BAB 2

BAB 2

***

Langit perlahan mulai menampakan warna kejinggaannya. Semilir angin mulai terasa dingin dan menusuk ke kulit, namun terasa begitu lembut. Segerombolan burung terlihat berterbangan menuju sarangnya masing-masing untuk beristirahat setelah seharian mencari makan. Lorong koridor sudah sangat sepi.

Tria baru saja selesai les bersama guru sejarahnya karena nilai sejarahnya yang kurang. Rasa lelah menghinggapinya. Bukan hanya itu rasa kantuk sejak tadi menjalari seluruh tubuhnya membuatnya ingin sekali menutup matanya dan trtidur pulas. Namun, mengingat mamanya di rumah yang sudah mengeluarkan uang banyak untuk guru sejarahnya itu membuat Tria mau tidak mau harus tetap membuat matanya tetap terjaga. Walaupun selama lesa berlangsung tidak lepas dari cerita yang membosankan. Entah itu kutailah, masa penjajahan lah, dan segala macamnya. Tria tidak terlalu menyukai cerita yang seperti itu.

Dan saat Tria melangkahkan kakinya melewati lapangan olahraga, terlihat beberapa anak yang termasuk ke dalam club voly sedang beristirahat di bawah pohon sambil bercanda bersama. Salah sati dari mereka sangat Tria kenal, Leon. Pria yang sedang memantul-mentulkan bola sambil tertawa bersama teman satu clubnya. Menyadari Tria yang berjalan melewati lapangan, pria itu pun melambaikan tangannya pada Tria.

Lapang olah raga sudah berlalu. Ia sekarang hanya butuh melewati tata usaha saja untuk menuju ke gerbang dan mendapati mobil papanya terparkir disana menunggunya. Tapi, saat di belokan samar-samar ia mendengar suara sayup-sayup merdu yang berasal dari sebuah piano. Suara yang entah kenapa terdengar begitu menyayat hati siapapun yang mendengarnya.

Karena penasaran siapa yang memainkan piano tersebut tanpa sadar langkah kakinya membawa Tria pada sebuah ruang menakjubkan yang semua orang tahu itu adalah ruang musik.

Dari kaca pintu ruang musik Tria melihat seorang pria yang amat ia kenali. Ya, seharusnya ia tahu bahwa Wisnulah yang memainkan piano itu. Tapi, yang menjadi pertanyaannya kenapa alunan piano itu seolah yang memainkannya sedang mengalami kesedihan yang amat mendalam.

Alunan piano itu berhenti. Tria melihat Wisnu menenggelamkan kepalanya pada tuts-tuts hitam putih itu. Tak lama Wisnu memukul-mukul piani itu dengan kepalan tangannya sehingga menimbulkan suara nyaring yang tidak mengenakan.

Melihat Wisnu yang seperti itu tanpa memikirkan apapun lagi Tria masuk kedalamnya dan menghampiri Wisnu.

"Lo kenapa ?" Tria menyentuh bahu Wisnu.

Sekejap pria itu bangkit dan menatap mata Tria. Awalnya kesedihan di wajah pria itu terlihat sangat jelas namun detik berikutnya kesedihan itu tergantikan dengan senyum menyebalkan yang biasanya.

"Gue laper." Ucapnya disertai senyumannya.

Tria menatap Wisnu bingung. Ia sama sekali tidka mengerti pria ini. Sesaat dia terlihat sedih kemudian detik berikutnya tergantikan dengan senyuman.

"Anter gue makan yah. Nanti gue anter lo pulang." Ucap Wisnu lagi.

"Tapi, gue...gue..."

Wisnu berdecak lidah, "Ah, lama." Sela Wisnu sambil menarik lengan Tria.

***

Tak sampai lima menit Wisnu dan Tria sudah sampai di sebuah café anak muda yang sedang tren. Selama perjalanan Tria tidak henti-hentinya mengutuk Wisnu karena menjalankan motornya seperti kesetanan.

"Heh, kalau bawa motor yang bener." Omel Tria yang baru saja menuruni motor Wisnu.

"Gue ?" Wisnu menunjuk diriny sendiri. "Bener kok."

Tria memutar bola matanya, "Lo piker gue ini apaan. Seenggaknya kalau lo emang gak sayang sama nyawa lo sendiri fikirin orang lain yang lagi lo bonceng."

"Yaudah santai aja kali. Orang lo sekarang masih hidup kan ?"

Tria tidak mau lagi menyangkal. Sudahlah, lagipula itu tidak akan menang melawan pria semacam Wisnu ini.

"Ayolah, gue laper banget." Wisnu pun menarik lengan Tria masuk.

***

Tria baru saja menuruni motor Leon. Ia menatap beberapa orang yang lewat dihadapannya. Dari sela-sela beberapa orang yang lewat itu ia melihat Wisnu dengan motornya melaju menuju parkiran. Ah, sejak kejadian kemarin rasanya Tria bisa langsung mengenali pria itu. Tria melirik Leon yang sedang membetulkan rambutnya dengan berkaca pada keca spion motornya.

"Masih lama gak ?" tanya Tria tanpa mengalihkan fokusnya dari Wisnu yang baru saja menghentika motornya agak jauh dari motor Leon.

Leon menyudahi aktivitasnya. Balas menatap Tria dengan tampang yang menyebalkan sekali. "Sekarang gue udah keren belum ?" tanyanya di sertai cengirannya.

"Udah ! lo udah kerena sejak lo lahir. Puas ?" jawab Tria sedikir malas.

"Pagi-pagi udah marah-marah, gak baik tahu nanti cepet tua." Leon mengingatkan.

Tidak mau terlalu memperdulikan Leon, ia pun melangkahkan kakinya lebih dulu dari Leon. Sambil Leon menceritakan tentang gadis yang disukainya yang beberapa hari ini seperti memberikan lampu hijau untuknya.

"Gak tahu kenapa malem-malem dia tiba-tiba sms gue. Dia bilang selamat malam ke gue. Gue fikir itu mimpi sampai-sampai gue nyiram kepala gue sama air. Mungkin dia udah sadar siapa yang bener-bener pantes buat dia. Yah, di angasih gue lampu hijau..." belum selesai Leon bercerita seorang pria tiba-tiba saja merangkul pundak Tria dari belakang.

"Selamat pagi, teman." Ucap Wisnu sambil merangkul Tria. Tersenyum cerah seperti biasa seolah tanpa beban sama sekali.

Tria yang menyadari bahwa itu adalah Wisnu langsung menyingkirkan lengan Wisnu dari pundaknya. "Apa-apaan sih ! siapa juga yang temen lo."

"Emang kenapa ? kejadian kemaren udah jadi bukti kalau mulai sekarang kita udah berteman ?" tanya Wisnu dengan wajah tanpa dosa.

Tria tidak menjawab. Malah menatap Wisnu dengan tatapn tajam. Ekspresi wajahnya jelas sekali menunjukan bahwa gadis ini tidak suka dengan apa yang Wisnu katakan itu. Beberapa detik kemudian Tria pun melangkahkan kakinya meninggalkan dua pria itu—Leon dan Wisnu.

"Kejadian kemaren ?" tanya Leon lebih terdengar seperti gumaman.

"Ya, kemaren dia dateng ke ruang music. Dia nyamperin gue dan setelah itu kita makan bareng." Ujar Wisnu.

"Makan bareng ?" fikirannya menerawang membayangkan apa yang Wisnu katakana sehingga ia hanya bisa membeo mengatakan kembali apa yang Wisnu katakana.

"Ya. Kita makan bareng. Bukannya itu tandanya kita udah berteman ? bukannya dia aneh, maksud gue temen lo aneh." Kata Wisnu seketika langsung mendapat tatapan tajam dari Leon.

Wisnu mengerjap kaget mendapat tatapan seperti itu, "Lo, lo kenapa ?"

"Lo yang aneh !" umpat Leon setelah itu berlari mengejar Tria yang sudah berada jauh di depan sana.

Wisnu melihat Leon yang sudah bisa menyenyajarkan langkahnay dengan Tria. Dari tempatnya ia hanya tersenyum kecut melihatnya. Dan detik berikutnya senyum itu tergantikan dengan senyum ceria biasanya. Mulai melangkahkan kakinya menuju kelas sambil bersiul sepanjang perjalanan.

***

Tria melangkahkan kakinya masuk ke dalam ruangan sepi yang berisi beberapa murid pintar, beberapa diantaranya berkacamata yang sedang fokus membaca buku yang ada didepannya masing-masing. Tria menghela nafas panjang. Untuk pertama kalinya semenjak satu tahun setengah yang lalu ia masuk ke sekolah ini ia datang ke perpustakaan untuk membaca.

Datang ke perpustakaan adalah hal yang tidak terlalu Tria sukai. Kenapa ? karena di tempat ini serba sepi dan itu membuat Tria seperti sendirian di dunia ini. Tapi, untuk hari ini sepertinya ia harus berusaha untuk mengusir kesannya tentang perpustakaan. Yah, kalau saja bukan karena Leon yang harus berlatih untuk mengikuti lomba melukis setiap jam istirahat, mungkin ia tidak akan kesepian seperti ini.

Tria melangkahkan kakinya di sela-sela antar rak buku. Menelusurkan jarinya pada buku-buku fiksi. Mencari sebuah buku yang mungkin akan menarik untuknya baca saat ini. Kemudian setelah menemukannya ia pun berjalan menuju sebuah kursi kosong disebelah pria berkacamata.

Halaman demi halaman sudah ia baca. Sudah sekitar 5 menit ia berada disini. Ternyata tidak seburuk yang ia fikirkan. Ternyata menyenangkan juga membaca di ruang sepi seperti ini.

"Lo disini juga." ujar seorang pria di sampingnya.

Tria menoleh dan mendapati Wisnu berada disampingnya. Mengenakan kacamata. Senyumnya mengembang di wajahnya seolah-olah senang melihat Tria ada disampingnya.

"Lo pake kacamata ?" tanya Tria tanpa sadar setelah merasa ada yang aneh dengan wajah teman sebangkunya itu.

Wisnu tertawa kecik. "Oh, ini. Suka pake aja kalau lagi di perpustakaan. Biar kelihatan keren aja." Ujar Wisnu sambil melepaskan kacamatanya dan meletakannya disamping buku yang sedang di bacanya. Tria sempat melirik buku yang sedang Wisnu baca.

"Sejarah pengobatan dunia." Tanpa sadar Tria mengeja judul buku yang sedang Wisnu baca.

Wisnu melirik bukunya. Mengambilnya dan menunjukkannya pada Tria. "Sebenernya gue pengen jadi dokter. Bakat gue emang di piano tapi keinginan terbesar gue jadi dokter." Ujarnya tanpa diminta.

Tria hanya mengangguk-angguk kecil, lalu menenggelamkan dirinya lagi pada buku fiksi di depannya.

Sementara itu Wisnu tidak melanjutkan bacaannya. Ia malah menatap wajah Tria dari samping. Senyum di wajahnya mengembang sesekali.

"Lo cantik juga yah kalau lagi serius." Ucap Wisnu dengan suara pelan.

Seketika Tria menoleh pada Wisnu. Mengerjap beberapa kali tidak tahu apa yang dikatakan pria ini secara sadar atau tidak. Hal itu juga entah kenapa membuat seluruh tubuhnya menegang seketika. Ada semacam rasa senang menggelitiknya saat ini. Namun daripada itu salah tingkah juga ia rasakan, rasanya ia tidak mampu untuk berbuat dan berkata apa sekarang ini.

"Lo..." Wisnu menunjuk pipi Tria.

Tahu bahwa pipinya memerah, Tria segera menutupi pipinya dengan kedua tangannya.

"Pipi lo merah !?" ucap Wisnu terkejut dengan yang dilihatnya itu. Lalu ia terkekeh pelan. "Lo suka yah sama gue."

Tidak mau terliaht lebih bodoh lagi, Tria pun bangkit dari duduknya tak lupa membawa buku yang sedang di bacanya. Meletakkannya lagi pada tempat semula dan bergegas pergi meninggalkan perpustakaan. Tidak memperdulikan Wisnu yang masih tertawa-tawa di tempatnya.

***

"Iya pa, gapapa. Aku bisa naik taksi kok.... iya..." setelah itu panggilan dengan papanya pun berhenti.

Tria menghentak-hentakkan kakinya kesal pada aspal. Kalau saja ia tahu papanya tidak jadi menjemputnya sudah dari tadi ia pulang naik taksi. Untuk meredakan emosinya, Tria menghela nafas panjang dan mulai melangkahkan kakinya menuju halte terdekat dengan sekolahnya. Hanya berjarak dua puluh meter dari sekolahnya.

Seseorang entah sejak kapan mengikutinya dengan motor pelan-pelan. Mengikuti irama langkah kakinya. Tria menghembuskan nafasnya kasar sambil menghentikan langkahnya. Seperti dugaannya pria ini pun akan berhenti saat ia menghentikan langkahnya.

"Ngapain sih ngikutin gue ?" Tria bertanay dengna malas. Tangannya ia lipat di depan dada.

Wisnu tersenyum lebar sampai memperlihatkan jajaran giginya. "Mau ngajak lo pulang bareng." Jawabnya.

"Gue bisa pulang sendiri." Tria pun melangkahkan kakinya.

Tidak mau menyerah, Wisnu pun terus mengikuti Tria.

"Mau lo apaan sih !" kali ini Tria tidak bisa menahan diri untuk tidak marah. Membentak Wisnu dengan kejam.

"Kan gue udah bilang mau ngajak lo pulang bareng." Kata Wisnu. Menaik turunkan alisnya menggoda Tria supaya berubah fikiran.

Tira mendengaus kesal. Ah, itu terlihat menyebalkan sekali. "Yaudah." Ucap Tria lalu melompat menaiki motor Wisnu. Sekejap motor itu pun melesat.

***

Tria sebenarnya tidak terlalu suka duduk sendirian di tempat ramai seperti ini. Kalau saja bukan karena Leon yang harus berlatih, mungkin ia akan mengikuti kemanapun Leon pergi. Tapi, saat mengingat siapa yang mengajar Leon itu Tria langsung malas dan memilih untuk pergi ke kantin saja sendirian.

Sudah lima menit Tria duduk di pojok kantin sendirian sambil menyeruput minuman dinginnya perlahan-lahan. Pandangannya mengedar kesetiap penjuru, menatap satu persatu siswa yang lewat di hadapannya tanpa minat sama sekali. Sungguh ia sangat bosan sendirian, ia tidak suka sendirian.

"Boleh kan gue temenin ?" tanya seseorang seketika membuat Tria merasa senang. Akan tetapi setelah ia mengatahui siapa itu perasaannya langsung berubah. Pria ini lagi, Wisnu.

"Ngapain lo disini ?" ketus Tria. Sudah terlihat jelas bahwa ia tidak menyukai kehadiran Wisnu.

Wisnu malah tertawa mendengarnya. "Udah lo gak usah nolak atau apa karena gue tahu sekarang lo lagi butuhin temen kan ?" pria ini menopang dagunya dengan kedua tangannya menatap Tria dengan cara yang paling menyebalkan yang pernah Tria lihat sebelumnya.

Tria berdecih pelan, "Please deh."

"Lo itu emang gak punya banyak temen di sekolah ini tapi gue tahu lo bukan tipe orang yang suka menyendiri atau mengucilkan diri sendiri kayak yang sering mereka bilang. Dan sekarang, lo gak bakalan sendirian lagi karena gue bersedia nemenin lo." Ujar Wisnu.

Entah sadar atau tidak, Tria tertawa kecil menanggapi apa yang Wisnu katakana padanya.

"Tuh, kan ?!" Wisnu menunjuk kea rah sudut bibir Tria yang tengah menyunggingkan senyuman. "Gue bener kan ? lo emang gak suka sendirian. Kenapa karena sendirian itu buat lo merasa kecil banget di hadapan semua orang. Maka dari itu lo butuh temen." Wisnu menunjuk dirinya sendiri dengan gerakan memebanggakan. "Gue !"

"Isshh... apaan sih." Tria tertawa kecil. Memukulkan kepalan tangannya pada bahu Wisnu. "Alay tahu gak ?"

"Ya... gak apa-apa dong yang penting barusan gue udah hibur lo. Bener kan ?"

Tria menghentikan tawanya walaupun sebenarnya ia belum mau untuk berhenti. "Terserah lo yah."

Kemudian mereka berdua pun terdiam. Sampai pada akhirnya Wisnu mulai membuka mulutnya.

"Ngomong-ngomong udah hampir sebulan gue sekolah disini, bahkan sebangku sama lo. Tapi, kenapa lo belum pernah nanya-nanya apapun tentang gue. yah... padahal kan gue cukup terkenal disini." Kata Wisnu.

Mulai, pria ini memulai membanggakan dirinya lagi. seolah-olah dirinya satu-satunya bintang di sekolah ini. Akan tetapi entah kenapa rasanya Tria tidak terlalu terganggu dengan hal itu.

"Oke, kalau gitu gue nanya." Ujar Tria disambut dengan wajah antusias dari Wisnu. Pria itu mencondongkan tubuhnya. Meletakkan kedua tangannya di bawah dagunya. Dan menatap Tria seolah-olah sedang menantikan sesuatu yang besar.

"Sejak kapan lo main piano ?" tanya Tria. Namun reaksi Wisnu malah terlihat malas. Hal itu membuat Tria yang melihatnya merasa heran. "Kenapa ? kan barusan gue udah nanya masa itu sih respon lo."

"Kalau nanya, cari pertanyaan yang lebih berbobot lagi. Pertanyaan itu udah sering gue denger dan gue jawab. Wartawan banyak yang nanya gue itu." Wisnu lagi-lagi menatap Tria dengan ekspresi yang menyebalkan. "Lo gak nyangka gue seterkenal itu kan ? lo pasti bangga kan punya temen sebangku kayak gue ? gue keren kan ?"

Tria menyentil dahi Wisnu dengan kerasnya. "Lo kepedean banget. Menurut gue lo biasa aja."

"Oke oke, emang ya cara pandang tiap orang itu beda-beda dan itu yang buat gue suka sama lo." Ujar Wisnu.

Tria dibuat terdiam seketika oleh apa yang Wisnu katakana barusan. Suka ? kenapa saat itu mendengar kata itu perasaannya menjadi aneh seperti ini. seperti ada puluhan ribu kupu-kupu berterbangan di perutnya saat ini mengakibatkan adanya sensasi menggelitik yang Tria rasakan. Tidak, jangan berfikiran terlalu jauh. Tria segera menyadarkan dirinya sendiri.

"Jangan GR yah. Suka yang gue maksud bukan suka dalam artian cinta."

"Iya gue tahu kok. Gue juga gak bego-bego amat kali." Jawab Tria dengan bibir mengerucut.

"Oh ya, gue mau ngasih tahu lo satu hal." Ujar Wisnu. Tria menoleh penasaran. Saat Wisnu mengisyaratkannya supaya mendekatkan telinganya, Tria pun melakukannya.

"Sebenernya gue anak angkat." Beritahu Wisnu dengan suara pelan di samping telinga Tria.

Setelah mangatakan hal itu seperti biasa Wisnu kembali bersikap seolah-olah tidak perduli, seolah-olah tidak terbebani. Tidak memperdulikan Tria yang saat ini kaget mendengar apa yang baru saja Wisnu katakan padanya.

"Bukannya setahu gue lo itu anak kandung orangtua lo ?" tanya Tria masih dipengaruhi oleh keterkejutannya.

Sebenarnya sebelumnya Tria pernah mencari tahu info dan biodata seorang pianis muda bernama Wisnu Hadi Nugraha yang sekarang adalah teman sebangkunya. Dan dari semua yang ia baca tidak ada satupun yang mengatakan bahwa Wisnu adalah anak angkat kedua orangtuanya seperti yang baru saja pria ini katakan padanya.

Wisnu mengangguk. "Emang sih semua berita, semua artikel, dan semua tulisan yang menyankut gue gak ada yang mengatakan kalau gue ini anak angkat karena ini rahasia gue sama orangtua gue."

"Terus kalau ini rahasia kenapa lo bilang rahasia ini sama gue ?" tanya Tria benar-benar tidak mengerti dengan isi kepala pria ini. Andai saja ia bisa, ia akan membedah kepala Wisnu dan mengeluarkan semua yang ada di dalamnya.

Belum sempat Wisnu menjawab, bel pertanda masuk kelas berbunyi. Wisnu buru-buru berdiri dan meninggalkan bangku yang mereka berdua duduki. Sementara itu Tria masih duduk disana dengan pandangan kosong. Lalu karena tidak mau lebih memikirkannya lagi, ia pun beranjak pergi dari sana.

***

~Next to BAB 3~


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: