5. What a random day?
Habis nganter Merida balik, gue langsung mengarahkan mobil ke rumah. Udah jam 9 dan gue telat ke kampus, untunglah cuma jadi pengawas UAS, bisa digantiin sama yang lain, mayan juga, ngasih rejeki buat orang.
Gue sampai di rumah pukul setengah sepuluh, langsung masuk kamar buat ganti baju. Bagus juga tadi gue udah mandi, eh, dimandiin deng. Hehe!
"Dari mana, Tar?" Gue menoleh ketika melihat Ibu masuk ke rumah dari pintu samping, Missy menyusul di belakang Ibu.
"Nikahan temen Bu, baliknya nongkrong dulu terus ketiduran di tempat temen." Jawab gue berbohong.
"Sarapan dulu ndak?"
"Tara telat, Bu. Tadi udah sarapan kok."
"Yaudah, hati-hati!"
Gue mengangguk lalu mendekat ke arah Ibu, mencium punggung tangannya. Lalu mengecup kedua pipinya. Setelah itu gue berjongkok untuk mengelus Missy yang lagi ndusel-ndusel mata kaki Ibu.
"Pergi dulu yak! Sore kita main!" Kata gue.
"Meow!"
Gue tersenyum lalu berdiri kembali, "Dah ya Bu, Tara berangkat." Pamit gue.
"Yoo!"
Gue berbalik, menyambar tas slempang kecil yang sudah gue siapkan lalu keluar.
Senin, pukul sepuluh lewat, jalanan lagi manusiawi nih jam segini, jadi gak sampe lima belas menit, gue udah nyampe di parkiran.
Langsung menuju ruangan, agak kaget juga gue pas liat tumpukan jawaban UAS ada di meja. Pas gue liat mata kuliahnya ternyata Fikologi punya anak semester 3 yang ujian pagi ini.
Gue menarik laci meja gue untuk memasukan soal dan daftar hadir mahasiswa ke map warna hijau yang sudah gue beri tanda untuk mahasiswa semester 3.
"Sibuk?" Gue menoleh, Daru masuk ke dalam ruangan, bawa tumpukan jawaban juga.
"Ya lo liat aja!" Jawab gue.
"Telat lo, tumben?"
"Kepo lo!"
"Nanya kampret, sok perhatian gitu." sahut Daru.
"Dihh!"
"Ada ngawas gak lo?"
"Tadi pagi harusnya jam 8, tapi gue over ke Pak Yudi."
Daru mengangguk sambil merapikan berkas-berkas di mejanya. Kemudian mata gue melirik tumpukan makalah yang ada di pojok meja gue.
Gue memeriksa semuanya, ternyata itu pra-proposal yang dibikin 5 anak didik yang mau gue bawa penelitian.
Bagus lah, pada rajin.
Membaca satu per satu, gue sedikit mencorat-coret bagian yang menurut gue masih agak janggal, lalu memberi keterangan soal materi-materi yang seharusnya dimasukan ke proposal ini.
Selesai, gue menandatangani semuanya dan memberi tanggal, lalu menumpuk lagi pra-prop itu di meja.
Gue membuka laci, mengambil sticky notes lalu menuliskan sesuatu.
To all:
Revisi sesuai yang saya tulis
Langsung perbaiki dan bawa ke jurusan
Jangan lupa bilang kalau ini project bareng saya, biar bisa langsung di-acc sama Ka-Jur.
Supaya liburan semester pada bisa langsung mulai. Seminar awal semester baru aja, gampang.
Oke?
Thanks!
Gue menarik kertas tersebut lalu menempelkannya di pra-prop yang paling atas.
"Di sini lo?" Tanya gue ke Daru.
"Mau kemana lo?"
"Nongkrong di warkop,"
"Gak deh." Sahutnya.
"Bye!"
Gue langsung bangkit lalu keluar ruangan. Turun ke lantai dasar, gue keluar lewat pintu samping, langsung menuju warung kopi yang ada di belakang gedung fakultas gue.
"Jar, kopi satu Jar." Pesan gue ke si penjaga.
"Item?"
"Yoi!" Sahut gue, lalu duduk di kursi kayu panjang. Ada beberapa mahasiswa yang duduk di situ. Mereka langsung diem pas ada gue.
"Santai aja, lagi bikin contekan kan lo pada?" Ujar gue.
Salah satu dari mereka senyum.
"Si bapak, tau aja."
"Khatam gue modelan gini mah, kan gue juga pernah jadi mahasiswa." Jelas gue.
"Nyontek juga, Pak?" Salah satu ada yang buka suara, cewek.
"Oh sorry, dari TK gue gak pernah nyontek."
"Emang TK nyontek apaan?"
"Nyontek gambaran temen, satu bikin gunung, yang lain ikut bikin gunung, gue mah anti mainstrem."
"Terus gambar apaan Pak?"
"Gambar samudra."
"Eh? Gimana gambarnya Pak?" Tanya yang cewek.
"Ya tinggal lo biruin aja itu buku gambar, terus kasih garis-garis putih melengkung, ceritanya airnya goyang gitu. Kelar."
"Haha saik!"
"Pak-Tar, jadi nih." Fajar datang membawakan minuman pesanan gue.
"Licik anjir si amang, kalo dosen mah gelasnya kaca, kita mah di wadah akua bekas. Esdan!" Seru salah satu dari mereka.
"Harganya ge beda!" Seru Fajar.
"Jadi mahal kitu?" Tanya yang cewek.
"Kalian goceng, Pak Tara mah dua rebu ajah."
"Wuuuuu!" Mereka berseru sementara gue nyengir. Bohong itu, harganya sama aja.
"Dah, kalian mending lanjutin tuh bikin contekannya." Ujar gue.
"Kok bapak gak marah sih, kita bikin contekan?"
"Yailah, lo semua bukan mahasiswa gue, ngapain amat gue marah."
"Bapak dosen jurusan apa emang?"
"Biologi."
"Widiwwww!"
Gue tak menyahuti mereka, gue mending minum kopi dulu deh ya, biar waras dikit. Anak-anak ini pun kembali mengeluarkan kertas-kertas yang sudah dipotong kecil-kecil dan menulis dengan tulisan sebesar ujung jarum, kecil banget.
Jaman udah canggih, masih aja ni bocah-bocah gebleg bikin contekan pake kertas. Gak kreatif ah. Manfaatin dong teknologi.
***
Sore ini karena sudah janji mau main sama Missy, gue langsung pulang dengan membawa semua kerjaan gue ke rumah. Biar bisa gue kerjain nanti malem.
Pukul setengah enam gue sampe rumah, di sambut sama Missy yang langsung ngeong-ngeong minta digendong. Gue mengangkatnya, membawanya masuk ke dalam rumah.
Di ruang makan, gue liat banyak banget kue di meja. Kayanya Ibu gue ada pesenan. Yak, Ibu gue nih doyan banget bikin jajanan pasar, pernah gue meminta Ibu untuk berhenti jualan, ehh Ibu malah sakit dan katanya merasa terkekang sama gue, ya jadilah gue izinin kembali beliau jualan.
Eh tapi Ibu gue bukan emak-emak yang bawa tampah lalu keliling pasar jualan sambil teriak-teriak loh ya! Emak gue menyalurkan kue bikinannya ke toko-toko kue yang ada di pasar. Dan gue sudah membayar orang untuk mengantar semua pesanan kue Ibu, biar Ibu kerjanya di rumah aja.
"Makan Tar?" Tawar Ibu sambil menyusun custard jagung ke dalam kardus.
"Ada lebih gak Bu? Mau dong lima!"
"Ibu udah sisihin buat kamu, langsung Ibu masukin di tupperware, ada tuh di kulkas."
"Yes! Thank you!" Seru gue, sambil menurunkan Missy lalu mencium pelipis Ibu.
Gue berjalan ke dapur, Missy ngeong-ngeong ngikutin gue.
"Bi? Missy udah makan?" Tanya gue ke Bi Isma yang lagi ngaduk adonan custard.
"Makan banyak banget Mas, orang Ibu gak jadi bikin lemper gara-gara isiannya dia curi."
Gue langsung berbalik ke belakang, berjongkok untuk menatap Missy.
"Kok nakal? Siapa yang ngajarin nyuri?" Tanya gue dengan nada tegas.
Missy diem, gak menjawab dengan suara apapun, dia malah santai sambil menjilati kaki depannya. Sompret ni kucing!
"Gak dapet snack kamu dua hari!" Seru gue.
"Eh, bener Mas?" Tanya Bi Isma.
"Bener apaan?"
"Itu, Neng Missy gak dikasih makan dua hari?"
"Snack, Bi. Cemilannya, bukan makanannya yang kaleng." Jelas gue.
"Oh, oke!"
Gue membuka pintu kulkas. Bingung, yang mana yang custard buat gue? Ini kulkas isinya tupperware semua.
"Bi? Yang buat saya mana?"
"Warna ijo, Mas."
Gue menengok ke kulkas dan frustasi lagi.
"Yang ijo ada lima loh, Bi!"
"Paling atas, Mas!" Bi Isma juga sama frustasinya kayaknya.
"Oke, makasih!"
"Yoo!"
Gue mengambil tupperware ijo yang ada di paling atas, membukanya lalu tersenyum melihat custard jagung bikinan Ibu. Spesial banget ini, taburan kejunya banyak banget! Favorit gue.
"Ngikut gak?!" Tanya gue ke Missy sambil jalan ke ruang tengah.
"Gak mandi dulu, Tar??!" Seru Ibu dari ruang makan.
"Nanti Bu! Makan dulu, mandinya malem aja." Sahut gue sambil menyalakan TV dan mulai menyantap cemilan gue yang endes ini.
"Sibuk gak Tar?" Tanya Ibu.
"Gak Bu, kenapa gitu?" Sahut gue.
"Ikut yuk? Nganter kue, ke rumah temennya Ibu."
"Pak Rusli gak bisa anter kue emang?"
"Yee ini temennya Ibu, pengin dateng ahh Ibu, anaknya lamaran."
"Jam berapa?"
"Lamarannya mulai jam 8, ini bentar lagi juga beres."
"Tara kudu mandi dong?" Sahut gue.
"Iyaa! Ayok ah mandi, makan itunya nanti aja."
"Ahh Ibuu!"
"Ayokkkk! Tara! Mau jadi anak soleh gak?"
"Ebuset!"
"Mau gak?"
"Biasa aja sih!"
"Gendeng!" Seru Ibu.
Gue nyengir, tetap menonton sambil menikmati makanan gue ini. Asik menonton, tiba-tiba Ibu datang dan berdiri di depan TV, menghalangi pandangan gue.
"Kamu mau mandi, apa Ibu jodohin sama anaknya temen Ibu?"
"Mandi Bu!" Gue langsung bangkit. Menutup kembali tupperware gue, meletakkannya di meja makan. Gue meraih map dan tas gue yang ada di kursi makan, lalu masuk ke kamar.
Bener-bener dah si Ibu. Ancemannya jodohin. Emang gue Siti Nurbaya?
****
Gue syok pas liat Nina yang menyambut gue dan Ibu.
Gosh! Nina itu mantan FWB-an gue, dia mahasiswa tingkat lima, jurusan akutansi di kampus gue. Hubungan gue dan dia gak lancar karena dianya baper, dan gue gak ada niat sama sekali untuk seriusin dia. Jangankan serius, pacaran aja gue gak minat.
Lagian, masa iya dia baper ke gue yang umurnya aja beda 12 tahun sama dia. Huh! Gue udah kenal pacaran, dia baru brojol.
"Masuk Tante, udah ditunggu sama Bunda." Ujarnya dengan nada santai.
"Iyaa, ada orang lain gak? Masih ada dua dus tuh di dalem mobil." Ujar Ibu.
"Nanti Nina aja, Tante."
"Ayok, Tar! Bawa!" Titah Ibu. Gue mengangguk lalu masuk sambil membawa kardus berisi aneka jenis kue ini ke dalam lewat garasi.
Setelah itu, gue balik lagi ke mobil untuk ngambil sisanya. Di mobil, ternyata ada Nina yang kayanya nungguin gue.
"Apa kabar Tara?!" Dia menyapa gue duluan saat gue baru aja mau buka suara.
"Baik, kamu gimana?"
"Ya gitu aja."
"Dah, masuk aja, itu dua lagi saya aja yang bawa." Kata gue.
"Gak aku-kamuan lagi nih kita? Balik ke mode formal?"
"Yak!" Jawab gue tegas.
Nina mengambil satu kardus dari bagasi gue lalu masuk ke rumahnya. Gue mendesah, gitu deh kalo hubungan sama bocah, emosinya masih gak stabil.
Gue mengambil kardus yang tersisa, meletakkannya di aspal, lalu menutup bagasi, setelah menguncinya barulah gue masuk kembali ke rumah Nina.
Ternyata, ini acara lamaran Kakaknya Nina. Gue yang gak ngerti apa-apa cuma bisa duduk di pojokan sambil memainkan ponsel gue.
Ketika acara mulai, Nina menghampiri gue dan duduk di samping gue. Dia tersenyum manis ke gue, dan gue membalas senyumnya.
Nina tuh cantik, dan enak banget. Cuma sepengalaman gue, dia kurang aktif gitu, dan itu gak masalah, wajar kok kalo cewe, bisa diajarin sama cowok. Coba aja kalo dia gak baperan, pasti gue masih bisa berbagi ilmu sama dia.
"Sekarang ama siapa, kamu?" Tanyanya.
"Kayanya saya gak perlu jawab pertanyaan kamu."
"Kamu jahat tau gak?!"
Gue meliriknya. Gue pengin bales omongan dia, tapi takut kedengeran orang. Jadi gue cuma senyum dan mengangguk.
"Kamu gak bales text aku, telefon aku di-reject semua, bener-bener gak bisa dijangkau setelah kamu bilang 'udah ya stop' apa-apan coba kaya gitu?" Ujarnya.
Gue diam.
"Cuma 3 kata, Akatara! Apa salahnya kita ngobrol? 5 bulan kita sama-sama, kamu beneran gitu gak ada rasa sama sekali?"
"Mau ngobrol? Keluar sekarang!" Seru gue, lalu bangkit dan berjalan ke belakang dan menyelinap lewat pintu garasi untuk keluar rumah.
Di luar, gue membakar rokok lalu bersandar di belakang mobil gue. Tak lama, Nina keluar dengan wajah datar.
"Mau ngobrol apa lo?" Tanya gue.
"Tentang kita."
"Kita? Sejak kapan ada kita?"
"Jahat banget!" Serunya.
"Denger, lo tau, dari awal gue sama lo setuju kita temen tidur. No feeling, no emotion. Lo text gue kalo lo kepengen, dan gue text lo kalo kepengen. Gitu aja terus. Lo paham Friends With Benefit gak sih?"
"Tapi, kamu tuh baik, gak judging masalah aku, kamu baik banget!"
"Hah? Judging? Masalah? Masalah apa?" Tanya gue.
"Iya kamu gak pernah bahas soal aku udah gak perawan."
Gue mendecak. Ini cewe kenapa polos amat sih?
"Ya ngapain juga bahas soal lo gak perawan? Gue aja udah gak perjaka dari kapan tau!"
"Aku tuh susah Tar cari cowok yang kaya kamu. Yang nerima aku kaya gini. Gak ada yang mau sama cewek rusak kaya aku. Harusnya, dulu aku gak usah coba-coba sama mantan aku!"
Gue melirik Nina. Lha? Dia nyesel? kalo nyesel kenapa dulu ngelakuin?
"Ada, lo aja yang belum nemu." Sahut gue.
"Ya nemu, kamu!"
"Gue gak pernah ada rasa sama lo. Gue sama lo ketemu gak sengaja di coffee shop, lo flirting ke gue, gue tanggepin, terus gue tanya lo mau hubungan ini cuma ONS apa FWB, lo jawab FWB. Gue jahat sebelah mana sih?"
"Aku sayang sama kamu, Tara." Katanya, suaranya sedikit terisak. Yaah nangis. Apaan banget dah!
Gue menghisap rokok gue dalam-dalam. Mubazir nih dari tadi dianggurin gara-gara ngobrol sama bocah.
"Tara, kamu denger gak? Aku sayang sama kamu."
"Lo gak sayang sama gue. Lo cuma takut gak ada cowo lain yang bisa nerima lo. Denger ya Nina. Di luar sana, banyak cowok yang lebih pengertian dari gue, yang bisa 100% cinta sama lo, oke? Lo cuma perlu menerima keadaan lo, lalu siap membuka diri ke orang lain. Jangan suka sama gue, apalagi sayang. Gue bukan orang baik!
"Kalo lo sayang sama gue, sama aja kaya lo meluk pohon kaktus. Makin sayang, makin sakit. Nah sebelum lo terlibat perasaan terlalu jauh, gue memutuskan hubungan ini. Tujuannya untuk menyelamatkan lo. Supaya lo gak terlalu sakit.
"Sebelum lo sayang sama orang, lo sayang dulu sama diri sendiri, oke? Jangan pilih cinta yang hanya menyakiti lo. Semua orang itu berhak bahagia dengan caranya masing-masing. Lo harus bahagia, tapi sorry, bukan sama gue."
Nina mengangguk. Ia mendekat lalu tiba-tiba memeluk gue. Dia menangis.
Gue gak membalas pelukannya. Tangan kiri gue yang bebas dari rokok mengarah ke kepalanya, mengusap rambutnya pelan.
"You deserve better than me, gue mah bangsat."
"Ya, saya nunggu aja deh bapak dibangsatin orang!" Ia melepas pelukannya, berkata dengan nada formal membuat gue tersenyum.
"Masuk sana!" Seru gue. Lalu Nina sibuk dengan air matanya. Make-upnya sedikit luntur, tapi cantiknya gak ikut luntur sih. Alami.
"Gak ngikut masuk, Pak?" Tanyanya
"Gak. Bilang ke Ibu gue, anaknya yang ganteng nunggu di luar."
"Anaknya yang brengsek!"
"Ya apalah, terserah lo!"
*****
Setelah mengantar Ibu pulang, gue mengambil semua kerjaan gue dan membawanya ke mobil. Gue izin ke Ibu pergi ke resto fast food yang buka 24 jam untuk mengerjakan tugas-tugas gue.
Setelah memesan kopi panas dan chicken bites, gue mulai memeriksa jawaban soal murid-murid gue. Membacanya satu persatu.
Ada tiga matakuliah yang sudah terkumpul. Fikologi, Bioekologi hutan Mangrove, dan Aquaculture. Kalo ini gak gue kerjain sekarang, bisa mati bediri gue pas semua kerjaan numpuk jadi satu.
"Hey There!" Seru seseorang.
Gue mendongkak untuk melihat siapa yang menyapa gue, ternyata Merida, lawan main gue selamem. Dan, baju dia kali ini sopan banget, pake turtle neck, kemudian pake outer lagi, dan yang bikin makim cute. Beanie-nya. Cakep banget deh asli. Kaya cewe-cewe Korea yang imut gitu. Beda banget sama tampilannya semalem.
"Hey you!" Sahut gue.
"Boleh ikutan?" Dia menunjuk bangku kosong di depan gue.
"Asal minuman lo gak tumpah ke kerjaan gue, silahkan."
Merida nyengir, dia langsung duduk di kursi seberang gue, meletakkan tasnya di kursi samping, dan tersenyum menatap gue.
"Lo ngapain?" Tanyanya, gue mendongkak untuk melihatnya. Minumannya gak dia taro di meja, tapi dia pegangin. Haha penakut parah ni orang kayanya.
"Meriksa jawaban soal, sama masukin nilai ke sini." Jawab gue.
"Jadi lo beneran dosen?"
"Ya lo kira apaan emang?"
Merida nyengir, tawanya renyah, ramah di telinga. Dan untuk kesekian kalinya, gue merasa familiar sama cewek ini.
"Mau gue bantu gak?" Tanyanya.
"Bantu apaan?"
"Lo periksa, gue yang masukin nilai."
Gue mengalihkan pandangan dari kertas jawaban ke Merida. Kok baik sih ni cewe??
"Udah jam 12 malem, lo gak balik emang?" Tanya gue.
"Ponakan gue udah tidur, gak bisa jemput gue, malem kaya gini takut naik ojol, jadi gue pilih begadang sampe ponakan gue bangun buat jemput gue."
"What? Emang lo dari mana jam segini baru balik?"
"Kerja." Jawabnya.
"Lo gak punya temen emang? Yang bisa dimintain anter gitu?"
"Mau gue bantu gak?" Tanyanya.
Entah kenapa tiba-tiba mata gue berhenti di jarinya, ada sebuah cincin melingkar di jari manis tangan kanannya. Woah? Dia udah nikah?
"Suami lo kemana?" Tanya gue.
"Suami? Suami dari Jerman!"
"Suami lo orang Jerman?"
"Gak, ngaco! Gue gak punya suami."
"Terus itu cincin?" Tanya gue. Merida tertawa lalu menyesap minumannya.
"Hak gue dong mau pake cincin di jari yang mana, ya gak?"
"Tau ah!"
"Mau gue bantu gak?"
"Yaudah!"
Gue memutar laptop gue, menjelaskan sistemnya kepada dia untuk memasukan nilai lalu menyatukannya dengan nilai kehadiran, praktek dan quiz, kemudian langsung mengkonversi nilai tersebut agar menjadi nilai dalam bentuk Abjad (A, B, C, D, E).
Makin malem, mekdi makin sepi dan suhunya makin terasa dingin. Merida udah pesen hot chocolate baru untuk kami. Sementara gue masih bekerja.
"Lo mau gue anter balik aja?" Tanya gue ketika mendapati Merida menguap, saat ini memang sudah pukul 2 pagi.
"Gak kok, santai aja. Ayo lanjut, seru juga kaya gini."
Gue mengangguk. Melanjutkan memeriksa jawaban, lalu melaporkan hasilnya ke Merida. Gue gak liat hasil kerjanya karena laptop gue menghadap ke arahnya, tapi, gue percaya kerjaannya beres.
Pukul tiga pagi lebih sedikit, gue memutuskan untuk berhenti. Emang sih belum beres, tapi gak baik juga kerja terus-terusan begini. Gue menawarkan mengantar Merida pulang dan ia mengangguk.
Kami berjalan ke parkiran. Setelah berkas gue aman di jok belakang, barulah gue menjalankam mobil ke rumah Merida. Saik nih gue, nganter cewe pulang subuh tapi gak gue apa-apain. Anak soleh lah gue pokoknya.
"Mer, boleh bagi nomor lo?" Pinta gue saat kami sampai di depan rumahnya.
"Boleh!" Merida lalu mengulurkan tangannya, gue langsung memberikan ponsel gue padanya.
Ia mengetik sesuatu kemudian terdengar dering panggilan dari telefon lain. Ohh good, dia juga mau nomor gue ternyata.
"Thank you Tar, mau anter gue balik."
"Gue yang makasih, lo bantuin gue."
"Yaudah sama-sama, gue masuk rumah ya?"
"Oke!"
Merida tersenyum lalu keluar dari mobil. Dia sempat berbalik, sedikit melambaikan tangan sebelum masuk rumah dan menutup pintu pagar. Gue masih diam, gak langsung menjalankan mobil. Gue melihat nomor HP-nya, ternyata Merida udah nge-save nomornya sendiri. Namanya Merida Purwani. Langsung aja gue edit dan gue ganti, jadi Tante Mer. Entah kenapa gue merasa lebih akrab seperti itu.
Baru aja mau jalanin mobil, ponsel gue berdenting, satu pesan wasap masuk. Gue membukanya.
Tante Mer:
FWB-an deh, yuk?
Mau?
Gue langsung sumringah baca itu. Kan, rejeki anak soleh mah gak bakal kemana.
*******
TBC
Thanks for reading
Dont forget to leave a comment and vote this chapter xx
*****
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top