BAB 1

BAB 1

***

Triani Agatha, gadis berseragam putih abu-abu ini sedang berdiri di pinggir jalan menunggu bis yang datang. Sejak tadi ia tidak berhenti melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Ia fikir hari ini ia akan terlambat datang ke sekolah. Itu sudah pasti. Yah, kalau saja tadi pagi adiknya tidak meminta dibelikan sesuatu yang aneh-aneh mungkin sekarang ia sudah duduk di bangku di kelasnya bukannnya masih berdiri disini. Awas saja kalau nanti ia pulang sekolah ia akan langsung memberi pelajaran pada adiknya itu.

Sepuluh menit lagi bel di sekolahnya pasti akan berdering dan sampai sekarang bis yang di tunggu-tunggunya belum juga datang. Tria terus saja merutuki dirinya sendiri yang tidak ngotot meminta ayahnya membelikannya motor supaya ia tidak seperti ini setiap paginya. Atau paling tidak meminta ayahnya mengantar jemputnya setiap hari.

Tria melirik beberapa kendaraan yang lewat di depannya. Siapa tahu saja ia menemukan salah satu temannya yang membawa motor ke sekolah melintas di depannya jadi ia bisa memberhentikannya dan menumpang sampai sekolah.

Senyumnya mengembang melihat temannya yang bernama Bagas lewat di hadapannya. "Bag..."

Baru saja ia akan memanggil namanya, Bagas sudah melesat jauh di sana. Tria menghentak-hentakkan kakinya kesal. Awas saja nanti kalau ia bertemu dengan Bagas di kelas ia tidak akan segan-segan untuk memberikan pukulannya pada Bagas.

Kemudian tanpa disangka-sangka seorang pria menghentikan motornya di depannya. Sejenak Tria memperhatikan jenis motor, warna, dan penampilan si pengendara. Sungguh ia tidak mengenali siapa pengendara motor ini.

Pria itu membuka helmnya dan meletakkannya di tangki bensin yang berada di bagian depan. Menatap Tria dengan alis terangkat sebelah.

"Ayo naik !" ucapnya dengan suara yang cukup keras.

Tria tidak menjawab. Masih sibuk mengamati motor pria ini. Otaknya tidak berhenti berfikir siapa pria ini. Ia sama sekali tidak mengenalinya.

"Kenapa ?" tanya pria itu melihat Tria masih sibuk mengamatinya.

Tria mengerjap, ia tidak mampu berfikir bahkan hanya sekedar untuk mencari kata lain. "Hah, kenapa ?"

Pria itu mendelik sebal pada Tria. "Kenapa lo masih lihatin gue kayak gitu ? bukannya cepet-cepet naik. Udah telat nih."

"Ah, enggak. Gue cuma lagi mikir lo siapa ? dan kenapa lo tiba-tiba berhenti di depan due dan nawarin gue buat naik motor lo ?"

"Ya, karena mulai hari ini kita bakalan jadi temen." Ucap pria itu di akhiri dengan memamerkan jajaran gigi putihnya.

"Siapa juga yang mau jadi temen lo."

"Ini penolakan ?" tanya pria itu dengan alis terangkat sebelah. "Oke, gue fikir niat baik gue kali ini gak di hargain sama yang mau gue tolong. Padahal gue tahu lo lagi ngejar waktu supaya gak kesiangan kan ?" gumamnya sambil mengenakan kembali helmnya.

Tria menggigit bibir bawahnya. Ia memang tidak mengenali siapa pria ini. tapi seragam yang dipakai pria ini sama dengan seragamnya, jadi mungkin pria ini satu sekolah dengannya. Tetapi, barusan ia sudah terlanjur menolak tawaran pria ini. Lalu apa yang harus ia lakukan sekarang ? menunggu bis datang sudah pasti ia akan terlambat dan jika ia ikut dengan pria ini mungkin ia akan datang tepat saat bel berbunyi tapi pria ini kan orang asing. Mungkin sekarang ia hanya perlu menghilangkan rasa malunya terlebih dahulu.

Sesaat sebelum pria ini menarik gas, Tris buru-buru melompat menaiki motor pria itu.

Pria ini menoleh kebelakang, "Gue udah yakin lo gak bakalan nolak." Ujarnya penuh kemenangan.

Tria yang mendengarnya hanya bisa bersikap angkuh. Melipat tangan didepan dada dan tanpa menatap pria itu sama sekali.

Kemudian tanpa peringatan pria itu menarik gas dalam-dalam membuat Tria yang duduk di belakang hampir saja terlempar kalau saja tangannya tidak cekatan menarik pundak pria ini. Tak sampai lima menit mereka pun sampai, tepat saat bel dimulai pembelajaran berbunyi.

Segera saja Tria turun dari motor pria ini. "Makasih." Singkat saja Tria langsung pergi meninggalkan pria itu.

Pria itu melihat gadis yang baru saja ia beri tumpangan dengan kening berkerut keheranan. Apakah semua gadis seperti itu saat seorang pria baik baru saja memberinya pertolongan.

"Woy ! Nama gue Wisnu !!" teriak pria ini tak peduli apakah gadis itu mendengarnya atau tidak. Ah, sudahlah, ia tidak harus memikirkannya. Yang harus ia lakukan adalah mencari letak ruang kepala sekolah.

***

Suasana kelas sangat gaduh saat Tria masuk ke dalam kelas. Di satu sisi terlihat beberapa orang gadis sedang berkumpul. Dan di satu sisi yang lainnya empat orang pria sedang bernyanyi bersama dengan salah satu diantara mereka memainkan gitar yang dibawanya dari rumah. Sementara yang lainnya—yang tidak termasuk dalam dua kelompok itu sedang diam di bangkunya masing-masing sedang membaca buku pelajaran. Ya. Sisanya adalah grup pintar yang tidak pernah membuat keributan apapun.

Tria melemparkan tasnya ke atas mejanya disusul dengan ia menjatuhkan dirinya pada kursinya yang berada di deret paling belakang. Ia melirik kearah sampingnya. Bangku yang berbeda dengannya, bangku paling pojok dan dekat jendela itu tempat duduk teman baiknya, Leon.

Bangku disampingnya itu masih kosong. Kemana laki-laki itu ? kenapa jam segini dia masih belum juga datang padahal bel masuk sudah berbunyi. Apa mungkin dia sakit ? ah, mana mungkin. Memangnya dia manusia ?

Tak lama dari pintu kelas yang hanya terbuka sebelah itu muncul seorang pria dengan rambut basah yang kusut, seragamnya tidak dimasukan serta tasnya yang seharusnya di gendong terlihat di jinjingnya saja.

"Lo kesiangan ?" tanya Tria pada pria itu yang langsung duduk di bangku di samping bangkunya itu.

"Hampir." Jawabnya sambil meletakkan tasnya dia tas meja lantas meletakan kepalanya disana.

Itu Leon, teman baiknya. Teman yang selalu ada untuknya sejak SMP. Pria yang selalu ada untuknya saat ia membutuhkannya. Pria yang setiap hari selalu menemaninya. Pria yang lumayan egois, keras kepala, kasar, bahkan Leon pernah memukul guru olahraga saat pelajaran olahraga berlangsung. Mungkin orang lain memandang Leon seperti itu, akan tetapi cara pandang Tria pada Leon berbeda. Ia bisa menyimpulkan bahwa semua hal buruk yang Leon lakukan hanya untuk perlindungan diri dan untuk melindungi orang yang di sayanginya. Jauh didalamnya Tria tahu Leon adalah seseorang yang lembut dan penuh kasih sayang.

Leon tiba-tiba menegakkan posisinya, "Ada PR ?" tanyanya.

Tria menggeleng. "Semalem lo begadang lagi ?" tanya Tria melihat Leon yang akan menenggelamkan kepalanya lagi pada tasnya.

"Enggak, semalem gue tidur kok." ucap Leon.

"Jam berapa ?" Tria mengangkat sebelah alisnya.

Leon mengarahkan pupil matanya keatas, sedang berfikir sambil menggerak-gerakkan jari tangannya seperti sedang menghitung.

"Jam 2 dan gue bangun jam 6. Berarti gue tidur 4 jam tadi malam." Jawab Leon dengan ekspresi yang polos.

"Ya ampun Leon. Gue kan udah bilang kalau tidur jangan malem-malem entar lo sakit." Geram Tria. Padahal ia selalu mengatakan pada Leon untuk tidak tidur terlalu malam setiap harinya. Tapi, pria ini masih saja tidak mendengarkannya.

"Ya ampun Tria, harus berapa kali gue bilang sama lo kalau gue baik-baik aja. Mau gue tidur malem atau sore, gue gak bakalan kenapa-kenapa." Balas Leon santai-santai saja.

"Tapi kan, kalau lo sakit siapa juga yang tahu. Apalagi lo sering sendirian di rumah." Kesal Tria.

Perkataan Tria barusan malah membuat Leon menatapnya dengan mata menyipit terlihat menyebalkan. "Mmm... lo khawatir sama gue. Atau jangan jangan... lo suka lagi sama gue. Tenang aja gue juga suka sama lo kok." ucapnya kemudian mengedipkan sebelah matanya.

"Ih, apaan sih. Gak lucu !" Tria mendengus kesal. Tidak ingin melihat ekspresi menyebalkan itu lagi Tria pun menghadap ke depan. "Dasar Jin Tomang !" gerutunya.

Tiba-tiba saja Mela dan Meli yang duduk di depannya menoleh kearahnya secara bersamaan. Membuat kening Tria mengernyit melihatnya. Menatap kakak beradik kembar itu satu persatu meminta keduanya supaya mengatakan padanya lebih cepat apa yang akan mereka katakan. Walaupun ia sudah bisa menebak bahwa mereka berdua sedang ingin memberitahukan padanya tentang gosip hangat yang sedang menyebar seantero sekolahan hari ini.

Yah,selama satu tahun lebih ia sekolah disini ia tidak pernah sekalipun merasa tertarik dengan gosip apapun. Meskipun anak kembar ini selalu berusaha untuk memberitahunya.

"Lo tahu gak ?" tanya Mela padanya.

Tria tidak menjawab. Menatap Mela dengan datar tanpa ekspresi sedikitpun.

Melihat Tria yang tida merespon pertanyaan kakaknya, Meli angkat bicara. "Bakalan ada murid baru ke kelas kita." Beritahunya. Suaranya datar merasa kecewa dengan respon Tria sebelumnya.

"Oh." Tria hanya meng'oh' panjang. Namun ketidaktertarikannya terlihat kentara membuat dua anak kembar di depannya ini berdecak lidah secara bersamaan.

"Kita tahu lo emang gak pernah tertarik sama apapun yang terjadi di sekolah ini. Tapi, kali ini beda. Dia yang bakalan jadi temen baru kita itu orang yang paling diharapkan sama sekolah-sekolah se-Jakarta, apalagi sekolah musik. Lo tahu, entah ini keberuntungan atau apa dia milih pindah ke sekolah kita." Papar Mela panjang lebar.

"Emangnya dia siapa ?" tanya Tria hanya sekedar menghargai cerita panjang dari Mela itu. Ia masih tidak tertarik sama sekali.

"Dia...." Mela menatap adiknya yang berada disampingnya.

"Pianis." Lanjut Meli seolah mengerti arti tatapan kakaknya itu.

"Pianis ?!" Tria berdiri secara tiba-tiba. Suaranya lantang nyaris menjerit. Apa ? pianis ? benarkah ?

Semua yang ada di kelas ini menoleh pada Tria seketika. Sama-sama bertanya-tanya kenapa gadis secuek Tria bisa sehisteris itu. Begitupun dengan Mela dan Meli yang merasa menang kali ini. Reaksi yang di tunjukan Tria barusan cukup membuat mereka merasa bahwa apa yang mereka sampaikan barusan itu tidak sia-sia.

"Udah kali gak usah sekaget itu, biasa aja." Mela tertawa kecil, begitupun dengan saudara kembarnya, Meli.

Tria mengedarkan pandangan ke sekeliling. Beberapa orang masih memandanginya. Sadar atas apa yang ia lakukan barusan,Tria lalu menghela nafas. Bersikap seperti biasa kembali. Kemudian setelah meminta maaf pada semua temannya ia pun duduk kembali. Menatap Mela dan Meli dengan tatapan tajam.

"Kalian gak bercanda ? dia pianis ?" tanya Tria memastikan.

Mela dan Meli mengangguk secara bersamaan. Membenarkan apa yang baru saja Tria tanyakan pada mereka berdua.

"Kita udah duga reaksi lo bakalan kayak gini." Ujar Meli. Tangannya dilipat di depan dada, kali ini ia merasa menang.

Tak lama guru matematika yang terkenal galak itu masuk ke dalam kelas. Guru wanita berkepala empat. Tidak. Hampir berkepala lima dua tahun lagi. Wanita berkerudung coklat, baju batik dengan motif Jogja berjilbab dengan warna yang senada, serta celana hitam panjangnya. Namanya Kurnia. Semua murid lebih senang memanggilnya Bu Kur.

"Selamat pagi." Sapa Bu Kurnia sambil melangkahkan kakinya masuk ke dalam kelas. Di tangannya terdapat tumpukkan buku. Langkah kakinya seperti biasa seperti sedang di kejar-kejar sesuatu. Setelah menyimpan buku yang sebelumnya berada dipelukannya ke atas meja guru ia pun menatap satu persatu muridnya yang hanya diam saja.

Kenapa ? ini adalah hal yang jarang sekali terjadi. Bahkan tidak pernah sekalipun mereka mendengar guru wanita ini mengucapkan salam seperti itu saat masuk kelas. Biasanya dia masuk dan langsung memaparkan materi baru dan setelah itu langsung memberikan tugas. Dan rasanya tidak berlebihan jika semua murid di kelas ini melongo setelah mendengarnya.

Kelas hening. Tidak ada yang bereaksi satupun. Nyaris seperti tidak ada yang menghuni—saking sepinya. Sampai tiba-tiba saja seseorang dari pojok ruangan berteriak sambil merentangkan tangannya. Hal itu membuat perhatian semua murid teralihkan padanya.

Leon yang baru saja bangun tidur kebingungan dengan cara melihat semua teman sekelasnya. Tangannya masih merentang. Matanya mengerjap beberapa kali. Bibirnya yang terbuka lebar setelah menguap masih bertahan di posisinya. Namun setelah menyadari bahwa dirinya jadi pusat perhatian satu kelas ia pun meletakkan tangannya di atas meja dengan rapinya dan tersenyum seolah tidak memiliki dosa sama sekali.

Bu Kurnia yang didepan sana pun berdeham, cara yang umum seorang guru lakukan saat ingin mendapatkan perhatian semua muridnya.

"Hari ini kita kedatangan murid baru." Ujar Bu Kurnia. Dan masih sama, semua murid tidak memperlihatkan reaksi apapun. Yah, karena semuanya pun sudah tahu akan hal itu dan mungkin tidak alasan untuk mereka merasa terkejut dengan berita itu.

"Wisnu, masuk." Ucap Bu Kurnia pada murid pria yang berada dibalik pintu.

Samar-samar Tria mendengar nama itu disebutkan. Nama yang sama dengan pria yang tadi memberinya tumpangan. Mungkin bukan pria yang sama. Memangnya di dunia ini hanya ada satu orang yang bernama Wisnu.

Tak lama kemudian seorang pria masuk ke dalam kelas. Awalnya dia hanya mengintip dari balik pintu. Keragu-raguannya terlihat sangat kentara. Tapi setelah melihat tatapan guru wanita itu yang meyakinkannya ia pun masuk ke dalam kelas dengan percaya diri. Tak lupa ia menebarkan senyumannya pada semua yang ada di kelas itu.

Teriakan-teriakan langsung terdengar. Teriakan yang lebih di dominasi oleh kaum hawa ini. Berbeda dengan Tria ia malah menutupi wajahnya dengan buku cetak matematika. Yang secara tidak sadar dalam posisi terbalik itu.

Leon yang berada di sampingnya menatap apa yang Tria lakukan dengan heran. Lau karena tidak ingin berfikir banyak ia kembali menenggelamkan kepalanya pada lipatan tangannya. Lupa bahwa sebelumnya ia sudah tidur.

"Silahkan perkenalkan diri kamu." perintah Bu Kurnia pada murid baru bernama Wisnu itu.

Wisnu mengangguk.

"Hai ! gue Wisnu Hadi Nugraha. Pindahan dari Putra bangsa art high school." Ujar Wisnu setelah itu ia tersenyum kembali.

"Ada yang mau kalian tanyakan ?" tanya Bu Kurnia pada murid-muridnya.

Seorang gadis mengangkat tangannya. Gadis yang duduk di bangku paling depan di deret ke dua. Gadis yang selalu mendapat peringkat petama tiap semester dan disetiap mata pelajaran.

"Iya Arum." Bu Kurnia mempersilahkan Arum untuk bertanya.

"Alasan kamu pindah ke sekolah ini apa ? padahal kan sekolah kamu itu sekolah internasional dan gak bisa sembarang orang masuk kesana." tanya Arum. Mewakili pertanyaan yang berkelebat di kepala semua teman-temannya.

"Karena... karena aku pengen pindah aja." Ucap Wisnu enteng-enteng saja. Ia nyengir memperlihatkan jajaran gigi putihnya.

Tria yang mendengarnya di balik buku mendecih kesal. "Pengen pindah aja" ia mengulangi apa yang Wisnu katakan barusan.

Apa-apaan ? seharusnya dia bersyukur bisa sekolah disana. Dan ini malah pindah karena dia mau saja. Dasar !

"Ada lagi yang mau kalian tanyakan ?" tanya Bu Kurnia sekali lagi.

Mela yang berada di depan Tria mengangkat tangannya.

"Iya Meli." Kata Bu Kurnia. Membuat Mela melipat kedua tangannya di depan dada, kesal.

"Bu, aku Mela bukan Meli." Mela menyentuh bahu Meli yang ada di sampingnya. "Ini Meli. Kalau ibu susah bedainnya, inget-inget aja yang duduk di kiri Mela dan yang di kanan Meli."

"Maaf ibu salah lagi." kata Bu Kurnia. Tidak menyangka kesalahannya membuat salah satu muridnya kesal padanya. "Sekarang lanjutkan, Mela." Suruhnya pada Mela yang sebelumnya akan bertanya.

Masih dengan kekesalannya Mela membuang muka. "Gak jadi !"

Bu Kurnia hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya. Sementara Wisnu dan yang lainnya tertawa kecil karenanya.

Menggantikan Mela, seorang pria yang duduk paling belakang di deret ketiga mengangkat tangannya.

"Iya Fardi." Bu Kurnia.

Pria bernama Fardi itu tersenyum-senyum sendiri. Sikapnya lebih seperti perempuan membuat Wisnu di depan yang melihatnya merasa sedikit jijik.

"No HP kamu berapa ?" tanya Fardi.

Bu Kurnia begidik sendiri. Mengabaikan pertanyaan Fardi dan tidak mau itu berlangsung lebih lama lagi ia pun menyuruh Wisnu untuk duduk di bangku yang masih kosong di samping si tukang tidur Leon, di bangku paling pojok di dekat jendela.

"Kamu duduk disana deket Leon." Ujar Bu Kurnia sambil menunjuk bangku Leon.

Leon yang sedang setengah tertidur itu terbangun. "Gak bisa !" tolaknya sambil mengibas-ngibaskan tangannya.

"Kenapa gak bisa ? bukannya si sebelah kamu itu kosong yah ?" tanya Bu Kurnia. Pandangan semua murid mengarah pada Leon.

"Ini... ini tempatnya Irgi." Jawab Leon, secara repleks Leon menudingkan telunjuknya pada Tria, tepatnya bangku yang masih kosong di samping Tria. "Disana bu masih kosong. Tria duduk sendirian kok."

Perkataan Leon barusan langsung mendapat tatapan tajam dari Tria. Leon memandang Tria dengan perasaan menyesal. Ia lupa bahwa Tria lebih suka duduk sendirian.

"Yaudah aku disana aja, bu." Kata Wisnu. Setelah melihat anggukan dari Bu Kurnia Wisnu pun melangkahkan kakinya menuju bangku di samping gadis yang sedang membaca buku cetak matematika.

Meilhat cara gadis itu membaca buku membuat Wisnu geli sendiri melihatnya. Apa karena keahliannya saat membaca memang seperti itu atau karena dia bodoh.

"Lo suka baca buku kebalik yah ?" tanya Wisnu sambil menahan tawanya sesaat setelah ia menjatuhkan tubuhnya di samping gadis itu.

Tria sedari tadi tidak henti-hentinya mengutuk apa yang sahabatnya lakukan. Dan kenapa teman sebangkunya harus pria ini. Sampai-sampai ia tidak menyadari apa yang baru saja Wisnu katakan padanya.

"Buku lo kebalik." Ulang Wisnu karena tidak mendapat respon dari gadis di sampingnya ini.

Pemberitahuannya yang kedua masih saja tidak mendapat respon. Karena kesal Wisnu pun mengambil buku itu dan meletakannya di meja. "Lo gak dengar yah." Ujar Wisnu setengah membentak.

Sesaat kemudian ia menyadari siapa gadis yang mulai saat ini menjadi teman sebangkunya ini. Wisnu tersenyum miring menyadari bahwa ini adalah gadis yang sama. Gadis tidak tahu terimakasih yang tadi pagi berangkat bersama dengannya.

"Oh, ternyata elo." Wisnu melirik sesuatu yang menempel di dada kanan gadis itu, membaca huruf yang tersusun disana sebelum akhirnya mengeucapkannya dengan cara yang terdengar menyebalkan. "Tria Agatha"

"Gue gak nyangka gue bakalan ketemu sama cewek gak bisa berterimakasih kayak lo, gue juga gak percaya kalau sekarang kita sekelas, dan yang paling gue gak percaya kita bisa sebangku kayak gini." Wisnu tertawa lagi. "Bukannya ini kebetulan yang sangat menyenangkan ?" tanyanya.

Lagi-lagi Tria mendecih kesal. Tria menghembuskan nafasnya keras-keras, merasa kesal. Menggeser kursinya menjauh dari pria menyebalkan bernama Wisnu ini. Kemudian mendengus, "Kebetulan yang buruk." Ujarnya.

Mela dan Meli memutar tubuhnya kebelakang. Tria yang melihatnya dari sudut matanya merasa kesal akan hal itu.

"Kita gak nyangka bisa sekelas sama lo." Ucap Mela.

Wisnu terkejur melihat dua gadis yang baru saja menghadap kearahnya itu. "Kalian kembar ?" tanya Wisnu sedikit terkejut.

Kedua gadis kembar itu menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Iya." Jawab mereka secara bersamaan.

***

Ruang indoor putsal ini mengeluarkan suara gaduh. Beberapa orang terlihat sedang mengejar bola yang mengelinding karena di tendang seorang pria berpenampilan berantakan. Di salah satu bangku di samping lapang putsal seorang gadis duduk disana sambil berteriak-teriak menyangati sahabatnya yang ikut bermain disana. Ya. Siapa lagi kalau bukan pria berpenampilan berantakkan itu, Leon.

"Leon ! Tendang !" Teriak Tria pada Leon yang bersiap untuk menendang bola dari tengah lapangan.

Leon yang berada di lapangan menendang bola ke gawang. Akan tetapi bola yang ditendangnya meleset tipis dari tiang gawang. Membuat Tria yang melihat dari pinggir lapangan memaki-maki Pria itu.

"Bego ! banget sih lo !" umpat Tria pada Leon yang saat ini sedang berjalan menuju kearahnya.

Senyum di wajah Leon terlihat kentara. Peluh membasahi seluruh tubuhnya membuat seragam putihnya seolah menempel dengan kulit punggungnya. Basah, bau, lengket, dan menjijikan. Tria melihat Leon menyeka keringatnya yang berada di wajahnya.

"Bego banget sih. Lo tinggal masukin aja susah banget." Ketus Tria sambil memberikan sebotol air pada Leon.

Leon menerimanya. Bibirnya mengerucut tidak suka Tria yang terus memarahinya itu. "Kenapa jadi lo yang marah-marah. Kenapa gak lo coba main ke lapangan dan rasain gimana susahnya masukin bola saat banyak yang jaga." Leon balik mengomeli Tria.

Keduanya pun terdiam. Leon membaringkan tubuhnya disamping Tria. Memandangi langit-langit ruangan ini yang nyaris tidak ada noda sama sekali. Sementara Tria masih tidak berhenti melihat pemainan putsal yang masih berlangsung tanpa Leon disana.

"Gimana hubungan lo sama Aneu ?" tanya Tria mengingat beberapa hari yang lalu sahabatnya ini menceritakan seorang adik kelas yang bernama Aneu itu padanya. Gadis cantik yang katanya mampu membuat sahabatnya ini jatuh cinta pada pandangan pertama.

"Aneu..." gumam Leon sambil menerawang.

Tria mengangguk, "Ya, sama cewek yang sebangku sama lo pas UAS semester kemarin."

"Gak tahu." Jawab Leon, "Gue ngerasa makin hari gue makin gak bisa gapai dia. Makin hari gue ngerasa dia semakin jauh dan semakin gak mungkin buat gue milikin dia."

"Kenapa ?" tanya Tria penasaran. Leon yang ia kenal tidak pernah seputus asa ini.

"Gue juga gak tahu kenapa."

"Yah syukur deh kalau gitu. Cewe bego mana yang mau sama lo."

Leon tiba-tiba bangkit dari tidurnya. "Sekarang ganti topik." Kata Leon tegas seolah-olah tak memiliki beban.

"Ganti topik ?" Tria membeo. Keningnya berkerut keheranan.

"Hm." Leon berdeham. "Ya... lo kan belum pernah cerita sama gue tentang siapa yang lo suka dan siapa cowok yang deketin lo."

Belum sempat Tria menjawab bel pertanda masuk kelas berbunyi. "Kita harus masuk kelas sekarang." Tria tersenyum kaku pada Leon.

"Kan ceritanya belum."

"Bakal lain ceritanya kalau kita dateng ke kelas telat. Kita bakalan jadi mangsa empuk buat Pa Doraemon itu." kata Tria. Kemudian bangkit dari duduknya dan bergegas keluar dari tempat itu diikuti oleh Leon di belakangnya.

***

Dua puluh menit yang lalu bel pertanda pulang berbunyi. Dan selama itu pula Tria berdiri disini menunggu Leon yang katanya ada urusan sebentar. Koridor antar kelas sudah lumayan sepi. Hanya terlihat beberapa orang yang lewat dihadapannya dan itu pun yang akan pulang. Tria menunggu Leon di bangku panjang yang ada di depan kelasnya.

Tunggu ? katanya dua puluh menit itu sebentar ? dasar ! kalau saja Tria tahu Leon tidak akan selama ini ia tadi akan mengatakan pada pria itu bahwa ia akan pulang dengan taxi saja bukannya mau menunggunya sampai selama ini.

"Lo ngapain sendirian disini ?" tanya seorang pria yang entah sejak kapan sudah duduk di samping Tria.

Tria menoleh dan mendapati pria menyebalkan itu. Pria yang mulai hari kemarin menjadi teman sebangkunya. Siapa lagi kalau bukan si Wisnu yang pianis yang di bangga-banggakan satu sekolahan itu. Pria yang katanya dewa keberuntungan yang nyasar itu.

"Lo sendiri ngapain disini ?" ketus Tria. Sebenarnya ia tidak mau berbicara pada pria ini.

Wisnu memandang Tria dengan kening berkerut. "Ini kan tempat umum, sekolah gue juga."

Tria memutar bola matanya, "Terserah lo." Kemudian Tria pun bangkit dari duduknya berniat untuk meninggalkan Wisnu sendirian.

Wisnu yang melihatnya hanya bisa mengangkat kedua bahunya secara bersamaan. Tidak mengerti akan sikap gadis itu. Padahal ia hanya mau membina hubungan yang baik dengan Tria, dan dengan semua orang.

***

~Next To BAB 2~

Happy Reading and waiting the next :D

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: