanja, sih, nih nyonya-nyonya kece." Aku mengarahkan kedua tanganku pada kedua sahabatku. Maura hanya cengengesan di tempat duduknya, sementara Kiara tampak senyum-senyum enggak jelas sembari menikmati Green Tea Latte-nya.
Hari ini Asta terlihat manly, kaus polo hitam dengan rebel jin navy blue. Tidak lupa Rolex hitam sebagai aksesoris di lengan kanannya, sama persis dengan yang dikenakannya di malam pesta Emeri waktu itu. Penampilannya cukup simple, tapi ketika bersitatap dengan mata elangnya, lagi-lagi aku seakan ditariknya semakin dalam.
"Temen lo masih di mana?"
"Tadi bilangnya udah di Tomang sih. Kenapa, Riv? Gue ganggu obrolan kalian di sini ya?"
"Eh, enggak lah, Ta." Aku langsung menjawab takutnya Asta merasa sungkan. "Gue kan cuma nanya," tambahku, dan Asta mengangguk mengerti.
"Santai aja sih, Mas. Gabung di sini justru bagus, biar kita ada hiburan." Maura lagi-lagi bertindak jahil. Bisa enggak sih, anak ini kalem barang sebentar saja?
"Syukurlah, kalau gue bisa menghibur kalian," kata Asta dengan nada datar dan senyum asimetrisnya.
"Jadi badut, boleh?" Kiara yang sedari tadi diam ahirnya berujar.
"Cowok ganteng begini masa dijadiin badut, sih, Ki?" Kiara justru tersenyum menanggapi.
Lalu obrolan random kami terus berlanjut sampai waktu berlalu selama lima belas menit.
"Riv, gue mau balik sekarang nih. Lo mau gue anterin atau bareng Maura?"
"Gengs, bukan gue enggak mau nganter Rivka, ya, tapi oma gue minta ditengokin. Katanya kangen sama cucu cantiknya ini. Lagian, ya, lo tahu, kan, kita itu beda arah?"
Kenapa mereka tiba-tiba jadi sok sibuk begini, sih? Padahal jelas-jelas tadi mengatakan padaku, kalau sampai malam mereka free schedule.
"Mau bareng gue aja, Riv?" tawar Asta ikut berkomentar.
Aku menatap Kiara dan Maura bergantian. Bisa banget, ya, Maura alasannya? Apa ini salah satu rencana mereka untuk mendapatkan perhatian dari Asta? Enggak akan kukabulkan rencana licik keduanya.
"Enggak usah, Ta. Makasih atas perhatiannya. Lo kan punya urusan lain juga, enggak enak lah gue."
"Enggak masalah kalau lo memang masih mau di sini."
Di pertemuan pertama kemarin aku cukup kagum pada Asta, dan kali ini aku kembali dibuat kagum dengan sosoknya yang masih sama ramahnya. Meski sudah dua kali aku menolaknya untuk mengantarku.
"Enggak, Ta. Makasih." Aku tersenyum pada Asta kemudian melirik Kiara. "Gue bareng lo aja, Ki. Kita kan berangkat bareng masa pulang harus pisah. Lagian gue kan ke sini nganterin lo pada belanja, jadi kalau urusan kalian udah selesai buat apa gue masih di sini?"
"Yah, kali aja lo masih mau mandangin Asta, Riv," bisik Maura tepat di telingaku.
Akhirnya, usai bertukar beberapa kalimat dengan Asta sebagai penutup pertemuan kami di Mal ini, kami bertiga langsung pamit.
***
Sampai di rumah, dan melambaikan tangan pada Kiara. Beberapa menit setelah itu, terlihat Lexus putih mulai memasuki kawasan rumahku. Siapa lagi kalau bukan Emeri, si pemilik mobil itu.
Aku melebarkan daun pintu setelah melihat gadis itu turun dari mobilnya, lalu ia berjalan ke arahku dan mencium pipi kanan dan kiriku.
"Gimana acara lo?"
"Bad day. It's hurts so bad," jawabnya dengan wajah muram. Aku berjalan menuju lemari es untuk mengambil minuman, sementara Emeri sudah menjatuhkan dirinya di atas sofa.
"Makasih, Riv." Emeri menerima sekaleng soda dariku. Ia langsung membukanya lalu meneguknya cepat. "Sorry, Riv. Gue jadi gangguin lo, ya?"
"Enggak lah, ngomong apa sih lo?"
"Yah, takutnya lo mau istirahat. Habisnya Maura mau ke rumah omanya, sementara Kiara lagi ke tempat nyokapnya." Emeri meneguk lagi sodanya.
"Santai aja, Em. So, tell me the story!" Gadis itu mendesah panjang.
"Gue ngerasa Deva the one itu, Riv."
"Kalian udah pacaran?"
"Belum, gue masih pedekate sama dia."
"Responsnya?"
"Belum ada kemajuan."
"Kenapa lo bisa bucin banget sama Deva, Em?"
"Dia beda banget sama cowok yang gue kenal belakangan ini. Well mannered, well prepared, well educated, well managed and such a boyfriend material every girl needs, Riv."
Emeri selalu mengatakan "dia beda" setiap kali dekat dengan seseorang, tapi semuanya berakhir sama dan hanya baik di awal. Hanya saja dari cerita Emeri, kali ini gebetannya lebih berkualitas dibanding yang kemarin-kemarin.
"Sesempurna itu?"
"Sejauh gue kenal dia, ya gitu. Yah meski memang enggak ada yang sempurna di dunia ini. Tapi, Deva, I feel ... ah pokoknya dia cowok yang pengin gue pacarin sekarang juga sampai mau gila rasanya, Riv." Emeri mengacak rambutnya seraya mengentak-entak kakinya ke lantai.
"Hei tenang, Em. Lo enggak bisa terus kayak begini." Aku mengelus lembut bahunya yang terasa tegang. "Deva itu tipe yang kayak gimana sih? Maksud gue, selama ini dia seneng atau enggak saat lo deketin?"
"Dia sih orangnya welcome. Sama gue baik banget, tapi sama yang lain juga baik."
"Bukannya tadi Deva ninggalin lo demi urusannya yang urgent?"
"Nyokapnya masuk IGD, Riv. Udah pasti urgent, kan? Lagi pula Deva sempat kok nawarin gue nganter pulang, sampai beliin gue makanan juga, katanya bentuk terima kasih karena gue udah mau nunggu dia."
"Bagus dong, itu artinya dia bertanggung jawab."
"Tapi kok dia B aja gitu sama gue, kayak itu cuma formalitas aja. Apa gue yang terlalu baper sama perhatian dia, ya?"
"Bisa jadi. Atau mungkin cara lo deketin Deva ada yang salah, Em. Coba jangan terlalu agresif!" Aku meneguk sodaku.
"Memang gue agresif?" Emeri memutar bola matanya ke arahku dengan bibir cemberut.
"Yang gue rangkum dari cerita lo tadi justru seperti itu, Em. Lo bilang Deva belum ada tanda-tanda suka sama lo, terus kenapa lo masih mau deket sama dia?"
"Cinta, Rivka!" Gadis itu menjawab dengan aura yang menggebu-gebu, lalu mengulang pujiannya tentang Deva.
"Yakin cinta, bukan obsesi?" Emeri lagi-lagi cemberut. "Gue saranin, ya, coba lo tanya lagi ke hati lo yang terdalam. Perasaan itu cinta atau cuma obsesi!"
Aku meraih ponsel yang masih berada di dalam sling bag-ku sekaligus terhubung dengan powerbank. Aku menekan tombol power sampai ponsel menyala, lalu melihat beberapa notifikasi yang masuk. Perlahan-lahan melakukan scrolling dan sontak mataku membulat saat membaca salah satu pemberitahuan.
Aku hanya bisa mengangguk dan menampilkan senyum formal ketika Emeri masih dengan semangatnya bercerita. Deva begini lah, Deva begitu lah. Dan Emeri tetep bersikukuh bahwa yang dirasakannya adalah cinta kepada. Aku sudah enggak bisa berkonsentrasi lagi pada ceritanya, hanya karena sebuah notifikasi yang beberapa detik lalu masuk ke ponselku.
Anggasta Baskara started following you.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top