BAB 17

BAB 17
***
Wisnu baru saja keluar dari ruang musik saat Leon memanggilnya dari arah yang berlawanan. Ia menoleh. Setelah itu ia pun mengikuti Leon setelah pria itu mengisyaratkan padanya untuk ikut dengannya.
Sudah beberapa menit Wisnu dan Leon berada disini-atap sekolah dengan pemandangan bagus namun sering terabaikan-namun sampai saat ini Leon belum juga mengeluarkan sepatah katapun. Setidaknya mengatakan padanya alasan kenapa Leon mengajaknya ke atap.
"Lo mau ngomong apa sama gue?" tanya Wisnu dengan gaya cool sambil melipat kedua tangannya di depan dadanya. Menatap Leon dengan tatapan intens. Namun, ia juga sangat menantikan pria itu membuka mulutnya.
Belum mengatakan apapun. Leon hanya menghembuskan nafas panjangnya.
Wisnu melirik jam yang melingkar di tangannya. "Oke, gue gak punya waktu buat berhadapan sama lo yang gak ngomong-ngomong dari tadi."
Wisnu baru saja memutar tubuhnya hendak turun dari tempat ini saat Leon mengucapkan sesuatu padanya.
"Lo bisa berhenti sekarang, Wisnu." Ujar Leon tiba-tiba. Membuat Wisnu yang mendengarnya menghentikan langkahnya seketika.
"Gue tahu, gue dari awal emang gak suka sama lo. Gue gak suka sama kedeketan lo sama Tria. Gue juga ngerti kalau lo gak mau ngecewain orang-orang yang udah dukung lo. Terlebih lagi lo gak mau ngecewain Tria. Lo gak bisa terus-terusan buat maksain tangan lo yang lo sendiri tahu itu udah gak mampu lagi lo tahan."
Leon menghela nafas sejenak sebelum melanjutkan lagi. "Masih belum terlambat buat lo berhenti, Wisnu. Ini demi kebaikan lo juga."
Wisnu memejamkan matanya lamat-lamat. Mencoba mencerna apa yang baru saja Leon katakan padanya. Sampai kemudian ia sampai pada kesimpulan bahwa Leon sudah mengetahui tentang keadaannya yang sebenarnya.
"Jadi lo udah tahu." ucap Wisnu pelan. Namun masih bisa Leon dengar karena disini hanya ada mereka berdua saja. "Apa Tria tahu tentang hal ini?"
Leon menggeleng. "Gue sendiri bingung gue harus kasih tahu atau enggak."
"Gak lo jangan pernah kasih tahu dia." Ucap Wisnu. "Gue mohon."
Leon pun mengangguk.
"Belum terlambat buat lo mundur, Wisnu." Leon menggigit bibir bawahnya. Sebenci apapun dia, setidaksuka apapun dia, Leon tetaplah seorang Leon. Yang gampang merasa iba dan tidak suka melihat penderitaan orang lain. Leon tetaplah Leon yang selalu peduli terhadap siapapun termasuk musuhnya sendiri.
"Gue tahu emang hubungan lo sama gue gak baik, bahkan sangat buruk. Kita juga sama-sama tahu kalau gue gak pernah suka sama lo. Tapi, gue mohon sebagai orang yang gak suka sama lo, lo mau berobat. Belum terlambat buat itu semua, Wisnu."
"Ini...ini... gak gampang buat gue. Gak gampang kalau gue harus ninggalin apa yang gue suka."
"Gue tahu." timpal Leon cepat. "Dan lo juga gak bisa terus-terusan maksain dengan keadaan lo yang lo sendiri tahu lo gak bisa terus maksain itu."
Wisnu melirik Leon yang berada di belakangnya dengan sudut matanya. "Ini jalan yang udah gue pilih dan lo gak bisa mempengaruhi itu."
Setelah itu Wisnu pun turun meninggalkan Leon sendirian di atap. Leon membiarkan rambutnya tertiup angin sambil menatap kepergian Wisnu. Ah, kenapa pria itu keras kepala seperti ini?
***
Hari ini hari Minggu. Parkiran yang biasanya selalu penuh saat Wisnu memarkirkan motornya pada jam segini. Wisnu menghela nafas panjang sambil memejamkan matanya. Sebenarnya jadwal latihannya dengan Pak Deddy tiga jam lagi. Akan tetapi, karena ia tidak bisa terus-terusan di rumah Wisnu pun memutuskan datang ke sekolah saja.
Dada Wisnu sesak sesaat itu juga mengingat bagaimana mama dan papanya yang selalu memaksanya untuk melakukan operasi di luar negeri setiap waktu membuatnya tidak nyaman. Wisu sendiri tahu kedua orangtuanya melakukan pemaksaan seperti itu juga demi kebaikannya, akan tetapi Wisnu masih merasa berat untuk melakukannya. Ia sama sekali tidak siap jika nanti ia harus menghadapi kenyataan bahwa ia tidak akan bisa lagi memainkan piano yang sangat ia cintai selama ini. Ia tidak siap jika nanti ia harus memulai lagi impiannya dari awal. Sungguh, ini juga bukan keinginannya. Menderita penyakit ini sama sekali bukan kehendaknya.
Wisnu melangkahkan kakinya menuju ruang musik. Tak butuh waktu lama, sekarang Wisnu sudah berada di mulut pintu ruang musik itu. Ia masih berdiri disana, belum bergerak sama sekali. Memandangi piano yang berdiri tunggal di tengah-tengah ruangan. Warna berkilaunya, kehangatannya, kehalusannya, warna hitam putih tutsnya yang seakan menjadi gambaran akan keindahan, dan ketenangan jiwa yang selalu ia dapati saat sedang memainkannya.
Apakah ia mampu untuk meninggalkan itu semua? Apakah ia bisa bertahan dengan keadaan bahwa nanti ia tidak bisa lagi memainkannya? Apakah hidupnya nanti akan berwarna seperti saat ia sering memainkan lagu piano itu?
Wisnu ragu. Wisnu ragu jika nanti ia masih bisa kuat dengan hal itu. Baginya... piano adalah segalanya, sebagian dari hidupnya. Bagian dari jiwanya sendiri.
Tiba-tiba seseorang menepul pundaknya dari belakang.
"Hei!"
Wisnu menoleh kebelakang. Dilihatnya gadis berrambut sebahu yang mengenakan kaos panjang belang-belang berdiri di belakangnya. Gadis yang sama. Gadis yang tidak ingin ia kecewakan. Salah satu alasan keraguannya tentang apakah bisa nantinya ia bisa bertahan tanpa piano. Mengingat gadis inilah yang paling menyukai permainannya. Tria.
"Lo mau latihan ya? Kok masih bengong disini?" tanya Tria heran.
"Lo lagi ngapain disini?" bukannya menjawab, Wisnu malah melontarkan pertanyaan yang lain pada Tria.
"Gue cuma lagi males dirumah soalnya Meisya lagi sakit. Biasalah gue lagi males disuruh ini itu sama mama. Makanya gue kabur." Jelas Tria yang langsung disambut dengan anggukan dari Wisnu.
"Ayo kesana." Ucap Tria sambil mendorong tubuh Wisnu mendekat pada piano itu. Lalu mendudukkan Wisnu pada kursi si depan piano itu.
Wisnu hanya menurut saja. Saat ini ia sedang terkekeh sendiri atas apa yang baru saja Tria lakukan padanya. Di pandanginya gadis yang saat ini berdiri di hadapannya lekat-lekat.
"Ayo mainin!" perintahnya.
Wisnu malah tertawa. Kemudian untuk menuruti kemauan Tria ia pun menekan tuts piano itu. Tekanan demi tekanannya menjadi sebuah lagu masa kecil yang berjudul "Pelangi Pelangi".
Mendengar apa yang Wisnu mainkan membuat Tria yang mendengarnya tertawa terbahak-bahak.
"Udah." Kata Wisnu sesaat setelah ia menyelesaikan lagunya.
Wisnu menatap wajah Tria yang masih tertawa itu. Ia senang melihat gadis ini tertawa seperti ini. Ia suka melihat mata Tria yang mendadak menjadi sipit saat tertawa. Ia sangat menyukai suara tawa Tria yang menurutnya lain daripada yang lain.
"Kenapa kok malah ketawa? Kan gue udah mainin lagu buat lo." Ujar Wisnu.
Tria yang masih belum berhenti tertawa pun menjawab. "Apaan, orang gue nyuruh lo mainin lagu klasik ala opera opera gitu bukannya mainin lagu anak-anak kayak gitu."
"Emang kenapa? Salah? Sekali-kali lah kita nostalgia ke masa anak-anak."
"Tapi, ini suasananya beda Wisnu."
"Beda apanya. Ya terserah gue dong mau mainin apa aja."
"Udahlah... gue yakin gue bakalan kalah kalau gue terus-terusan debat sama lo." Kata Tria mengakhiri perdebatan singkat itu sebelum nantinya ia kalah telak berdebat dengan pria semacam Wisnu ini. "Sekarang lo mau 'kan mainin lagu yang bakalan lo mainin buat kompetisi nanti?"
"Kan udah waktu itu di...." Perkataan Wisnu tiba-tiba berhenti mengingat waktu itu saat ia memainkan lagu yang akan di mainkannya saat final nanti di gedung kesenian waktu itu. "Gedung kesenian." Lanjut Wisnu dengan suara yang lemah.
"Udah jangan di inget lagi." Tria menepuk pelan pundak Wisnu. "Gue ngerti lo pasti nervous 'kan waktu itu?"
Wisnu hanya membalasnya dengan senyuman tipis. Tidak, sungguh bukan karena ia nervous waktu itu tapi karena tangannya yang tanpa disangka-sangka kambuh sehingga membuat permainannya buruk dan memalukan. Jika saja bukan karena penyakitnya ini. Ah sudahlah, lagi pula apa gunanya ia terus-terusan menyalahkan penyakitnya itu.
Tria tersenyum manis pada Wisnu. "Lo mau kan mainin lagu itu buat gue sekarang?" pinta Tria. Suaranya pelan terdengar ragu-ragu.
Wisnu tampak berfikir. Itu tampak jelas sekali tergambar lewat kerutan kecil di dahinya.
"Mau 'kan?" tanya Tria ragu untuk mengatakannya.
Tak lama Wisnu pun mendongak lalu tersenyum pada Tria. Entah kenapa setiap kali ia melihat wajah Tria yang seperti itu membuatnya merasa sangat tidak enak. Seperti semua apa yang ia lakukan hanya untuk menyenangkan hati Tria. Ia sama sekali tidak bisa menolaknya. Ya... meskipun ia harus menahan rasa sakit itu lagi karena sekarang rasa sakit di tangannya itu mulai muncul.
"Tapi... gue juga gak terlalu maksa lo sih. Kalau lo gak mau ya terse.."
"Gue mainin yah sekarang." Potong Wisnu membuat mata Tria terbelalak saat itu juga. Tidak percaya apa yang baru saja didengarnya.
Detik berikutnya Wisnu pun mulai menekankan jarinya pada tuts-tuts piano itu. Memainkan lagu yang sama dengan saat ia memainkannya di gedung kesenian beberapa hari yang lalu. Meskipun sebelumnya ia sempat merasa ragu pada dirinya saat akan memainkan lagu ini. Ia takut jika ia nanti akan berhenti di tengah-tengah seperti waktu itu.
Dan belum juga seperempat lagu, Wisnu sudah merasakan rasa sakit yang luar biasa pada tangannya. Rasa sakit itu terasa lagi. Diliriknya Tria yang tampaknya sangat menyukai permainannya. Tidak, ia tidak boleh membuat gadis ini kecewa karena tidak mendengarkan lagunya sampai akhir. Ya, meskipun Wisnu harus menahan rasa sakit yang semakin menyakitkan ini.
Tangan Wisnu bergetar semakin hebat. Terasa sangat menyakitkan. Ia harus memaksakan terus tangannya seperti ini. Ia ingin mengakhirinya tapi saat mengingat di sampingnya berdiri Tria yang mendengarkannya membuatnya sebisa mungkin menahannya. Dan dari waktu ke waktu rasa sakitnya itu semakin tidak tertahankan sampai-sampai mungkin tanpa disadari Tria sekarang wajahnya sudah mengeluarkan ringisan yang sama sekali tidak bisa Wisnu tahan-tahan.
Sakit sangat sakit. Seperti mau mati saja.
Sampai tiba-tiba Tria menyentuh tangannya yang sedang menekan tuts piano itu. Menatapnya datar kemudian berubah menjadi wajah seperti anak kecil yang menggemaskan. Tidak bisa di pungkiri Wisnu saat ini keheranan kenapa tiba-tiba Tria menghentikan permainannya.
"Kenapa? Lagunya baru mau masuk klimaks." Kata Wisnu heran.
Tria tersenyum malu sambil memegangi perutnya. Hal itu membuat Wisnu yang sedang melihatnya keheranan.
"Lo...lo kenapa? Sakit?" tanya Wisnu.
Tria menggeleng cepat. "Gue..." menunjukkan jarinya kearah pintu. "Ke toilet dulu bentar yah."
Wisnu mengangguk. Setelah itu ia melihat Tria keluar dari ruang musik ini.
Wisnu menghembuskan nafasnya lalu menenggelamkan kepalanya pada lipatan tangannya yang ia letakkan di atas tuts-tuts piano itu. Sebelumnya rasa sakit itu terasa lagi. Sangat sakit. Namun, ia juga tidak ingin menghentikannya karena ia tidak ingin melihat kekecewaan di wajah Tria.
Dan entah sejak kapan Wisnu merasakan rasa sakit itu mulai menjalari hatinya. Bahkan itu lebih sakit dari tangannya barusan. Rasa sakit karena selama ini ia harus terus berpura-pura menyukai orang lain.
"Jangan jauh dari gue. Gue mohon. Gue sayang sama lo." Rintihnya dalam hati.
Sungguh, Wisnu tidak berbohong jika ia sangat, sangat, dan sangat menyayangi Tria. Semua itu menjadi alasan yang jelas kenapa selama ini ia selalu lebih ingin bersama dengan Tria dibadingkan dengan Amanda. Tidak, ia menyayangi keduanya. Tapi, mungkin.... Ia lebih menyayangi Tria.
Sungguh. Wisnu pun tidak ingin bersikap egois seperti ini dengan menginginkan keduanya berada disampingnya.
"Apa yang harus gue lakuin sekarang?" rintihnya pelan sambil menekan dadanya dengan sebelah tangannya.
***
Sebenarnya saat Tria meminta Wisnu untuk memainkan lagu yang akan dia bawakan saat kompetisi nanti ia sedikit takut. Ia takut jika apa yang ia minta akan menyakiti Wisnu. Tria juga berharap Wisnu akan menolaknya dengan alasan apapun untuk menutupi keadaan yang sebenarnya.
Akan tetapi, ternyata ia salah. Wisnu malah menerima apa yang ia minta dan mulai memainkan lagu itu. Awalnya memang Tria melihat bahwa tangan Wisnu tidak bergetar namun dari waktu ke waktu Tria melihat tangan Wisnu yang mulai bergetar. Bukan hanya itu ia juga melihat ringisan hebat di wajah pria itu. Apa yang harus Tria lakukan sekarang? Ia sama sekali tidak tahan melihat Wisnu kesakitan seperti itu.
Sampai tiba-tiba tangannya menyentuh tangan Wisnu sehingga apa yang sedang Wisnu mainkan berhenti begitu saja. Hal itu pasti akan membuat Wisnu curiga. Tidak, ia tidak boleh membiarkan Wisnu curiga bahwa sebenarnya Tria sudah mengetahui akan keadaannya yang sebenarnya.
Tria tidak boleh membuat Wisnu yang sekarang sedang keheranan atas apa yang ia lakukan. Ia tidak boleh membuat Wisnu tahu bahwa apa yang ia lakukan barusan adalah untuk menghentikan Wisnu supaya pria itu tidak terlalu kesakitan.
"Kenapa? Lagunya baru mau masuk klimaks." Tanya Wisnu. Jelas sekali bahwa dia keheranan atas apa yang baru saja ia lakukan.
Tria pun memegangi perutnya sambil tersenyum malu. Tidak ada cara lain selain berpura-pura.
"Lo...lo kenapa? Sakit?" tanya Wisnu.
Tria menggeleng cepat. "Gue..." menunjukkan jarinya kearah pintu. "Ke toilet dulu bentar yah."
Kemudian setelah ia melihat anggukan dari Wisnu, ia pun keluar dari ruangan itu dengan langkah yang sebisa mungkin ia lakukan seperti biasanya. Tidak seberat hatinya saat ini.
Bruk.
Tubuhnya ambruk sesaat setelah ia melewati pintu ruang musik itu. Lututnya yang sejak tadi berusaha untuk tetap berdiri tegak menopang tubuhnya yang sebenarnya sudah sangat lemas akhirnya terjatuh juga. Terjatuh bersama rasa sakit yang tidak bisa ia tunjukkan. Terjatuh bersama kenyataan yang membuatnya tidak percaya sendiri. Terjatuh bersama luka dan kepedihan yang sangat dalam. Tidak. Ini tidak sebanding dengan apa yang Wisnu rasakan.
Ia tidak bisa lagi menahan air matanya untuk tidak keluar. Rasanya perih sekali mengetahui penderitaan yang sedang dialami Wisnu. Dan sekarang yang hanya bisa ia lakukan adalah menangis dalam diam berharap Wisnu tidak mengetahuinya. Membekap mulutnya kuat-kuat berharap isakannya tidak mengeluarkan suara apapun. Ia tidak boleh membuat Wisnu semakin merasa berat jika dia tahu bahwa sebenarnya ia sudah mengetahui tentang keadaan Wisnu sejak jauh-jauh hari.
"Apa yang harus gue lakuin buat lo?" rintihnya pelan. Kedua tangannya ia gunakan untuk membekap mulutnya berharap erangannya tidak keluar.
Tria menarik nafasnya dalam-dalam sambil menahan erangannya. Ulu hatinya serasa ditusuk-tusuk dengan benda tajam. Membuatnya tidak tahu apa yang harus ia lakukan selain menangis saat ini.
Dan lagi-lagi saat ia mengingat Wisnu yang selalu berusaha untuk tidak mengecewakan semua orang membuatnya secara terpaksa harus menahan tangisannya. Yang akibatnya malah membuat hatinya semakin terluka.
***

Haiiii... Minal aidzinwalfaidzin mohon maaf lahir dan batin. Maaf juga karena next nya lama :D

Jangan lupa vota sama komentarnya ;)

~next to bab 18~
Happy reading!!!!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: