Part 1: Tantangan Membawa Rasa

AKU berlari tergopoh-gopoh menuju sebuah restoran mewah yang terletak di menara MH Thamrin. Lokasi pestanya berada di lantai paling atas dengan fasilitas infinity pool serta dilengkapi mini bar. Sejenak aku memperhatikan sekeliling, pemandangan lampu malam dari gedung-gedung pencakar langit Kota Jakarta, nyatanya menambah kesan classy nan elegan pada suasana acara.

Malam hari ini merupakan pesta ulang tahun Emeri yang ke-27. Dibesarkan dari keluarga yang sangat berkecukupan membuat kehidupan sosialnya berada di tingkatan atas. Pesta utama dengan keluarga intinya sudah diadakan minggu lalu, dan malam ini layaknya pesta reuni karena yang datang mayoritas teman-teman kuliah.

Entah, ini merupakan keberuntungan atau justru kesialan bagiku menjadi teman dekat Emeri sejak awal kuliah. Menurut banyak orang, dekat dengan orang kaya itu enak. Bisa ketularan famous atau minimal ikut merasakan sedikit uang mereka, karena sering ditraktir makan, diajak belanja, menonton, bahkan sampai dibayarin jalan-jalan ke luar negeri.

Semua asumsi itu enggak salah juga. Aku memang sering kebanjiran suvenir ketika mereka liburan, dan pernah juga diajak liburan ke negara tetangga. Kendati demikian, jauh daripada itu terkadang aku merasa insecure berada di antara mereka bertiga.

Bukan. Bukan karena aku merasa minder dengan apa yang sudah Tuhan berikan kepadaku, tetapi bagaimana, yah? Tetap saja, ada kalanya aku merasa "kecil" di kalangan mereka.

"Telat lo!" seru ketiga temanku. Emeri, Kiara dan Maura sudah duduk berjejer di sofa panjang.

"Sorry-sorry ada kunjungan nasabah tadi, dadakan banget. Masih mending gue dateng, Gengs." Aku langsung meneguk air mineral di atas meja setelah membuka segel kemasannya.

"Harus datang dong, Riv." Emeri menyahut seraya memintaku untuk duduk bersama mereka.

"Nih, biar enakan!" Kiara menyodorkan minuman beralkohol padaku. Aku mencibir ke arahnya.

"Gue bukan tukang mabok kayak lo!" sergahku padanya lalu kembali meneguk air mineralku. Kiara hanya menyengir lebar mendapat sindiran dariku.

Gadis itu memang sering minum saat ada acara pesta seperti ini. Aku enggak bisa melarang atau menghentikannya, toh Kiara sudah besar. Ia tentu tahu mana yang baik dan buruk untuk dirinya sendiri. Dibanding Emeri dan Maura, aku dan Kiara lebih dulu menjalin persahabatan bahkan sudah sejak SMP.

"Jadi lo terima dare dari kita dong, Riv?" Maura mengalihkan topik.

"Duh, memangnya dijadiin tuh? Gue kira bercandaan doang," kataku sedikit cemas. Pasalnya di grup chat tadi aku hanya iya-iya saja. Aku juga enggak tahu, setelah itu mereka membicarakan dan merencanakan hal apa lagi.

"Ya serius lah," timpal Emeri.

"Karena lo yang datang paling telat di antara kita, itu artinya Rivka kalah ya, Gengs. And the dare is ...."

"Apaan?" tanyaku mulai penasaran. "Gue oke aja asal enggak aneh-aneh ya," tambahku, lalu kembali meneguk minumanku akibat rasa haus yang masih bersarang di tenggorokan.

"You have to be stranger," ujar Maura dengan senyum misterius.

Ini maksudnya bagaimana? Menjadi orang asing yang seperti apa? Ada-ada saja rencana mereka ini.

"Untuk apa?" Aku lumayan bingung karena enggak mengikuti isi chat mereka ketika meeting tadi.

"You have to kiss a stranger!" Kiara melanjutkan penjelasannya.

"What, are you crazy, huh?" Hampir saja aku menyemburkan air mineral ke wajah mereka kalau enggak menahannya.

"Kita udah sepakat, kan, Gengs?" Ketiga gadis di hadapanku justru mengangguk dengan senyum mengembang.

"Lo enggak perlu nyari lagi cowoknya, kita udah pilih acak dari daftar tamu. Kita sepakat kalau tamu nomor dua puluh itulah yang akan lo cium, Riv." Kiara kembali menjelaskan.

Sungguh, ini enggak masuk akal. Bagaimana caranya aku mencium seseorang yang ... you know lah bahkan belum kukenal sama sekali. Kalau lelaki itu sudah punya pacar bagaimana? Atau istri, itu lebih bahaya lagi. Bisa-bisa aku dimasukkan ke dalam daftar pelakor. Lalu aku dikuliti istrinya dibantu oleh para wanita yang lain.

Enggak!

Memikirkannya saja membuatku bergidik ngeri. Belum lagi nanti tatapan orang-orang. Enggak, ini enggak boleh terjadi.

"Kalau gue nolak gimana?" tanyaku ragu-ragu sembari menggigit bibir bawah. Semoga saja kali ini mereka enggak taruhan dengan uang.

"Lo bayar kita lima belas juta," sahut ketiganya tanpa dosa.

Dan harapanku kandas!

"Apa? Kenapa gue enggak tahu dare ini, sih? Ini enggak serius, kan, pasti? Akal-akalan kalian aja, kan?" tanyaku mulai kesal karena merasa terpojok. Satu lawan tiga, yang benar saja.

"Hello Riv, ini bukan candaan." Emeri menimpali dengan wajah dibuat serius.

"Makanya punya grup tuh dibaca bukan dianggurin, Rivka. Kalau enggak percaya cek grup sekarang!" Kiara lagi-lagi berkomentar.

Aku langsung membuka ruang chat di WhatsApp, dan setelah melakukan scrolling dari chat yang belum kubaca. Ternyata ... yah, benar apa yang barusan mereka bicarakan.

"Tenang aja, cowoknya single, kok. Tadi Maura udah coba SKSD sebentar." Melihat raut wajahku berubah cemas, Emeri mencoba menenangkanku dengan mengatakan satu fakta itu.

Dadaku mulai naik turun dan otakku mencoba bekerja dengan cepat untuk mencari cara yang lebih masuk akal. Bagaimana memulainya, apa aku basa-basi dulu? Namun, aku enggak suka bertele-tele.

"By the way, gue nyium di bagian mana?" tanyaku sedikit cemas.

"Pipi aja," kata Emeri. Ada sedikit kelegaan mengetahui hal itu.

"Terus, terus, cowoknya yang mana?" Aku menatap ketiganya.

"Hemp, tadi dia ada di dekat kolam, sih." Maura mengedarkan pandangan ke sekeliling infinity pool sampai akhirnya pandangannya jatuh ke satu titik. "Nah, yang itu tuh Riv, cowok yang pakai baju item terus lengannya digulung." Mataku ikut memandang ke mana telunjuk Maura mengarah dan aku mulai merekamnya di dalam kepala.

"So, are you ready?" Itu suara Kiara yang penuh semangat.

"Apa boleh buat, ini tantangan gue." Aku menjawab pasrah.

"Jangan kepaksa gitu dong, Riv. Smile, kali aja tuh cowok langsung naksir." Emeri berujar sok tahu.

Heh, mana ada lelaki yang langsung naksir setelah dicium oleh stranger? Beruntung, kalau setelah ini lelaki itu enggak memaki-maki aku.

"Good luck, Rivka!" seru ketiga sahabatku langsung berubah menjadi tim hore, sementara aku hanya bisa mendengkus sebal meninggalkan mereka.

Tantangan tetap menjadi tantangan, dan aku harus melakukannya. Tahu saja mereka, kalau aku enggak akan mau mengeluarkan uang demi sebuah tantangan. Lagi pula untuk apa? Lebih baik uangnya aku depositokan ke bank, bisa berguna untuk masa depanku. Ini nih, salah satu kesialanku berteman dengan mereka. Secara enggak langsung, ketiganya memanfaatkan keadaanku, dong. Meski selama ini kami memang sering melakukan tantangan untuk sekadar seru-seruan saja, tetapi menurutku tantangan giliranku lah yang paling enggak masuk akal.

Tahun lalu, di ulang tahun Kiara. Gadis itu diberikan tantangan makan makanan pedas, yang mana Kiara enggak menyukai sama sekali dengan kandungan zat kapsaisin tersebut. Lalu, Emeri pernah ditantang menelepon mantan pacarnya untuk mengungkapkan bahwa gadis itu masih belum bisa move on. Kalau Maura, hanya ditantang memotong seluruh kukunya, yang mana gadis itu sangat mencintai kuku-kuku cantiknya yang selama ini selalu terawat.

Aku berjalan menuju infinity pool bagian samping, lelaki yang dimaksud ketiga sahabatku sedang berdiri di sana. Dadaku bergemuruh enggak keruan, bagaimana kalau lelaki itu enggak mau dicium?

Perlahan aku semakin mendekat, lelaki di depanku penampilannya terbilang cukup santai di acara pesta se-elegan malam ini. Kemeja hitam digulung sampai siku dan celana slimfit warna senada. Rambutnya enggak seklimis tamu lelaki yang lain, melainkan sedikit panjang yang dibiarkan berantakan. Tangan kirinya sedang dimasukkan ke saku celana dan tangan kanannya memegang kaleng soda. Wajahnya, hemp ... belum terlihat jelas.

By the way, lelaki ini teman dari siapa, ya? Emeri, Kiara atau Maura? Semoga aku juga enggak mengenalnya. Mau ditaruh di mana mukaku kalau aku mengenalnya?

Aku melakukan sesi tarik dan buang napas sejenak. Posisiku sudah di belakangnya, lalu aku menepuk pundaknya perlahan dan ia menoleh dengan wajah datar, seperti kebingungan karena kedatangan makhluk asing sepertiku. Aku memberikan senyum canggung bercampur enggak tahu malu sebelum melakukan aksi gilaku malam hari ini.

"Mas, saya mau izin," kataku harap-harap cemas.

"Izin?" tanyanya bingung seraya memicingkan sebelah matanya.

"Izin nyium Masnya," kataku makin mendekat ke arahnya. "Diem, ya, Mas, atau mau merem juga boleh." Aku semakin mendekat lalu kedua tanganku memegang bahunya, daripada lelaki ini berubah pikiran langsung saja kucium pipinya. Ia seperti terkejut dan tubuhnya menegang namun enggak bereaksi.

Niatku hanya ingin menempelkan bibir saja, tetapi kok wanginya lelaki ini sangat menenangkan dan membuatku ingin berlama-lama di sana. Apa mungkin ini efek dari minyak wangi yang dipakainya? Aromanya seperti ada perpaduan citrus bercampur patchouli, wanginya mirip sekali dengan orang yang baru selesai mandi, segar dan enggak terlalu menyengat. Oh My God, aku suka sekali dengan wangi parfumnya. Pintar sekali sih, lelaki ini memilih jenis parfum.

Detik berikutnya, alarm akal sehatku langsung bekerja. Dengan gerakan perlahan, aku menghentikan aksi liarku. Kedua tanganku masih bertopang pada bahunya sembari menatapnya dengan rasa canggung, lelaki di hadapanku terlihat masih shock mendapatkan ciuman gratis ini. Buktinya ia hanya diam seperti patung. Mata bulatnya mengerjap perlahan sembari melihatku dengan tatapan bingung.

"Makasih, ya, Mas. Semoga habis ini Masnya dapat hoki." Aku melambaikan tangan, lantas segera meninggalkannya dan kembali ke tempat ketiga sahabatku berada.

Misi berhasil, aku bisa bernapas lega. Semoga saja, setelah ini aku enggak bertemu lagi dengannya.

***

Satu jam mengikuti serangkaian acara pesta, aku sudah enggak tahan lagi. Rasanya kepalaku pusing mendengar kebisingan dari suara musik maupun obrolan manusia. Belum lagi kakiku pegal akibat pantofel yang lupa kuganti dengan flat shoes. Sebenarnya, penampilanku malam ini enggak bisa disebut menghadiri pesta, karena aku enggak mengenakan gaun atau setelan khas orang yang datang ke sebuah pesta. Aku justru masih mengenakan seragam kerja yang kubalut dengan blazer merah menutupi ciri dari perusahaan tempatku bekerja.

Aku memutuskan keluar area restoran, enggak jauh dari pintu lift, aku melihat ada sebuah kursi panjang yang mengarah ke balkon dengan jendela berlapis dinding kaca. Aku memutuskan duduk di sana guna menyegarkan otak dan merefleksikan tubuhku sebentar. Aku menyandarkan tubuh ke tembok seolah mencari kenyamanan.

"Enggak suka pestanya?" tanya seseorang yang tiba-tiba berdiri di samping kananku. Enggak perlu waktu lama untuk kembali mengingat lelaki ini, karena tubuhku langsung bergerak tegak ketika ia melempar tatapan meneliti.

"Eh, lo!" Aku lumayan kaget, lelaki yang barusan kucium menghampiriku di sini.

"Bising, asing dan palsu. Meaning of the party," katanya mengartikan.

"Gue rasa begitu." Aku menggeser tempat duduk agar ia bisa duduk di sampingku.

"Terus kenapa datang ke sini?"

"Lo sendiri?" Aku balik bertanya.

"Dipaksa," sahutnya.

"Sama, sih," cengirku dan lelaki itu ikut tersenyum namun sangat tipis.

"Di pesta banyak orang yang pakai topeng." Ia kembali bersuara.

"Pesta topeng maksud lo?"

"Bukan. Maksud gue, mereka itu seolah pakai topeng untuk bisa berbaur satu sama lain supaya eksis di kalangan elite maupun sosialita. Dengan begitu, mereka punya koneksi satu sama lain."

"Bukannya bagus kalau bisa berbaur dan beradaptasi sama orang baru?"

"Jawabannya iya, kalau semua yang mereka tampilkan is the real themselves dan bukan fake semata."

"Apa lo akan jadi salah satu dari mereka?"

"Enggak. Gue rasa, gue enggak akan bisa jadi bagian dari mereka."

"Why? Bukannya lo bisa dapat link buat tanya-tanya seputar kerjaan or something like hemp ... girlfriend material, maybe."

"Gimana caranya gue bisa dapat apa yang gue cari, kalau pesta aja bikin gue enggak nyaman." Lelaki itu begitu serius saat mengatakannya hingga kilatan mata setajam elangnya terpancar. "Pakai baju bagus, riasan oke, barang branded, high conversations dan segala macam aksesoris yang bisa ditampilkan demi popularitas. Itu bukan gue."

"Yah, kenyamanan itu memang bisa dibilang harga mutlak."

"Exactly."

"Terus, apa sekarang kita bisa duduk dan ngobrol dengan nyaman?"

"Tentu," jawabnya yakin lalu kembali berkata, "So, hey stranger. Siapa nama lo?" Ia mengulurkan tangan kanannya kepadaku, dan tanpa pikir panjang lagi aku membalas jabatan tangan itu.

"Panggil gue, Rivka."

"Gue Asta," katanya sambil tersenyum. Aku baru menyadari kalau Asta memiliki gigi gingsul di sebelah kanan, dan hal itu membuatnya terlihat, yah ... lumayan manis.

"Eh, Ta. Sorry, ya, yang tadi," kataku menatap sekilas ke arahnya.

"Soal ciuman?" Aku mengangguk. "Lo pasti lagi dapat tantangan?" tebaknya cepat.

"Kok lo tahu?"

"Cewek gila mana yang mau nyium cowok asing di pesta, kalau bukan karena dapat tantangan."

"Jangan-jangan lo sering dijadiin bahan tantangan?" Asta mengangguk. "Enggak heran sih gue, lo, kan, ganteng. Boyfriend material, kalau kata anak-anak zaman sekarang, tuh." Aku berkata tanpa basa-basi, dan Asta seperti terkejut saat mendengarnya.

Aku enggak bohong. Asta memang ganteng, tubuhnya tegap, mata elangnya yang tajam seolah bisa menyeret lawan bicaranya untuk fokus hanya kepadanya. Meski sesekali aku merasa terintimidasi dengan kalimat-kalimatnya yang kritis. But, tampangnya lumayan oke untuk digandeng ke mana-mana.

"Lo sering ngasih pujian ke cowok kayak tadi?"

"Yah ... enggak juga, sih. Gue cuma berusaha jujur aja."

"Jangan keseringan!"

"Kenapa?" tanyaku heran seraya menatapnya yang masih fokus menatap ke arah depan.

"Nanti mereka pada baper dan lo bisa kewalahan sendiri ngatasinya." Asta memandangku sambil tersenyum sekilas. Namun, kali ini ia menampilkan senyum asimetris yang sama sekali enggak aku mengerti.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top