BAB 14

BAB 14

***

"Kamu tunggu disini aja ya." Kata mama pada Tria.

Tria mengangguk. Sementara mamanya dan Meisya masuk keruangan dokter untuk konsultasi, Tria menjatuhhkan tubuhnya pada kursi tunggu di depan ruangan Dokter Agus itu—dokter yang sedang berkosultasi dengan mama dan adiknya itu.

Sudah hampir satu jam mamanya dan adiknya masuk ke ruang dokter itu dan sampai sekarang mereka belum juga keluar. Tria menghela nafas. Untuk menghilangkan kebosanannya ia pun mengeluarkan ponselnya dan mengotak-atiknya. Tidak tahu apa yang sedang ia cari. Tidak tahu apa yang akan ia lakukan dengan ponselnya hanya memainkannya. Melihat foto-foto di album poselnya. Sampai tiba-tiba tanpa disangka-sangka ia menemukan foto Wisnu terselip di antara foto-fotonya.

Tria membulatkan mulutnya. Dan tak lama senyumnya mengembang mengingat kapan ia mengambil foto itu. Foto itu ia mabil secara diam-diam saat Wisnu bernyanyi sambil bermain gitar di acara pernikahan sepupunya waktu itu.

"Ternyata lo diam-diam suka foto gue juga yah." Ucap seseorang diikuti dengan tawa gelinya.

Tria mendongak. Dilihatnya Wisnu berdiri sambil agak mencondongkan tubuhnya melihat foto yang ada di ponselnya itu.

Secepat kilat Tria langsung menyembunyikan ponselnya ke belakang tubuhnya. "Apaan sih?! Foto lo apaan?"

Wisnu mencibirkan bibirnya. "Foto lo apaan?" kata Wisnu sambil meniru suara Tria saat mengucapkannya. "Orang gue lihat sendiri itu foto gue."

"Bu...bukan kok." Tria terus saja menyangkal. Mungkin sekarang dirinya terlihat sangat bodoh sekali di mata Wisnu. Tolol.

Wisnu mengangguk-angguk. "Gue udah biasa dipaparaziin kayak gitu kok. Tenang aja." Katanya sambil mengambil posisi duduk disamping Tria. Seperti biasa pria ini bersikap sombong, menyebalkan sekali.

"Lo lagi ngapain disini?" tanya Wisnu kemudian.

"Hah? Oh gue lagi nganter Meisya konsultasi sama Dokter Agus." Jawab Tria.

"Emang dia kenapa?"

"Cuma sakit biasa kok." Ucap Tria sambil tersenyum. "Oh ya. Lo sendiri lagi ngapain disini?" tanya Tria mengingat Wisnu juga ada di tempat yang sama dengannya.

"Gue...gue ngater mama gue." Entah ini hanya perasaannya saja atau apa. Tria melihat Wisnu barusan yang sepertinya sedang mencari-cari sesuatu untuk dikatakan. Sudahlah, lupakan.

"Dia kenapa?"

"Biasalah ibu-ibu rempong mau konsultasi sama dokter kulit. Padahal udah gue bilangin sama dia kalau dia itu udah tua jadi gak usah khawatir sama wajah yang berubah tapi eh... dia masih aja kekeh bilang kalau dia masih muda." Ucap Wisnu panjang lebar dan sukses membuat Tria yang mendengarnya tertawa terbahak-bahak.

"Eh, tapi lo gak usah juga bilang kayak gitu sama dia. Orangtua itu tanpa kita sadari lebih sensitive dari yang terlihat lho." Tria memperingatkan.

"Emang yang gue bilang itu fakta kok."

"Emang fakta. Tapi gak gitu juga. Kalau dianya sakit hati gimana?"

Setelah itu mereka berdua pun terdiam. Tria menggigit bibir bawahnya. Tidak bisa di pungkiri saat ini jantungnya berdebar sangat cepat. Kenapa selalu seperti ini? Kenapa ia tidak bisa menyembunyikannya saja dan bersikap biasa saja di dekat Wisnu. Kenapa menyukai seseorang harus serumit ini, tidak nyaman saat ada di dekatnya. Bukan tidak nyaman karena apa tapi karena detak jantung yang tidak bisa dikontrol sehingga membuat kita terlihat bodoh saat didekatnya, kadang-kadang sih.

"Wisnu." Panggil seorang suster yang berjarak beberapa meter dari mereka.

Tria dan Wisnu menoleh secara bersamaan.

"Wisnu Dokter Affandi manggil kamu. Dicari-cari juga dari tadi. Dasar!" Ujar suster itu di akhiri dengan omelannya.

"Gue duluan yah." Kata Wisnu. Beberapa detik kemudian pria itu melesat pergi.

Tria menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Dasar." Umpat suster itu lalu menatap pada Tria. "Dia itu emang hobbynya kabur-kaburan." Katanya. Sejurus kemudian perempuan paruh baya itu memutar tubuhnya sambil mendumel tidak jelas namun Tria masih bisa menangkap apa yang dia katakan dengan telinga tajamnya.

"Pasien kok bandelnya minta ampun." Kira-kira itu yang Tria dengar. Membuat Tria yang mendengarnya mematung seketika.

Pasien? Tria mengulang kata itu berkali-kali dalam hatinya sambil terus bertanya-tanya tentang kenapa Wisnu. Padahal pria itu terlihat sehat-sehat saja. Ah, mungkin ia hanya salah dengar saja. Mungkin hanya sakit biasa. Positif thinking Tria.

Tak lama mamanya dan Meisya keluar dari ruangan Doter Agus. Segera Tria berdiri dan menghampiri mereka berdua.

"Meisya katanya kenapa, ma?" tanya Tria sambil merangkul Meisya.

"Dia gak kenapa-kenapa kok. Cuma sering telat makan aja makanya dia kayak sekarang."

Tria berdecak lidah sambil menatap Meisya dengan tatapan tajam.

Meisya yang melihatnya mengernyikan alisnya. "Gak usah so so diseremin gitu deh. Orang gak serem juga."

Perkataan Meisya barusan berhasil mendapat hadiah jitakan pada kepalanya. "Kan udah gue bilang kalau makn itu harus tepat waktu jangan terlalu banyak jajan di luar, gak sehat."

Meisya meringis sambil menggosok-gosok kepalanya. "Iya iya. Bawel banget sih lo, nek."

"Apa! Nenek?" Tria menjitak lagi kepala Meisya. Membuat Meisya yang merasa menjadi korban KDRT mendadak itu mengadukan apa yang dilakukan kakaknya ini pada mamanya.

Akan tetapi, mamanya tidak melakukan apa-apa malah tertawa terbahak-bahak melihat apa yang dilakukan kedua putrinya ini.

***

Tria sedang berjalan sendirian menuju gedung kesenian saat Leon tiba-tiba datang dan merangkul pundaknya dari belakang. Hampir saja ia repleks memukul Leon karena kagetnya.

"Ngagetin aja." Ucap Tria sambil mengerucutkan bibirnya. Tak lupa ia memukulkan tangannya pada bahu Leon.

"Iya maaf maaf." Kata Leon sambil nyengir tidak jelas seolah-olah tidak melakukan kesalahan apapun. "Mau kemana?" tanyanya.

"Mau lihat Wisnu gladi bersih sebelum pertandingan finalnya minggu besok." Jawab Tria.

Leon hanya mengangguk-angguk. Lalu mengikuti kemana Tria melangkah. Saat ia dan Leon memasuki ruangan kesenian. Sudah banyak sekali siswa-siswi yang duduk di bangku-bangku yang ada diruangan itu. Tria pun menarik lengan Leon menuju kursi yang masih kosong yang berada di barisan ke empat paling depan.

Di depannya ada sebuah panggung dan sebuah piano di tengah-tengah panggung itu. Warna coklat panggung itu membuat suasana klasih ruangan ini semakin terasa. Ruangan ini cukup luas dan biasa di gunakan saat acara teater atau pentas seni akhir tahun.

Tak lama Wisnu muncul dari pintu samping. Sebelumnya pria itu membungkukkan tubuhnya terlebih dahulu sebagai tanda hormat sebelum akhirnya dia duduk di kursi di hadapan piano.

Wisnu pun mulai memainkan lagunnya. Pertama-tama tempo lagu itu tenang dan lambat namun saat memasuki pertengahan lagu temponya berubah menjadi lebih cepat, cepat, cepat, dan wow.... Tria tidak bisa mengatupkan mulutnya sendiri. Merasa kagum dengan kehebatan Wisnu.

Semua orang termasuk Tria bertepuk tangan. Memuji kehebatan pria itu. Pantas saja dia sangat terkenal. Kehebatannya saja sudah tidak bisa di ungkapkan dengan kata-kata. Entah kenapa Tria tiba-tiba merasa bangga mempunyai teman seperti Wisnu.

Akan tetapi, entah orang lain menyadarinya atau tidak, Tria melihat ringisan di wajah Wisnu. Tepuk tangan Tria yang tadinya sangat keras menjadi pelan secara berangsur-angsur sebelum akhirnya berhenti dan menatap wajah Wisnu dengan penuh rasa heran. Pria itu seperti sedang menahan rasa sakit yang entah apa itu. Sampai kemudian lagu yang dimainkannya berhenti begitu saja. Membuat semua orang yang menontonnya terheran-heran kenapa Wisnu tiba-tiba saja menghentikan lagunya. Bahkan Pak Deddy selaku pembimbing Wisnu pun berdiri dan langsung berlari menaiki panggung dan menghampiri Wisnu. Mereka berdua tampak berbincang-bincang sejenak sebelum Wisnu mengangguk dan meninggalkan panggung.

Pandangan Tria tidak lepas memandangi punggung Wisnu sebelum tubuh pria itu benar-benar menghilang dari balik pintu samping panggung itu.

***

Tria melirik bangku Wisnu di sampingnya yang kosong. Semenjak insiden di ruang kesenian tadi, ia belum juga bertemu dengan Wisnu. Yang lainnya pun begitu padahal mereka mempunyai banyak pertanyaan yang ingin mereka tanyakan pada Wisnu.

'Lo dimana?' Tria mengetikkan pesan singkat pada Wisnu dan langsung mengirimkannya. Namun beberapa menit menunggu ia belum juga mendapati Wisnu membalas pesan singkat darinya.

'Kenapa lo gak masuk kelas? Guru tadi nanyain lo.'

'Lo dimana sih?'

'Lo dimana? Mau gue temenin?'

'Balesss...'

'Lo kenapa sih? Ada masalah sama gue? Kalau emang ada bilang aja. Jangan kayak anak kecil, menghindar dari semua orang.'

Tria meletakkan saja ponselnya di kolong bangku. Menghela nafas panjang berusaha menstabilkan emosinya. Sungguh, ia sangat tidak mengerti dengan pria itu.

Tiba-tiba ponsel yang ada di kolong bangkunya bergetar. Dengan cepat ia mengambilnya berharap bahwa itu adalah balasan pesan dari Wisnu.

"Telkomsel." Gumamnya pelan. Kecewa dan kesal kini ia rasakan. Hal seperti inilah yang paling menyebalkan di dunia. Saat ia sedang menunggu pesan dari seseorang dan yang datang malah pesan dari operator. Dengan malas ia menyimpan ponselnya ke kolong bangku bahkan nyaris melemparnya.

Tak lama ponselnya berdering kembali. Dengan sedikit malas ia mengambilnya dari kolong bangkunya.

Matanya membulat seketika melihat nama Wisnu tertulis disana. 'Gue gak apa-apa'

Segera Tria mengetikkan lagi pesan singkat padanya. 'Sekarang lo dimana? Gue lagi males belajar nih.'

'Gue di belakang sekolah.'

***

Wisnu menghela nafas beberapa kali sambil memasukan kembali ponselnya ke dalam saku celananya. Sebenarnya untuk saat ini ia tidak ingin bersama atau bertemu dengan orang lain. Yang ia butuhkan adalah ketenangan. Namun, saat ia mengingat wajah khawatir Tria ia langsung mengetikkan pesan singkat padanya. Semoga dengan cara itu kekhawatiran gadis itu padanya bisa sedikit berkurang.

Wisnu menatap tangan kirinya yang bergetar hebat. Kalau saja bukan karena ini, mungkin hidupnya akan sangat baik dan berjalan sesuai dengan apa yang ia inginkan. Dan entah sejak kapan dadanya terasa sesak lagi mengingat hal itu. Mengingat bagaimana buruknya permainannya tadi saat di gedung kesenian. Betapa ia akan mengecewakan semua orang yang sudah mempercayai dan membangga-banggakannya.

Saat itu juga terlintas wajah senang guru pembimbingnya—Pak Deddy—saat dia tahu bahwa ia masuk ke babak selanjutnya pada babak penyisihan waktu itu. Kemudian ia mengingat bagaimana wajah bangga mamanya dulu saat ia selalu menjuarai berbagai perlombaan dengan bakatnya ini. Wajah teman-teman satu kelasnya yang menyimpan banyak harapan padanya. Dan.... Wajah Tria yang sangat suka dengan permainannya dan selalu mengharapkan Wisnu melakukan yang terbaik untuknya. Ah, wajah gadis itu saat tersenyum senang saat mengetahui kemenangannya di babak penyisihan dan semi final pun membayang-bayang di kepalanya. Bahkan berputar-putar tanpa henti.

Membuat rasa sesak di dadanya itu semakin terasa dan semakin pedih saja. Apa yang harus ia lakukan? Ia bingung? Ia seperti tersesat dalam dunia yang serba luas dan terang ini.

"Wisnu."

Samar-samar ia mendengar suara gadis itu. Gadis yang membuatnya sesak setiap kali mengingat senyumannya.

"Lo sendirian aja? Lo gak apa-apa kan?" suara itu terdengar lagi bersamaan dengan gerakan krasak-krusuk rumput yang di injak. Menandakan ada seseorang yang sedang berjalan menuju kearahnya.

Dan ternyat bukan hanya pendengarannya yang salah. Ini memang kenyataan. Gadis itu datang. Mungkin setelah ia mengatakan keberadaannya pada gadis itu.

"Lo tahu, gue langsung kesini waktu lo bilang lo ada disini. Gue lagi males banget belajar, makanya gue kesini." Ujar Tria menjelaskan kenapa ia datang kesini menemui Wisnu.

Wisnu tahu, bukan itu alasannya. Ia tahu bahwa Tria sangat mengkhawatirkannya. Gadis itu sedang berusaha menyembunyikan kekhawatirannya itu dan ingin menemaninya sebagai teman dengan dalih dia sedang tidak mood belajar.

"Oh." Kata Wisnu singkat tanpa mengalihkan pandangannya pada Tria sedikitpun.

"Lo udah tahu belum?" tanya Tria.

"Apaan?"

"Gue sendiri gak percaya sih. Tapi ini kenyataannya."

"Iya apaan?" tanya Wisnu tidak sabaran.

"Leon putus sama Aneu." Ujar Tria memberi tahu.

"Oh. Kalau itu gue udah tahu dari kemaren juga." Jawab Wisnu sedikit malas. Ia juga tahu bahwa saat ini Tria sedang berusaha menghiburnya dengan cara seperti ini.

"Yah.... Padahal gue fikir lo gak tahu. Secara... lo kan kudet soal informasi kayak gituan. Berarti gue orang terakhir yang tahu tentang itu dong?" Ucap Tria terus terang.

"Tadi gue kelihatan tolol yah?" tanya Wisnu tiba-tiba.

"Hah?" Tria mengerjap beberapa kali. Beberapa detik kemudian ia pun tertawa. "Iya lo kelihatan tolol banget. Masa raja piano kayak lo nervous cuma gara-gara di lihatin sama anak-anak satu sekolahan kan gak lucu."

"Tria." Panggil Wisnu membuat Tria yang ada disampingnya menoleh. "Maaf karena gue yang tolol ini. Mungkin di kompetisi nanti gue bakalan ngecewain elo dan yang lainnya." Ujar Wisnu.

Lagi, suasana melodrama seperti ini terasa lagi. Terasa saat Wisnu yang usil dan menyebalkan—Tria yang mengatkannya—mengucapkan sesuatu yang tidak di mengerti oleh orang lain. Wisnu sendiri menyadarinya bahwa ia mengatakan sesuatu yang tidak di mengerti oleh orang lain.

Namun, dari pada itu ia menginginkan orang lain yang mendengarnya mengatakan hal tersebut untuk memahami keadaannya. Seperti saat ia mengatakan hal serupa pada Pak Deddy yang juga sama-sama tidak mengerti kenapa Wisnu mengatakan hal itu.

***


hai kalian para readers setiakuuu.... hahaha

"Salah satu kebaikan yang bisa kita lakukan di bulan Romadhon adalah dengan cara menghargai orang lain"

jadi buat menghargai aku yang udah cape-cape ngetik ini hahaha :D vote sama coment yaa... kalian baik deh. semoga amalan puasa yang kalian lakukan hari ini di lipatgandakan pahalanya dan berkah, aamiin.


follow twitter : (at)IisTazkiatii2

add fb : Iis Tazkiati N

like fanpage fb : Book's Slide

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: