BAB 12

BAB 12

***

Guru wanita ini melangkah dengan tergesa-gesa menuju sebuah kelas dengan beberapa buku dan kertas ulangan ditangannya. Ya. Hari ini ada ulangan dadakan untuk kelas yang akan ditujunya. Akan tetapi, saat ia berada di depan kelas tersebut suasana kelas yang biasanya lebih gaduh dari kelas lainnya kali ini sangat sepi, nyaris seperti kota tua yang ditinggalkan penghuninya. Pintu kelasnya pun tertutup. Ada apa ini ? itu pertanyaan yang saat ini sedang berputar-putar di dalam kepala guru wanita ini.

Dengan perasaan heran ia pun masuk ke kelas tersebut. Dan betapa terkejutnya ia melihat bacaan "Happy birthday ibu kami" membentang di papan tulis. Saat itu juga guru wanita itu membekap mulutnya sendiri sampai-sampai air matanya hendak keluar.

Dan beberapa detik kemudian segerombolan anak kelas itu datang dari arah luar sambil menyanyikan lagu happy birthday dengan seorang gadis berada di barisan paling depan—Tria—tampak membawa kue ulangtahun berbentuk bulat dengan siraman coklat diatasnya serta terdapat lilin berangka 46 diatasnya.

Melihat hal itu membuat guru wanita ini semakin terharu. Dan baru saja matanya itu benar-benar melelehkan air mata haru yang begitu derasnya. Bagaimana tidak, murid-muridnya yang terkenal bandel itu memberikan kejutan seperti ini terhadapnya. Hal yang tidak pernah terfikirkan olehnya sama sekali.

"Happy birthday to you.... Happy birthday to you.... Happy birthday.... Happy birthday.... Happy birthday to you...." Lagu happy birthday itu menggema di salah satu kelas di deret kelas IX IPA ini.

Suasana kelas sangat suka cita. Baru saja guru wanita itu akan meniup lilin 46-nya Leon yang berada di paling belakang berteriak.

"Make a wish dulu bu." Teriak Leon.

Guru wanita itu pun tertawa kecil. "Kalian ini, dasar !" umpatnya. "Siapa yang rencanain ini semua ?"

"Saya bu !" ucap Mela dan Meli secara bersamaan. Hal itu langsung mendapat hadiah jitakan dari Leon yang berada disampingnya.

"Kenapa sih !" dengus salah satu dari anak kembar itu.

"Ayo bu, ucapkan harapan ibu diusia ibu yang sekarang." Kata si ketua kelas.

"Semoga anak-anak ibu yang bandel ini jadi lebih soleh lagi, gak rusuh, makin baik, dermawan, rajin belajar, dsb." Kata guru wanita itu lalu meniup lilin 46 itu.

Beberapa detik kemudian mereka semua pun bertepuk tangan.

***

"Gak kerasa yah Ibu Leni udah 46 tahun." Gumam Mela saat murid kelas IPA2 itu berada di taman belakang sekolah. Beberapa tampak duduk di kursi panjang, ada juga yang duduk di atas rumput dan ada juga yagn tiduran dipaha temannya.

Sepertinya hanya moment-moment seperti ini saja yang bisa menyatukan segala perbedaan yang ada di kelas. Buktinya, setelah acara perayaan ulang tahun kejutan tadi semuanya secara kompak menuju taman dan berkumpul disini semuanya. Ah, rasanya indah sekali seperti ini. Berkumpul semua tanpa memikirkan apapun, hanya saling bercerita satu sama lain dan saling memahami satu sama lain. Lebih senang karena dengan seperti ini saja perbedaan yang ada itu hilang seketika.

"Gak kerasa juga yah kita udah mau kelas 12 ?" ucap ketua kelas sambil menatap satu persatu temannya.

"Ya. Nanti mungkin kita gak bakalan ngerasain giman ngumpul-ngumpul kayak gini lagi karena masing-masing dari kita mulai sibuk mempersiapkan buat ujian dan lanjutin sekolah." Kata si peringkat pertama.

"Tapi kayaknya gue gak bakalan lanjut kuliah deh." Kata Tria.

"lho, kenapa ?" tanya Mela dan Meli terkejut.

"Gue mau nikah." Tria.

"Seriusan ?!" mata ketua kelas membuka lebar. Tidak percaya apa yang Tria katakana ia pun tertawa terbahak-bahak. "Gimana bisa seorang Tria yang gak pernah pacaran mau langsung nikah aja setelah lulus nanti." Ucapnya dengan nada penuh dengan ledekan.

"Iya. Dia mau nikah sama gue nanti kalau udah lulus. Iya kan ?" Tanya Leon sambil mengedipkan sebelah matanya.

Tria berdecak lidah lalu mendorong wajah Leon dengan telapak tangannya. "Apaan sih ?"

"Kalau gitu gue juga mau nikah nanti setelah lulus." Ucap Wisnu tiba-tiba. Hal tersebut malah membuat semua mata teman-teman satu kelasnya mengarah padanya.

"Lo gak bermaksud buat nikahin Tria kan ?" pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulut Mela.

Tria melongo untuk beberapa saat sebelum akhirnya ia tersadar dan segera menukas anggapan Mela itu. Gawat kalau Mela menganggapnya benar. Bisa-bisa besok dia dan Wisnu menjadi gosip hangat satu sekolahan.

"Ya ampun guys ! gue cuma bercanda kali. Gue kuliah kok." Ujar Tria.

"Gue juga bercanda kok." Kata Wisnu selanjutnya.

"Mmm.... Gimana bisa yah kalian samaan kayak gitu ?" tanya Meli curiga.

Tria melotot pada Wisnu. "Apa-apaan sih lo, ha ! mau banget lo sama sama gue. Mau lo apaan sih !" bentak Tria terus berlanjut.

Sementara itu ketua kelas yang berada di samping Wisnu berbisik pada Wisnu. "Kayaknya kalau lo nikah sama dia lo bakalan dia jadiin sate kalau sampai lo telat ngasih uang bulanan sama dia." Bisiknya. Membuat Wisnu yang mendengarnya tertawa kecil.

***

Tria baru saja keluar dari toilet sekolah. Ia sedang merapikan bajunya yang sedikit kusut saat ia melihat Aneu yang tiba-tiba berdiri dihadapannya. Tria mengerjap beberapa kali. Kaget melihat Aneu.

Kening Tria berkerut samar, heran melihat adanya sisa-sisa air mata disekitar mata Aneu. "Lo kenapa ?" tanya Tria.

Aneu tersenyum tipis pada Tria. "Gue...gue cuma... ah, gue gak apa-apa kok." Jawab Aneu jelas sekali bahwa gadis ini sedang berpura-pura baik-baik saja dihadapannya.

"Gak apa-apa gimana orang jelas banget kalau lo itu habis nangis."

"Tapi gue beneran gak apa-apa." Aneu masih saja menukasnya. Membuat Tria semakin penasaran tentang kenapa Aneu seperti ini. Seperti menyembunyikan sesuatu darinya.

Walaupun ia cukup penasaran, akan tetapi Tria tidak akan bertanya apapun pada gadis ini. Mungkin untuk Aneu lebih baik jika ia tidak menanyakannya.

"Lo beruntung yah." Ucap Aneu tiba-tiba sambil menyeka air matanya.

Kening Tria berkerut dalam. Mulutnya masih terkatup. Otaknya mendadak beku hanya sekedar untuk mencari tahu kenapa Aneu mengatakan padanya bahwa ia sangat beruntung.

"Gue harap lo bisa jaga Leon." Kemudian tanpa mengucapkan apa-apa lagi Aneu pun melewatinya dan masuk kedalam toilet.

Tria masih tidak mengerti dengan apa yang Aneu katakan padanya. Ia hanya melihat punggung Aneu yang kemudian menghilang di balik salah satu pintu toilet dengan kening berkerut dalam.

***

"Mau pulang bareng ?" tanya Wisnu pada Tria yang sedang memasukan buku kedalam tasnya.

Tria belum menjawab pertanyaan Wisnu. Gadis itu hanya menatap Wisnu sekilas sepertinya dia cukup kewalahan.

"Mau gue bantuin ?" tawar Wisnu.

Tria menggeleng cepat. "Gak usah. Udah kok." Ucap Tria sambil menggengdong tasnya.

"Pulang bareng gue kan ?" tanya Wisnu sambil menanti-nantikan jawaban dari Tria.

"Mmm... gimana yah." Tria menggigit bibir bawahnya. Menimang-nimang tawaran Wisnu itu. "Tapi, gue mau pulang bareng sama pacar gue."

Rupanya Tria masih marah dengan kenyataan bahwa Wisnu sudah berpacaran dengan Amanda.

"Tapi, gue lagi butuh lo."

"Kan ada Amanda." Sahut Tria cepat. Jelas sekali dari nada bicaranya bahwa ia tidak suka dengan Amanda.

"Gue maunya elo." Kata Wisnu.

"Kenapa harus gue kalau lo udah punya Amanda ?" tanya Tria sinis.

"Please..." ucap Wisnu dengan nada sangat memohon.

"Tapi gue..."

"Apa gue harus berlulut dulu supaya lo bisa nemenin gue sekarang ?" Wisnu menghela nafas kemudian seperti yang di katakannya dia pun berlutut dihadapan Tria.

Melihat hal itu membuat Tria mengerutkan keningnya. Ia semakin tidak mengerti dengan sikap Wisnu yang kadang-kadang menyebalkan, menjengkelkan, menyenangkan, dan sekarang pria ini terlihat sangat sedih. Seperti sedang mengalami hal yang sulit. Sesuatu yang mungkin membuatnya terlihat sangat sedih seperti ini.

Tapi kan... Wisnu punya Amanda yang pastinya akan selalu bersedia menemani Wisnu kapanpun dan dimanapun. Kalau memang sekarang Wisnu membutuhkannya seperti apa yang dia katakan barusan, apa gunanya Amanda sebagai kekasihnya.

Tidak. Tria tidak boleh merasa iba melihatnya. Bisa-bisa Wisnu menjadikannya kambing conge atau orang bego nantinya. Karena bisa saja Wisnu berpura-pura sedih seperti ini supaya Tria bisa membantunya untuk menyiapkan kejutan kecil untuk Amanda seperti di film-film dan akhirnya hal itu akan membuat Tria semakin marah nantinya.

"Sekarang gue udah berlutut di depan lo. Lo mau kan nemenin gue ?" tanya Wisnu.

Tria menghela nafas. "Emang lo ada apa sih sama Amanda ? kenapa lo gak ajak dia aja, ha ?!"

Wisnu tiba-tiba berdiri. "Karena gue ngerasa cuma lo yang bisa ngertiin gue." Ujar Wisnu. Kesedihan di wajahnya semakin tergambar jelas.

"Tapi... tapi... kenapa harus gue ? kenapa cuma gue ?" tanya Tria ia benar-benar tidak mengerti. Sangat sulit baginya untuk mengerti keadaan yang Wisnu alami saat ini. "Kalau emang cuma gue yang bisa ngertiin lo kenapa lo jadiin Amanda pacar lo ?"

Tria melihat tangan Wisnu bergetar hebat sesaat pria itu mencoba untuk meraih pergelangan tangannya. Getaran tangannya entah kenapa membuat Tria merasa bahwa itu bukanlah getaran yang biasa. Bukan hanya itu, Tria melihat Wisnu seperti kesulitan untuk mengangkat tangannya sendiri. Secara sadar Tria tidak bisa melepaskan pandangannya dari tangan Wisnu.

"Lo gak bisa maksa cewe yang gak mau nemenin lo." Entah dari mana Leon tiba-tiba datang dan menarik lengan Tria. Sekejap tubuh Tria sudah berada di belakang tubuh Leon.

Tubuh tinggi besar Leon itu melingkupi tubuh mungil Tria. Tria menatap punggung Leon.

"Gue gak bermaksud buat maksa dia." Wisnu mencoba menjelaskan. "Gue cuma minta Tria supaya nemenin gue."

"Nemenin lo kemana, ha ?"

"Lo gak perlu tahu. Yang gue mau sekarang Tria pergi sama gue."

"Kalau dianya gak mau ? lo masih mau maksa dia, gitu ?"

Dari balik punggung Leon, Tria melihat tangan Wisnu yang lagi-lagi berusaha untuk meraih lengannya. Tangan itu masih bergetar hebat.

Namun, belum sempat Wisnu menyentuh lengan Tria, Leon sudah buru-buru menepis lengan Wisnu. Membuat Wisnu terhuyung kebelakang menabrak meja dibelakangnya. Sesaat tubuh Wisnu ambruk di antara meja dan kursi yang baru saja ditabraknya.

"Lebay benget sih lo." Ucap Leon setelah itu ia menarik lengan Tria keluar dari kelas.

Meninggalkan Wisnu yang masih duduk bersimpih di samping meja pasca Leon sedikit mendorongnya.

***

"Lepasin." Bentak Tria sambil melepaskan pegangan tangan Leon padanya dengan cara menghempaskannya.

"Lo ada apa sih ?" tanya Tria tidak mengerti dengan apa yang dilakukan Leon barusan. Tria tidak bisa berbohong kalau cara Leon barusan terbilang cukup kasar untuknya.

"Emang salah kalau gue sebagai sahabat lo lindungin lo ?" tanya Leon. Entah kenapa Tria melihat ada semacam emosi terpendam di mata Leon. Untuk jenis emosi apa Tria sama sekali tidak tahu.

"Tapi gak gitu juga."

"Maaf, gue cuma gak suka lihat Wisnu maksa-maksa lo kayak gitu."

Tria tersenyum kemudian berkata dengan intonasi yang lembut. "Gue gak ngerasa terlalu di paksa-paksa sama dia, oke ?"

"Ya. Dan gue gak suka dengan dia yang terus-terusan mainin perasaan lo."

Perkataan Leon barusan cukup mampu membuat Tria terdiam. Tria merasa apa yang Leon katakan itu benar. Ia tidak bisa menyangkal bahwa selama ini Wisnu secara tidak sadar sering memainkan perasaannya. Secara tidak sadar Wisnu sudah menarik ulur hatinya seperti ini.

Leon menghela nafas sejenak sebelum akhirnya dia menyentuhkan tangannya pada bahu Tria dengan lembut. "Gue gak tahu sejak kapan. Yang pasti gue gak suka lihat lo terlalu deket sama Wisnu."

"Gue ngerti. Gue ngerti kenapa lo bisa kayak gitu ?" Tria tersenyum manis. "Lo jangan khawatir. Kalaupun Wisnu deket sama gue, lo bakalan tetep jadi sahabat terbaik buat gue."

"Kalau gue mau lebih ?" tanya Leon tiba-tiba. Malah semakin membuat Tria terdiam.

Hening. Yang tria lihat saat ini adalah kilatan yang berasal dari mata Leon. Sesuatu yang membuat Tria tertarik untuk terus menatap jauh ke dalam mata Leon. Tidak. Saat ini Tria sedang mencari sebuah kebenaran di mata Leon. Sesuatu yang entah kenapa membuatnya bingung dan heran setiap kali ia berada di dekat Leon. Hal itu adalah sesuatu yang jarang sekali ia rasakan.

"Jangan difikirin." Leon tiba-tiba merangkul Tria. Senyum konyolnya kembali terlihat lagi. Ya. Leon mulai bersikap seperti biasanya. Sikap yang membuat Tria merasa nyaman berada di dekatnya, menjadi sahabatnya.

"Sekarang lo mau kan pulang bareng sama gue ?" tanya Leon.

Tria mengangguk. "Tapi gue harus telpon papa dulu supaya dia gak jemput gue, soalnya tadi pagi dia bilang mau jemput gue pulang."

"Ya. Silahkan."

Tria pun menggerakkan tangannya untuk mengambil ponselnya yang berada di saku tasnya. Akan tetapi sejauh ini ia belum mendapatkan apa yang dicarinya. Kening Tria berkerut samar. Kemana ponselnya ? batinnya berbicara.

"Kenapa ?" tanya Leon saat dia melihat ada sesuatu di wajah Tria.

Tria menggigit bibir bawahnya, "Mmm.... Kayaknya hendphone gue ketinggalan di kelas deh." Ucap Tria sambil menatap Leon.

"Mau gue ambilin ?" tawar Leon.

Baru saja Leon akan berlari, Tria sudah lebih dulu menahan pergelangan tangan Leon membuat pria itu berbalik dan menatapnya.

"Gak usah. Biar gue ambil sendiri." Kata Tria disertai senyumannya.

Setelah Tria melihat helaan nafas Leon yang menandakan bahwa pria itu membiarkannya untuk pergi, ia pun berlari menuju kelas untuk mengambil ponselnya yang mungkin sekarang tergeletak begitu saja di kolong mejanya.

Tak butuh waktu lama Tria sudah berada didepan kelas. Langkahnya terhenti begitu saja di ambang pintu saat ia melihat Wisnu masih berada di dalam kelas dalam posisi terakhirnya—duduk disamping meja setelah Leon mendorongnya tadi. Pandangan matanya lurus namun tidak jelas apa yang Wisnu lihat saat ini. Tak lama kemudian pandangan Tria langsung fokus pada tangan Wisnu. Tangan Wisnu yang bergetar yang tadi menjadi perhatiannya juga saat Wisnu memintanya untuk menemaninya.

Memberanikan dirinya Tria pun masuk ke dalam kelas. Dalam sekejap saja Tria sudah bisa mengambil ponselnya.

"Lo belum pulang ?" tanya Tria walaupun ia sedikit ragu.

Wisnu mendongakkan kepalanya. "Kalau lo di suruh milih, lo lebih milih kehilangan salah satu anggota tubuh lo atau terus merasakan sakit sepanjang hidup lo dari anggota tubuh lo yang masih ada itu ?" tanya Wisnu tiba-tiba.

Tria mengernyitkan alisnya. Jelas saja hal itu membutnya heran kenapa Wisnu tiba-tiba menanyakan hal yang seperti itu padanya. Dan tidak bisa di pungkiri bahwa ia sedikit tidka mengerti apa yang baru saja Wisnu tanyakan itu. Yang bisa ia fahami hanyalah kehilangan salah satu anggota tubuh saja dan yang lainnya ia agak ragu untuk mengertinya.

"Menurut lo pasien kanker stadium akhir lebih milih apa ? mati atau terus berjuang dan merasakan sakit ?" tanya Wisnu lagi.

"Lo...lo...lo ngomong apa sih ?" tanya Tria. Ia benar-benar tidak mengerti apa yang Wisnu katakan.

"Lo sakit, hah ?" Tria berjongkok di hadapan Wisnu dan menempatkan punggung tangannya pada dahi Wisnu. Mengukur suhu tubuh pria itu dengan cara ini kemudian membandingkannya dengan suhu tubuhnya.

"Normal." Gumam Tria. "Suhu tubuh lo normal-normal aja kok. Emangnya lo kenapa, ha ?"

Tanpa disangka-sangka Wisnu menjatuhkan kepalanya pada pundak Tria. Menyandarkan kepalanya disana. Membuat Tria terkejut akan apa yang dilakukannya ini. Tria hanya terdiam, tidak bergerak sama sekali.

"Disini makin sakit, Tri. Gue gak tahu harus gimana. Kalaupun harus gue lakuin apa yang mereka bilang gue gak yakin apa gue bisa relain impian gue karena itu. Ini terlalu berat buat gue. Terlalu sakit juga buat gue." Ucap Wisnu dengan suara yang sangat pelan.

Walaupun begitu Tria bisa mendengarnya karena posisi mereka yang sangat dekat. Antara bibir Wisnu dengan telinganya mungkin hanya berjarak beberapa centi meter saja.

"Lo ngomong apa sih. Gue gak ngerti apapun yang lo omongin barusan."

"Lo gak bakalan marah kan kalau nanti gue ngecewain lo di kompetisi itu ?" tanya Wisnu.

Cukup lama Tria terdiam sebelum akhirnya ia pun mengangguk. "Gak apa-apa yang terpenting lo udah berusaha sekeras yang lo bisa."

Tria menggerakkan tubuhnya mencoba untuk memberi jarak diantara mereka. Namun rupanya tenaga Wisnu cukup kuat untuk menahannya tetap diam di posisinya saat ini.

"Gue mohon lima menit aja." Bisiknnya lebih terdengar seperti lirihan.

Tria menggigit bibir bawahnya lalu menghela nafasnya. Ia pun diam pada posisinya. Membiarkan Wisnu yang sepertinya sedang membutuhkan sandaran untuk saat ini. Tria merasakan ponsel yang berada dalam genggamannya bergetar. Ia melihat ada nama Leon disana. Pasti pria itu khawatir karena ia belum juga datang menemuinya setelah ia mengambil ponselnya ini.

Sejenak Tria memejamkan matanya sebelum ia menggeser tombol merah di layar ponselnya itu. Kemudian untuk menghilangkan rasa khawatir Leon ia pun mengetikkan pesan singkat padanya.

'gue udah pulang duluan. Maaf. Tadi gue lewat jalan samping makanya gak ketemu sama elo.'

~sent~

Tria menghela nafas dan membiarkan saja Wisnu yang seperti ini. Sungguh, ia pun tidak bisa menghindar dari Wisnu. Tidak bisa menjauh dari pria ini saat dia membutuhkannya.

***


~Next To BAB 12~

Tinggalkan vote sama coment kalian guys.....Jangan jadi silent readers yaa...

setidaknya vote aja buat menghargai penulisnya :)

twitter (at)IisTazkiatii2 #Followyaa

Facebook Iis Tazkiati N


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: