BAB 15

BAB 15

***

"Kamu masih mau ikut kompetisi itu?" tanya Mama Anita—mamanya Wisnu—pada Wisnu yang sedang memakan makanannya.

Wisnu mendongak dan melihat mamanya itu. Kemudian ia meletakkan sendok yang di pegangnya di atas piring. "Wisnu cuma gak mau ngecewain orang-orang yang percaya sama Wisnu." Ujar Wisnu dengan kepala menunduk. "Itu aja."

"Iya. Mama ngerti kalau kamu gak pernah mau ngecewain orang lain. tapi, kamu juga harus inget sama keadaan kamu."

"Aku tahu ma. Aku tahu." sela Wisnu cepat. "Dan aku tetep gak mau mundur. Semua orang naruh harapannya sama aku, ma."

"Mama tahu." Anita membekap mulutnya sendiri tidak kuasa menahan kesedihan yang selalu menggerogotinya saat ia ingat akan keadaan Wisnu. "Tapi tangan kamu gak bisa dipaksain. Please sekali ini kamu dengerin apa yang mama bilang."

Wisnu tersenyum tipis sambil menatap tangan kirinya. Menghela nafasnya panjang-panjang karena lagi-lagi ia merasakan kepedihan itu merayapi hatinya lagi. Lebih dari yang mamanya rasakan, Wisnu jauh lebih sakit dan sedih.

"Aku gak apa-apa kok ma." Ucap Wisnu sambil memberanikan diri menatap wajah mamanya. Lalu berkata dengan sedikit meyakinkan. "Percaya sama aku. Aku yakin aku bisa."

"Mama khawatir sama kamu. Mama gak mau kamu terus-terusan nahan rasa sakit itu."

"Aku udah bilang aku gak apa-apa kan?" tanya Wisnu dengan nada tegas. "Lagian obat pereda rasa sakit itu manjur kok, ma."

"Wisnu. Sekali ini kamu turutun kemauan mama." Anita menyentuhkan tangannya pada lengan Wisnu. Menatap putranya dengan mata berbanjir air mata. Sungguh, ia hanya menginginkan yang terbaik untuk putranya ini. Hanya itu.

"Aku gak mau di operasi ma. Aku gak mau. Aku gak mau kalau nanti aku harus mulai dari awal lagi. Itu...itu terlalu berat buat aku."

"Mama tahu. Tapi ini yang terbaik buat kamu."

Wisnu menajamkan tatapannya. "Meskipun aku harus ngerelain apa yang udah aku mulai selama ini. Begitu maksud mama?" Wisnu menghela nafas. Ia rasa apa yang baru saja diucapkannya cukup kasar bagi mamanya. "Dan aku gak bisa ma. Wisnu minta maaf." Pungkasnya kemudian beranjak meninggalkan ruang makan.

***

Wisnu menutup pintu kamarnya secara perlahan-lahan. Kemudian menyandarkan tubuhnya pada pintu. Setiap langkahnya sekarang terasa tidak berarti dan tanpa arah. Seakan-akan semua jalan yang ia pijaki gelap, tidak bercahaya sedikitpun. Apa yang harus ia lakukan sekarang?

Matanya kemudian mengarah pada tangan kirinya yang bergetar hebat dan terasa nyut-nyutan sekarang. Apa yang harus ia lakukan? Ini terlalu berat dan terlalu sulit baginya untuk memulai lagi dari awal apa yang sudah ia miliki saat ini. Tapi, rasa sakit itu semakin hari semakin terasa menyakitkan dan tidak tertahan.

Ia teringat saat dulu saat pertama kali ia merasakan ada sesuatu yang aneh dengan tangan kirinya. Saat itu ia masih bersekolah di Art International High School. Saat itu ia sedang mempersiapkan diri untuk acara pelepasan kelas 12 dan entah kenapa tiba-tiba saja tangannya itu terasa pegal tak tertahan dan semakin ia memaksakan tangannya untuk memijat tuts-tuts piano, tangannya semakin terasa sakit, semakin tak tertahankan. Sampai akhirnya ia memutuskan untuk memeriksakan tangannya bersama mamanya.

"Maaf harus mengatakan ini. Tapi kayaknya kamu harus berhenti main piano." Ujar Dokter Affandi pada Wisnu.

Wisnu dan Anita yang melihatnya keheranan karenanya.

"Tapi kenapa?" tanya Wisnu tidak bisa menahan rasa penasarannya.

Belum menjawab Dokter Affandi malah beranjak dan mengambil sesuatu dari sebuah layar yang menunjukkan gambar rontgen. Ia kembali lagi dan menunjukkan gambar itu pada Wisnu dan mamanya.

Wisnu sedikit tidak yakin apakah itu benar-benar miliknya atau bukan. Ia juga tidak mengerti dengan apa yang terjadi dengan gambar di tangan Dokter Affandi itu. Gambar kerangka tangan kanan dan tangan kiri Wisnu.

"Anak saya kenapa, Dok?" tanya mama penasaran. Mewakili rasa penasaran Wisnu juga yang tidak mengerti ada apa yang terjadi dengan gambar hitam putih itu. Ia benar-benar tidak mengerti sama sekali.

"Anak saya gak apa-apa kan, Dok?" tanya Anita dengan berurai air mata. Air mata yang selalu tidak bisa dia tahan setiap kali menghadapi sesuatu yang mungkin akan buruk bagi Wisnu, anaknya.

Meskipun mamanya ini bukan mama kandungnya akan tetapi kasih sayang mamanya terhadapnya ini sudah bagaikan kasih sayang seorang ibu pada anak kandungnya. Dan Wisnu merasa sangat beruntung akan hal itu.

Dokter Affandi tampak menghela nafasnya sejenak sebelum menjelaskan apa yang terjadi pada tangan Wisnu secara rinci tanpa terlewat. Menjelaskan dimana letak masalah dari gambar itu sambil menunjuk-nunjuknya. Memberikan diagnosis kedokterannya. Menggunakan keahliannya yang sudah diakui oleh banyak pasien dan perawat di rumah sakit ini.

Kemudian bisa di ambil kesimpulan dari apa yang Dokter Affandi ucapkan barusan. "Wisnu menderita distrofi otot. Ini mungkin terjadi dan tidak terduga-duga bisa karena faktor gen dan masih banyak penyebab yang lainnya. Tapi, jangan khawatir persentase kesembuhannya akan bertambah kalau saja kamu mau terapi rutin dan minum obat terus."

"Apa...apa ada cara lain? maksud saya berapa lama saya akan sembuh?" tanya Wisnu dengan suara bergetar. Tidak bisa ia menyembunyikan kesedihan dan keterkejutannya mendengar kabar itu. Sungguh, karena selama ini Wisnu selalu menganggap remeh apa yang terjadi pada tangannya ini dan tidak menyangka bahwa apa yang terjadi pada tangannya ini lebih buruk dari yang dikiranya. Bahkan sangat buruk. Lebih serius dari yang dianggapnya.

"Saya juga tidak tahu. Sebaiknya kita menyerahkan hal itu pada Yang Maha Kuasa. Seperti yang saya bilang bahwa persentase kesembuhannya akan bertambah kalau kamu rajin terapi dan minum obat dengan teratur." Ujar Dokter Affandi.

"Memang berapa persentase kesembuhannya dok?" tanya mama berusaha menjelaskan suaranya. Sejak tadi apalagi setelah dokter mengatakan apa yang diderita Wisnu, Anita tidak berhenti menangis sampai-sampai matanya menjadi sembab seketika.

Dokter menghela nafas lalu berkata dengan sedikit enggan. Wisnu tahu Dokter Affandi agak ragu untuk mengatakannya. "Sepuluh persen." Katanya lemah. Namun buru-buru dia menambahkan. "Seperti yang saya bilang persentasenya akan naik kalau Wisnu rajin terapi dan minum obat setiap hari. Tidak menutup kemungkinan persentase kesembuhan itu bertambah menjadi sembilan puluh sembilan koma sembilan sembilan persen. Dan jangan lupa meminta pada yang Maha Kuasa supaya di berikan kesembuhan."

FLASHBACK OFF

Wisnu memejamkan matanya lalu menatap kembali kedua tangannya. Tangisnya tidak tertahankan lagi. Rasanya menyakitkan sewaktu pertama kali ia mendengar bahwa dirinya menderita penyakit itu. Penyakit yang lumayan langka. Penyakit yang mampu membuat semua jalan yang dilaluinya terasa hampa dan kosong tidak memiliki harapan dan mimpi lagi yang bisa membuat hidupnya lebih berwarna. Seakan-akan apa yang diharapkan dan diimpikan Wisnu saat ini menjadi sangat mustahil. Menjadi... tidak masuk akal dengan keadaannya sekarang ini.

Semakin pedih lagi saat ia mengingat alasan kepindahannya ke sekolahnya yang sekarang. Karena ia tidak bisa lagi membuat bangga sekolahnya dan memilih pindah saja. Sekolah yang sejak kecil ia impi-impikan dan dengan terpaksa ia harus melepaskannya dan pergi dari sana.

Dan sekarang, haruskah ia mengecewakan orang-orang yang mempercayainya. Pak Deddy, guru-guru, teman-teman, dan....Tria yang menyimpan banyak harapan padanya. Tidak sebenarnya kalau saja dari awal ia mengatakan hal yang sebenarnya pada semua orang mungkin tidak akan seperti ini jadinya sekarang.

Dan sekarang... Wisnu terjebak pada apa yang ia putuskan sendiri.

***


Awasss puasanya jangan bolong bolong yah. Nanti gak dibelliin baju bedug sama mamanya... hahaha :D

vote and coment guys! ;)

follow twitter : (at)IisTazkiatii2

add fb : Iis Tazkiati N

like fanpage fb : Book's Slide


Ayoo perbanyak kebaikan  kalian karena kebaikan yang kita lakukan di bulan ini akan di lipat gandakan oleh Allah SWT. #AllahAlwaysWithU


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: